Special Part : Reist (1)

🌹🌹🌹

Sesi latihan hari ini dilakukan di sirkuit Losail, Qatar.

Sirkuit dengan panjang 5,3838 km serta 16 tikungan itu, telah kupelajari dengan motor MotoGP Y2R-M1.

Tim mencatat waktuku. Ada banyak PR ketika berada di trek lurus. Daya kurang, performa tidak maksimal, atau aku yang sedang stres.

Aku meminta break. Kulepas helm, menurunkan resleting sampai ke dada. Gerah tak bisa dipungkiri. Keringat mengucur di pelipis, kubiarkan angin yang mengeringkannya.

Aku duduk. Melamun. 

Aku tidak puas. Mungkin seluruh tim-ku juga sama. Seri Qatar akan segera berlangsung, tapi aku belum juga mendapatkan timing.

Kukira aku tahu kenapa. Adia. Beberapa bulan ini aku belum mendengar kabarnya.

Sejak perlombaan balap dimulai, aku menyerahkan urusan komunikasi pada manager.

Ia bilang, Adia sedang fokus menyelesaikan novel.

Yang kutahu, Adia tidak bisa diganggu bila sudah menyangkut pekerjaan menulisnya. Selama berhari-hari sampai berbulan-bulan ia kuat berdiam diri di ruangan menulis. Tanpa handphone, tanpa suara-suara bising. 

Biasanya hanya tiga bulan. Ini sudah lebih. Apa Adia tak menghubungiku juga? Apa menulisnya belum selesai?

Aku meneruskan jalan ke paddock area, berniat rebahan atau sekedar meluruskan kaki di sana.

Belum juga masuk, aku disuguhi manager yang bicara dengan nada tinggi di telepon. Ia tidak menyadariku datang.

Aku menangkap kalimatnya untuk seseorang di seberang telepon sana.

"Makanya Reist tidak bisa diganggu. Ia masih di sirkuit untuk uji coba mesin prototipe baru."

Dengan siapa dia bicara?

Manager melihatku. Sedetik ia menunjukkan ekspresi kaget. Kemudian melindungi handphone dengan tangan. Bicaranya juga jadi pelan. Beda dengan tadi.

Terlalu mencurigakan.

Manager hendak menutup panggilan tapi langsung kurebut hingga handphone milikku itu beralih ke tanganku. 

Ada nama 'Mama Mertua' di layar. Aku terkesiap. Melotot pada manager.

Beraninya dia bicara dengan nada tinggi pada Mama.

Suara dari telepon masih berbunyi. Aku mendengarkan suara Mama yang seperti memelas itu.

"Halo, Ma! Ini Reist. Ada apa?"

Di saat bersamaan, kuperhatikan wajah manager berubah tegang. Seperti pencuri yang ketahuan pemilik rumah.

"Reist ... ya Tuhan ... Nak! Kemana saja kamu? Mama terus menghubungimu. Tapi selalu managermu yang angkat. Mama tahu kamu sibuk, tapi kamu harus tahu kabar Adia."

Suara Mama disertai tangis.

Aku tidak bisa mencernanya dengan baik. Antara kaget, ditambah suara sengau Mama, membuat kepalaku berjengit nyeri.

"Ada apa dengan Adia?"

Mama tidak juga angkat bicara. Hanya menangis.

Beberapa kali kupastikan sinyal masih bagus, atau panggilan masih terhubung. Namun tangis Mama mendadak hilang. Berganti suara keras dan gusar milik Papa Adia.

"Brengsek!" Papa memaki. "Kalau tahu kamu akan begini pada anakku, tidak akan kuizinkan kamu menikahinya." 

Amarah itu persis seperti ketika aku berlutut di depannya memohon menikahi Adia karena ia hamil. Aku mau bertanggung jawab.

"Urus saja balapanmu. Menangkan semua piala. Tapi jangan harap kamu bisa kembali ke keluarga ini lagi."

"Apa yang terjadi?"

Aku mulai tidak tahan. Ingin tahu.

Jeda sebentar. Kudengar suara menangis Mama di belakang. Juga Kakaknya Adia yang selalu piawai menenangkan saat Papa marah. Mereka semua berkumpul. Ada apa?

"Reist ..."

Sekarang suara Kakak. Ia tidak seemosi Papa. Nadanya tenang, tapi bergetar.

"Adia ..." Kakak diam sebentar. "...dia mencoba bunuh diri. Menyayat pergelangan tangannya."

Mendadak lututku lemas. Peganganku pada handphone nyaris lepas.

Kini aku mendelik pada manager. Mempelototinya dan mulai sadar kalau selama ini ia berbohong.

Panggilan terputus. Darahku mendidih. Campuran marah dan lemas.

"Berapa kali mereka menghubungiku?" tanyaku dengan gigi gemetrakan.

"Itu ...."

"Berapa kali?" nadaku memuncak.

Manager mendengkus. "Berkali-kali. Setiap hari."

"Kenapa kamu bilang tidak ada yang menghubungiku selama ini."

"Aku tidak mau pikiranmu bercabang, Reist." Akhirnya manager buka suara.

