Chapter 9
Sepasang sepatu boot hitam terus menapak tanah dan lantai yang dimeriahkan tumbuhan liar, disusul ratusan orang berkulit pucat yabg melolong haus darah. Setiap belokan, Keyna sempatkan menahan napas meski hanya sesaat. Manik cokelatnya menciut, melirik ke sembarang arah dengan cepat.
Di sebuah belokan, ia menemukan sebuah gedung terbuka bertatakan meja dan barang lapuk. Berawalkan menelan saliva, Keyna berlari secepat kilat merubuhkan diri sendiri dalam keadaan berselancar, kemudian masuk ke dalam meja besi. Ruangan pengap ini memperkuat bunyi detak jantung yang memburu cepat. Bahkan Keyna teringin tidur meski nanti tercium bau minyak bercampur jamur liar.
Tidak! Keyna menggeleng cepat. Mendadak menahan napas tatkala menangkap suara lolongan manusia. Dari kiri ke kanan, perlahan bunyinya menghilang. Keyna tak sepenuhnya percaya bila berurusan dengan situasi. Ia memejam mata, mempertajam pendengaran. Dua orang memilih berkeliling di luar kantin. Ini tergolong mudah untuk mengantarkan kesadaran mereka ke alam mimpi di bawah kendali bius.
Ia bangkit dari persembunyian, dengan cekatan meletupkan dua butir peluru tepat mengenai leher. Dalam hitungan detik saja, mereka ambruk dengan pelor yang lepas dari tempatnya mendarat. Keyna menatap jijik ke arah gedung sambil melangkahi jasad Vyeosick.
"Kau terlalu pengecut untuk disebut lelaki, Azky." Dalam monolog Keyna, jemari kurusnya bergerak amat lincah mengisi magasin pistol. Langkah demi langkah terus terdengar kuat, mau dipelankan juga tiada hasil. Mata Keyna mengerling-ngerling memasang sipit. "Di mana kau sekarang?"
Gadis berwajah kotor akan debu langsung menempel pada tembok, bertekuk lutut mengumpulkan oksigen guna pernapasannya stabil. Suara mereka tak lagi terdengar. Ia langsung duduk bersandar di tembok, meluruskan kedua kaki sambil memandang langit.
"Kapan pandemi ini selesai?" Keyna menggigit bagian bawah bibir berhiaskan luka belah. Kepalanya terteleng ke arah sebuah bangunan kecil di samping lorong seukuran pintu. Mata cokelat Keyna bercahaya diterpa lampu pijar yang redup.
"Ruangan itu...." Ia bangkit tertatih-tatih, berjalan terseok-seok menahan letih di badan. Sebelah tangan terulur menggapai bangunan dengan plang di sudut atas pintu yang bertuliskan 'Ruang UKS'.
Tubuh Keyna menegang. Ia merasakan badan seperti disengat listrik dengan cuplikan kejadian yang tayang selama sedetik. Terus terulang menghancurkan sisa energi dalam diri Keyna, pada akhirnya ia mampu masuk ke ruang UKS dan terbujur kaku di lantai berdebu. Kedua tangan tak mampu menopang tubuh yang ingin berdiri. Cuplikan film masa lalu mengerjap cepat sebelum Keyna membusungkan dada, mendelik dan tangan mencekik lehernya sendiri seperti kehilangan oksigen.
Terlukis seorang siswa duduk di atas brankar tengah menekan dada seorang siswi menggunakan sebelah kaki, mengeratkan dasi yang melilit leher si gadis. Sang korban terlihat membeliak, meronta-ronta sambil melepaskan lilitan dasi di leher.
"Kita tak seharusnya terlibat sama Keyna, Sayang!"
Sepasang kaki Keyna menyapu lantai seperti banteng yang bersiap menubruk target, berguling kiri-kanan dengan sebelah tangan terangkat dan bergetar.
Terlihat lagi darah yang mengalir dari luka menganga di pergelangan tangan siswa tadi. Tetesannya menodai seragam batik siswi yang dia panggil 'sayang'.
"Kenapa kamu lakukan itu?"
Mulut Keyna menganga ingin mengeluarkan suara, tapi hanya terlontar suara orang berpenyakit bengek.
Orang dalam cuplikan yang tayang di otak Keyna memandangnya dengan seringai lebar berlumuran busa. Gadis itu tak lagi meronta, terbujur kaku dalam keadaan mata terbuka dan mulut mengalirkan darah.
"Apa untungnya buat kamu, hah?"
