Chapter 18

Seharian mereka menghuni pasar. Walau sekarang pagi hari, suasana pusat perbelanjaan yang sering ramai akan ibu-ibu berubah sepi pada masa pandemi ini. Semua bahan mentah untuk memasak telah digandrungi lalat hijau. Beberapa lapak telah dikuasai tumbuhan liar dan jamur. Tasya yang berkeliling bersama Zee pun nyaris mual. Namun ia tahan untuk mencari bahan persenjataan dan juga stok makanan, lebih bersyukur kalau menemukan bahan yang diperlukan untuk membuat vaksin beserta obat pemutus perkembangbiarkan bunga Vyeoflower. Dari lantai bawah pasar ke lantai atas, yang mereka dapatkan hanya penat dan rasa pusing akibat mencium tau masam bin menyengat.

"Sudah kubilang, pasar bukan tempat yang tepat untuk mencari bahan yang mereka perlukan!" seru Tasya memprotes. Sebelumnya, ia mendapat panggilan dari seseorang, menyebutkan bahan-bahan yang hampir mustahil didapat. Gadis berjaket itu ambruk menarik jas dokter Zee. "Bawa aku keluar.... Aku tak tahan lagi sama baunya! Tanggung jawab!"

Zee menuruti perintah senior, membopong tubuh Tasya layaknya dongeng putri salju. Ia berlari mencari tempat yang cukup wangi, tapi bau busuk menempel di baju. Alhasil, Zee bawa Tasya ke supermarket dekat warkop, mengambil dua keping pewangi ruangan ke dalam masker mereka.

Di tengah-tengah perjalanan menelusuri daerah ini, Tasya tiba-tiba teringat dengan Keyna. Sampai beberapa menit ke depan, mereka membisu. Antara Zee yang segan bercakap dengannya atau Tasya yang terus memikirkan Keyna. Sekian lama ia bersama dengan rekan sesama penduduk negatif serbuk Vyeoflower, sekarang ia harus berpisah.

Zee tak tahan melihat Tasya tersandung batu akibat melamun! Ia tak tahan dengan latah dia. Begitu menjengkelkan! Namun, ia tahan emosi dalam hati, hanya tersenyum seakan mengerti apa yang Tasya rasakan.

"Kakak sebenarnya mikirin apa sih?" tanya Zee mengerling malas.

"Hah? Apa?" Celingak-celingak Tasya terkesiap sebelum mengetahui Zee sedang bertanya. "Ah, aku mikirin ... Keyna. Dia datang seperti seorang pasien bagiku, memberikan keluh kesah tentang perasaannya padaku. Sedangkan aku? Hanya memberikan jawaban layaknya seorang pengajar di sekolah. Aku senang, karena dengan adanya Keyna, aku mulai memahami lika-liku impianku."

"Ngomong-ngomong soal impian," Tasya menoleh dengan iming-iming mau mendengarkan, "apa yang Kakak harapkan seandainya pandemi serbuk Vyeoflower ini tidak ada?" tanya Zee.

"Kau tau apa yang aku inginkan?" Ia menunduk melemparkan tatapan sendu. "Aku ingin menjadi seorang psikiater," jawab Tasya.

"Karena itu Kakak bilang kalau kak Keyna datang untuk memahami lika-liku impian Kakak?"

"Tepat sekali!" Tasya memantik jari tepat di depan muka Zee. "Aku ingin tau apa yang dirasakan oleh Keyna, apa yang telah dia alami, semua tentang perasaan Keyna. Aku ingin mencoba untuk merasakan kehidupan dalam sudut pandang dia.

"Rasanya tak adil jika Keyna harus mengalami semua hal sulit sendirian. Sampai menjadi Keyna yang sekarang. Aku merasa ... dia seperti bukan Keyna, tapi raganya masih Keyna. Hal itu memperbaiki pola pikirku, bagaimana bisa ia tidak mengenaliku dan Zikra waktu itu...." Tuturannya berakhir dengan suara lemah.

