25. Kenangan

Tips menulis ala Adia :

"Tugas penulis itu berat, selain mengedukasi, juga menciptakan mimpi bagi pembacanya. Beruntunglah bila tulisanmu menginspirasi."

_._._.___✍️

Biasanya aku butuh tiga bulan lebih untuk mematangkan naskah novel. Kali ini lebih cepat. Hanya satu bulan. Beres segalanya.

Kukira setelah lama tak merangkai kata, aku akan kaku atau buntu di tengah jalan. Ternyata lancar jaya setiap paragraf demi paragraf.

Entah semangat itu muncul dari mana. Mataku kuat diajak begadang berhari-hari. Dengan cepat mengedit, re-write, sampai part akhir.

Aku selesai sepenuhnya. Menggeliat di depan komputer yang jadi media menulisku. Tinggal mencetaknya dalam kertas HVS ukuran A4.

Tidak langsung kutujukan penerbit, tapi pada Kakak. Dialah gerbang pertama semua novelku.

Kemampuan mata elang, cara berpikir kritis, juga tabungan PUEBI dan KBBI, membuat Kakak layak dinobatkan sebagai editor terbaik sedunia.

Kakak telah menerima naskahku. Ia memakai kacamatanya. Sudah lama aku tidak melihat pemandangan ini. Kakak dengan kacamata bacanya, juga pulpen tinta merah yang siap mencoret bagian-bagian yang perlu dapat 'penanganan.'

Kakak tenggelam membaca naskah. Lembar demi lembar. Ia terlalu asyik sampai lupa peran pulpen merahnya. 

Sampai pertengahan, pulpen merah Kakak belum juga bekerja. Selama itu pula aku memandangi Kakak yang serius membaca tiap kata demi kata.

Sekilas kulihat mata Kakak berembun. Ia menutupi keningnya, pura-pura menggaruk alis, padahal aku tahu ia menahan tangis.

Aneh, bisa kupastikan tak ada kisah sedih di ceritaku. Dari awal sampai akhir hanya kebahagiaan.

Kubiarkan saja tanpa menginterupsi. Sekalian aku ingin tahu reaksinya andai kisah itu dilempar ke khalayak ramai.

Sebegitu menyedihkankah?

"Oke, sampai sini saja. Aku sudah selesai memeriksa." Kakak melepas kacamata.

"Bagaimana?"

"Ini sudah bagus. Secara penulisan kamu sudah mahir, tidak ada yang harus diperbaiki, lalu--"

"Aku tidak tanya tentang itu. Bagaimana kisahnya?"

Kakak menarik napas panjang. Mata kami beradu. Aku menunggunya bicara.

"Menarik. Kisah melodrama antara Reist dan ... kamu?"

Aku menyeringai. Memang itulah premis ceritaku.

"Bagi orang lain yang tidak tahu, cerita ini terlalu indah dan tidak ada alasan untuk membencinya. Tapi ... bagiku yang tahu kalau cerita ini kisah nyata. Ini sangat ..."

Kakak berhenti bicara. Aku menunggu lanjutannya. Kakak menggeleng, menolak meneruskan.

"Sangat apa?"

"Adia, apa kamu serius mau menerbitkan kisah Reist pada dunia?"

"Ya, dunia harus tahu ada orang seperti Reist. Ada lelaki yang patut dicintai seperti Reist. Dia sudah terkenal sebagai pembalap MotoGP. Tugasku adalah mengenalkan Reist sebagai seorang lelaki."

Kakak kehilangan ucapannya. Ia kalah argumen denganku. Memilih mundur bila sudah menyangkut Reist.

Kakak membereskan naskah, lalu mengendikkan bahu.

"Siapkan softcopy dan hardcopy yang sudah rapi. Besok aku akan meeting dengan orang dari penerbit."

Yes.

Satu tahap berhasil.

📖

Aku tidak peduli naskahku akan berjodoh dimana. Mau royalti penuh atau tidak dibayar pun, tak apa. Tujuanku hanya ingin terbit.

Kukira namaku sudah padam. Nyatanya beberapa penerbit menungguku untuk bangkit. Tanpa perlu pengajuan proposal, mereka antri demi mendapatkan naskahku yang baru ini.

Nampaknya aku paham, kenapa naskahku menjadi rebutan. Pertama, karena subjek tulisanku adalah Reist. Pesohor di dunia otomotif.

Meski sudah setahun, namanya belum hilang dari headline. Publik masih belum menerima kepergian sang pembalap.

Dengan munculnya naskahku ke permukaan, seperti penawar rindu. Juga berkenalan jauh dengan sosok di balik helm full face bertuliskan Tracer85 itu.

Naskahku mengambil tema tentang keseharian, tentang kisah cinta. Minim cerita di sirkuit. Hanya seorang lelaki biasa. Memberi penekanan bahwa Reist juga manusia. Sama seperti mereka.

Kedua, karena kisah ini dituliskan olehku, istrinya, orang yang terlibat langsung dengan Reist. Tentu akan jadi topik terhangat.

Penulis dan pembalap, belum pernah ada kolaborasi unik ini.

Bagi penerbit yang jeli, sudah pasti naskah ini akan menguntungkan. Selling poin yang tinggi.

Akhirnya, Kakak telah menemukan jodoh naskahku. Aku turut terlibat dalam pemilihan cover, layout, juga segala apa yang nanti akan muncul di novel.

Aku ingin yang terbaik untuk yang satu ini. Mungkin saja ini akan jadi novel terakhirku. Pamungkas yang ciamik.

Sebulan, waktu yang dibutuhkan naik cetak. Seperti yang kuduga, novel ini mendapat tempat di hati semua orang. Bahkan sebelum terjual ke pasaran.

Antrian pre-order membludak. Bagian administrasi kewalahan. Sekaligus semangat karena itu artinya bonus di depan mata.

Tawaran acara bedah buku dan talkshow mendadak banyak. Aku bilang pada Kakak, tidak ingin bertemu orang banyak. Biar novelku yang mereka jumpa. Tapi tidak dengan wajahku.

Cukup sudah. Sejauh ini, memang ini yang kuharapkan.

Novel kuberi judul REIST.

Sama dengan nama tokoh utamanya.

Cetakan novel berada di tanganku. Tulisan REIST di cover kuusap penuh perasaan.

Ini sudah kali kelima aku membaca REIST. Membacanya lagi, seperti memutar gulungan film yang berada di otak.

Karena ini nyata, bagiku seperti napak tilas kisahku dengan Reist. 

Di kamarku yang hening. Malam yang dingin. Kupanggil seluruh kenangan Reist. Sampai ia besar di kepala. Mendominasi.

Selama ini kukira Reist ada di suatu tempat. Ternyata ia ada bersamaku, di dalam napasku. Ia tidak pernah kemana-mana.

Dalam keadaan halaman yang terbuka, kubenamkan wajah di antaranya.

Lalu mulai merasakan perut dan dadaku bergejolak. Makin lama seluruh tubuhku bergetar.

Semenit tadi aku menelan enam butir pil tidur.

.

.

Overdosis.

📖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top