20. Atau Menyakitkan

Tips menulis ala Adia :

"Kamu yang pilih.
Duduk rapi membaca kisah orang, atau menciptakan kisahmu sendiri."

_._._.___✍️

Plot twist kadang dibutuhkan oleh penulis. Saat alur mulai menemukan titik buntu, atau perlu kejutan untuk menambah nilai cerita. Penulis menjadikan plot twist sebagai titik terang.

Kita analisis dulu alur Before After.

Maia menyukai Bhanuar. Lalu perasaannya berbalas dan mendapatkan hati Bhanuar.

Seandainya alur berjalan mulus, Maia dan Bhanuar bisa bersama. Happy ending.

Nyatanya di tengah jalan, Maia mengacaukan klimaks. Ada orang lain di tengah hubungan Maia-Bhanuar. Yaitu Reist.

Karena Reist melekat pada Maia begitu banyak. Sosoknya lambat laun jadi karakter penting. Bukan sekedar figuran lagi.

Sekalian saja, Reist menjadi plot twist. Maia akhirnya memilih Reist, si murid baru yang menyewa di kamar indekos.

Daripada terus mengandalkan Bhanuar, kali ini giliran Reist yang jadi pemeran utama.

Itu opsiku. Ending versi baru.

Reist sangat setuju. Wajahnya berseri ketika ide itu muncul di tengah kegiatan sarapan kami.

Ia membabat habis nasi goreng. Bersih tuntas tanpa sedikit pun remahan nasi.

Tangannya bertopang di dagu, memandangku dengan seringai penuh arti.

"Apa kita harus melakukan adegan ciuman sebagai ending?" Reist antusias.

"Ckckck ... Coba lihat, matamu berapi-api. Kamu bergairah karena memikirkan kita akan berciuman?"

"Memangnya kamu tidak?"

Seringai Reist membuatku ingin menjitak kepalanya.

Bagaimana bisa sebuah ciuman membuatnya begitu bersemangat. Memangnya sudah berapa lama kami tidak melakukannya sebagai suami istri.

Oh, pasti sudah lama sekali.

"Kenapa tidak terpikirkan cara ini dari awal?"

"Yaaaah, siapa yang menyangka akan begini. Kita terlalu fokus pada Bhanuar, lupa menambahkan opsi-opsi lain yang lebih mudah."

Reist menenggak air di gelas. Bersikap seolah sedang minum air tersegar sedunia.

Suasana hatinya sedang bagus. Senyum di bibir muncul lebih sering. Lebih merekah dua kali lipat dari biasanya.

"Ayo kita bersenang-senang. Kita lakukan hal yang kita sukai. Anggap saja honeymoon kedua," kataku tak kalah semangat.

"Apa yang mau kamu lakukan?"

"Taman bermain. Aku mau melakukan itu sejak dulu."

"Baiklah. Kita lakukan yang kamu mau."

"Kamu punya uang?"

"Punya. Toh kita akan meninggalkan dunia ini. Ayo habiskan semua uangku."

"Yeay~"

Bagi orang sambil lalu, kami seperti pasangan yang bersemangat untuk kencan.

Tapi bagi kami, inilah jalan untuk pulang. Tiket menuju ending.

Kuharap langkahku tepat. Kuharap kami bisa mengakhiri ini dengan mulus.

Siang hari, kami menuju taman bermain di tengah kota. Menghabiskan waktu di sana.

Berbagai wahana kami naiki. Macam-macam kuliner kami cicipi. Termasuk permainan tantangan yang berhadiah boneka.

Kami lepaskan semua endorfin kesenangan. Merasa kembali muda. Seperti pacaran lagi.

Matahari tenggelam di ufuk barat. Senja memamerkan kemegahannya dengan lembayung, juga lampu kota dinyalakan berwarna-warni.

Kami belum mau beranjak. Masih ada sesi kedua, taman bermain dengan view malam hari.

