17. Tahu

Tips menulis ala Adia :

"Tulisan tanpa riset, seperti sayur tanpa bumbu. Hambar."

_._._.___✍️

Sinar matahari sekonyong-konyong menembaki mataku. Dengan terpaksa kubuka kedua mata. Meski kantuk masih terasa, sinar matahari pagi tak mengizinkanku tidur lebih lama lagi.

Aku menguap, lirik kanan kiri mulai menyadari dimana berada.

Seingatku kemarin sore setelah termehek-mehek di hadapan Reist. Ia membawaku ke tempat dimana ia tinggal. Kamar kecil dengan satu ranjang hanya cukup satu orang dewasa.

Kami terpaksa berdesakkan di ranjang. Tidur gaya sendok bertumpuk. Reist memelukku dari belakang. Menjadikan lengannya sebagai bantalku. 

Aku belum mau beranjak. Masih ingin di posisi ini sedikit lebih lama.

Aku tahu Reist sudah bangun juga. Nampaknya pemikiran kami serupa. Biarlah pagi ini saja kami saling menyentuh satu sama lain. Sebagai perayaan telah kembalinya seluruh ingatanku.

"Reist?" gumamku pelan. Sedetik pun tidak mengubah posisi.

"Hm?" dengung Reist. Jakunnya bergetar kena telingaku.

"Aku tidak mau sekolah."

"Hm."

"Aku tidak mau bangun."

"Hm."

"Aku tidak mau bertemu Bhanuar lagi."

"Tidak usah."

"Kita tidak usah pulang ke dunia nyata. Di sini saja."

Reist mendesah. Kepalanya menelusup ke leherku. Bermanja-manja. "Kamu tidak rindu anak-anakmu. Keluargamu."

"Habisnya kalau kita kembali, kamu pasti akan balapan lagi. Meninggalkanku lagi."

Hening sesaat. Entah karena Reist kembali tidur atau ia malas menimpali.

Aku membalikkan badan. Memperhatikan Reist menutup matanya, tapi kutahu ia terjaga.

"Tidak akan. Aku tidak akan balapan lagi meskipun aku ingin," nada yang lemah. Seolah akulah orang jahat yang mengekangnya melakukan hal yang ia suka. Padahal bukan itu maksudku.

"Lupakan saja. Lakukan apa yang kamu suka. Aku tahu kamu akan jadi sorotan paparazi kalau tiba-tiba berhenti. Apa katanya nanti, pembalap ganteng dari Indonesia terpaksa gantung sepatu karena dipaksa istri."

Reist mengerucutkan bibirnya, sedetik kemudian tertawa tanpa suara.

"Kamu tidak salah peribahasa tuh, gantung sepatu kan untuk pemain sepak bola."

"Kalau pembalap apa? Gantung helm? Gantung ban?"

Seperti dapat humor segar di pagi hari. Reist tertawa terpingkal-pingkal. Ia bahkan memegangi perutnya seolah kalimatku adalah hal lucu.

Aku membogem bahunya dengan kepalan tangan. Reist tidak berhenti. Ia menjadikan bantal sebagai tameng.

"Reist ih!" teriakku sambil cemberut. Reist menyudahi tawa. Berganti memelas dengan mata beningnya.

Aku luluh meskipun mempertahankan bibir manyun.

"Iya, aku akan melakukan apapun yang kamu sukai. Untukmu dan anak-anak. Kamu puas?"

Cemberutku berganti senyum merekah. Reist juga melakukan senyum yang sama. Senyum yang aku suka.

Seseorang tiba-tiba mendobrak pintu. Keras sekali. Aku dan Reist sampai terperanjat kaget.

"Reist, kak Alfi minta diajari skate- eh ...." Seorang lelaki bertubuh gempal mendadak berhenti bicara begitu melihat kami, melihatku. "Sorry Reist. Aku tidak tahu ada pacarmu di sini."

Aku dan Reist saling pandang. Reaksi spontan dari kata 'pacar' barusan.

"Ada apa?" Reist mengalihkan pembicaraan.

"Biasa, minta diajari skateboard," singkat lelaki itu.

"Oke, tunggu saja di taman." Mereka menyudahi perbincangan. Sekaligus memaksa kami untuk bangun.

"Kamu jadi pelatih skateboard sekarang?" tanyaku di sela Reist yang bangun meraih handuk.

"Ya. Dan tidak gratis. Setidaknya aku bisa makan dari itu." Reist membelit handuk di lehernya. "Apa yang mau kamu lakukan?"

Aku mengendikkan bahu. "Mungkin, menemui Bhanuar sekali lagi."

Kening Reist bertautan. "Barusan kamu bilang tidak mau bertemu Bhanuar lagi."

"Mau tidak mau. Bagaimanapun Bhanuar kunci kita untuk pulang."

"Huh, aku benci dia."

"Reist. Ayo kita akhiri ini. Aku minta izinmu. Hari ini, aku akan mencium Bhanuar."

Reist mendelik. Membalikkan badannya menuju kamar mandi.

"Lakukan saja, selagi aku tidak melihat kalian." Reist menutup pintu keras-keras. 

Aku pun menghela napas panjang. 

📖

Aku pulang. Seperti yang bisa kuduga, Ibu memarahiku. Semalam tidak pulang, tidak memberi kabar. Siapa yang tidak khawatir.

