7. Hanya
Tips menulis ala Adia :
"Teruslah menulis. Selesaikan. Setelah itu barulah perbaiki dari awal."
_._._.___✍️
Wajah Reist terlalu dekat. Refleks aku mundur dan berteriak.
"Ada apa, Maia?" Ibu merespon teriakanku di balik pintu. Untungnya tidak sampai masuk kamar.
"Tidak apa-apa, Bu. Cuma kecoa."
Suara Ibu menghilang setelah ucapan 'Oh' dan perintah supaya aku mandi dan bergegas.
Aku menatap Reist yang sedang mengucek mata. Bangun kemudian dengan kepala terhuyung.
"Kenapa kamu di sini?"
"Memangnya tidak boleh, tidur dengan istriku sendiri?"
Aku memukul dada Reist. Ia mengaduh. "Tahan dirimu. Di sini kita tidak kelihatan seperti suami istri. Lebih mirip remaja yang sedang mesum."
"Mesum. Aku tidak suka kata itu."
"Makanya, jangan pernah naik ke kasurku lagi. Atau orang-orang akan menganggapnya begitu."
Aku tahu kalimatku cukup sinis. Reist cemberut sambil bangun ke tepi kasur. Dipakainya kaos panjang yang ia lepaskan semalam.
Aku bangun. Melipat selimut, membereskan kasur. Selama itu Reist memperhatikanku.
"Apa yang mau kamu lakukan hari ini?" tanyanya sembari menguap.
"Tentu saja. Aku murid SMA dan harus bersekolah."
"Boleh aku ikut?"
Aku mendeliknya. "Jangan. Kamu akan merusak alur. Tidak ada namamu di dalam novel. Kita belum tahu efeknya kalau melakukan hal yang tidak ada di naskah."
"Anggap saja aku tidak ada. Tokoh figuran. Cuma lewat."
"Mana bisa. Dalam novel, ketika sebuah nama disebutkan dalam cerita, maka dia termasuk karakter penting. Meskipun cuma sedikit adegan. Aku paling anti memasukkan karakter terlalu banyak. Bikin ruwet."
Reist berjalan ke jendela. Mengintip keadaan di luar. Sepi. Ia leluasa celingukan dengan kepala.
"Oh ya, Reist. Apa kamu pernah baca novelku yang ini? Aku lupa jalan cerita dan endingnya."
"Aku tak punya waktu untuk membaca."
"Satu pun tidak ada novelku yang kamu baca?"
"Satu pun."
Reist melompat ke jendela. Ia diam sebentar melihatku sedang menaikkan ujung bibir dan mencibir.
"Kamu suamiku dan kamu tak pernah baca novelku. Harusnya suami jadi pembaca pertama sebelum novel diterbitkan. Fans pertama," sinisku.
"Kamu juga, tidak pernah menonton balapanku. Kita impas."
Reist menghilang dari balik jendela. Di saat bersamaan Ibu muncul di pintu dan menyuruhku segera bersiap.
Perfect timing.
📖
Saat ini sekolah jadi momok menakutkan buatku. Terlebih setelah insiden kemarin. Bagaimana dengan Sevi? Apa dia membuat keributan? Mengadu domba atau memutarbalikkan fakta?
Benar dugaanku. Aura orang-orang yang memandangku terasa berat. Malah beberapa sengaja mengencangkan suaranya supaya kedengaran.
Aku menyerang Sevi. Membuatnya masuk rumah sakit. Bagian Sevi yang mendorongku nyaris menyebabkan kecelakaan, tidak terdengar sama sekali. Sevi sempurna menjadikanku orang jahatnya.
Aku tidak peduli. Sepanjang pelajaran aku ciptakan tamengku sendiri. Mencoba kebal dengan omongan tak bermutu itu.
Sampai jam istirahat. Teman Sevi dari kelas lain melempariku dengan telur busuk. Cairan kentalnya mengenai rambutku. Ia mencaci.
"Harusnya kamu dikeluarkan, dasar preman sekolah."
Bisa saja kubalas ucapannya. Tapi tidak jadi. Semua mata tertuju padaku. Dan posisiku tidak memungkinkan untuk pembelaan.
Aku lebih memilih pergi ke keran. Mencuci rambutku sebelum bau busuknya menyebar kemana-mana.
Air mengalir basahi rambutku. Di saat bersamaan aku menangis. Aku mulai muak. Aku benar-benar ingin mengakhiri ini.
Terbesit keinginan kabur saja dari sekolah. Berlari pada Reist. Kuyakin dunia nyata lebih menyenangkan daripada novel ini.
Kututup keran, menunduk biarkan tetesan air jatuh ke tanah. Tanpa diduga seseorang mengawasiku. Tangannya memegang handuk kecil. Dia Bhanuar. Sejak kapan dia di sana.
"Aku lihat kejadian kamu dan Sevi kemarin," katanya, selalu dengan nada tenang. "Harusnya kamu jelaskan kenapa kamu menyerang Sevi."
"Untuk apa. Mereka tidak akan dengar. Cuma buang-buang waktu."
"Tidak ada yang namanya buang-buang waktu untuk sebuah pembenaran." Bhanu menyerahkan handuk kecilnya padaku. Matanya menelusup hingga bisa kuselami kedalamannya. Bola mata yang teduh.
"Kamu mau aku melakukannya untukmu? Bicara pada mereka semua."
"Tidak perlu repot. Aku bisa kalau aku mau. Sementara biarkan saja begini."
Bhanu menyunggingkan senyum yang menenangkan. "Aku heran, kamu ini sebenarnya lemah atau kuat. Kamu sering berubah-ubah."
Bhanu meletakkan handuknya di kepalaku. Menggosok pelan, lalu tersenyum.
"Untuk kali ini dengarkan saranku. Lebih baik kamu pulang dengan alasan sakit atau semacamnya. Istirahatlah di rumah!"
Kalimat-kalimat Bhanu mengingatkan aku pada dialog dalam novel. Kalau aku tak salah ingat, kalimat itulah yang diucapkan Bhanu pertama kali pada Maia. Setting tempatnya juga keran air. Juga handuk yang menutupi muka Maia.
Seperti potongan puzzle, kalimat demi kalimat berhamburan di kepala.
Akhirnya aku ingat inti novel ini. Kisah perjalanan cinta dan perubahan diri Maia. Cinta yang mengubahnya menjadi lebih baik.
"...Maia menancapkan panah asmara di dadanya. Bhanuar, lelaki yang ia pilih sebagai pemilik hati. Diam-diam ia berjanji akan memperbaiki segala hal yang salah di hidupnya. Memantaskan diri agar Bhanu bisa terus memandangnya. Itulah kegigihan Maia..."
Tanpa tendeng aling-aling, aku berlari dari sana. Meminta izin pulang sesuai saran Bhanu.
Tujuanku hanya satu. Reist. Akhirnya aku tahu keseluruhan novel ini. Reist harus tahu.
Aku lari melesat. Terengah-engah. Tidak memperhatikan jalan.
Di perempatan menuju rumah, tanganku ditarik hingga berhenti lari. Syukurlah aku bertemu Reist.
Tidak sepertiku yang senang, wajahnya Reist malah menegang. Urat mencuat di pelipisnya.
"Kenapa rambutmu basah. Siapa yang melakukannya?"
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top