Spesial Part : Reist (2)
🌹🌹🌹
.
.
.
Aku ketiduran di lorong. Seseorang membangunkanku dengan tepukan di bahu. Orang itu adalah Kakak.
"Papa dan Mama baru saja pulang. Sekarang giliranku menjaga Adia. Masuklah!"
Tanpa pikir panjang aku bangun menuju kamar. Menemui Adia.
Akhirnya kulihat wajah Adia dari dekat. Pucat pasi bercampur saru. Tidak ada rona merah di pipi seperti Adia yang biasa kutemui.
Aku duduk di kursi samping kasur. Mencari tangan Adia untuk kugenggam. Aku berhenti. Pergelangan tangan Adia berbungkus perban. Tempat ia menyayat nadi.
Dadaku mencelos. Tertunduk menyesal atas yang Adia alami.
Aku bergeming. Selama berjam-jam hanya menatapi wajah Adia. Menggenggam tangannya yang dingin. Berharap panasku tersalurkan padanya. Atau ia sadar aku sudah datang untuknya.
Adia pasti menderita. Meskipun kamar gelap, tapi masih bisa kulihat pipi kurus Adia. Ia tidak sekurus itu dari terakhir aku melihatnya.
Kapan itu? Sepuluh bulan yang lalu? Rupanya aku sudah meninggalkannya selama itu.
Sayup-sayup kudengar Adia berbisik. Aku terperanjat. Kukira ia bangun, tapi matanya masih terpejam.
Suara Adia tipis sekali sampai harus kudekatkan telingaku ke mulut Adia.
"Bha-nu-ar!"
Kutatap wajah Adia. Tidak ada ekspresi. Adia mengigau. Alih-alih aku sebagai suaminya, Adia malah meracau nama pria lain.
Siapa? Bhanuar?
Kakak duduk di belakangku. Merespon keherananku.
"Jangan salah paham. Bhanuar. Dia tokoh laki-laki di novel perdananya Adia. Belakangan Adia jadi sering mengigau tokoh-tokoh novelnya," terang Kakak santai.
Ia nampak tak terganggu. Seperti hal ini sudah terjadi berkali-kali pada Adia. Dan ia tahu alasannya.
"Kamu mau dengar sebuah cerita? Tentang Adia di waktu kecilnya. Kemampuan yang hanya Adia yang bisa," Kakak bercerita.
Aku tidak mengangguk atau menggeleng. Memangnya aku punya pilihan apa lagi selain mendengarkan.
"Pernah dengar lucid dream? Mimpi yang nyata. Orang yang mengalaminya sadar bahwa ia berada di mimpi dan mengontrolnya sesuka hati. Ini bisa terjadi pada orang dengan imajinasi tinggi atau pengkhayal seperti seniman atau penulis. Adia lucid dreamer dari kecil.
"Adia pernah kecelakaan sewaktu kelas 3 SD. Ia pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Seperti sekarang, ia sering mengigau nama-nama yang tidak kami tahu. Setelah Mama cari tahu rupanya Adia menyebutkan nama-nama tokoh dalam tugas karangan sekolahnya. Mimpinya adalah apa yang ia tulis.
"Harusnya tidak apa-apa, tapi Adia tidak bangun untuk waktu yang lama. Kami percaya Adia bukan pingsan biasa.
"Lalu, Mama dikenalkan cenayang yang bilang kalau Adia tersesat di mimpinya sendiri. Dia cuma anak kecil waktu itu. Ia tidak bisa bangun karena tidak bisa menciptakan 'pintu' untuk kabur dari dimensi lain."
Aku tenggelam mendengarkan sambil diselingi Adia yang terus mengigau. Kali ini nama Sevi.
"Adia bisa bangun karena dijemput cenayang. Dia melakukan ritual. Menghipnotis diri, membuat dirinya setengah hidup, setengah mati. Teknisnya dia tertidur, tapi sebenarnya ia berjalan-jalan di mimpi yang sama dengan Adia.
"Tidak butuh lama, Adia dan cenayang itu bangun. Adia bercerita kalau ia seperti masuk ke sebuah dunia. Dan ia jadi pemeran utama dari karangan yang ia tulis.
"Karena alasan inilah aku jadi editor Adia. Agar aku tahu semua tulisan yang ia tulis. Agar aku bisa menyeleksi kalau saja ia menyisipkan cerita yang berbahaya."
Aku menatap Kakak. "Apa mungkin saat ini Adia mengalami lucid dream juga?"
"Mungkin. Tidak ada yang tahu."
"Kalau begitu panggil cenayang itu lagi. Lakukan ritual itu lagi."
"Tidak bisa. Cenayang itu sudah meninggal. Tidak ada yang bisa melakukannya lagi. Membuat diri setengah hidup setengah mati. Itu hal yang mustahil."
Aku mengernyitkan dahi. Menolak bersikap santai seperti Kakak.
"Lalu kalian pasrah? Menunggu Adia bangun dengan sendirinya?"
"Memangnya apa yang bisa kami lakukan selain berharap Adia menemukan 'pintunya' lagi."
"Ada, tentu saja ada. Semua orang bisa setengah hidup setengah mati."
Meskipun mulutku sesumbar, tapi saat Kakak menatap tajam, aku tidak punya jawaban.
"Yah, jangan berpikir macam-macam malam ini. Tidurlah di sini. Aku akan berjaga di luar kalau-kalau Papa datang. Ingat, pagi-pagi sekali kamu harus pergi atau Papa akan mengamuk lagi seperti tadi."
Kakak berdiri sambil menguap. Ia meninggalkanku dan Adia di kamar. Memberi privasi padaku yang saat itu bergerak mencium kening Adia.
"Tunggulah Adia. Aku akan menyusulmu, segera."
