07
Sebelum (y/n) pulang, ia berkenalan terlebih dahulu dengan kakek Shinichiro. Secara, tidak baik pergi tanpa pamitan sama pemilik rumah.
Kemudian, iapun di antar pulang oleh Shinichiro dengan motornya. Namun, laki-laki itu malah memberikan jaketnya kepada si gadis berambut hitam.
Saat (y/n) sudah naik ke atas motor, Shinichiro berjalan ke belakang (y/n). Tangannya menyampirkan jaket putihnya.
"Untuk apa ini, Shin?" (y/n) menoleh bingung. bukankah seharusnya yang memakai jaket ini yang berada di paling depan ya? Nanti kalau ia jadi masuk angin 'kan, gawat.
Sang laki-laki tersenyum lebar. "Tentu saja untukmu." (y/n) tersenyum kecut. kalau itu, aku juga tahu kali jawabannya.
"Maksudku, untuk apa kamu memberikanku ini? Kalau kamu tidak pakai jaket, yang ada kamu malah masuk angin." Gadis itu melepaskan jaket di bahunya.
Ia memberikan jaket itu ke pemiliknya. "Kamu tenang saja. Aku sudah biasa berkendara malam-malam tanpa jaket kok."
Karena Shinichiro tidak mengambilnya, (y/n) berinisiatif mengambil tangan Shinichiro untuk ia berikan secara paksa. "Ini. Jangan sok kuat begitu."
Laki-laki itu merasa tidak enak dengan gadis di hadapannya. Masa iya perempuan yang berkorban? Dimana letak harga dirinya.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Pakai saja, Shin. Daripada kamu nanti sakit dan merepotkan adik-adikmu. Mending kamu pakai saja." Shinichiro menatap (y/n) sungkan.
"Pakai saja, Sano Shinichiro. Aku 'kan yang di bonceng. Anginnya pasti akan mengenaimu duluan. Makanya, pakai saja." Ucap (y/n) final.
Gadis itu bersidekap "Cepatlah, aku juga mau tidur, Shin. Ngantuk."
Shinichiro menghela nafasnya. Sayang sekali, ia tidak punya dua jaket. memalukan. Masa perempuannya yang berkorban demi laki-lakinya?
"Oke, ayo." Begitulah akhir dari perdebatan mereka. Hanya karena sebuah jaket saja, mereka jadi sempat menunda berkendaranya.
——— .
Sesampainya di dalam rumah, (y/n) berusaha berjalan mengendap-endap. Tanpa lampu, tanpa suara sedikitpun.
Naasnya, kaki telanjangnya malah menginjak serpihan kaca. Tidak hanya satu dua saja, tapi banyak serpihan kaca kecil yang menusuk telapak kakinya hingga berdarah.
"Aw!" Pekiknya sepelan mungkin. Matanya sudah berkaca-kaca akibat rasa sakit yang di timbulkan oleh serpihan kaca tadi. sakit! Aw, sakit!
Tahan, aku tidak boleh membuat suara apapun disini.
Dengan cepat, ia berjalan ke arah kamarnya. Di dalam kamar, ia langsung menyalakan lampu. Sebuah pemandangan yang biasa melihat kakinya berdarah.
Tapi ia tetap saja bergetar takut ketika sempat bersitatap dengan cairan merah itu. seram.
Hahh... Terpaksa aku harus ke dokter lagi besok.
Padahal besok hari liburku. Yasudahlah, lebih baik aku lekas tidur saja kalau sudah seperti ini.
Gadis itu mengganti bajunya terlebih dahulu baru ia tidur. Penuh perjuangan untuk mencapai lemarinya yang letaknya agak jauh dari kasurnya.
Hari berikutnya, untungnya hari sabtu. (y/n) tidak bisa mandi untuk saat ini. Jadi, dia hanya mengganti bajunya saja. Baju kemeja ditambah balutan cardigan hijau tua dan rok pink salem yang panjang sampai ke mata kakinya. Ia sengaja tidak memakai sepatu atau sendal.
Gadis itu keluar pagi-pagi buta. Dengan kursi roda peninggalan neneknya tentunya.
Ia jalankan kursi roda itu menuju ke rumah sakit langganannya. Mendaftar sebentar, lalu menunggu di taman rumah sakit sembari menenangkan pikirannya yang kalut karena insiden semalam.
Tak lama, seorang suster menghampirinya. "Permisi, dengan nona (l/n)?"
——— .
Nasihat—atau yang biasa gadis sebut itu ocehan tidak penting, dokter langganannya selalu saja memberikannya hal itu setiap ia datang kesini.
"Ha'i, ha'i. Saya dari dulu sudah paham dok. Terima kasih ya. Dah~" Dokter itu belum selesai berbicara. Akan tetapi (y/n) sudah lebih dulu keluar dari ruangannya setelah ia mendapat pengobatan.
Kakinya di perban. Ia juga membeli perban tambahan untuk ia ganti ketika luka kakinya terbuka lagi.
aku ke danau dulu ah.
Udah lama ga ngegambar lagi, sejak...
Sejak kapan ya? Oh, sejak aku kelas 2 smp?
Iyap, waktu berlalu dengan sangat cepat~
Beruntung gadis itu sempat membawa tas sekolahnya yang berisi alat-alat untuk menggambar dan bekalnya nanti disana.
Tidak ada yang spesial mengenai bekalnya. Hanya sebuah roti rasa coklat kesukaannya saja.
Dari pagi hari hingga petang berganti, gadis itu dengan tenangnya duduk di kursi roda sambil menggambar pemandangan di depannya.
Meskipun ia tidak terlalu pandai menggambar, ia tetap melakukan hal itu dengan maksimal.
Orang-orang yang berlalu lalang suka menggunjing dirinya. Biasalah, orang dengan berkebutuhan khusus, apalagi memakai kursi roda, suka mereka hina.
Sombong banget ya.
Di sekitar danau disana, terdapat beberapa anak kecil yang tengah bermain bersama teman-temannya.
Memgingatkannya kembali ke masa kecilnya yang indah. Gerakan tangannya berhenti. Matanya masih terpaku kepada anak-anak yang sedang berlarian itu.
Pikirannya kosong. Gadis itu mematung untuk beberapa saat.
Tiba-tiba saja, ada sebuah debuman besar yang membuatnya terlempar dari kursi rodanya. ayam!
Bahkan orang-orang disekitarnya juga ikut terkena imbasnya. "Apa itu?!"
"Ada truk disana!"
"Benar. Oh, sepertinya bannya pecah!"
Rambutnya menjuntai ke bawah. Sedikit kotor terkena serbuk tanah. "Aduh..." keluhnya menahan rasa malu.
Malu di liatin banyak orang.
Belum sempat ia berdiri, gadis itu melihat uluran tangan seseorang kepadanya. "Ada yang sakitkah? Kalau ada, lebih baik kita ke klinik disana saja."
731 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top