Langit gelap menyelimuti daerah mati. Tak ditemani bintang, bulan, atau pesawat jenis apapun yang terbang menjelajah bumi. Di sini tiada penerangan selain senter milik Keyna yang terpasang di blazer hitam, menerangi sosok pemuda dengan mata tertutup rambut. Kedua lengan mungilnya menaruh jas yang kotor akan tanah ke punggung pemuda tanpa senyum itu.
"Kau bisa berjalan dengan normal, Zee?" Pertanyaan Keyna dibalas anggukan satu kali. "Bisa beraktivitas dengan normal?" Dibalas satu anggukan lagi.
"Aku baik-baik saja," dia menunduk mengamati patung yang dielus dengan lembut, "selagi benda ini berada di sisiku."
Keyna menyipit jijik. Melihat dia mendekap patung, seperti ada yang menakuti pikirannya. Persetan dengan dia! Ia menenok ke jalan raya, lalu memperpendek jarak dengan berlari kecil. Gadis dengan kemeja yang digulung sampai siku memunguti kapsul bius satu per satu.
"Zee, bantu aku pungut semua selongsong peluru." Seruan Keyna spontan memasukkan patung ke jas dokter. Zee berlari menghampiri Keyna.
"Untuk apa?" tanya Zee membungkuk mengamati Keyna yang berhenti memulung kapsul bius, melirik tajam. Setidaknya emosi Keyna tak mendidih hingga pecah dengan api meleber. Ia jenuh dengan sikap Zee terhadap patung semangka.
"Kutip aja dulu."
Butuh waktu dua jam untuk mengumpulkan dan membuat peluru bius---mereka membuat di sisi jalan raya---selagi Keyna membutuhkan banyak pelor demi berjaga-jaga. Perjuangan mereka membuahkan hasil, di mana terdapat 200 butir pelor yang masing-masing tergenggam 100 butir. Sengaja separuhnya untuk Zee, bila suatu saat Keyna kehabisan stok peluru.
"Ke mana Kakak akan pergi?" tanya Zee bangkit membersihkan pasir yang mengotori jasnya.
"Ke sekolah," jawab Keyna mengotak-atik pistol supaya bisa digunakan, macam ia memasang laras peredam suara. Ia mendongak menjeling dingin. "Kau mau ikut?"
"Tentu!" Zee langsung berada di samping Keyna, menggosok-gosok tangan dengan cepat. "Tapi kenapa harus ke sana?"
"Pertanyaan yang bagus." Keyna menunjuk ke sembarang bangunan. "Satu-satunya tempat berkumpulnya orang-orang yang sembuh dan tak terdampak serbuk Vyeoflower ada di ruang kesenian. Mereka yang sembuh harus memilih menjadi relawan atau menjadi penjelajah pencari bahan-bahan untuk membuat serum pembasmi perkembangbiakkan bunga Vyeoflower beserta serbuk yang melayang di udara. Nah, kamu yang sembuh dari serbuk Vyeoflower, mau pilih yang mana?"
"Aku...." Zee menunduk menangkup kedua pipi, memberikan kehangatan dari telapak tangan yang digosok. "Entahlah, Kak. Aku bingung mau pilih mana."
"Kau bisa coba menjadi relawan saat kita masuk ke sekolah, Zee." Senyum masam terukir di bibir merah Keyna. "Sayangnya kita haram untuk berkeliaran di sana saat malam hari."
"Kenapa begitu, Kak?"
"Awalnya aku tak tahu kenapa mereka melarang para relawan berkeliaran di malam hari. Dan sekarang aku tahu, mereka akan bersikap agresif, sensitif terhadap suara, bahkan tak segan menghabisi nyawa orang layaknya algojo."
Zee mengangguk paham, detik berikutnya ia beringsut bersembunyi di balik punggung Keyna sambil bilang, "Ada Vyeosick."
"Serahkan padaku." Dengan cekatan, Keyna mengacungkan senjata tembak ke depan, mengamati suara langkah Vyeosick yang Zee lihat. Begitu tertangkap, satu pelor lepas tanpa suara dan mengenai bagian tubuhnya. Mereka---terutama Keyna---tak tahu bagian mana kapsul bius mendarat, tapi dia ambruk bagai botol plastik ditiup angin.
"Hebatnya...." Zee menganga semringah. "Apa Kakak mau mengajariku?"
