#3
Kathryn membuka mata lebar-lebar, memaksa untuk mengubah posisi tubuh menjadi duduk. Kepala yang masih terasa berat ia paksa untuk menoleh ke segala arah. Pandangan yang samar perlahan mulai memproyeksikan ruangan bercat abu-abu yang begitu familier. Kamarnya sendiri.
Ingatan mengenai kejadian pada malam itu mulai merasuki gadis bermanik merah darah itu. “Vampir …?” lirihnya sambil mengerjap-ngerjap. Sebagian memori tersebut telah telanjur memudar. Refleks ia meraba lehernya yang sudah tidak sakit lagi. Anehnya, tidak ada luka apa pun di sana. “Hanya mimpi?” dia bertanya pada diri sendiri.
Kathryn menghela napas panjang. Dalam hati menertawai kebodohannya setelah berpikir makhluk tersebut nyata. “Tentu saja. Mereka semua kan tidak ada. Kenapa aku bisa berhalusinasi seperti itu?” kekehnya seraya kembali merebahkan tubuh di atas tempat tidur hangat yang sangat ia rindukan itu.
Pintu ruangan tersebut tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Miranda yang membawa sebuah nampan dengan beberapa wadah makanan yang masih mengeluarkan uap panas. Melihat temannya terbangun, ia segera mempercepat langkah mendekat kemudian meletakkan nampan tersebut di atas nakas.
Dia duduk di pinggir tempat tidur, bertanya dengan wajah yang tampak sangat khawatir. “Kate, kau merasa baikan?” Dia menggenggam ujung jemari Kathryn, kemudian mencari keberadaan denyut nadi di pergelangan tangan. “Kau sepertinya masih sakit. Tidak apa-apa, istirahatlah lagi,” sarannya sambil menaikkan selimut.
Kathryn mencoba untuk menaikkan sudut bibir, guna meredakan kekhawatiran teman sekamarnya. “Aku baik-baik saja.” Ia melirik jendela kamar yang tertutup tirai. Tampaknya malam masih belum berakhir. “Berapa jam sebenarnya aku tidur?”
“Kau sudah tertidur … sejak kemarin malam.” Miranda sedikit menggigit ujung bibir bawah, seperti ragu-ragu mengatakan sesuatu. Mendengar hal itu, Kathryn tersentak. Otaknya mulai mencoba memperkirakan kronologi kejadian berdasarkan ingatan yang masih tersisa dalam kepala. Yang jelas, ia tidak mau mengikutsertakan makhluk bernama vampir dalam rangkaian cerita tersebut.
“Kemarin malam, aku menunggu sangat lama. Louis juga tidak pulang sama sekali. Mrs. Ellie sepertinya khawatir akan kehilangan dua penghuni kesayangannya. Dia hampir menghubungi polisi, sebelum akhirnya ….” Miranda tidak melanjutkan penjelasan, membuat pendengar semakin penasaran.
Meski begitu, dia tidak tega mendesak temannya untuk segera bercerita. “Tenangkan dirimu, Mira. Kau tidak harus menceritakan semuanya sekarang juga.” Ia mengelus punggung tangan Miranda yang tampak sedikit gemetar. Karena kombinasi generalized anxiety disorder serta panic disorder yang diderita gadis itu, Kathryn harus ekstra sabar.
Miranda menggeleng pelan. Ia mencoba untuk menarik napas panjang. “Seorang wanita membawamu. Kau terdengar sesak. Dan sat Mrs. Ellie mencoba mengecek, denyut nadimu hampir tidak terasa. Kukira kau mengalami hipotermia karena terlalu lama berada di luar. Karena itu aku buru-buru memberimu tiga lapis selimut tebal.”
Kathryn sedikit ternganga. Sekarang semuanya menjadi jauh lebih masuk akal. Karena malam itu sangat dingin, berbeda dari biasanya, dia mengalami hipotermia dan jatuh tak sadarkan diri di jalan. Lalu kemudian berhalusinasi tentang makhluk fantasi yang menyukai kegelapan malam.
“Kau tahu, aku sampai tidak bisa tidur nyenyak kemarin malam. Pikiran-pikiran aneh itu menghantuiku lagi. Aku berharap kau segera siuman dan memberitahuku bahwa kau baik-baik saja. Tetapi karena kau tidak kunjung sadar, kukira kau ….” Gadis berambut pendek itu terdiam. Lidahnya terasa kelu.
