19. Yang Menyenangkan
Tips menulis ala Adia :
"Menulis itu cepat. Memberi rasa di dalamnya yang butuh waktu lama."
_._._.___✍️
Kamar Reist jadi tempat terhening sejak tadi sore. Sekarang sudah malam. Reist menyuruhku istirahat.
Mana bisa. Ketika mata sembab juga pikiran semrawut, yang kulakukan sedari tadi hanya melamun.
Langit-langit kamar jadi teman lamunanku. Bertindak seperti proyektor, memutar-mutar adeganku dengan Bhanuar tadi.
Bagaimana ini, kupikir membuat Bhanuar jatuh cinta sudah benar. Kupikir ciuman jadi jalan keluarku. Nyatanya tidak.
Apa aku dikutuk. Atau ada yang salah dari awal.
Pintu kamar terbuka perlahan, memunculkan Reist dan wajah cemasnya.
"Kukira kamu tidur," kata Reist.
"Aku tidak bisa tidur."
"Perlu kuninabobo?"
Aku tersenyum lemah. Reist duduk di tepi kasur. Mengelus puncak kepalaku.
"Apa yang terjadi dengan Bhanuar? Kamu tidak benar-benar menghabisinya, kan?" tanyaku membuat Reist berhenti mengelus.
Ia mendengus. "Jangan bilang dari tadi kamu memikirkan Bhanuar sampai tidak bisa tidur."
"Tidak. Ya. Maksudku ... Oh ayolah, aku bicara tentang jalan keluar novel. Seperti yang kubilang, ending cerita Maia dan Bhanuar berciuman, tapi tidak terjadi apa-apa. Apa yang salah. Apa yang kita lewatkan."
"Aku tidak mau memikirkannya? Melihat kalian ciuman saja aku sudah sangat emosi." Reist buang muka.
Aku menggapai tangannya. Memintanya mengelusku lagi. Tidak berhasil. Dia emosi sungguhan.
"Reist ... Kamu cemburu?"
"Tidak."
Tentu, di antara semua orang aku paling tahu bagaimana marahnya Reist.
Lelaki itu bukan tipe posesif, tapi saat sesuatu terjadi padaku, dia tidak akan tinggal diam.
Dia tidak pernah berubah. Sejak pertama bertemu sampai sekarang.
"Tidur sana, awas kalau aku mendengarmu menyebut namanya lagi," perintahnya penuh paksa.
"Kalau aku tidur, kamu akan pergi lagi kan. Aku tidak mau kamu pergi, Reist."
"Tidak. Aku akan di sini sampai kamu bangun. Jadi ... tidurlah!"
Aku percaya Reist. Dia tidak akan bohong. Reist membetulkan selimutku, mencium keningku.
Reist tidak kelihatan akan turut tidur. Ia memunggungiku. Memikirkan sesuatu seolah sedang memikul beban berat.
Aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya, selalu tidak bisa ditembus.
Sementara itu, aku terlelap sambil melihat punggungnya.
Aku bermimpi. Tentang aku dan Reist di waktu dulu.
📖
Kudengar Reist sudah pulang dari balapannya di Red Bull Rookies Cup.
Aku bertanya alamat Reist dari temannya. Niatku tulus, ingin mengembalikkan kemejanya yang kupinjam selama satu setengah tahun itu.
Entah Reist masih ingat atau tidak. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Melihatnya dari dekat.
Rupanya Reist sedang berkumpul dengan kawannya. Pintu rumah terbuka makanya aku bisa tahu.
Kalau tidak salah hitung ada sekitar enam orang, termasuk Reist yang duduk santai di sofa.
Aku membeku di depan pintu. Suara di kepalaku bilang lebih baik pulang saja, sebelum membuat diriku malu.
Aku baru akan melakukannya, tapi kalah cepat oleh panggilan dari seorang lelaki.
Dia yang setahun lalu memberitahuku kalau Reist pembalap. Juga yang baru-baru ini memberikan alamat Reist.
"Waaahh, Reist dapat tamu perempuan," soraknya.
Sontak seluruh mata tertuju padaku, begitupun tatapan Reist. Ia melihatku di pintu. Mengamatiku sejenak, kemudian berdiri.
Reist beringsut ke tempatku. Menghentikan keributan yang dibuat teman-temannya. Ia menarik gagang pintu. Menutupnya dengan punggung. Ia di hadapanku kini, bebas dari hirup pikuk sorakan temannya.
"Ada apa?" katanya singkat.
"Anu ... aku mau mengembalikan kemejamu."
Kuberikan paper bag pada Reist. Ia menerimanya. Dahi Reist mengernyit. Ia intip isi paper bag, lalu ber-O ria. Sepertinya dia lupa.
"Aku datang hanya untuk ini. Dan ... terima kasih. Aku lupa bilang waktu itu."
Aku merasa malu sekaligus tidak percaya diri. Kubungkukkan badan. Gestur tubuh hendak pamit pergi.
"Tunggu. Biar kuantar kamu pulang."
Mataku berkedip cepat. "Lalu ... teman-temanmu?"
