3 - Dugaan
Tiana tidak pernah tahu, pun tidak pernah menduga kalau dunia kerja jauh melebihi ekspektasinya. Ia pikir cukup sekadar mengerahkan kinerja terbaik agar perusahaan berkenan mempertahankan dirinya tetap bekerja di sana. Kenyataannya, menuruti perintah atasan pun tidak menjamin. Hubungan dengan rekan kerja juga berperan penting. Maksudnya, jika ada yang tidak menyukainya, akan sulit menjalin kerja sama dengan orang itu.
Ini adalah pengalaman pertama Tiana bekerja dan sudah menerima tatapan tidak suka dari rekan satu divisinya. Meski tidak semuanya, tetapi dengan persentase jumlah pegawai perempuan lebih banyak daripada laki-laki, hasilnya berefek buruk bagi Tiana. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti sedang berada di antara para pemburu yang sedang mengintai.
Berlebihan, tetapi Tiana benar-benar belum terbiasa dengan situasi seperti itu.
"Jadi, kamu ngapain aja sama manajer tampan kita di sana?"
Bola mata Tiana berotasi. Ia baru kembali ke kubikal dan sudah menerima pertanyaan yang konotatif semacam itu. Lihat saja betapa Lilian sangat antusias menantikan jawabannya. Wanita itu sudah sangat mendukung keduanya sejak mendengar cerita hari pertama Tiana. Sekarang hanya penyesalan yang dirasakan Tiana karena sudah bercerita pada orang yang salah.
"Tiana, jawab!" Lilian mengguncang lengan Tiana karena diabaikan.
"Kamu nggak ngerti situasi, ya?" tanya Tiana dengan suara pelan, nyaris berbisik. Tatapan matanya tidak beralih dari layar monitor.
"Apa, sih?" Dahi Lilian penuh kerutan, bukti bahwa ia tidak paham apa yang dimaksud Tiana.
"Hush, pelankan suaramu," tegur Tiana dan mendesah pasrah. Mengabaikan Lilian dengan rasa ingin tahu yang tinggi sama seperti memancing ikan di kolam renang, takada hasilnya. "Cuma merevisi laporan."
Lilian mencebik, terang-terangan menunjukkan kekecewaannya. "Cuma itu?"
Tiana kembali teringat ucapan terakhir Adrian sebelum pergi meninggalkannya sendirian. Sesuatu yang biasa, tetapi membekas di ingatannya. Apa dengan dikecualikan bisa berarti sesuatu?
"Iya. Cuma itu," sahut Tiana pada akhirnya. Daripada dicecar lebih banyak hal tentang Adrian, lebih baik ia menutupinya.
Lilian menggeser kursi kembali ke mejanya pelan-pelan. Meski Tiana sudah berkata bahwa tidak ada yang terjadi, tetapi Lilian tidak memercayainya begitu saja. Menurutnya, jika hanya mengoreksi laporan, Adrian bisa saja mengirim failnya ke email Tiana sekaligus memberi instruksi untuk direvisi, tidak perlu sampai harus ke ruangannya. Kecurigaan Lilian bukan tanpa alasan, apalagi mengingat bagaimana pria itu berdiri di sebelah Tiana cukup lama tanpa melakukan apa-apa.
Tiana tidak lagi peduli pada Lilian yang belum berhenti menyelisik, ia hanya ingin mengerjakan tugas pokoknya dan menyelesaikannya sebelum tiba waktunya pulang, meski ia tahu itu mustahil.
Pekerjaan hari ini selesai lima belas menit sebelum waktu pulang. Namun, Tiana masih harus memeriksa kembali pekerjaannya; memastikan data pemasangan perangkat internet baru yang dibutuhkan oleh tim manajemen sudah lengkap. Jika ada yang tidak lengkap, Tiana akan meminta teknisi di lapangan untuk mengirim ulang fotonya, atau mengeditnya jika tidak ada. Sebenarnya itu agak merepotkan karena pengecekan dilakukan berulang-ulang. Belum lagi laporan hasil pekerjaannya harus dibuat untuk diperiksa Adrian.
