23. Biasanya

Tips menulis ala Adia :

"Terlalu lama jangan, apalagi grasak-grusuk. Menulislah dengan waktu yang pas."

_._._.___✍️

Seminggu, sebulan, setahun, berapa lama tepatnya waktu untuk melupakan.

Adakah jumlah pasti? Bisakah seseorang menghitungnya? Kalau ada, aku ingin bertanya. Melupakan seseorang yang dicintai, apakah mampu?

Aku tidak menyalahkan takdir. Mana berani. Bisa selamat dari percobaan bunuh diri saja, aku harus banyak bersyukur.

Saat itu aku terlalu dangkal, dimakan emosi, dirasuki nafsu. Bunuh diri bukan jalan keluar. Tapi masalah baru atau jalan buntu.

Tak bisa dipungkiri, makhluk hidup pasti berubah. Lingkunganku berubah. Selama ini kuikuti saja alur yang ada. Segala perubahan di luar, tapi tidak di dalamku.

Tak ada yang berubah, setiap rasa untuk Reist selalu sama bahkan tak berkurang sedikitpun. Rasa cinta padanya terlalu besar. Melebihi cinta pada diri sendiri.

Hari ini, tepat satu tahun aku melakukan tindakan bunuh diri. Langit hari itu mendung, sama seperti sekarang.

Di sini, di tempat sama, aku menatap kosong pemandangan laut dengan ombak bergulung. Menantang angin, membuat rambutku semrawut.

Kembali aku mengingat tiap langkah kaki di atas pasir putih. Juga burung camar berteriak menyuruhku berhenti.

Waktu itu, tanganku gemetaran. Berbekal potongan kaca yang kudapat di tengah jalan. Keberanian yang salah kaprah justru mendorongku menyayat urat nadi.

Satu kali, tidak berhasil. Dua kali, hanya luka kecil. Ketiga kali barulah berakibat fatal. Mengalirkan darah segar. Jadi penyebab tubuhku gontai. Kehabisan darah.

Aku mengelus pergelangan tangan. Bekasnya masih ada. Sayatan melintang berlapis-lapis sepanjang satu jengkal.

Melihatnya kini membuatku ingin menangis. Lagi dan lagi. Aku heran, stok air mataku tak pernah ada habisnya.

Namun kali ini aku bukan datang untuk meratapi. Aku datang dengan seikat bunga, menaruhnya di pasir putih.

Sedetik kemudian ombak menyambut. Seolah menerima kiriman bungaku.

Aku mengucapkan selamat tinggal untuk kebodohan juga awal mula petaka.

Aku tidak sendirian. Ada Kakak yang turut kemana pun aku pergi. Ia kompeten sebagai pengawal. Juga teman perjalanan yang baik.

Aku tahu, Kakak masih khawatir. Takut si bodoh ini melakukan hal di luar kendali.

Harusnya ia tidak usah begitu. Aku kemari hanya ingin bertanya.

Kenapa laut? Kenapa ingin mengakhiri hidup? Sehebat apa aku sampai berpikir membuat Reist bersedih?

Di sini, di tempat yang sama. Aku tidak menemukan jawaban, kecuali 'bodohnya aku.'

Seandainya tidak kulakukan ini, Reist tidak akan ...

Seandainya akal sehatku masih jalan, Reist tidak akan ...

Seandainya ...

Seandainya ...

Kata itu selalu melintas di otak.

Tentu, penyesalan selalu datang terlambat. Dunia sudah mengakui itu.

"Adia ... Ayo!" Kakak berseru dari belakangku. "Sebelum sore lebih baik kita cepat pergi. Kita masih harus ke satu tempat lagi."

Sebelumnya kami merencanakan perjalanan. Pantai, juga pemakaman Reist. Tempatnya berjauhan. Kami mesti menggunakan mobil. Kakak yang menyetir

Sepanjang jalan, aku nyaris tidak mengatakan apapun. Atau mungkin dalam setahun ini, aku tidak pernah mengucapkan apapun yang berarti. Hanya sebatas 'iya' dan 'tidak'. Juga meracau nama 'Reist.'

Kakak menolehku sesekali yang mengeluarkan tangan ke jendela mobil. Sedang menangkap angin dengan genggamanku. Aku tahu itu hal sia-sia. Tapi cukup sebagai penghiburan.

"Adia ... sebenarnya Kakak tahu, kamu tersesat ke dalam novel." Kakak memulai percakapan. "Saat kamu tidur, kamu terus mengigau Bhanuar dan Sevi atau Maia. Dan waktu itu, Reist juga ada di sana."

Mendengar nama Reist disebutkan, spontan aku tertarik. Sekarang perhatianku beralih pada Kakak.

