5. Dilupakan
Tips menulis ala Adia :
"Membaca seperti bernyanyi. Makanya penulis kadang disebut sebagai komposer. Tahu dimana not naik, turun, juga berhenti."
_._._.___✍️
Untungnya tidak sampai skorsing. Hanya teguran dari guru BK.
Aneh, sekalinya aku mengerjai orang langsung kena teguran. Apa kabar Sevi yang begitu sering seperti jadwal minum obat untuknya.
Atau mungkin karena caraku terlalu menyolok mata. Tidak seperti Sevi melakukannya di sudut tersembunyi.
Hm, pintar juga dia.
Guru BK mengizinkanku kembali ke kelas. Ceramah panjangnya masih terngiang-ngiang. Kesimpulannya hanyalah, 'belajar yang rajin' juga 'bertemanlah dengan banyak orang.'
Yang terakhir itu pasti karena aku cenderung penyendiri. Biasanya gadis remaja lain senang berkumpul dengan kawan sebaya, aku tidak. Atau bergosip tentang lelaki pujaan, aku tidak.
Untuk apa, masa-masaku sudah lewat. Teman sekolah menjadi asing begitu kita masuk dunia nyata.
Dibanding itu, aku lebih tertarik memikirkan cara untuk keluar dari omong kosong ini. Lama-lama aku lelah. Akhirnya aku tahu kelemahan novelku ini. Monoton. Tak menarik.
Alih-alih mempedulikan Sevi yang sedari tadi menghunuskan tatapan tajam, aku melamun. Terus saja begitu sampai bel pulang berbunyi.
Aku biasa pulang jalan kaki sampai ke rumah. Lalu lintas nampak padat. Dua tiga mobil melintas cepat. Aku menunggu di sisi jalan untuk menyeberang.
Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang mendorong punggungku ke jalan. Tenaganya kuat. Aku tak sempat mengelak. Tubuhku kehilangan keseimbangan menuju laju mobil pick up.
Tak perlu pakar fisika, arah jatuhku dengan laju mobil berada dalam satu titik temu. Itu artinya tabrakan.
PIIIPPP!!!
Klakson berbunyi nyaring. Aku pasrah. Menutup mata.
Tanpa terduga lenganku ditarik ke samping. Ada tangan kekar melingkar di perutku. Di saat bersamaan mobil pick up melintas, menyibak poniku dramatis.
Ban berdecit, mobil berhenti. Aku tidak tertabrak, berkat seseorang yang memelukku dari samping ini.
Aku menoleh. Seorang lelaki dengan rambut gondrong menutupi tengkuk. Sorot mata sipit seperti ditarik ke belakang. Aku diam sebentar menatap rahangnya yang mengeras.
Teriakan orang sekitar menyadarkanku. Sekaligus membuat lelaki itu melepas lingkaran tangannya di perutku.
"Kamu tidak apa-apa kan, Dek?" sopir pick up sampai sengaja turun, memastikan.
Aku tersadar. Kemudian memutar badanku ke belakang. Mencari siapa yang mendorongku tadi.
Rupanya Sevi. Ia sedang membeliak. Ia sendiri tak menyangka ulahnya akan berdampak kecelakaan.
Aku melotot, Sevi ketakutan. Tidak ada ampun. Kuterjang Sevi hingga kami berdua jatuh ke trotoar. Kujambaki rambutnya, menampar pipinya, berteriak marah.
"Apa yang kamu lakukan, bodoh! Kamu mau membunuhku? Kamu sudah keterlaluan."
Sevi tidak melawan. Kuanggap bentuk penyesalannya yang bertindak gegabah. Atau dia aslinya memang selemah ini.
Jalanan jadi ramai, semua menonton aksi brutalku di atas perut Sevi. Mereka merekamnya seperti reporter yang serba tahu.
Tanganku disergap. Sekali lagi oleh lelaki berambut gondrong tadi. Kali ini ia menggumam di telingaku.
"Cukup, Adia!"
Aku terkesiap. Mendadak berhenti memukuli Sevi. Ganti memutar bola mata pada lelaki tadi.
Aku tidak salah dengar, kan. Dia memanggilku Adia?
Dengan tenaganya yang kuat, ditariknya aku menjauhi perut Sevi. Kami membelah lautan manusia sekaligus menyudahi pertunjukan di depan sekolah.
Cukup jauh ia membawaku pergi. Beberapa menit kami saling diam, hanya kaki kami yang terus bergerak.
Emosiku akhirnya terkontrol. Aku menarik tanganku. Membuatnya berhenti menyeretku tanpa tujuan.
"Bisa kau lepaskan aku sekarang?"
Lelaki itu menurut. Kami saling berhadapan.
Aku sangat yakin lelaki ini bukan bagian dari novelku.
"Kamu siapa? Barusan kamu memanggilku Adia. Kamu mengenalku?"
Dahi lelaki itu berjengit. Ia mendengkus. "Kamu tidak mengenalku?" Dia malah balik bertanya.
"Entahlah, kepalaku pusing. Aku tak bisa berpikir."
Aku cukup lama jadi penulis. Memperhatikan ekspresi seseorang sudah jadi hobiku sebagai bahan cerita. Dan kuyakin, aku mengenal tatapan yang tersirat darinya lebih kepada rasa kecewa. Sedikit rasa sedih.
"Aku Reist."
Hanya itu. Irit sekali bicaranya.
"Maaf Reist, aku benar-benar tidak ingat siapa kamu."
"Aku ... suamimu."
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top