#1

“Seperti yang kita tahu, Amaryllis City berlokasi di dekat hutan. Memang beruntung sekali kita tidak akan terkena penyakit pernapasan karena polusi. Wisatawan yang tidak pernah sepi pada masa liburan menjadi sumber pendapatan tambahan bagi penduduk kota ini. Tetapi, ada satu hal yang menyebabkan tak ada satu pun orang yang berani keluar rumah pada malam hari.

“Ya, rumor tentang vampir yang katanya membaur di antara kita. Ini semua bermula delapan belas tahun yang lalu, ketika seorang pria pencari kayu menemukan beberapa orang tewas secara misterius dengan bekas gigitan di leher. Kemudian disusul oleh banyak korban lain setiap malamnya. Tentu saja itu bukan gigitan binatang buas mana pun.

“Pemerintah memang tidak percaya pada rumor tersebut. Tetapi sejak saat itu, banyak orang mulai membentuk tim pemburu vampir. Entah apa saja yang mereka lakukan. Yang jelas sampai sekarang semua rumor mengenai makhluk penghisap darah itu masih saja beredar.”

Seorang gadis yang kebetulan berada di posisi paling strategis dari kumpulan itu bercerita panjang lebar. Kedua tangannya memeluk buku tebal yang sampulnya terlihat sudah lapuk. Teman-temannya memerhatikan dengan saksama meski sudah pernah mendengarnya itu ratusan kali, kemudian saling berbagi cerita yang intinya itu-itu saja.

Berbeda dengan satu orang yang memilih untuk mengasingkan diri di pojok perpustakaan dengan perasaan jengkel karena suara yang mereka ciptakan membuatnya terganggu. Gadis dengan rambut cokelat sedikit bergelombang. Tak ada satu pun kata yang masuk ke dalam otaknya meski kedua mata semerah darah segar itu terfokus pada halaman buku.

Tak lama kemudian, dia menutup buku dengan keras lantaran kesabarannya sudah habis. Para gadis yang sibuk bercerita pun terkesiap dan refleks menoleh dengan kening terlipat. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia menatap balik mereka semua tajam lalu mengembalikan buku yang dibaca -- lebih tepatnya dilihatnya sekilas -- ke rak.

Tidak terima acara rumpi mereka terhenti hanya karena anak prempuan paling galak di kelas mereka, salah satu di antara mereka menyergah. “Apa-apaan kau, Kathryn?! Kalau tidak suka, pindah saja ke tempat lain.” Yang dikatai tampak cuek mengambil buku lain kemudian kembali ke tempat semula.

“Ke mana aku akan pindah kalau suara kalian terdengar dari seluruh penjuru akademi? Jangan mentang-mentang penjaga perpustakaan sedang pergi, kalian membuat tempat ini seperti pasar,” balas Kathryn dengan nada jutek tanpa menoleh kepada mereka yang kini mulai tampak kesal.

“Lagi pula, kenapa juga kalian rela membuang waktu hanya untuk membicarakan vampir, makhluk fantasi buatan para orang tua yang kesulitan melarang anaknya keluar malam?” lanjutnya sambil tertawa sinis. Beberapa mata memandang tajam ke arahnya dengan ekspresi wajah tak suka.

“Hei, jangan berkata begitu. Kau baru akan tahu kalau kau sudah bertemu dengan makhluk pengisap darah itu,” balas perempuan yang sebelumnya bercerita. Sampai sekarang ia masih saja mengempit buku tebal itu. dia mencoba untuk menahan diri walaupun hatinya tidak terima kalau ada yang tidak percaya pada rumor tersebut.

Kathryn hanya tertawa sambil menaikkan lengan kemeja bermotif kotak-kotak yang dikenakannya. “Ah, kau tidak tahu ya, Rebecca. Aku bertemu mereka setiap malam. Lihatlah lenganku yang bentol-bentol. Kalian pikir ini ulah siapa kalau bukan para nyamuk pengisap darah itu?”