"Masalahmu di sirkuit saja sudah banyak. Ditambah keluargamu yang manja. Kalaupun ada sesuatu dengan istrimu, masih ada keluarganya. Kenapa harus terus mengganggumu yang sedang berjuang di sini."

Refleks kepalan tanganku melayang ke pipi manager. Ia tersungkur ke lantai, mengundang perhatian beberapa orang.

"Dia istriku. Aku lebih memilih istriku daripada balapan konyol ini."

Nampaknya teriakanku memancing tim datang ke paddock. Sebagian bertanya-tanya, sebagian menenangkanku. Menjauhkan kami berdua sampai di jarak aman.

"Aku bersumpah akan membunuhmu kalau terjadi sesuatu dengan Adia."

Aku melepaskan seragam balapku. Melemparkan ke lantai. Kemudian mendorong orang-orang yang menghalangi jalan.

"Seri Qatar sebentar lagi dimulai, Reist. Kalau kamu pergi sekarang, kamu tak akan sempat qualifying," kata-kata manager menahanku.

Aku memandanginya. Memutar bola mata ke semua tim yang ada di sana.

"Aku berhenti!"

Bersahutan mereka memanggil namaku. Aku abaikan dan melenggang pergi. 

Aku bergegas mengambil tas, dompet, paspor. 

Aku harus pulang ke Adia.

📖

Penerbangan Doha - Jakarta memakan waktu 9 jam di udara. Selama itu pula pikiranku berlari pada Adia. 

Aku diberitahu rumah sakit tempat Adia dirawat. Langsung saja meluncur ke sana tanpa sempat memikirkan badan limbung karena jetlag. Atau keroncongan belum makan dari kemarin.

Mudah sekali menemukan kamar Adia. Ia berada di ruang VIP atas permintaan keluarganya.

Aku berlari di lorong, tak sabar ingin bertemu Adia.

Sudah ada Papa, Mama dan Kakak di sana sedang menunggui Adia.

Adia yang malang tertidur di kasur. Selang pernapasan terpasang di hidung. Infus menggantung di sisi kasur, terhubung ke punggung tangan Adia.

Aku bergegas menghampiri, tapi dihentikan Papa yang mendorong dadaku ke belakang. Tenaganya yang kuat nyaris membuatku terjengkang. Aksi Papa mengundang Mama dan Kakak berwajah tegang.

"Untuk apa kamu ke sini? Kamu tidak mendengar perkataan Papa sebelumnya? Kamu bukan keluarga kami lagi."

Wajah marah Papa menyeramkan. Aku selalu kehabisan kata-kata bila Papa sudah memarahiku. 

"Pergi kamu, Sial!"

Kakak menghampiri. Ia masuk ke tengah-tengah kami.

"Pa, Reist baru saja datang dari Qatar. Biarkan dia bertemu Adia dulu." Kakak membelaku.

"Tidak! Sampai kapan pun, Papa tidak mengizinkan dia bertemu Adia. Memangnya karena siapa Adia sampai seperti sekarang."

Kakak berhenti berucap. Ia melirikku sekarang. Tatapan yang kurang lebih menyalahkanku.

"Memangnya apa yang sudah kulakukan pada Adia?"

Papa mengumpat. Mama menangis. Dan Kakak ... mendelikku tajam.

"Adia baru saja melahirkan. Putri keduamu," jelas Kakak.

"Apa?"

"Ya, Adia hamil saat kamu pergi untuk tes pra-musim. Adia depresi karena tidak bisa menghubungimu. Baby blues."

Aku seperti dihantam bertubi-tubi. Ada berapa banyak yang tidak kuketahui. Dan terkuak dengan cara menyebalkan seperti ini.

"Lihat, istrinya hamil saja dia tidak tahu. Suami macam apa kamu!" Papa emosi. "Kubilang pergi kamu dari sini. Pergi!"

Kakak tidak bisa lagi menahan amarah Papa. Ia membalik badan padaku. Berbisik nyaris seperti sebuah isyarat. "Keluarlah!"

Aku tidak punya pilihan. Mataku bergerak pada Adia yang tak terusik dengan pertengkaran kami.

Langkahku gontai ke luar kamar. Baru sampai di mulut pintu, Papa menutup pintu keras-keras. Membuat bahuku bergidik kaget.

Aku melamun. Tidak tahu mau apa. Kakiku lemas, menggelosor ke lantai dingin. Tanganku merayap ke dinding mencari kursi panjang di lorong. Lalu menjatuhkan diriku di sana.

Pandanganku kosong. Perkataan semua orang hari ini berputar di kepala.

Adia bunuh diri. Adia hamil. Adia melahirkan. Adia depresi.

.

.

Aku memukul-mukulkan kepala belakangku ke tembok.

Papa benar, suami macam apa aku?

Dalam kesemrawutan itu, aku menangis. Tangisan pertama setelah ibu meninggal sewaktu usiaku 11 tahun.

Adia ... maafkan aku.

📖

Sorry, kukira bisa 1 part aja, ternyata harus 2.
Enjoy, ceritanya masih bersambung.
Dan akan kupublish besok.
See you~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top