"Tidak usah khawatir. Mereka biasa kumpul di sini seharian."
Bukan itu maksudku. Bagaimana mungkin tuan rumah pergi saat temannya berkumpul. Lagipula ... mengantarku pulang? seperti mimpi.
Reist memintaku menunggu, sedangkan ia menuju garasinya di halaman samping.
Tak lama, ia muncul dengan motor besarnya. Sedikit gaya. Apa dia sedang pamer?
Aku naik motornya dengan hati-hati. Sebelum pergi kusisipkan pesan di telinganya.
"Tolong jangan ngebut. Aku takut."
Ia menyeringai. "Tenang saja. Aku cuma ngebut di sirkuit. Tidak di jalanan."
Seterusnya motor melaju membawa kami ke lingkungan tempat tinggalku.
Sepanjang jalan, kami tidak melakukan percakapan. Selain karena canggung, juga karena aku sedang mengabadikan momen berada di punggung Reist.
Aku jatuh cinta, terutama pada tengkuknya.
Kupandangi sampai puas. Sampai mengkhayal bisa bersandar di sana. Tentu khayalan yang absurd. Mustahil terjadi.
Kami sampai. Aku turun dari motornya sambil tertunduk malu.
Beberapa detik kami saling diam. Reist seolah mengizinkanku sedikit lebih lama dengannya. Memancing sebuah perbincangan kecil.
"Bagaimana dengan balapanmu? Kudengar kamu memenangkannya."
Reist menyeringai. "Tidak terlalu buruk. Aku mengincar tim Yamaha. Sepertinya mereka terkesan dengan performaku. Kalau aku mujur, aku bisa tembus MotoGP sedikit lagi," jelasnya berapi-api.
Aku suka garis tawanya ketika mengatakan kalimat itu. Kentara sekali, Reist menyukai balap.
"Bagaimana denganmu? Apa tulisanmu berhasil?" tanyanya kemudian.
Aku lupa, dia pernah tahu aku adalah penulis. Rupanya dia tidak melupakanku sebanyak itu.
"Aku tidak tahu akan berhasil atau tidak. Aku coba mengirimkan naskahku ke penerbit. Semoga saja karyaku berjodoh di sana."
"Pasti diterima. Aku bukan tipe pembaca. Tapi saat kubaca sedikit tulisanmu waktu itu. Bagus juga."
Entah ia mengatakannya sekedar menghibur ataukah jujur. Reist meraih helmnya. Berisyarat akan segera pergi.
"Oh ya, namaku Adia. Kalau kuingat-ingat aku belum pernah memperkenalkan diri."
Reist menarik ujung bibirnya. "Aku tahu. Aku bertanya pada banyak orang tentangmu."
Suaranya tidak kedengaran, tertutup helm full face-nya. Aku menerka-nerka, apa maksudnya.
Reist tidak berusaha menjelaskan. Starter motor dinyalakan. Ia siap tancap gas.
"Setelah ini, aku masih boleh menemuimu, kan?"
Itu kalimat terakhirnya sebelum pergi. Besoknya ia datang lagi dan lagi.
Kami bukan anak kecil yang perlu pernyataan cinta. Satu isyarat saja kami tahu perasaan masing-masing.
Reist jadi milikku. Aku jadi miliknya. Apalagi setelah khilafnya kami di suatu malam. Dan aku hamil.
Seiring perjalanan waktu mimpi kami terwujud. Pembalap dan penulis. Kolaborasi yang ganjil.
📖
Mataku terbuka. Masih ada punggung Reist di tepi kasur. Tidak berubah seperti saat aku pertama tidur.
Punggung itu sama seperti di dalam mimpiku. Tengkuk itu, tengkuk yang kusukai.
Aku bangun dan memeluknya dari belakang. Dulu, aku sangat ingin melakukannya. Bersandar di tengkuknya. Mencium aroma tubuh Reist.
"Reist, apa kamu pernah tahu, aku hamil anak kedua waktu kamu pergi."
Reist diam sebentar. Detak jam menengahi suara kosong kami.
"Tidak. Mereka tidak memberitahuku. Aku dilarang menggunakan handphone. Semua panggilan-panggilan darimu dan keluarga diterima manager. Dan dia tidak mengatakan apapun tentangmu."
Rasanya aku ingin kembali ke masa itu. Begitu bodohnya aku tidak percaya pada Reist.
Aku menyesal memutuskan bunuh diri. Kami tidak akan terjebak di sini seandainya aku bisa bersabar sedikit lagi.
"Reist, apa kamu masih menyukaiku?"
"Bodoh. Kalau tidak, untuk apa aku datang kemari."
Reist meletakkan tanganku di dadanya. Debarannya menggelitik indera perabaku. Kami melakukan itu sampai pagi datang.
Selama di punggungnya aku memikirkan banyak hal. Kupilah-pilah lagi segala sesuatu. Kugunakan sudut pandang sebagai penulis. Dan aku telah sampai pada satu kesimpulan gila.
"Sepertinya aku tahu bagaimana cara kita mengakhiri novel ini."
"Bagaimana?"
"Plot twist!"
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top