Kathryn memaksakan diri untuk kembali bangkit meski dilarang. Ia tersenyum hangat seraya mengusap punggung teman sekamarnya. “Aku baik-baik saja. Tenang saja, hanya butuh sedikit istirahat. Mungkin aku juga terlalu memforsir diri untuk tugas esai itu,” katanya mencoba menenangkan.
“Tapi … kau masih terlihat pucat. Tanganmu dingin sekali.” Miranda segera menyambar tangan Kathryn yang berusaha keras mengambil makanan yang susah payah ia siapkan. “Diamlah di situ. Aku akan mengambilkannya untukmu,” ujarnya cepat kemudian segera bangkit meraih sup yang masih hangat.
Kathryn tertawa kecil, menyadari dirinya tidak diizinkan menyentuh sendok sama sekali. Hanya pasrah saar dirinya disuapi seperti anak kecil. “Masakanmu benar-benar lezat, seperti biasanya.”
“Nanti saja memuji. Kau lebih butuh makan sekarang,” ujar perempuan itu sambil menyendok kuah sup bersama beberapa potongan sayuran kecil. Hal itu membuat mereka benar-benar tampak persis seperti seorang ibu bersama anaknya. Baru membayangkan itu saja Kathryn merasa sedikit tergelitik.
Karena hal itu, makanan yang ditelan berakhir masuk ke saluran yang salah. Kathryn menyingkap selimut, berdiri kemudian segera berlari ke arah kamar mandi. Sementara Miranda hanya dapat ternganga sambil mengerjap-ngerjap menyaksikan temannya yang sama sekali tidak tampak sakit.
Tanpa pikir panjang, diputarnya keran wastafel. Dia terbatuk cukup lama hingga hampir semua masakan Miranda yang dia telan keluar lewat mulut. Gadis itu segera berkumur, lalu menegakkan tubuh. Dia menatap cermin yang terpasang di dinding dengan maksud ingin merapikan rambut. Sebelum ia menyadari sesuatu di sana.
Jantung Kathryn bagaikan benar-benar berhenti berdetak, spontan memekik keras. Matanya terbuka lebar dengan tangan yang menyentuh cermin yang dingin. “Bayanganku … apa yang terjadi?” gumamnya. Dia tak sama sekali bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di sana.
“Kau harus ingat ini. Vampir mungkin terlihat seperti manusia biasa, tetapi sekujur tubuhnya tampak pucat dengan cakar dan tering yang dapat mereka keluarkan kapan saja. Makhluk itu takut pada perak dan sinar matahari, juga tidak punya bayangan pada cermin. Mereka mungkin terlihat bernapas, tetapi sama sekali tidak butuh oksigen. Karena hanya darah yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.”
Kathryn memegangi kepala yang kembali terasa sakit, bersamaan dengan terputarnya kembali ingatan tantang kejadian malam sebelumnya menyatu dengan suara Louis yang menjelaskan ciri-ciri makhluk tersebut dengan detail. Anehnya, semua itu benar-benar cocok dengan yang terjadi padanya. Tidak terlihat apa pun pada cermin, kecuali Miranda yang tiba-tiba berlari masuk.
Secara spontan, gadis berambut sebahu itu mundur hingga jatuh terduduk karena tanpa sengaja menginjak buku yang tergeletak di lantai. “Miranda, te-tenanglah. Mungkin …. A-aku bisa jelaskan,” ujar Kathryn terbata-bata. Dia sama sekali tidak tahu jika fokus pandangan teman sekamarnya adalah sepasang gigi taring yang mencuat.
Terdengar suara pintu digebrak, serta seruan Mrs. Ellie yang memekakkan telinga. “Ada apa sebenarnya ini?!” Tanpa pikir panjang, wanita bertubuh gempal itu mendekati Miranda dan melihat ke dalam kamar mandi. Dia tersentak kemudian berjalan mundur. Tetapi dengan segenap keberanian yang tersisa, ia mencoba untuk tidak tampak gentar.
“Bagaimana makhluk sepertimu bisa ada di tempat ini?! Rumahku bukan untuk monster sepertimu. Enyah kau dari sini, sebelum aku memanggil para pemburu untuk mencincangmu!” sentak Mrs. Ellie sambil mengacungkan gagang sapu yang dia dapatkan entah dari mana.
