22. Yang Menyakitkan Itulah

Tips menulis ala Adia :

"Penulis yang berhasil, penulis yang bisa menghidupkan karakter."

_._._.___✍️

Akhirnya aku tahu kenapa Kakak bersikeras menyembunyikan tentang Reist selama ini. Karena aku akan meracau.

Aku kembali menggila. Menjerit-jerit. Menghancurkan seisi kamar.

Kakak memegangiku. Dengan otot bisepnya menghentikanku yang mulai menabrakkan kepala ke dinding.

Mama, Bibi, juga anak-anakku menangis di luar kamar. Baru kemudian Papa datang bersama dokter yang menyuntikan bius ke tubuhku.

Aku lunglai. Kakak mengangkatku ke atas kasur.  

Aku menatap Kakak. Berharap dia merevisi kalimatnya, atau tertawa karena berhasil mengelabuiku seperti biasanya. Tapi tidak. Kakak tidak berusaha melakukan apa yang aku mau.

Kakak menghapus air mataku dengan jemarinya. Kemudian ia sendiri membiarkan air matanya jatuh.

"Maaf, Adia!" lirih Kakak sebelum aku kehilangan kesadaran efek dari suntikan bius.

Suara-suara di sekitarku mendadak seperti gema. Memantul-mantul dan tersesat di indera pendengaran.

Di saat yang sama pikiranku berlari pada momen dalam novel bersama Reist.

Saat ia baru datang dan menyelamatkanku karena didorong Sevi. Ia pernah mengatakannya.

'Dengan suatu cara aku berhasil masuk ke sini.'

Atau sewaktu di indekos dan ia tiba-tiba memelukku dari belakang.

'Kurasa alasan kamu di sini karena aku.'

Saat ia menatap TV yang menayangkan MotoGP di toko buku, itu bukan tatapan rindu, tapi penyesalan.

Lalu dialog pagi-pagi saat di kamarnya, ketika Reist kuminta berhenti balapan.

'Tidak akan. Aku tidak akan balapan lagi meskipun aku ingin.'

Juga di taman bermain.

'Saat kembali nanti, berjanjilah kamu tidak akan melakukan hal konyol seperti bunuh diri lagi.'

'Aku tidak yakin bisa melakukannya lagi. Sekalian saja kutumpahkan semua. Sampai kamu bosan mendengarku terus bicara.'

'Aku terlalu senang. Menyukaimu selalu semenyenangkan ini.'

Reist tahu kalau ia tak mungkin kembali ke dunia nyata. Makanya ia menangis sewaktu menciumku. Sebagai perpisahan denganku.

Karena kalau aku tahu tentang kenyataan ini, aku lebih memilih selamanya di dalam novel. Bersama Reist. Tanpa peduli apapun.

.
.
.

Aku bermimpi. Reist ada di hadapanku. Sekeliling gelap tapi Reist tetap tersinari. Sangat tipis, sampai-sampai aku ragu dengan ekspresi wajahnya.

Mungkin ia bersedih. Mungkin ia menangis. Yang aku tahu, aku tidak bisa menjangkaunya.

Ia di hadapanku dan aku seolah kehilangannya. Lagi.

"Reist ... kenapa?" aku menangis. "Kamu bilang tidak akan meninggalkanku lagi."

Reist menolehku. Berkedip perlahan. Tidak berekspresi. Hanya tatapan mata yang sendu.

"Kumohon. Katakan padaku kalau mereka bohong. Kamu belum meninggal, kan?"

Reist menangis. Sama seperti saat di dalam novel. Isaknya menggema di ruang gelap.

"Maaf, Adia!" kata-katanya seperti milik Kakak.

Semua orang minta maaf. Aku tak mau mendengarnya.

Bayangan Reist memudar. Kegelapan membuat mataku buta.

Tanpa sempat aku menggenggamnya, Reist sudah hilang. Berganti hitam yang mendominasi penglihatan.

Aku menangis lagi dan lagi. Dalam mimpiku, juga sadarku.

📖

Ternyata, paparazi datang bukan untuk berita percobaan bunuh diriku. Tapi untuk Reist. Berita Reist meninggal, mengguncangkan dunia.