Sebuah pamflet menyebutkan acara puncak nanti akan ada kembang api raksasa menghiasi langit.

Kami memutuskan itulah ending kami. Jalan keluar kami.

Menjelang tengah malam, kami mengambil tempat di tengah taman bermandikan gemintang. Duduk lesehan di atas hamparan rumput tipis.

Jaket milik Reist hangat menyelimutiku. Padahal tanpa itu pun tubuh Reist sudah hangat. Ia memelukku dari belakang. Mengusir dingin yang mendadak muncul.

"Aku menyukaimu, Reist!" Aku bergumam. Mengucapkannya dengan fasih. Dengan seluruh inderaku.

Reist diam mendengarkan. Menikmati tiap detik namanya kusebutkan.

"Mungkin saat kita bangun nanti, kita akan lupa sebagian kejadian di sini. Atau bahkan lupa seluruhnya. Tapi kuharap kamu tidak berubah seperti sekarang."

Ia memelukku makin erat. Hanya tarikan napasnya yang merespon kicauan gembiraku.

"Ayo kita lebih bahagia, Reist. Kita buat cerita lebih indah dari novel. Hanya kamu dan aku pemeran utamanya."

Aku mendongak pada Reist yang menatap kejauhan tanpa makna.

"Reist ..."

"Hm?"

"Ceritakan sesuatu."

"Cerita apa?"

"Tentang kamu. Sejak kapan kamu menyukaiku. Kamu tidak pernah mengatakannya. Bahkan setelah kita menikah."

Reist diam sejenak. Ia menatap langit, seperti sedang menimang sesuatu.

"Benarkah? Apa aku sedingin itu?"

"Iya. Kamu tidak pernah bilang apapun. Aku sampai berpikir kamu menikahiku karena tanggung jawab. Bukan karena suka."

Benar, Reist bukan tipe romantis. Mustahil kalimat sayang atau cinta meluncur dari mulutnya.

Selama ini, ia melakukan dengan gestur tubuh. Lewat tatapan mata. Lewat sentuhan. Atau caranya memikirkanku.

Aku merasa sangat rakus sekarang. Aku ingin dia mengucapkannya barang sekali. Sebelum kehidupan nyata menginterupsi. Dengan kesibukan atau sesuatu lebih genting dari itu.

Nampaknya Reist telah siap bicara. Ia mendengung sebagai permulaan kalimat yang buatnya tersipu.

"Mungkin ... sejak aku menabrakmu dengan skateboard," ucap Reist.

Benarkah? Itu artinya kami jatuh cinta di waktu yang sama. Aku pun mulai menyukainya saat itu.

"Atau ... beberapa waktu setelahnya. Mungkin. Entahlah."

"Kenapa ragu-ragu begitu?"

"Aku tidak percaya diri. Belum pernah punya perasaan seperti itu sebelumnya. Yang aku tahu, waktu kamu bolak balik di sekitar tempat bermainku, aku jadi mulai memperhatikanmu."

"Jadi, kalau aku tidak bolak balik di jalan sana, mungkinkah kamu tidak akan menyukaiku?"

"Mungkin. Jodoh itu misterius, bukan?"

Reist menenggelamkan wajahnya di bahuku. Menceritakan lagi nostalgia dalam sudut pandangnya.

Giliranku yang diam mendengarkan. Reist yang banyak bicara sangat langka terjadi.

"Di cafe itu, saat kamu menumpahkan cola, aku pikir itu saatnya aku mengenalmu lebih banyak. Tapi aku terlalu takut. Malah membalikkan badan darimu. Dan lari karena janji yang tak begitu penting."

"Jujur, aku terganggu karena perasaan itu. Tanpa kamu melakukan apapun sudah buat pikiranku kacau. Aku baru tahu, ternyata menyukai perempuan bisa membuatku gila."