"Mengajari apa?" tanya Keyna memasukkan senjata ke saku celana.
"Menembak."
"Aku akan mengajarimu jika kau sudah memilih jalan hidupmu dari pandemi serbuk Vyeoflower." Dua jari ramping Keyna menekan tombol handsfree sambil menyerukan nama temannya tadi siang.
"Tasya, ini Keyna. Aku ingin tahu keadaan di area sekolah, ganti." Ia lepas tombol handsfree untuk kesekian kalinya, tapi tak kunjung direspon. "Ke mana Tasya pergi?" desisnya.
"Apa kita tak segera pergi ke sana saja, Kak?" Zee duduk memeluk lutut, menaruh rahang bawah di atasnya.
Lain Keyna yang memutar bola mata dengan malas. "Kalau aku tahu, aku tak perlu berkomunikasi dengan rekanku. Jadi diamlah."
Mata Keyna perlahan membulat. Ada kehidupan di seberang panggilan, sedikit berdenging dan bergemeresik. Lantas, ia mencoba kembali menyambungkan komunikasi. "Tasya, ini aku Keyna. Di mana kau sekarang?"
"Siapa ... ini?" Iris cokelat Keyna menciut cepat, menghapus senyum yang merekah cerah. Suara di seberang seakan mimpi buruk bagi benak dan telinga Keyna. "Ah, Keyna.... Dari tadi aku mendengarmu teriak-teriak, tapi tak kunjung kurespon. Apa kau merindukanku?"
"Kau...." Keyna ambruk dengan tubuh gemetar. Ujung jari mulai diselimuti hawa dingin dari dua arah: luar dan dalam. Kulitnya pun memucat. "Tak mungkin...."
"KEYNA!"
"DIAM!" Dengan kasar, Keyna mencabut handsfree dan membuangnya sambil menjerit. Suara Keyna parau, sedang tangan menutup sepasang telinga rapat-rapat, di mana salah satu telinga mengeluarkan darah cukup banyak.
Zee tersontak menghampiri Keyna. Ia mencoba menenangkan gadis penyelamatnya, mencoba menanyakan apa yang terjadi. Namun, Keyna enggan bercakap. Dia terengah-engah, terus menjerit histeris, terdengar sampai area sekolah berisi ratusan Vyeosick. Bahkan tak segan menyingkirkan Zee macam mengusir nyamuk, meninggalkan luka lecet di telapak tangan Zee akibat bergesekan dengan kerikil.
"Kakak...." Makin kaget lagi semasa Zee mendengar lolongan sumbang dari Vyeosick yang menuju kemari. Meski hanya puluhan, tapi Zee tetap bergidik dan bersikukuh menenangkan Keyna dengan berbagai cara yang terlintas di otak.
Cara terakhir selalu berhasil. Begitu kedua tangan Zee menangkup pipi Keyna yang dingin nan basah, barulah dia tenang meski masih mengerang pelan. Zee mengucapkan sebuah kalimat dengan nada lembut.
"Aku di sini melindungi Kakak." Kalimat demikian terdengar seperti obat bagi pendengaran Keyna. Ia membungkuk kelelahan, tak larat berbuat apa-apa selain bercengkerama dengan dunianya sendiri.
Mau tak mau Zee harus menggantikan posisi Keyna. Segera ia ambil sapu tangan di saku jas untuk masker sementara, merebut pistol bius dari saku celana Keyna. Tak lupa mengambil handsfree yang berlumuran darah, lalu bangkit ambil posisi membidik para Vyeosick yang makin mendekat menggapai dirinya. Sorot mata tajam membentuk kilat mendatar di iris hitam Zee.
"Apa kau mendengarku, Keyna?" Suara seseorang masih mengoceh di seberang telepon, tapi tak Zee indahkan. "Kau akan mati bersama semua relawan jika tetap pergi ke sini! Kau dengar, hah?"
"Jadi itu maumu, orang asing?" Jarinya perlahan menekan pelatuk. "Biar aku dulu yang membasmi kawananmu." []
Asiiik, Zee mulai beraksi gantiin Keyna. Sehebat apa Zee nantinya, ya? Apakah lebih ahli dari Keyna? Selalu tunggu update dari kami, badders!
Regards,
Revina_174 & iNay_3010
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top