Tiana meregangkan tangannya yang terasa penat karena terlalu lama menekan tombol kibor dan mouse. Ia beristirahat sebentar sambil memandang ketiga temannya yang mulai membereskan meja mereka. Selain datang tepat waktu, mereka juga harus pulang tepat waktu. Itu baru definisi keadilan hak dan kewajiban karyawan yang sebenarnya.
"Aku baru nerima pemberitahuan SMS banking. Gaji kita yang nggak full sudah ditransfer, guys!" Lilian hampir memekik saking girangnya. Gaji yang tidak full, benar, bukan karena perusahaan memotong hak mereka, tetapi karena status mereka masih dalam masa percobaan. Pemotongannya pun tidak seberapa.
Tiana dan dua pria lainnya lantas melihat sekeliling. Meski belum mengenal lama, tetapi mereka sadar kalau Lilian selalu punya potensi menarik perhatian orang-orang dengan tingkahnya. Sekarang saja ia mengekspresikan perasaannya dengan mengangkat ponsel tinggi-tinggi. Beruntungnya, tidak banyak karyawan lain yang tersisa di sana, dan mereka tidak perlu menanggung malu karena memiliki teman seperti Lilian.
"Sekalian makan-makan, dong," celetuk Ryan dari kubikalnya. Kepalanya yang ditumbuhi rambut ikal klimis menyembul dari balik pembatas kubikal.
"Dikit-dikit makan, kayak nggak ada kerjaan lain." Tio merespons agak ketus. Setelah beberapa kali dibuat menunggu pria gempal itu selesai makan saat mereka makan siang bersama, ia jadi agak sensitif jika Ryan menyebut kata 'makan'.
"Pastinya. Itu kebutuhan kita sebagai manusia." Ryan tersenyum miring, seolah-olah baru saja menjawab pertanyaan tersulit dengan benar.
"Serius, porsi makanmu itu berlebihan," sahut Tio masih dengan nada yang sama; kesal. Andai ia punya jarum untuk mengempeskan tubuh manusia, ia akan membelinya untuk menusuk lambung Ryan yang punya kapasitas besar. Tubuhnya juga terlalu banyak makan tempat.
"Kita langsung berangkat atau gimana?" tanya Tiana setelah laporannya selesai dan sudah dikirimkan ke email Adrian. Tangannya sudah tidak lagi berada pada kibor. Matanya tertuju pada penunjuk waktu di pojok kanan atas layar monitor. Waktu pulang mereka sudah berlalu lima belas menit yang lalu.
"Nggak mau pulang terus mandi dulu?" Lilian balas bertanya. Seperti yang sudah diduga dari seorang Lilian, penampilan sangat penting untuknya. Tangannya saja sudah sibuk merogoh tas, mencari-cari dompet riasan di sana.
"Film dimulai jam tujuh lewat lima belas. Pulang ke rumah bakal makan waktu. Mending langsung berangkat, tapi mampir dulu ke rumah makan."
"Sebenarnya aku kesal Ryan selalu mikirin makanan. Tapi yang dia bilang barusan itu ide bagus," ujar Tio. Ia berdiri dari kursi sambil menyampirkan tas selempang hitamnya ke bahu.
"Oke, deal. Aku lapar juga." Tiana mengangguk menyetujui.
Sebagai satu-satunya yang memiliki opsi berbeda, Lilian menghela napas. "Kalau semuanya setuju, mau gimana lagi?" Ia berdiri dengan dompet riasan di tangannya. "Tunggu aku ke toilet dulu. Mau touch up."
"Dasar wanita," ejek Ryan ketika Lilian sudah melesat menuju toilet. Pandangannya tak beralih dari Lilian sampai wanita itu menghilang di balik pintu toilet.
"Kamu lupa aku masih ada di sini, Ryan?" Dalam artian, kamu lupa aku juga wanita?
Ryan tertawa geli setelah itu. Ia tahu Tiana ada di sana dan memang sengaja berkata demikian. "Kamu yang terbaik," sahutnya sambil membuat gestur pistol yang ditujukan pada Tiana.