"Harusnya Kakak tidak bilang padanya. Reist ... si bodoh itu, percaya saja waktu kubilang kamu ada di dunia novel dan tidak bisa bangun karena tersesat di sana."

Kakak tidak berhenti menyetir. Perhatiannya jatuh pada jalanan di depan. Tapi mulut terus mengucapkan kenyataan yang baru kuketahui.

"Harusnya Kakak cegah, waktu dia bilang akan menyusulmu." Suara Kakak bergetar.

Kakak banting setir ke kanan, pura-pura melihat spion. Padahal aku tahu, ia menahan tangis. Butir air mata bisa jatuh kapan saja. Mengungkit Reist selalu saja berujung air mata.

Aku tidak menimpali. Kutoleh kepala ke jendela. Kembali bersapa dengan angin. Tapi kali ini kepalaku yang keluar jendela. Membiarkan angin menerpa wajah. Menahan agar air mataku juga tidak jatuh.

📖

Sudah ada orang yang mendahuluiku ke pemakaman Reist.

Aku kenal dia. Dia teman Reist. Laki-laki yang memberitahu Reist pembalap, juga yang memberi alamat rumah Reist.

Dia, teman yang selalu menempel pada Reist. Soulmate, brother, atau apalah sebutannya.

Namanya Yenan. Laki-laki enerjik yang saat tersenyum matanya membentuk sabit.

Yang kutahu Yenan selalu berisik. Tapi di sini, ia pendiam. Matanya basah. Tertunduk menatap batu nisan Reist.

Ia tidak sendirian. Seorang wanita berparas cantik berdiri dekat Yenan.

Wanita itu menangis sesengukan. Ia mengusap-usap batu nisan penuh perasaan. Seolah kehilangan.

Yenan lebih dulu menyadari keberadaanku. Ia menepuk bahu si wanita. Berisyarat agar wanita itu bangun dan menoleh padaku.

Wanita itu menurut. Ia berdiri, membungkukkan badan dan memaksa diri untuk tersenyum.

Wajah itu, ia punya wajah Sevi.


"Kamu sudah datang, Adia?" serunya dengan sengau di hidung.

Hanya wajahnya saja yang mirip, tapi gestur juga cara bicaranya jauh daripada Sevi.

Akhirnya aku ingat wanita ini. Ia teman Reist juga. Satu-satunya wanita yang Reist perbolehkan memegang tangannya, selain aku.

Kalau tidak salah namanya Seya. Paras cantiknya selalu membuatku iri. Tanpa sadar membayangkan wajah itu untuk visual Sevi.

Apa Reist menyadarinya saat di novel? Atau ... ia sudah tahu, makanya bilang begitu.

"Masa bodoh dia salah satu karaktermu atau bukan. Wanita itu sudah keterlaluan."

Kalau aku jadi Reist, tentu menyebalkan saat wajah teman dekat sendiri dijadikan visual untuk karakter wanita antagonis.

Aku jadi merasa bersalah pada Seya.

Yenan dan Seya undur diri. Mereka memberi ruang padaku untuk berdua saja dengan Reist.

Kepergian mereka membuatku sadar. Kalau Reist pernah ada di hati orang lain, selainku.

Reist yang kutahu ketus pada orang yang tak dekat dengannya, tapi cenderung hangat pada orang-orang di sekitarnya.

Reist yang selalu kesepian sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, tapi selalu ada saat teman-teman membutuhkannya.

Reist yang selalu berkata jujur, dan memilih diam daripada harus berbohong.

Reist yang menjadi poros orang lain, sedangkan dirinya tak punya siapapun sebagai pegangan.

Reist yang itu.

Bagaimana aku sempat lupa.

Aku terlalu egois. Berpikir Reist hanya milikku saja.

Secara sepihak menuduh Reist tidak menyukaiku lagi hanya karena tidak menjawab panggilanku.

Berpikir ia akan meninggalkanku tanpa alasan pasti.

Kenapa aku baru sadar. Di depan makamnya, aku seolah baru mengenal Reist.

Aku menangis lagi. Berbungkuk menciumi nisan Reist. Meminta maaf sudah meragukannya. Juga membenciku yang lagi-lagi terlambat menyadari.

Lagi-lagi menyesal.

.
.

Reist ... masih bisakah kamu kembali?

📖

Okay karena sebelumnya Reist pernah spoiler, banyak yang tanya, siapa sih Yenan.
Nah, aku munculkan dia di sini. Dan mungkin akan berperan di cerita selanjutnya.
Mungkin ya. Gak janji.
Juga ada yang penasaran visual Sevi.
Iyap, Sevi punya wajah Seya.
Teman wanitanya Reist yang...
Ah, gak akan spoiler.
Nanti aja, biar kalian penasaran lagi.

📖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top