28

Esoknya, gantian Shinichiro yang mengagetkan (y/n) dengan cara yang mirip saat (y/n) pernah lakukan kepadanya. "(y/n)!!" laki-laki itu memeluk perut (y/n) dari belakang.

Kalau (y/n) memeluk lehernya, Shinichiro memeluk perutnya.

"Aaaaa!" (y/n) memukuli Shinichiro. "Apa-apaan sih? Kaget banget tau. Ini lagi. Lepasin. Geli tau." gadisnya terus mendumel tanpa henti.

"Aku pikir kamu ga akan kaget. Padahal aku kagetinnya pelan lho."

"Aku ga akan kaget kalau kamu tidak memeluk perutku tahu."

"Ohh kamu geli?"

"Ih tapi jangan di kelitik ya." segap (y/n) terburu-buru. Ia takut kelepasan kalau Shinichiro sampai mengelitiknya.

Laki-laki itu meletakkan kepalanya di bahu (y/n). Mengintip apa yang gadisnya tengah kerjakan. "Kamu nulis apaan itu?"

"Oh ini. Lagi iseng ngerjain evaluasi aja. Bosen sih soalnya." Shinichiro mangut-mangut paham. Ia takjub dengan kegabutan gadisnya.

Mulutnya ia dekatkan dengan telinga (y/n) yang tidak tertutup rambut. "Jalan-jalan yuk. Bosen 'kan?" tubuh (y/n) merinding mendengar suara dalam Shinichiro yang berbisik di telinganya.

(y/n) mau melepaskan pelukan Shinichiro yang masih berada di perutnya. Namun bukannya terlepas, pelukannya malah makin erat. "Kenapa? Kamu ga mau ikut?" bisik Shinichiro di telinga satunya.

"M-mau. Tapi kamu minggir dulu dong. Aku jadi ga bisa ganti celana." Shinichiro terkekeh. "Aku gantiin celananya ya?"

h-hah?!

"S-shin ih. Ya kali kamu mau—ah sudahlah, sana ih."

"Kaya pas kamu lagi demam."

Sontak (y/n) menatap Shinichiro terkejut. "H-hah? Gimana?"

"Dah, sana gih ganti celana dulu. Aku tunggu diluar ya." Shinichiro melepaskan pelukannya. Ia berjalan keluar kamar (y/n).

"Eh tunggu dulu—"

"Cepetan ganti celananya. Nanti aku tinggal. Aku juga mau ketemuan sama yang lain nih." ucapnya dari balik kamar.

"Shin—"

"Aku tinggal ya." (y/n) panik saat mendengar suara Shinichiro yang mulai menjauh. Tanpa memikirkan pertanyaan sebelumnya, iapun dengan cepat mengganti celananya.

"EH TUNGGUIN!!"

——— .

Kalau dulu gadis itu agak canggung saat berpegangan dengan jaket Shinichiro, kini ia sudah tidak malu lagi. Bahkan ia dengan santainya memeluk Shinichiro sangat erat.

Selain untuk modus, ia juga mencari kehangatan diantara angin jalanan yang menusuk kulitnya. "Udah makan belum?"

Gadis itu menjawabnya dengan gelengan. Karena kalau suara, takut terbanting dengan suara motor. Jadi ia sengaja menggeleng di punggung Shinichiro.

Mereka berhenti di sebuah rumah makan yang letaknya agak terpencil. Hiasannya terlihat biasa saja. Akan tetapi keramik-keramik kunonya mengingatkan pada rumah sendiri.

"Kamu sudah pernah kesini sebelumnya?"

"Sudah dong."

"Ada ramen tidak?"

"Ada. Kamu mau itu saja?"

"Iya."

Shinichiro mengajak (y/n) masuk ke dalam. Sementara Shinichiro memesan makanan, (y/n) disuruh Shinichiro mencari tempat duduk.

Ia merenungkan nasib Shinichiro jika dirinya tiada nanti. apa segini aku termasuk orang jahat? Meninggalkan Shinichiro setelah memberinya pengharapan untukku.

mau bagaimana lagi? Tua bangka itu cepat atau lambat pasti akan mencariku. Lalu... Hahh ini terlalu menyedihkan.

(y/n) menopang sebelah lengannya sembari memperhatikan Shinichiro yang sudah selesai memesan makanan. "Aku lama ga? Kalau lama maaf ya."