Untunglah aksi memarahiku tak berlangsung lama, sebab waktu menunjukkan pukul 7. Ibu menyuruhku bergegas ke sekolah. Melewatkan bagian mandi dan sarapan. Atau aku akan terlambat.

Tak masalah. Tujuanku ke sekolah untuk menemui Bhanuar. Aku benar-benar ingin mengakhiri ini. Kuharap ini hari sekolah terakhirku.

Aku nyaris terlambat. Pintu gerbang tertutup sedetik setelah aku masuk. Begitu juga guru datang ke kelas segera setelah aku duduk di mejaku. Benar-benar waktu yang serba pas.

Aku tak sabaran menunggu jam istirahat. Materi pembelajaran tak ada yang masuk ke kepala.

Sedari tadi otakku dipakai merangkai kata untuk Bhanuar. Sebuah pengakuan yang harus kukatakan pada Bhanuar.

Waktunya tiba. Aku berjalan cepat ke kelas Bhanuar. Dia tidak ada di sana.

Tempat mana lagi yang biasa Bhanuar datangi saat istirahat. Perpustakaan.

Benar saja. Bhanuar di sana sedang membaca.

Perpustakaan hening. Siapapun yang datang apalagi dengan langkah terburu-buru sepertiku, akan menghasilkan gema. 

Bhanuar menoleh ketika aku datang. Ekspresinya tidak biasa. Datar cenderung murung. Bhanuar yang biasanya selalu tersenyum saat melihatku.

Dalam sekejap aku berhasil membuat Bhanuar kehilangan senyum di wajahnya.

"Kak Bhanu--"

"Kemarin kamu kemana?" potong Bhanuar. "Aku mencarimu sekitar mall. Kukira kamu pulang, tapi ibumu bilang kamu tidak pulang semalam."

Lagi-lagi reaksi yang sudah kuduga. Apa sekalian saja kukatakan semua. Sudah kepalang berantakan.

Aku mengambil kursi di seberang Bhanuar. Duduk gelisah memilin ujung rok selututku.

"Aku pergi menemui Reist," jawabku tanpa ragu.

"Kenapa?" 

Dari seribu pertanyaan Bhanuar memilih 'kenapa.' Pertanyaan yang mencakupi banyak arti.

"Sebaiknya kamu punya alasan yang bagus, Maia."

Aku diam sesaat. Bhanuar menatapku tajam. Bisa kurasakan ada kemarahan dari caranya menatap. Juga saat menyebutkan nama Maia.

Rupanya tindakanku kemarin membuat Bhanuar frustrasi. Aku lupa, meskipun bagiku ini adalah dunia novel, tapi perasaan Bhanuar nyata. Ia hidup di dalamnya.

"Aku menyukai Reist." Jawabanku membuat Bhanuar memutar bola mata. Buang muka.

"Oh!" itu saja responnya.

"Kak Bhanu tidak penasaran kenapa aku malah menyukainya, padahal aku pacarmu?"

Bhanuar tidak mengangguk ataupun menggeleng. Gestur tubuhnya jelas ia tidak ingin mendengar kelanjutan kalimatku.

"Dari dulu, aku tidak suka ada musuh. Makanya setiap ada kompetisi aku selalu mundur," ucap Bhanuar sembari menutup buku yang ia baca.

"Kalau kamu menyukai Reist, silakan saja. Aku tidak seputus asa itu, sampai harus mengemis agar kamu suka padaku."

Bhanuar membereskan buku. Berniat pergi. Aku menghadangnya dengan kalimatku.

"Aku punya alasan, Bhanu!" cetusku. "Alasan yang tidak masuk akal."

"Contohnya?"

Aku menelan ludah. Bersiap dengan kalimat yang panjang.

"Namaku Adia, bukan Maia. Aku penulis novel. Secara magis aku masuk ke dalam novelku. Di sini, dunia ini, adalah novelku. Termasuk kamu. Dan Reist ... suamiku di dunia nyata. Dia datang untuk menyusulku kemari."

Aku tahu dari sudut manapun penjelasanku terdengar konyol. Bhanuar bergeming. Sorot matanya jelas, ia tidak percaya.

"Alasan terburuk yang pernah aku dengar," sahut Bhanuar. "Sudahlah. Kalau mau putus, ya putus saja. Jangan mengarang cerita tidak masuk akal."

Bhanuar pergi. Aku mengekornya sampai pintu. Lalu menangkap pergelangan tangannya.

"Bhanu, cium aku!" pintaku gamblang. Tidak peduli ada orang selain kami di perpustakaan. Aku hanya ingin cepat mengakhiri ini.

"Aku bisa keluar dari dunia ini kalau kamu menciumku."

Bhanuar menepis tanganku. "Oh, jadi karena inikah kamu mendekatiku? Untuk sebuah ciuman?"

Aku tertangkap basah. Tidak berani mengiyakan ataupun mengelak.

"Anggap saja aku percaya padamu. Dan kalau yang kamu bilang itu benar, kita harus ciuman agar kamu bisa keluar. Maka akan kupastikan kamu tidak bisa keluar selamanya."

Ucapan Bhanuar terdengar pilu. Aku tahu, Bhanuar menahan gejolak emosi dalam dada.

Cerita dirinya adalah tokoh fiktif tentu menampar akal sehatnya.

📖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top