Gadis itu gemetar ketakutan. “Mrs. Ellie, ini Kathryn. Aku … tidak seperti yang kalian pikirkan,” sahutnya dengan nada memelas.
“Kau tidak bisa membohongiku. Kau bukan Kathryn yang asli. Kathryn-ku berbeda dengan makhluk terkutuk yang hanya bisa memangsa kami yang lemah. Cepat pergi sebelum aku yang membunuhmu,” wanita itu mendesis galak sambil mencoba menakut-nakuti dengan gagang sapu yang dibawanya, meski sudah tahu itu akan sia-sia.
Kathryn memandangi kedua telapak tangan. Pucat, seolah tidak ada lagi darah yang mengalir di bawahnya. Dia mengalihkan pandangan pada Miranda yang menatapnya ngeri, dan refleks bergerak mundur ketika Kathryn mencoba mendekat. Sedangkan Mrs. Ellie mencoba menghalangi dengan berdiri di depan Miranda. “Kubilang pergi dari sini!” sentaknya lagi.
“Karena hanya darah yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.”
Ucapan Louis seolah kembali terngiang dalam benak. Pandangannya tetap terfokus pada Miranda yang meringkuk ketakutan di belakang tubuh pemilik rumah tempat mereka menyewa. Meski sedikit ketakutan, Kathryn bisa merasakan desir dalam dada yang seakan memberinya instruksi untuk terus mendekat. “Hanya darah ….”
Kathryn terus mendekat, seolah-olah gerakannya telah berada di luar kendali. Tangannya terulur, tampak seperti sedang berusaha menggapai mangsa. Miranda yang semakin ketakutan menjerit keras. Gadis bermanik kemerahan itu segera tersadar. Melihat wajah temannya yang tampak semakin ketakutan membuatnya terenyuh, meskipun hasrat dalam dada belum padam.
Dengan segera, perempuan itu berlari melintasi hadangan Mrs. Ellie dan keluar melalui pintu yang masih terbuka. Kata-kata Louis waktu itu terus-menerus terngiang. Matanya mulai berair. “Berpikirlah jernih. Makhluk apa pun dirimu, Miranda bukan mangsa. Dia bukan mangsa. Dia bukan mangsa!” Kathryn mengulang-ulang kalimat itu sembari mempercepat lari saat hampir mencapai pintu depan.
Sesampainya di luar, Kathryn berjalan pelan seraya memeluk diri sendiri. Tubuhnya seolah sudah tidak bisa merasakan dingin lagi. Tetapi kejadian ini membuat ia lebih tersiksa daripada itu. Ia menoleh ke sembarang arah. Di ujung jalan, ia melihat seorang warga kota berdiri sendiri. Tiba-tiba, dorongan yang sama kembali timbul “Hanya darah ….”
Kathryn menggeleng kuat-kuat. Setelah mendengar umpatan yang dilontarkan Mrs. Ellie, dia benar-benar tidak sudi disebut sebagai bagian dari makhluk penghisap darah yang terkutuk, dan hanya tahu soal membunuh. Lebih baik ia mati karena mempertahankan sisi manusianya daripada harus menjadi monster yang meneror penduduk Amaryllis City.
Namun, lama-kelamaan dia tidak bisa menahan keinginan tersebut. Ia perlahan berjalan menuju orang di ujung jalan itu. Kathryn menjadi liar, seolah telah kehilangan akal sehat.
Sementara orang itu seakan tidak sadar dengan keberadaan makhluk yang hendak memangsanya. Tepat beberapa langkah sebelum Kathryn mencapainya, seseorang tiba-tiba menarik ia menuju sebuah lorong yang gelap di antara dua bangunan. Gadis itu terperanjat, sebisa mungkin memberontak dari bekapan sosok misterius. Tetapi tetap saja gagal, seperti sebelumnya.
“Ssstt ... diam. Aku tahu kau haus. Tetapi tolong tahanlah sebentar. Orang itu adalah bagian dari pemburu. Mereka sedang mencoba untuk menjebak kita.” Kathryn tertegun mendengar suara serak itu. Seketika dia langsung terbayang dengan kejahatan yang sering dialami para wanita di tempat seperti itu. Ia pun semakin kalap memberontak.
