Chapter 14

Perlahan mata terbuka menampilkan iris secerah cokelat susu. Ia ingat, semalam tertidur di supermarket bersama Zee. Hanya saja kini seluruh tubuhnya sakit, pun sensasi basah di kening.

"Kau sudah bangun?" Tasya melirik ke arah suara itu. Sepasang sepatu boot cokelat datang menimbulkan suara gemerisik. Barulah terlihat Zee duduk bersila menaruh banyak makanan. "Hari ini, ini saja sarapannya. Aku coba cari kotak untuk menghidupkan listrik, sayangnya tak berfungsi."

Selagi mendengar cerita tak bermanfaat dari Zee, ia meraba-raba keningnya. Tertempel sesuatu yang kenyal dibaluti selembar kain mirio tisu basah.

"Padahal aku ingin sekali makan mi cup, tapi tak ada listrik untuk menghidupkan dispenser. Mau tak mau kita kenyang sama snack." Zee mengambil sebatang cokelat pipih berukuran besar. "Kakak suka cokelat ini, kan?"

"Ini apaan?" Tasya bangun mengabaikan pertanyaan Zee.

"Oh, itu plester kompres," jawab Zee membuka bungkus cokelat. "Semalam Kakak demam jadi aku tempel benda begituan di dahi Kakak," ujar Zee selesai mengupas sebagian kecil alumunium foil yang melapisi cokelat. "Kakak mau?"

"Sini minta." Sepotong cokelat ia habiskan dalam sekali lahap, sengaja membuat makanan manis itu meleleh di mulut. "Hmm, kacang medenya masih asin. Makasih sudah rawat aku, sebaiknya aku----" Niat Tasya yang hendak melaporkan situasi pada Aini berakhir sia-sia. Handsfree yang ia andalkan sebagai alat komunikasi telah hilang, mungkin lepas saat diserang pasien Vyeosick palig gila itu. Ia hanya bila menghela napas berat.

"Kenapa, Kak?" tanya Zee membuka bungkus keripik kentang favoritnya.

"Sepertinya alat komunikasi milikku hilang saat kita mencoba untuk menyelamatkan diri dari para Vyeosick," jawabnya membungkuk lesu. "Atau mungkin lepas saat kita berada di pom bensin. Aku tak tahu."

"Yah, lagipula untuk apa Kakak melapor? Percuma Kakak melapor. Kakak lihat para Vyeosick kemarin malam, kan?" Zee berkomentar dengan santai. "Mungkin sekarang di sana kacau, jadi mereka tak sempat menerima panggilan Kakak."

Tasya menggumam pelan. Apa yang dikatakan Zee mungkin ada benarnya. Percuma saja Tasya melapor bila keadaan kacau begini. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak melapor terlebih dahulu pada Aini untuk sekarang ini. Baik kenyangi perut dengan menghabiskan banyak makanan di supermarket. Tanggal kadaluarsanya sudah lewat 3 tahun lalu, tapi kesegaran snack masih terjaga. Rasa pun tak buruk meski lebih hambar.

Sementara itu, Zee teringat akan reaksi Tasya semalam. Dengan hati-hati, ia bertanya, "Kak Tasya, tentang semalam apa yang terjadi pada Kakak?"

Tasya terdiam sejenak. Ia kembali mengingat apa yang terjadi semalam sebelum tidur. Sebentar, pisau lipat, tangan berdarah. Pandangannya kini terarah pada Zee yang menunggu jawabannya. Tasya menghela napas dan memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Zee.

"Dalam agama ... kita tak boleh membunuh sesama, kan?"

****

Saat itu, malam hari di aula, seorang gadis dengan piyama model one piece tengah berdiri menghadap jendela yang ada di samping bangunan luas tersebut. Udara tak dipenuhi partikel hitam macam sekarang. Rambut panjangnya basah meneteskan air ke pakaian yang ia kenakan. Sudah lama ia berada di aula setelah diselamatkan oleh Aini. Setiap hari berada di dalam sebuah ruangan besar, membaca banyak buku tentang macam penyakit. Belum lagi ia berlatih beladiri dan menembak.

Ia jenuh berada di sini terus. Teringin sangat sesekali keluar bersama para relawan yang mengelilingi sekolah. Apalah daya hanya berupa angan-angan.

"Apa ada sesuatu yang terpikirkan olehmu, Tasya?" Suara lembut khas puan menarik perhatian si gadis. Ia menoleh menatap seorang wanita dengan piyama merah marun, datang merangkulnya seperti teman karib. "Kau ingin menanyakannya padaku?"

"Sebenarnya iya, Kak Aini," jawab Tasya menunduk mengulum bibir. "Aku ingin bertanya satu hal, tapi mungkin Kakak sedikit tercengang mendengarnya."

"Tak apa, tanyakan saja. Kakak akan jawab."

"Apa dampak yang akan terjadi jika membunuh orang sehat macam kita?"

Setelah mendengar pertanyaan Tasya, raut wajah Aini langsung berubah serius. Rahangnya mengeras, pun sorot mata menyipit dingin.

"Tasya," sang pemilik nama menoleh polos, "jangan pernah sekalipun berpikir untuk membunuh sesama manusia. Itu tidak akan berakibat baik pada mentalmu. Bahkan," Aini mendesah pelan, "aku khawatir kamu terguncang bila membunuh orang. Kau takkan bisa melupakan orang pertama yang kau bunuh."

"Benarkah?" tanya Tasya mengerjap cepat.

"Iya, Tasya sayang." Tangan Aini amat putih menangkup pipi Tasya. "Berjanjilah padaku untuk tidak membunuh siapapun, kecuali jika posisimu terdesak."

****

"Kak Aini benar." Setengah dari snack yang Zee bawa mulai berserakan tiada isi. "Aku tak dapat melupakan orang pertama yang aku bunuh. Butuh waktu lama supaya aku menerima kejadian itu. Sebab itulah, aku begitu."

Hati Zee terenyuh melihat air mata meleleh membasahi pipi. Pikirnya, dia tak bersalah. Sesuai yang Tasya ceritakan, Aini menyelipkan kata 'kecuali'. Artinya, dia memang membunuh sesama manusia karena keadaan terdesak, bukan seperti pasien Vyeosick yang mampu menikam sebelah mata Tasya.

"Sudahlah...." Zee mendekat dan meraih kedua tangan Tasya yang berselimutkan bumbu snack. "Kakak melakukan hal yang benar. Kemarin Kakak membunuh mereka karena melindungi aku dan diri Kakak sendiri. Kak Aini sendiri pun bilang begitu."

Gemas sekali wajah Zee kala berceramah hingga menerbitkan senyum manis di bibir pucatnya. "Terima kasih, aku sekarang merasa lebih baik. Tapi, aku penasaran. Bagaimana keadaan Keyna sekarang, ya?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top