Keyna bangkit menyerupai cara hewan berkaki empat berdiri, menunduk mengerang keras akibat denyut luar biasa di kepala. Tubuhnya bergetar merubuhkan pondasi di kedua tangan.
"Baik kami mati dari pada diteror terus oleh dia gara-gara kamu!"
Cuplikan film masa lalu mati mendadak, menyisakan batin Keyna yang berkecamuk dan napas memburu hebat. Tiga tetes keringat menetes ke permukaan lantai kotor akan pasir. Matanya bulat sempurna, tak dapat membayang ulang kejadian yang baru saja datang tak diundang.
"Sialan...." Di tengah mengatur alat pernapasannya, ia bangkit tertatih-tatih sembari menyeka peluh di rahang bawah menggunakan punggung tangan. "Menyebalkan...."
Ia menutup pintu dengan lemah lembut sebelum menjelajah ruangan sempit akan brankar dan obat-obatan di kotak pertolongam pertama. Kebanyakan obat luar seperti cairan iodine atau plester luka. Keyna duduk di tepi brankar, mengelus permukaan berlapis kulit yang jebol menampakkan busa kusut.
"Harusnya brankar ini dibuang saja," kata Keyna menyipit dingin. Atensinya beralih pada sekumpulan pisau yang sudah karat. Ia ambil senjata tajam tersebut. Mengingat kembali dengan koleksi pemicu traumanya, ini benda yang dia pakai untuk memperpendek masa hidup yang putus asa.
"Sempat-sempatnya kamu bawa benda haram seperti ini." Keyna mendengkus sinis, memasukkan pisau lipat ke dalam saku celana. Sayup-sayup terdengar senandung mengerikan menuju kemari.
Netra Keyna menjeling nanar, celingak-celinguk mencari tempat yang bisa memuat tubuhnya. Suara di luar sana makin dekat, ia langsung duduk meringkuk di dalam laci dengan obat-obatan berserakan, menahan kedua pintu laci hanya sebelah tangan. Alih-alih bersembunyi, Keyna sudah siap siaga mengacungkan moncong pistol di celah pintu laci.
"Aku tahu kau ada di sana, Keyna...." Mendengar suara dia buat Keyna mengeretak murka. Pintu dia dobrak keras, disusul lolongan bernada pelan yang kian jelas menuju ruang UKS.
"Keyna...." Jari telunjuk Keyna siap menekan pelatuk pistol. Bola matanya menempa kilat putih dari cahaya luar. Sosok pemuda berdiri nyaris terhuyung, terkekeh pelan dan menggeleng lemah. "AKU TAHU KAU DI SINI, KEYNA!" Dia berteriak dengan mendongak lunglai.
Kau akan tidur dengan tenang, Azky, batin Keyna menelan saliva. Jantung berdegup begitu kencangnya. Ia hanya menunggu momentum yang tepat untuk bisa mencapai target musuh: membidik leher Azky.
"KAU DI SINI, KAN?" Dia berpindah amat gesit, tiba-tiba duduk menunjukkan seringai lebar dan mata melebar haus darah di depan mata. Ini saatnya mempertahankan tempat persembunyian, mencengkeram sisi pintu laci yang bisa ditarik menggunakan jemari.
"KELUAR KAU, KEYNA!" Dewi fortuna berada di pihak Keyna. Dia mendobraknya dengan tendangan, bukan menarik pintu laci. Sebagai ganti, tangan bergenggam pistol bius justru bergemetar tak fokus menargeti musuh. Jika sekarang ia lepaskan satu pelor, Azky akan mengamuk dan tendangan dia menghancurkan bahkan meremukkan tulang dada Keyna. Jika terus membidik, tangan akan melemah dan akan mendekam di sini sampai Azky keluar.
Sekelebat angin melesat meninggalkan arus berbentuk jarum melintasi leher Azky. Keyna tahu, itu efek tembakan pistol bius yang sayang sekali meleset menikam tembok. Namun setidaknya atensi Azky meningkat pada sumber angin tersebut. Dia lari sambil memekik tak jelas, diikuti seruan para Vyeosick mengikuti sang atasan.
Setelah sekian lama, Keyna mengembus napas lega. Ia memejam mata di ruang sempit, menginginkan istirahat hingga menjelang pagi. []
Nih, kami kasih napas buat kamu yang disuguhin adegan mencekam terus tiap babnya. Tapi tenang kok, di chapter selanjutnya bakal santuy kayak kaum rebahan.
Regards,
Revina_174 & iNay_3010
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top