Namun, lelaki yang kini membekap gadis itu sama sekali tidak peduli. Dia mencoba menengok dari celah lorong, kemudian kembali mundur dengan wajah yang terlihat serius. “Sial,” decaknya kemudian mengangkat tubuh Kathryn yang seperti kekurangan gizi, berlari secepat angin menyusuri kegelapan tanpa menoleh.
Kathryn refleks mengalungkan lengan di leher laki-laki yang menggendong dengan bridal style. Ia mendongak, memerhatikan wajah laki-laki itu. Yang terlihat memang hanya rahang yang tampak kokoh, serta rambut hitam bergerak karena larinya yang semakin cepat. Akan tetapi, itu saja sudah membuat gadis itu merasa seperti melihat seorang aktor yang memainkan peran utama dalam film.
Tidak lama waktu berselang. Lelaki itu berhenti ketika sampai di sebuah kebun yang tampak rimbun. Dia menurunkan tubuh Kathryn perlahan, dengan memastikan ia bisa berdiri tegak. “Kau baik-baik saja, kan?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban. Tanpa pikir panjang, laki-laki misterius itu meraih tangan Kathryn lalu menuntunnya melewati kebun yang hanya diterangi cahaya bulan.
Gadis bermanik merah itu hanya pasrah. Jika saja tidak akan membuat orang mencemaskan dirinya, dia pasti sudah menangis sejak tadi. Ia menarik napas panjang. Sinar yang menerabas semak-semak sejak tadi semakin jelas. Tangan orang itu akhirnya membawa menuju sebuah rumah berlantai dua dengan gaya arsitektur klasik.
“Ini rumahku. Kau bebas menginap, bahkan tinggal selamanya di sini kalau mau. Para pemburu itu tidak akan mengejar sampai ke sini.” Perempuan itu menoleh. Sesaat kemudian ternganga melihat wajah laki-laki muda yang ternyata tampak lebih menawan dari yang diduga. Jantung yang ia sangka berhenti berdetak beraktivitas dengan irama aneh.
“Oh ya. Namaku Kristopher. Kalau tidak keberatan, kau bisa memanggilku Kris. Senang berkenalan denganmu,” ucapnya sopan dengan senyuman lebar terukir di wajahnya. Laki-laki itu meletakkan tangan kanan di dada kemudian sedikit membungkuk. Kathryn yang tidak tahu harus bagaimana buru-buru ikut membungkukkan badan dan menyebutkan nama.
Jika diperhatikan, laki-laki yang baru ia temu lima menit itu juga memiliki sepasang taring yang menonjol di antara gigi yang lain. Dia tiba-tiba teringat taruhan dengan Louis. Yang kalah harus menjadi pelayan bagi yang menang selama sehari. Kathryn tersenyum kecut. “Jadi ... vampir itu benar-benar ada, ya?”
Kristopher yang berjalan sampai depan pintu tiba-tiba berhenti, menoleh seraya mengernyitkan dahi. “Memangnya … kau ini makhluk apa?” Kathryn menggeleng cepat, tidak menyangka jika ucapannya yang lebih mirip bisikan itu bisa terdengar jelas.
Gadis bermanik merah darah itu menunduk. “Aku benar-benar menjadi vampir. Apa ini karma untukku?” Ekspresi serius kembali muncul di wajah lelaki bernama Kristopher. Dia berjalan mendekat hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti di depan Kathryn. “K-kenapa …. Apa yang … kau lakukan padaku?” lirihnya dengan wajah yang tampak ketakutan.
“Apa kau … sebelumnya adalah manusia?” tanya Kristopher dingin. Alih-alih menjawab dengan jelas, Kathryn malah menunduk kembali dan menggumamkan beberapa kata yang tidak terlalu jelas. Dia tahu itu takkan menyelesaikan masalah. Tetapi semua ini terlalu tiba-tiba hingga otaknya tak bisa berpikir jernih.
“Aku tidak mau … kalau harus hidup seperti ini. Apa yang bisa kulakukan … agar aku … bisa kembali menjadi manusia?” tanyanya lirih, dengan nada sendu.
Tanpa pikir panjang, Kristopher mengusap puncak kepala perempuan itu kemudian mengecupnya. “Tidak apa-apa. Tenanglah, mulai sekarang kau akan aman bersamaku,” ia berbisik pelan seraya mendekatkan posisi kepala Kathryn hingga menyentuh dadanya.
*
15 Juni 2021, 05:35 WITA.
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment. 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top