Mereka ingin konfirmasi dari keluarga. Tapi malah dapat ekstra berita.

Kerja mereka jadi bertambah. Mencari benang merah atas kasus bunuh diri, juga Reist yang meninggal tiba-tiba.

Mereka butuh fakta sebagai bahan pergunjingan dunia maya.

Aku bangun. Lebih lemas daripada saat terbangun dari koma.

Kulihat Kakak bersikap waspada. Takut aku kembali menggila. Kali ini ditambah Papa. Mereka ada di kanan dan kiri kasurku.

Tenang saja, aku terlalu lemas untuk membuat keributan. Aku lebih memilih menangis. Meraung-raung. Membanjiri bantalku dengan air mata.

Lukaku belum kering. Tim balap Reist datang menjenguk. Kurasa karena inilah Papa datang.

Kudengar Papa yang menjaga di pintu depan. Tidak mau putrinya dijenguk siapapun. Tapi manager Reist merasa perlu untuk bertemu denganku.

Papa yang kutahu sangat tegas, akhirnya memperbolehkan.

Kedatangan mereka seperti memercikkan garam pada luka. Perih. Membuat semakin menganga.

Mereka ada tujuh orang termasuk bos dari Yamaha. Mereka memang terampil di sirkuit juga Race Director, tapi tidak ketika bicara kebenarannya padaku. 

Manager Reist mewakili tim yang angkat bicara. Ia terlalu sering berdehem. Sewaktu kutatap tajam, ia hanya bisa melarikan pandangan. Merasa bersalah.

"Kami mohon maaf. Kecelakaan yang dialami Reist membuat kami terpukul juga."

"Kami sadar sudah menekan Reist dengan rangkaian practice juga kewajiban menang. Harusnya kami lebih peka, memberikan Reist waktu dengan keluarga. Tapi kami malah membatasi komunikasinya."

Nah, itu kalian sudah tahu. Hal itulah yang membuatku tertekan juga. Yang membuatku kehilangan akal sehat. Kenapa masih punya muka untuk bertemu denganku.

"Beberapa hari sebelum seri Qatar dimulai, Reist pergi. Kami dengar ia datang kemari. Menemui keluarganya. Kami sudah putus asa dan pasrah kalau Reist memutuskan berhenti."

"Tapi sehari sebelum qualifying dimulai, ia datang. Reist menjanjikan kemenangan pada kami. Dengan syarat, saat ia juara dan mendapatkan piala. Kami harus memberikan piala itu pada istrinya. Padamu."

"Tanpa diduga, Reist juara. Itu membuat kami gembira. Lalu ia melakukan hal bodoh itu. Kami kira Reist sedang melakukan wheelie atau akrobat, karena merasa senang bisa juara. Ternyata ia sengaja menabrakkan motor ke tribun dengan kecepatan penuh."

"Kami semua terkejut. Kami berlari menuju Reist. Tim medis sudah ada di sana. Dan Reist dinyatakan meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit."

Aku menutup mata. Menolak membayangkan semua perkataan manager. Tapi semakin berusaha, semakin bayangan itu muncul.

Saat Reist tertekan, saat Reist yang berputus asa, saat Reist menabrakkan dirinya.

"Kami turut berduka cita," manager masih kuasa berbicara.

"Sesuai permintaan Reist. Piala ini kami berikan padamu. Sebagai tanda hormat kami. Juga sebagai tanda permintaan maaf kami."

Manager menaruh piala di meja. Semua pasang mata di ruangan ini menatapku pilu. Seolah akulah orang termalang sedunia.

Aku tidak bisa menahan diri. Aku menangis, menumpahkan semua air mataku.

"Aku tidak mau piala. Aku mau Reist," lirihku. "Singkirkan pialanya dariku. Aku mau Reist yang di sini. Bukan piala. Bukan kalian semua."

"Kami mohon maaf."

"Aku mau Reist di sini. Reist ... Reist ... Reist ..."

Seperti kaset rusak, namanya terulang-ulang di bibirku. Berharap ia mendengar, berharap ia pulang.

Reist ...

Reist ...

Reist ...

...

tolong katakan ini semua tidak benar.

📖

Nb. Kusertakan trailer yang kuposting sebelum Before After rilis. Enjoy.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top