3. Kenangan

Tips menulis ala Adia :

"Cintai karaktermu, anggap dia adalah dirimu. Mudah menggerakkan karakter kalau kamu sudah mencintainya."

_._._.___✍️


Namaku Adia, 32 tahun, penulis novel roman. Di sini aku dipanggil Maia, gadis 17 tahun, kelas 2 SMA.

Aku bercermin. Wajah ini milik Adia. Sama. Hanya terlihat lebih muda layaknya gadis 17 tahun. Tanpa keriput, tanpa noda hitam, dan segar bugar.

Maia punya rambut ikal sebahu. Nampak berantakan kalau kugerai. Aku sudah mencoba sehabis mandi tadi. Hanya bertahan 15 menit. Setelahnya ujung rambut mencuat ke sana kemari.

Pantas saja di meja belajar ada macam-macam model ikat rambut. Rambut Maia wajib diikat sebelum ada yang mengatai 'gadis singa.'

Secara keseluruhan, pemandangan di sini sama dengan dunia nyata. Ada bangunan, tumbuhan, ada matahari dan awan, ada oksigen untuk dihirup. Sama saja.

Maia tinggal bersama ibunya, pemilik indekos di seberang rumah. Ibu Maia harus tangguh, selain karena single parent, juga sebagai orang yang harus 'ditakuti' penghuni kost. Supaya tidak ada yang berani kabur saat penagihan uang sewa.

Maia bersekolah di SMA swasta. Tidak ada yang menonjol di sana. Seperti kebanyakan gedung sekolah lainnya. Kulihat beberapa bagian dibuat mirip dengan sekolah asliku. Mungkin aku mengambil riset dari sana. Paling mudah, juga paling kuhafal.

Aku bernostalgia sebentar. Masa SMA-ku tak ada menarik-menariknya. Tapi di situlah jalan pertama mimpiku sebagai penulis. Perpustakaan jadi markas utama membuat cerita. Keheningan membuat imajinasiku melangit. Termasuk jadi saksi novel perdanaku lahir. Di sinilah karakter Maia diciptakan.

"Maia!" seseorang memanggil dengan nada berirama.

Aku menoleh. Seorang gadis cantik dengan bibir berbentuk hati. Aku lupa pernah menggambarkan karakter secantik dia. Nyaris tanpa cela, perwujudan bidadari dari surga.

"Aw~" Aku mengerang, karena gadis itu tiba-tiba menjambak rambutku.

Kutarik ucapan barusan. Cantik boleh cantik. Mana ada bidadari model gengster begini.

"Kenapa ya, aku suka kesal tiap lihat rambut kamu. Kenapa tidak kamu botaki sih. Mengganggu pemandangan, tahu!" cerocosnya.

Aku membatin. "Mana kutahu. Urus saja rambutmu sendiri yang lurus kayak papan itu, huh!"

Akhirnya aku ingat siapa gadis ini. Dia si perundung Maia, sekaligus tokoh antagonis. Maia hampir tak pernah melawan saat Sevi terang-terangan mengerjainya.

Kenapa dulu aku buat karakter lemah seperti Maia. Harusnya kubuat Maia si jago karate, gadis yang bisa mencekik seseorang dengan tatapan matanya.

Buntutnya akulah yang harus merasakan dijambaki Sevi. Sebab di sini akulah Maia. Si gadis protagonis.

Sevi selesai dengan urusannya. Ia mendorongku jatuh ke lantai berdebu. Dalam keadaan payah, kuperhatikan Sevi sepanjang koridor, lama-lama menghilang masuk ke kelas 2 IPA 3, kelas yang sama dengan Maia.

Dasar barbar!

Aku berdiri sambil merutuk. Besok-besok tak akan lagi deh kubuat tokoh merana macam Maia.

Seperti melodrama pada umumnya, rombongan lelaki melintas kemudian. Cara jalan yang congkak membuatku yakin seratus persen. Mereka kakak kelas 3. Lagaknya seolah seisi sekolah dalam kuasa mereka, para senior.

Aku menunduk. Satu persatu bahu mereka melewatiku. Seseorang berkelakar dan kedengaran telinga sensitifku.

"Jangan dekat-dekat. Si gadis singa bisa mengaum. Aumm!!"

Yang lainnya menimpali dengan tawa.

Serius? Bahkan kakak kelas juga?

Aku belajar tidak peduli. Marah tidak menyelesaikan apapun. Tunggu saja waktu yang tepat. Awas kalian.

Sesuatu menarik indera penglihatan. Efek slow motion tiba-tiba terjadi di bola mataku. Memperhatikan lelaki yang jalan paling belakang. Dia tidak ikut tertawa seperti temannya yang lain. Tenang, berkharisma.

Kami beradu pandangan. Singkat saja. Selanjutnya tidak ada dialog, tidak ada apapun. Hanya lewat alakadarnya seperti tubuhku sebuah tiang tembok. Terabaikan. Tidak menarik.

Biar kutebak, dia Bhanuar.

Lelaki berperawakan tinggi, rambut hitam rapi, dan selalu wangi bedak bayi.

Dia tokoh utama laki-laki di novel ini, sekaligus cinta terpendamnya Maia.

Untuk pertama kali aku mempertanyakan dalam hati.

Kenapa aku ada di sini?

Untuk merasakan cinta Maia-kah?

Atau semesta sedang mengejekku.

Karena meskipun aku menulis puluhan novel roman picisan, kehidupanku jauh dari romantisme yang buat para gadis tak tidur semalaman.

Aku benci, kisah asmaraku tidak seindah tulisanku.

📖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top