Zee menghela napas kemudian menunduk. Semua yang dikatakan Tasya membuat hatinya terenyuh. Semua perkataan dia mesti ia terima. Setidaknya, Zee tersenyum karena rasa kepedulian Tasya untuk Keyna.

"Itulah kenapa aku greget pengen Keyna selamat sebelum kita pergi keluar area sekolah!" Dua jarinya menekan tombol handsfree. "Kak Zikra? Halo? Kak Zikra!"

"Ada apa, Tasya?" tanya Zikra di seberang sana.

"Aku ingin meminta agar ratusan aparat keamanan dikirim untuk berjaga-jaga. Aku tidak ingin Azky membawa Keyna," ujar Tasya yang langsung diterima oleh Zikra. Zikra pun segera meminta bantuan untuk mengirim ratusan aparat keamanan untuk menjaga Keyna. "Sumpah, lama-lama aku ingin menolak perintah dari ilmuwan sana deh!"

"Emangnya kenapa, Kak Tasya?" Zee menghadap senior sambil berjalan mundur.

Tasya mendesah gusar. "Keyna yang beneran 'Keyna' takkan mengenali orang-orang di sana selain aku dan Azky!"

****

Sesosok gadis dengan rambut yang diikat rapih dan memakai pakaian bela diri tengah berlatih taekwondo di aula. Tendangan, pukulan, kombinasi menyerang khas taekwondo pun ia tunjuki. Panas hawa di siang hari itu tak membuat semangatnya kendor dalam berlatih bela diri.

"Tasya." Seseorang menyerukan namanya. Tasya yang saat itu berusia 15 tahun berlari ke tepi aula untuk menghampiri Zikra yang baru saja berkunjung ke aula.

"Yah?" Tasya berdiri melemparkan senyum manis.

"Aku ingin menugaskanmu untuk menjaga Keyna," ujar Zikra. "Bisa?"

"Baiklah!" Kemudian ia langsung berjalan cepat menuju ruangan tempat Keyna berada. Ia ingat saat pertama kali berjumpa dengannya, dia masih tak sadarkan diri. Hari kedua, dia baru sadar tapi judesnya minta ampun. Tasya tak peduli dia cuek begitu.

"Keyna!" Sambil melompat-lompat ia melambaikan tangan. Namun saat Tasya menghampirinya, Keyna terlonjak dan buru-buru menjauhi Tasya dengan raut wajah yang begitu ketakutan.

"Key?" Tasya menelengkan kepala dengan polos. "Kamu kenapa?" tanyanya yang panik dan khawatir melihat reaksi Keyna.

"Berhenti di sana!" Baru selangkah ia mendekat. "Jangan mendekat!" Keyna meringkuk semakin ketakutan.

"Kok...." Tasya mengernyit bingung, menggaruk kepala yang gatal akan peluh. "Keyna, ini aku Tasya."

"Aku tidak mengenalmu."

"Apa?" Tasya tak menyangka Keyna akan mengatakan itu. Padahal ia dan Keyna sudah saling kenal, tapi sekarang Keyna mengatakan ia tidak mengenal Tasya. Ini pelik.

"Keyna, kenapa tak ingat padaku? Aku Tasya. Kalau kamu tak ingat padaku, apa kau ingat seseorang bernama Zikra?" tanya Tasya memastikan ingatan Keyna.

"Aku tidak ingat pernah kenal denganmu. Dan aku juga tidak ingat pernah kenal dengan orang bernama Zikra yang kau sebutkan tadi. Aku baru pertama kali melihatmu setelah pingsan dan seseorang membawaku saat aku mencoba untuk bunuh diri," jelasnya.

Sudut bibir Tasya langsung berkedut tak karuan. Maknanya, ini satu kasus yang mesti ia pecahkan. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top