16. Dia

Tips menulis ala Adia :

"Semua orang punya alasan tersendiri untuk apa mereka menulis. Pegang itu, jadikan pedomanmu."

_._._.___✍️

Mari kita bekukan dunia novel. Aku akan bercerita tentang masa lalu. Awal pertemuanku dengannya. Di usia dua puluh tahunan dan sedang semangat-semangatnya jadi penulis.

Aku bertabrakan dengan lelaki yang memakai skateboard. Kami terjatuh ke tanah. Dia menindihku. Dan langsung berdiri begitu aku mengaduh.

"Sorry sorry sorry!" ucapnya sembari menepuk debu halus dari celana.

Bukan sakitnya yang aku khawatirkan, tapi lembar naskah yang kubawa berceceran ke jalan.

Aku memungutnya. Lelaki tadi membantuku. Sedikitnya ia mengintip tulisan yang diketik rapi itu. Lalu menyeringai ketika memberikannya padaku.

"Kamu penulis novel?" katanya dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.

Aku mengangguk ragu-ragu. "Penulis amatir."

"Tidak ada yang namanya amatir atau profesional," kalimatnya terdengar enteng. "Yang namanya penulis, ya ... orang yang menulis. Aku menghargai segala profesi."

Aneh, aku yang selama itu ragu, yang selalu tidak percaya diri dengan tulisanku, mendadak bisa membusungkan dada mendengar kalimatnya.

Lelaki itu menoleh pada teman-temannya yang juga bermain skateboard di ujung jalan. Salah satu temannya memanggil.

Lelaki itu memberi isyarat akan segera datang setelah urusannya denganku selesai.

Memangnya apalagi urusan kami. Masalah tabrakan bukan sepenuhnya salah dia, aku juga salah karena tidak bersikap awas.

Aku memberikan perintah agar ia kembali pada temannya alih-alih meminta maaf.

Lelaki itu meminta naskahku. Lembarannya berantakan karena belum sempat kujilid. Ia menggulung lembaran hingga berbentuk tongkat.

Selanjutnya ia melepaskan gelang tali dari tangan. Lalu mengikatnya pada gulungan kertas.

"Nih, biar tidak berceceran lagi."

Ia pergi sambil menaiki skateboardnya. Membaur ke tempat teman-temannya menunggu.

Aku melamun, gulungan kertas jadi saksi pandangan mataku tak lepas darinya yang seperti menari di atas skateboard.

Lelaki dengan rambut panjang menutupi tengkuknya. Lelaki yang paling menonjol di antara teman-temannya. Ia yang paling tampan, paling putih, dan paling tinggi.

Hari itu aku jatuh cinta padanya.

📖

Waktu berjalan cepat. Pertemuan dengan lelaki skateboard tidak mudah kulupakan.

Berkali-kali aku lewat ke jalanan itu. Memperhatikan dia dan temannya bermain skateboard.

Aku tidak berani mendekat. Terlalu malu. Hanya bisa memperhatikan dari jauh. Jadi penggemar rahasianya.

Suatu hari, aku duduk di sebuah cafe tak jauh dari jalanan tempat kumpul para skateborder.

Tiba-tiba saja aku dapat ide untuk menulis. Aku menumpahkannya pada note yang selalu kubawa-bawa.

Aku menulis dengan serius, tanpa sadar rombongan lelaki masuk dan duduk tepat di sebelah mejaku. Aku menoleh karena suara bisingnya.

Ya Tuhan ..., lelaki itu ....

Aku tidak salah lihat, lelaki skateboard itu ada di antara rombongan lelaki yang baru masuk tadi.

Refleks aku menutupi muka dengan note. Menarik dan mengembuskan napas seolah tak dapat oksigen.

Baru kusadari hal yang kulakukan kelihatan konyol. Lagipula kemungkinan ia ingat padaku juga sangat tipis.

