Chapter 13
Tiba-tiba Keyna membeliak, memandang langit-langit dengan sisi dibalut tumbuhan liar. Dahi Keyna berkerut, merasakan sakit hebat di kepala ketika bangun memandang sekitar menggunakan sebelah mata. Satu kalimat keluar dari otak Keyna....
Mengapa ia ada di sini? Seharusnya masih menyempil di laci yang sempit bin pengap. Keyna langsung tersentak mendengar gebrakan pintu. Untung ada lemari yang mengganjal pintu tersebut, tapi ia tahu lemari itu akan rubuh jikalau diserang bertubi-tubi. Segera ia korbankan raga ini untuk menahan lemari yang hendak tumbang akibat respon dari luar.
Membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak demi menungu suasana tenang di luar, akhirnya tertunai juga. Dengan hati-hati, ia mendorong almari dengan sisa tenaga. Decitan kuat akibat gesekan kayi dan keramik inilah yang Keyna takuti, tapi ia bisa keluar membenarkan masker respirator.
Tiga pasien Vyeosick tak memedulikan kehadiran Keyna, tapi ia tak boleh gegabah. Ia juga yang kerepotan, lantas berjalan mundur menempel pada tembok sambil membidik orang-orang yang bergerak lamban tak tentu arah. Mereka tak melawan sampai ia berada di pintu ruang kesenian. Tangan kotor akan darah meraba-raba pintu, tak kunjung melampauinya. Gadis bermanik cokelat itu menengok, seketika tubuh menegang bagai tersengat listrik.
Banyak orang merintih dan berbaring pasrah. Cairan merah menggenang di mana-mana, nyaris menciptakan kolam darah. Tanpa sadar ia menggigit bibir bawah, melotot sayu sebagai apresiasi terhadap pemandangan tak mengenakkan ini. Sepasang sepatu boot memulai pijakan berciprat, lain mata yang melirik banyak orang di kedua sisi. Sedikitnya mereka kehilangan tangan dan kaki, tersisa relawan yang mengalami cedera serius. Dalam benak, ia tak terima mereka bernasib begini. Apa yang mereka perjuangkan sampai mengorbankan fisik? Mata ini tak kuasa melihat mereka lebih lama lagi.
"Datang juga kamu, Keyna." Seseorang memanggil namanya. Seorang wanita dengan tanktop hitam dan celana pendek datang menghampirinya. Noda darah terlukis di beberapa bagian tubuh ramping dia. "Dari mana saja kamu? Aku dengar kemarin kamu dalam bahaya. Kukira kamu sudah gugur di luar sana...."
Tak henti-henti dia bercakap. Toh, Keyna hanya membisu memandangnya dengan polos. Namun, dia berkata ... ia dalam bahaya? Di luar sana? Gugur? Apa maksud dia?
"Tapi setidaknya aku bersyukur kamu masih hidup." Tangan wanita itu panjang, mampu meraih tubuh Keyna ke dalam dekapannya. "Zikra pasti akan terpuruk kalau kamu gugur."
Keyna masih tak buka suara, membiarkan tubuh bau masam ini dia peluk selama mungkin. Namun, ia butuh pemandangan meneduhkan, bukan yang seperti di sekitar. Gadis berkemeja kotor itu berusaha lepas dari pelukan wanita berbadan bohai, membuatnya mundur menyenggol seseorang di belakang hingga jatuh terjerembap. Keyna buru-buru minta maaf berulang kali, meninggalkan tautan di alis rapi dia.
"Tempat mengerikan apa ini?" tanya Keyna dengan mata berkaca-kaca. "Apa yang terjadi?"
"Suara sirine kemarin membuat Vyeosick menggeliat dengan ganas." Otak Keyna kembali dikocok. Apa itu Vyeosick? "Mereka nyaris membobol area aman kita. Banyak relawan yang berusaha menutup pintu, tapi akhirnya seperti yang kamu lihat. Hampir semuanya terluka, bahkan ada yang meninggal dunia."
"Meninggal ... dunia?" Bibir pucat Keyna bergetar samar.
"Iya," jawab wanita itu berjongkok menatap sendu. "Tapi bisa dihitung jari, jadi kau jangan terlalu memikirkan soal itu."
Entah kenapa Keyna tak dapat mengikuti perkataan dia, seolah terkurung dalam ruangan berdinding kaca. Tercermin banyak ekspresi, satu mimik satu permukaan kaca. Mereka menghadap sosok yang berdiri menutup kedua telinga rapat-rapat.
Satu per satu, cermin yang melukiskan wajah Keyna membuyar menjadi sebuah adegan, di mana genangan darah diberi garis hitam pada sembarang tempat. Namun, salah satu garis hitam hanya menutupi mata, ia yakin itu sebuah kepala orang. Gambar berganti dengan video seorang lelaki berseragam pramuka berdiri di atas kelas 9.
"Urusi saja orang yang tergila-gila padamu, Keyna."
Begitu dia terjun, pecahlah ruangan yang mengurungi Keyna. Ia menjerit memegang masker respirator, duduk tegak dan menggeleng cepat. Samar-samar terdengar wanita itu bertanya dengan panik. Mulut enggan menjawab, hanya merintih kuat demi menghilangkan nyeri di kepala.
Nyerinya pindah ke dada. Organ vital berdegup bagai digigit semut. Napas amat berat seperti ditimbun batu. Keyna tak larat menahan sakit di dalam tubuh. Ia tumbang dengan pecahan kaca sebagai salam perpisahan.
****
Pintu terbuka lembut, menghadirkan sosok pemuda dengan cipratan darah kering di sekujur tubuh. Wajahnya nampak datar selagi menutup pintu. Ia kembali ke ruangan dengan satu kursi di tengah-tengah, meja kecil di sisi, brankar dengan permukaan jebol, dan sepiring makanan yang bertumpuk jamur liar.
Ia duduk di tepi brankar, mengelus permukaan yang tak layak untuk ditiduri. Tirai tertutup, tapi jendela terbuka meniupkan bagian belakang dirinya. Ia jauh lebih tertarik pada boneka yang bersandar ke dinding. Seluruh tubuh ditimpa debu.
"Aku ingin memelukmu," katanya bernada lirih. "Tapi apakah bisa?"
Sebuah senyum lembut terbit di bibir pucat nan tipisnya. Ia mendengkus kecil. "Mungkin tidak. Aku masih belum berani memelukmu. Terakhir kali kita saling bersama saat SMP."
Pintu terbuka kembali, menampakkan sosok dengan setelan kaos hitam menyelaraskan warna sepatu boot. Netranya terlukis seseorang tengah berdiri dengan bersedekap di belakang.
"Apa aku mengganggumu?" Lelaki itu tak menyadari bahwa pengunjung tersebut menggenggam sebuah ponsel yang menampilkan rekaman suara. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top