(y/n) tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak kok. Sama sekali tidak. Cepat sekali malahan."

Shinichiro menggenggam tangan (y/n) yang menganggur di meja. Menautkan kembali dua telapak yang terasa dingin. "Eh kamu dingin banget."

"Kamu juga dingin tuh." ia tertawa kecil.

Shinichiro memainkan lembut jemari gadisnya. Ia ikut tertawa. "Kita bisa jadi saling menghangatkan dong?" (y/n) berdeham. Matanya tak lepas dari cara jari-jari panjang Shinichiro yang membungkus jemarinya.

"Jariku pendek banget ya. Kecil lagi. Beda jauh sama jari-jarimu, tinggi." Shinichiro menghubungkan kedua tangan mereka. Sehingga tercipta perbandingan pada masing-masing telapak tangan.

"Kamu lucu, jariku ketinggian ini. Ga apa-apa. Jariku panjang karena bertugas untuk melindungi jarimu yang kecil. Kamu jangan suka menilai yang tidak-tidak dong." Laki-laki itu kembali menautkannya.

Mereka saling berbagi kehangatan dalam hawa dingin yang menyelimuti. Hari ini cuacanya tidak secerah biasa. Banyak gumpalan awan yang menutupi matahari.

"Aku suka kamu karena itu kamu. Jadi kamu tidak perlu merubah dirimu menjadi orang lain." kedua pipi (y/n) bersemu merah. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Imut banget sih gadisku sampai malu begini."

"Shin jangan membuatku semakin malu ya."

Laki-laki itu tertawa senang. Ia menarik pelan sebelah pipi gadisnya. ya ampun, kenapa dia bisa dengan mudahnya membuatku berdebar?

——— .

"(y/n)," gadis itu menoleh. "Sebagai gantinya, aku juga akan memberikan tempat ini untukmu."

"Untukku? Tapi ini sangat indah, Shin." sungai terbentang dari ujung sampai ke ujung. Alirannya begitu tenang.

Bayangan mereka berdua tercipta di air jernih itu. "Kamu juga telah memberikan tempat seindah ini kepadaku. Sekarang kita impas ya."

"Jadi aku harus menjaga tempat ini untukmu?" Shinichiro mengangguk semangat. "Tentu saja!" ia kembali melanjutkan. "Karena aku akan menjaga tempatmu, kamu juga harus menjaga tempatku."

"Janji ya?"

"Iya. Janji."

Shinichiro mengambil tangan (y/n) dan menautkan kelingking mereka. "Ya ampun, tidak perlu sampai seperti ini juga Shin. Kalau aku sudah berjanji, ya akan kutepati lah."

"Tidak apa-apa. Ini agar kamu semakin mengingat janji kita saja."

(y/n) menatap Shinichiro lekat. Ia tahu umurnya tidak akan lama lagi. "Shin, aku mau peluk. Boleh ya?" tanyanya malu.

"Boleh kok. Kamu tidak perlu bertanya. Aku akan dengan senang hati menerima pelukanmu." Sebelum (y/n) melingkarkan lengannya pada Shinichiro, laki-laki itu sudah terlebih dahulu memeluk gadisnya.

Ia menyembunyikan kepalanya di ceruk leher (y/n). Menghirup wangi vanila yang tidak terlalu mencolok. "Aku kangen kamu Shin."

"Lho? Hahaha kamu ini." laki-kaki itu menggesekkan pipinya pada rambut (y/n). "Ahahaha, kamu ngapain Shin? Rambut aku bisa berantakan ini."

"Kamu lucu banget sih. Aku gemes." Shinichiro mengecup beberapa kali rambut gadisnya.

Ia mengeratkan pelukannya sampai tidak ada jarak yang dapat memisahkan mereka. "Kalau kamu ada masalah, cerita ya. Aku siap kapanpun kamu ingin bercerita."

"Hm? Kok tiba-tiba?" (y/n) mengusap lembut punggung Shinichiro. Punggung kokoh yang selalu menanggung begitu banyak beban. Namun jarang diberi perhatian sekecil ini.

"Engga. Aku cuma mau ngomong aja."

"Aku 'kan waktu itu sudah menceritakannya kepadamu. Jadi sekarang aku sedang tidak punya masalah apapun."

terima kasih atas segalanya, Shinichiro.






864 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top