***
Mereka berempat tiba di salah satu pusat perbelanjaan besar di kota setelah menempuh setengah jam perjalanan. Jam-jam di mana hampir semua perusahaan menyepakati sebagai waktu pulang membuat jalanan jadi sangat macet, padahal kantor mereka dengan pusat perbelanjaan tidak terlalu jauh. Tempat itu jadi tujuan mereka agar tidak melakukan perjalanan dua kali–di satu tempat sudah ada bioskop dan terdapat banyak pilihan rumah makan. Lagi pula, mood Lilian akan membaik jika melewati tenant-tenant penjual pakaian wanita.
Seperti biasa, pusat perbelanjaan selalu ramai akan pengunjung. Bahkan membludak di akhir pekan. Itu sebabnya mereka memilih menonton di hari Selasa, tidak peduli jika besoknya mereka harus bekerja. Menonton tidak perlu menunggu akhir pekan, mengunjungi tempat yang terlalu ramai akan sangat merepotkan–itu yang dikatakan Ryan. Tio membenarkan itu sebab yakin tubuh besar milik Ryan akan sangat kesulitan melewati kerumunan manusia.
"Kita makan di mana?" Tiana bertanya dan diangguki oleh Lilian. "Kita sudah keliling di lantai ini tiga kali kalau aku nggak salah hitung." Tiana mengerutkan dahi lagi saat melewati tenant yang ia yakin tadi sudah dilewatinya.
"Aku nggak sadar kita sudah berkeliling selama itu," sahut Tio.
"Kita naik ke lantai empat aja, Guys. Ada resto masakan Jepang di sana. Katanya enak. Kita bisa pesan all you can eat, mumpung baru gajian." Ryan memberi usulan. Demi membuat teman-temannya tergiur, ia menjilat bibir bawahnya sendiri.
Alih-alih tergiur, Lilian justru berdecih keras. "Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?"
Tangan Lilian sudah terkepal, tinggal dilayangkan ke wajah Ryan saja dan akan meninggalkan lebam di pipi bulat pria gempal itu. Lilian tidak main-main jika sedang marah, bahkan sampai mengabaikan tatapan pengunjung lain. Mungkin yang ada di pikiran mereka adalah cantik-cantik kok galak.
"Kabur, Yo!" Ryan berteriak sambil berlari dengan susah payah. Meski begitu, ia tidak mampu bergerak cepat-cepat karena beban tubuhnya yang terlalu berat. Bahkan tangan panjang Tio saja masih bisa meraih bagian belakang kerah kemejanya.
"Jangan kabur. Kamu pimpin jalan. Kami nggak tahu rumah makan Jepang yang kamu maksud itu yang mana," tegur Tio. Meski kurus, tenaganya tidak bisa diremehkan juga. Buktinya, ia mampu menahan pria itu agar tidak kabur hanya dengan menarik belakang kerahnya
"Kalian kayak nggak pernah ke mal aja," cibir Ryan.
Sebelum dua orang di sana tersulut emosi karena respons Ryan yang agak menyebalkan, Tiana buru-buru menyela, "Ada beberapa rumah makan Jepang di sini, rumah makan mana yang kamu maksud?"
"Kamu jalan di depan." Tio menyeret Ryan agar berjalan di depan mereka.
Mereka naik satu lantai. Setelah belok kanan sedikit, mereka tiba di rumah makan Jepang yang dimaksud Ryan. Terdapat poster berisikan informasi diskon sekaligus penanda bahwa resto tersebut baru dibuka.
Tiana berhenti di dekat meja kasir, menggeser tubuhnya sedikit agar tidak menghalangi jalan. Kepulan asap mengudara di tiap-tiap meja pemanggang daging. Meski membuat pedih di mata, tetapi aroma dari daging yang dipanggang sangat sedap di penciuman. Sampai membuat perut lapar Tiana berontak minta segera diisi.
Seperti yang diusulkan Ryan tadi, mereka memesan menu all you can eat. Sebagai pelopor, Ryan lebih dulu membayar pesanan untuk mereka berempat dengan uangnya. Setelah itu baru mereka akan membagi empat total semuanya.