"Lalu kamu datang ke rumahku, mengembalikan kemeja dan gelang tali. Sudah kuputuskan, biar saja aku malu, atau ditolak nantinya. Aku cuma mau dekat denganmu. Aku mau memastikan perasaan ini apa namanya."

"Dan akhirnya aku tahu, perasaanku namanya cinta. Cuma milikmu. Aku tidak terpikir orang lain."

Sungguh kalimat yang indah. Aku nyaris tidak percaya, Reist-lah yang mengucapkannya. Dia yang tak mudah kuselami hatinya. Berhasil mendominasi pikiranku lagi dan lagi.

"Adia ... Saat kembali nanti, berjanjilah kamu tidak akan melakukan hal konyol seperti bunuh diri lagi."

Aku menggeleng juga mengangguk. Reist mengusap pergelangan tanganku. Tempat dimana aku menyayat dengan pecahan kaca.

"Bagiku kamu adalah rumah. Dimana pun kamu berada. Di situlah tempatku pulang. Sejak dulu, tidak pernah berubah."

Pergelangan tanganku dikecupnya. Cukup lama, sampai kutarik tanganku darinya.

"Waw, kamu cukup cerewet juga. Kukira aku sedang bicara dengan orang lain tadi."

Reist menyeringai. Tawa yang buatku jatuh cinta.

"Aku tidak yakin bisa melakukannya lagi. Sekalian saja kutumpahkan semua, sampai kamu bosan mendengarku terus bicara."

"Kalau kamu yang bicara, aku tidak akan pernah bosan."

Aku mengacak rambut Reist pelan, menyisipkan senyum yang buat Reist nyaman.

"Reist?"

"Iya."

"Setelah ini, berjanjilah kau akan lebih menyukaiku."

"Iya."

"Jangan pernah meninggalkanku."

"Iya."

Aku meraih kedua pipinya. Mengusapnya dengan jemari. Sementara itu, bersamaan dengan meledaknya kembang api berwarna mejikuhibiniu ... kami berciuman.

Terasa manis sisa dari gulali yang kami makan. Juga hangat karena tangan kami bersentuhan.

Langit gelap diwarnai megahnya kembang api. Di saat semua mata mendongak menyaksikan langit dipoles warna-warni. Kami terpejam dan tenggelam.

Bisa kurasakan pipiku basah, kena air mata. Kuyakin bukan milikku. Tapi Reist.

Sesuatu membuatnya sangat emosional. Reist yang kukenal tidak pernah memperlihatkan raut wajah sedih apalagi air mata.

Ini pertama kalinya. Dan cukup membuatku syok.

"Kenapa kamu menangis, Reist?"

Tangannya di tengkukku gemetaran. Butir air mata mencakung di dagu, kemudian menetes ketika matanya berkedip.

"Aku terlalu senang. Menyukaimu selalu semenyenangkan ini," katanya dengan bibir bergetar.

Kami terlalu bahagia. Terbawa perasaan. Tanpa sadar pikiranku melayang.

Seluruh tubuhku mati rasa. Seketika tak kurasakan salah satu anggota tubuhku menapak di bumi.

Seperti terbang, melayang dan pandangan mengabur.

Sayup-sayup kudengar suara Reist berbisik.

"Aku menyukaimu, Adia."

Suaranya mengantarkanku pergi.

Tidur lebih dalam.

📖

Kelopak mataku berat. Butuh beberapa menit sampai bisa kubuka. Sampai remang-remang memudar berganti tampilan langit-langit serba putih.

Aku terdiam. Menggerakkan bola mata.

Kemudian wajah seseorang muncul menghalangi pemandanganku.

Aku kenal wajah itu. Kakak laki-lakiku.

"Ma ... Adia bangun," suara sengau bercampur riang.

Lalu riuh hasil dari langkah kaki dan kursi yang bergeser.

Bergantian wajah itu muncul. Milik Mama juga Papa.

.
.
.

Reist, kita pulang.

📖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top