Perlahan kuturunkan note. Bersikap sangat santai sedangkan isi kepalaku meronta-ronta tidak bisa diam.

Aku pura-pura menulis. Tapi sadar waktu lelaki itu menolehku. Tatapan yang cukup lama. Apa dia berniat membuat pipiku panas karena terus dipandanginya.

Aku membereskan buku. Memasukkannya asal ke dalam tote bag. 

Minuman colaku masih tersisa. Aku meraihnya dan terburu-buru.

Cerobohnya aku. Cola tumpah ke dada. Warna hitam pekatnya tembus ke kaos putihku.

Yang mengesalkan adalah para lelaki itu memperhatikan. Ditambah siulan genit karena bagian dadaku tercetak jelas. Sialan.

Lelaki itu berdiri menghampiriku. Dilepasnya kemeja kotak-kotak dari tubuhnya. Lalu ia berikan padaku.

"Pakai! Atau mereka akan semakin menggila." Lelaki itu memberi perintah.

"Tidak usah, aku pergi saja."

"Pakai!"

Ia membalikkan badan begitu kemejanya di tanganku. Sekaligus menghalangi badanku dari tatapan mereka.

Teman-temannya meracau, berteriak pada lelaki layaknya pahlawan ini.

"Yaaaah, Reist. Kamu kuno, ah! Pemandangan indah tuh, pemandangan indah!" kicau mereka.

"Kalian yang norak," balasnya.

Ow, jadi namanya Reist?

Gelombang gumaman woo~ membuat bising cafe. Kupandangi punggungnya yang proporsional. Terpesona berkali-kali dari berbagai sudut.

Reist mengintip jam tangannya. Aku mematung ketika dia mengatakan kalimat itu.

"Sorry guys, aku duluan ya. Sudah ada janji," kata Reist masih membelakangiku.

Tanpa menoleh, ia pergi. Kupandangi tiap langkahnya sampai keluar cafe.

Kemejanya yang hangat masih menggantung di tanganku. Saat siulan itu mereka lakukan lagi, barulah kukenakan kemeja itu dan pergi.

Bertambah sudah barang yang harus kukembalikan. Aku merutuk diri sendiri. Harusnya waktu itu kukejar Reist. Mengembalikan gelangnya yang selalu kubawa-bawa di tote bag. Malah seperti orang bodoh dengan noda di dada.

Di hari lain, aku menuju jalan yang biasa jadi tempat bermain skateboard Reist dan kawan-kawannya. Kemeja juga gelang tali kumasukan paper bag.

Dengan mantap aku mendekat arena bermain mereka. Tapi setelah kuperhatikan seksama, tidak ada Reist di sana. Ia tidak ikut bermain.

Seseorang menyadari kedatanganku. Ia menyapa.

"Cari Reist, ya?"

Entah bagaimana ia tahu. Mungkin dari paper bag yang menyembul kemeja milik Reist.

Aku mengangguk padanya. "Aku mau mengembalikan kemejanya."

"Wah, Reist tidak akan ada di sini sementara waktu," terangnya. Aku memiringkan kepala, heran. "Reist itu pembalap. Perlombaan musim tahun ini sebentar lagi dimulai. Jadi dia fokus latihan di Eropa."

"Pembalap?"

"Iya, Reist ikut Red Bull Rookies Cup. Dia bercita-cita jadi pembalap MotoGP. Ajang itu batu loncatan untuknya. Jadi dia pasti akan lama di sana."

Aku menyudahi pembicaraan. Paper bag kubawa pulang. Bagaimana pun harus kuserahkan langsung pada orangnya. Tidak peduli berapa lama pun.

Ternyata lelaki yang kusuka sangat sulit kujangkau. Bukan saja masalah tempat yang jauh, tapi juga waktu.

Sebab satu musim artinya sembilan bulan bahkan lebih. Reist tidak ada di Indonesia selama itu.

Entah perasaanku akan bertahan atau tidak. Kita lihat saja.

📖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top