"Silakan ke meja di ujung sana, ya," ujar si penjaga konter sembari menunjuk sebuah meja di ujung ruangan, satu-satunya meja yang kosong. Benar-benar posisi yang cocok untuk membuat keributan. Karena dengan begitu mereka tidak perlu khawatir memikirkan orang-orang akan terganggu.
"Posisi paling strategis," ujar Ryan. Senyumnya mengembang saat menjatuhkan diri di salah satu kursi.
Tio menepuk tangan Ryan yang sudah menyentuh pemantik untuk membakar arang di panggangan. "Dagingnya belum datang. Jangan dinyalakan dulu. Nanti gasnya habis," tegurnya. Ia benar-benar kewalahan menghadapi Ryan dan semangatnya untuk makan.
Setelah bermenit-menit berlalu dan takada tanda-tanda pesanan mereka tiba, Ryan berdecak. Jari-jarinya juga lelah mengetuk meja. Sesekali ia akan menggerutu karena si pelayan tak kunjung mengantarkan daging dan seperangkat menu yang mereka pesan. Matanya tak luput menatap tiap-tiap pelayan yang keluar dari bilik dapur sampai bosan.
"Lama, ya," keluh Ryan sambil meletakkan ponselnya ke atas meja setelah memainkan dua ronde permainan. Untung ini masih sore. Sekitar satu jam tiga puluh menit lagi sebelum film yang akan mereka tonton dimulai.
"Sabar. Kamu lihat, kan, pengunjungnya sebanyak ini?" sahut Tio agak kesal.
"Aku jadi mau keluar melihat tenant aksesoris di seberang," ujar Lilian seraya mengeluarkan dompet dari tasnya. "Tiana ikut?"
"Aku di sini aja, mau ke kamar kecil."
Setelah Lilian pergi, Tiana segera beranjak pergi menuju toilet di dalam resto tersebut. Bilik-bilik toilet terisi penuh. Namun, Tiana bukan ingin ke sana, ia hanya ingin melihat penampilannya melalui cermin. Baju yang ia kenakan terasa tidak nyaman, bagian bawah kemeja yang dimasukkan ke celana kulot tebalnya sudah nyaris keluar. Ia meringis begitu sadar penampilannya benar-benar kacau.
Tiana merapikan pakaiannya dengan cepat. Bagian kemeja yang berada di atas karet pinggang celananya diusap-usap sampai tidak tampak terlalu kumal. Ia memutar badan, ingin kembali ke meja mereka. Namun, keributan yang berasal dari ujung lorong depan pintu toilet berhasil menarik perhatiannya. Tiana bukan ingin menguping, tetapi suara seseorang di sana terdengar familier, ia penasaran dan ingin memastikan dugaannya benar.
Suaranya terdengar makin jelas; pria dan wanita yang sedang berdebat. Awalnya Tiana tidak ingin percaya kalau seseorang yang dikenalnya akan membentak seorang wanita, tetapi saat mendengar si wanita juga balas berteriak, mungkin keduanya sedang dalam masalah yang sangat serius. Tiana mulai bingung, haruskah ia pergi, atau tetap di sana untuk berjaga-jaga kalau-kalau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi?
Orang-orang yang akan memasuki toilet mungkin bertanya-tanya apa yang ia lakukan di sana. Jadi, Tiana putuskan untuk pergi saja.
Namun, baru satu langkah, seorang wanita berambut hitam panjang bergelombang dengan highlight warna merah di beberapa bagian baru saja lewat, mengurungkan Tiana untuk terus melangkah pergi. Entakan haknya yang keras menjadi bukti kalau wanita itu sedang sangat kesal. Tiana tidak bisa melihat wajahnya, tetapi dari belakang saja sudah memiliki aura yang elegan dan bisa dipastikan sangat cantik.
"Bisakah menyingkir, Tiana?"
Tiana kaget. Ia berbalik dan menemukan bahwa dugaan benar, si pemilik suara adalah Adrian dan sekarang pria itu tampak sangat marah. Lihat saja apa yang akan terjadi besok jika pria itu menduga dirinya sedang menguping.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top