Rebecca berjalan mendekat, tentu setelah meletakkan buku yang mulai membuat lengannya pegal. “Apa kau sudah lupa, Kathryn? Seluruh keluarga Shuldberg, tetanggamu tewas secara tak wajar, dan sampai sekarang kepolisian masih belum menemukan pelakunya. Apa itu belum cukup membuatmu percaya pada eksistensi mereka?”

“Hei, ayolah. Ini sudah tahun 2028. Pasti ada penjelasan di balik semuanya. Bisa saja si pelaku menggunakan modus kejahatan seperti itu agar polisi tidak bisa melacak jejak mereka, dan menganggap itu ulah para vampir khayalan warga kota. Makanya, sesekali kau juga perlu membaca cerita detektif sepertiku.” Kathryn tidak mau kalah. Ia menutup buku itu kemudian menunjukkan sampulnya pada gadis berambut pirang itu.

“Percayalah padaku. Jika saja usia Louis saat itu sudah lebih dewasa, ia pasti akan menyadari jika keluarganya hanyalah korban dari kasus pembunuhan berantai. Sayangnya, sampai sekarang dia masih saja bertingkah seperti anak kecil,” lanjut Kathryn sambil tersenyum miring memandang wajah Rebecca yang berada tepat di atasnya.

Perdebatan tersebut mulai memanas, hingga datang seorang gadis berambut pendek menepuk bahu Rebecca seraya tersenyum. “Mr. Carlos memintamu datang ke ruangannya,” ucapnya singkat.

Tanpa pikir panjang, ia pun segera mengembalikan buku tebal tersebut ke rak buku, kemudian balik kanan meninggalkan perpustakaan. Gadis lain yang melihat si ketua pergi satu-persatu mulai membubarkan diri. Beberapa di antaranya melemparkan tatapan aneh pada gadis yang menghampiri Rebecca kemudian pergi.

“Untunglah kau datang, Miranda. Kalau tidak, tempat ini pasti sudah menjadi medan perang,” ucap Kathryn sambil berbisik di balik buku, kemudian tertawa pelan. Perempuan bernama Miranda itu hanya mengangguk sambil menyeret sebuah kursi kemudian duduk di sebelah sahabatnya.

“Berterima kasihlah pada Mr. Carlos,” balas Miranda pendek sambil menyeringai lebar. Setelahnya, tak satu pun di antara mereka yang memilih untuk membuka percakapan. Mata mereka terfokus pada buku masing-masing. Setidaknya, mereka ingin memanfaatkan suasana perpustakaan yang masih tenang, sebelum para gadis itu kembali.

Tanpa terasa tiga jam telah berlalu. Matahari tumbang ke arah barat. Miranda bangkit seraya meregangkan otot bahunya yang terasa pegal. Ia meletakkan buku kemudian berbalik memandang langit dari jendela besar di salah satu sudut perpustakaan. “Aku akan pulang lebih dulu, Kate. Persediaan bahan makanan kita sudah menipis. Kau ingin pesan sesuatu?”

Kathryn terlalu fokus dengan bacaan sampai bahunya harus ditepuk berkali-kali agar tersadar. “Tidak ada. Kau jangan terlalu berharap aku pulang cepat, ya. Aku ingin melakukan konsultasi terkait tugas esaiku.” Miranda hanya mengangguk tanpa berkomentar, kemudian pamit pergi meninggalkan area akademi. Dia bisa memaklumi kesibukan sahabatnya sebagai salah satu anggota klub penelitian ilmiah.

Tentu saja sebagai teman sekamar, Miranda sudah hafal dengan watak dan sikap Kathryn. Bisa dikatakan, gadis itu adalah satu-satunya orang di Amaryllis City yang tidak percaya pada keberadaan vampir. Meski berjuta-juta kali orang lain mencoba membuatnya yakin, semua berakhir sia-sia.

*

14 Juni 2021, 13:40 WITA.

Jangan lupa tinggalkan vote dan comment. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top