📖
Seperti perintah Kakak, pagi-pagi sekali aku keluar kamar Adia. Berpamitan pada Kakak yang tidur di kursi lorong.
"Kamu mau kemana lagi? Kukira kamu mau menemani Adia lebih lama," tanya Kakak dengan mata setengah mengantuk.
"Papa benar, aku harus mengurusi balapanku dulu."
Ya, aku memikirkan ini semalaman. Lucid dream bukan cuma milik para pengkhayal. Tapi semua makhluk di bumi. Asalkan ia punya mimpi dan jiwa memimpin.
Cenayang itu hanya membuat dirinya tertidur lebih dalam. Menyamakan frekuensi mimpi dengan Adia. Lalu menjemputnya.
Kurasa aku juga bisa. Tinggal mencari cara membuat diriku tertidur. Satu-satunya yang kupikirkan adalah balapan. Bukankah pembalap identik dengan maut.
Sebelumnya aku harus kembali pada tim-ku.
Memang aku bilang 'berhenti', tapi pintuku belum sepenuhnya ditutup oleh mereka.
Benar saja, ketika aku kembali mereka bersorak girang.
"Aku akan memberikan kalian kemenangan. Dengan satu syarat. Piala kemenangan nanti berikan untuk istriku."
"Tentu saja. Piala itu milikmu."
Kami bergegas. Babak qualifying tinggal beberapa jam lagi.
Tim bersiap. Mekanik melakukan scrutineering. Sementara aku berganti pakaian pembalap.
Sesi warm up lap siap kulakukan. Berbeda dengan sesi latihan tempo hari, sekarang aku telah mantap. Tujuanku menang. Dan 'tidur' dengan cara keren.
Babak qualifying tidak terlalu buruk. Catatan waktuku membuat position-ku di urutan tiga. Awal yang baik.
Besoknya, perlombaan digelar. Semua pembalap bersiap di starting grid. Fokus. Pikiranku berlari pada Adia.
Tiga ...
Dua ...
Satu ...
Lampu hijau.
Para pembalap unjuk gigi di atas arena balap. Ban motor menggelinding di permukaan lintasan balap yang kering.
Kecepatan tinggi dikerahkan pada high speed corner. Juga chicane, lintasan yang berbentuk seperti huruf S yang menjadi keahlianku.
Motor Yamaha M1 kutancap gas hingga mengenai 161 km/jam.
Menang. Aku harus menang.
Lap demi lap kutempuh. Posisiku sudah terdepan. Sampai lap terakhir posisiku masih bertahan.
Chekered flag sudah dikibarkan. Dengan mantap, tungganganku berhasil menjuarai.
Aku menang.
Kupelankan laju motor pada victory lap. Sedetik kepalaku menengadah ke langit biru. Cuaca yang cocok untuk tertidur.
Cengkeraman pada stang lebih kuat. Kecepatan motor bertambah dan terus bertambah.
Di tikungan tajam hairpin harusnya pembalap melakukan pengereman. Aku tidak.
Menerobos saja keluar jalur. Melewati jalan tak rata, pasir penahan. Lajuku tidak berkurang. Menghantam tembok tribun dengan keras.
BRUAK!!
Aku terpental ke tanah.
Gawat, cara jatuhku salah. Bisa kurasakan tulang ekorku patah. Fatal. Harusnya aku menurunkan sedikit kecepatanku.
Bukan tidur lebih dalam, tapi aku bisa mati dengan cara ini.
Aku terlentang di tanah. Pemandangan langit mendominasi. Sayup-sayup kudengar sirine medis berbunyi.
Anggota tim-ku berlari menghampiri. Namun pandanganku kabur. Tidak bisa kurasakan lagi setiap jengkal tubuhku. Mati rasa.
Sekelilingku gelap.
'Kumohon. Bawa aku ke tempat Adia. Dimana pun dia berada.'
📖
Aku terbangun di sebuah trotoar. Bangun begitu saja, seperti habis ditendang seseorang dari belakang.
Aku terdiam. Meraba tulang ekorku. Seluruh tubuhku. Semua normal.
Kulihat sekeliling. Pemandangan jalanan bersih dengan pohon ekaliptus berjajar di pinggir. Trotoar berpaving block. Tembok tinggi yang kuyakin bangunan sekolah. Sebab di sekitarku banyak siswa-siswi berseliweran. Menatapku heran. Mungkin karena aku celingukan di tengah trotoar. Mirip orang linglung.
Inikah mimpi Adia?
Aku fokus mencari Adia. Berjalan terhuyung-huyung masih terasa pusing.
Sejauh mata memandang, di sana, ada Adia yang mengenakan seragam sekolah. Ia melamun di pinggir jalan.
Aku menyeringai. Kemampuan menangkap sosoknya di tengah keramaian masih bisa kulakukan.
Aku berniat menghampiri, dan terkaget karena seorang wanita tiba-tiba mendorong Adia ke jalan.
Bahaya!
Aku berlari. Menangkap perut Adia sampai ia bisa menegakkan badannya lagi. Kami bertemu mata. Tapi ia seolah tak mengenaliku.
Adia aman. Bukannya mempedulikanku, ia malah menyerang balik wanita yang mendorongnya.
"Sudah cukup, Adia!"
Aku menariknya jauh dari keributan. Bagaimanapun aku telah menemukannya.
Namun kalimatnya setelah itu membuatku sedih.
"Kamu siapa? Barusan kamu memanggilku Adia. Kamu mengenalku."
Sepertinya perjalanan mimpi ini tidak akan mudah.
"Aku ... suamimu."
📖
Part special : Reist
Selesai.
Terima kasih sudah membaca.
Bersiaplah untuk Before After Series.
Before : Reist sudah bisa kamu baca di work-ku.
See you~
- Liani April
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top