15. Diri
Tips menulis ala Adia :
"Jangan puas dengan satu karya. Buatlah lagi, setingkat lebih tinggi. Hingga kamu keluar dari sebutan pemula."
_._._.___✍️
Reist pergi. Sudah sebulan indekos kosong. Ibu ragu-ragu memberikan kamar Reist pada penyewa baru. Khawatir Reist pulang kamarnya sudah terisi.
Aku meyakinkan Ibu, Reist tidak akan kembali. Kalaupun ia berani, aku akan mengusirnya pergi.
Dia sumber kenangan burukku. Malapetakaku. Sudah bagus aku melupakannya. Dengan ia muncul kemari tidak memperbaiki apapun.
Hari-hari berlanjut. Aku dan Bhanuar makin dekat. Dia lelaki luar biasa. Meskipun sibuk, ia bisa membagi waktunya dengan baik. Sebagai murid kelas 3, juga sebagai pacar pengertian.
Bhanuar baru menyelesaikan ujian try out. Sudah bisa ditebak, Bhanuar mendapatkan nilai tertinggi.
Pujian datang tanpa berhenti. Tapi tak menjadikannya besar kepala. Seorang guru bahkan memberikannya nasihat.
"Kamu sudah kelas 3. Nilai-nilaimu sempurna. Berhentilah pacaran, sebelum itu merusak masa depanmu."
Bhanuar mengangguk saja saat itu. Harusnya aku tak mendengar. Harusnya aku tak ada di sana dan menyaksikan.
Aku dan Bhanuar jalan di lorong, menuju kelas masing-masing. Tidak ada dialog. Bhanu merasa perlu mencairkan suasana. Dicubitnya pipiku. Juga didorongnya pelan bahuku.
"Aku yakin kamu tidak semurung ini sebelumnya," kelakar Bhanuar.
"Aku tidak murung."
"Baiklah, aku minta maaf kalau aku salah." Bhanuar menjewer kupingnya. Berlagak seperti pendosa yang harus dihukum.
"Kak Bhanu tidak salah apa-apa," kataku sambil tertawa. "Cuma ... yang dibilang guru itu benar juga. Pacaran tidak bagus untuk anak kelas 3 yang akan ujian. Aku akan disalahkan kalau nilai-nilai kak Bhanu turun."
Bhanuar melancarkan senyum terbaiknya. Ia menghentikan langkah kami yang baru mencapai setengah jalan.
"Belajar dan pacaran. Sejak kapan itu jadi hal yang menggangguku. Aku suka keduanya. Aku menganggap pacaran sebagai bahan bakar belajarku. Lagipula kamu bukan wanita rewel yang minta terus diperhatikan. Kamu wanita yang dewasa."
Bhanuar sukses membuatku tersipu malu. Sekaligus membuatku merasa istimewa. Beda dengan seseorang.
Kami melanjutkan perjalanan, Bhanuar menggenggam tanganku.
"Akhir pekan ini, mau temani aku liburan? Otakku juga butuh istirahat," ajak Bhanuar.
"Kemana?"
"Kemana saja, asal sama kamu."
Kami sepakat memilih nonton bioskop. Ada film yang ingin kutonton. Bhanuar berjanji akan menjemput ke rumah.
Akhir pekan, Bhanuar menepati janjinya. Ia terlihat gaya dengan busana kasual. Harum bayi tercium dari lehernya.
Aku berpamitan pada Ibu. Mengambil bus pagi. Entah kenapa kami jadi serakah. Ingin bersama lebih lama. Seharian penuh sebelum besok Bhanuar disibukkan pemantapan dan tugas praktek.
Kami melakukan percakapan sepanjang jalan, saling tertawa, membuat diri kami nyaman satu sama lain.
Kami turun di sebuah halte. Melanjutkan dengan berjalan kaki untuk sampai ke mall.
Di tengah jalan, di sebuah taman bermain skateboard. Kulihat Reist ada di sana. Bersama beberapa lelaki sebaya. Berlarian. Melompat. Menari di atas papan luncur.
Reist tidak melihatku dengan Bhanuar. Lelaki itu terlalu asyik dengan mainannya.
Lucu, beberapa hari lalu kami bekerja sama agar keluar dari novel. Coba lihat sekarang. Dia bersikap seolah akan hidup selamanya di dunia ini. Dunia palsu dan berubah-ubah. Semua orang berubah, kecuali Reist.
Aku pergi tanpa menoleh pada Reist. Kuminta jalan kami dipercepat. Bhanuar keheranan. Namun menikmati saja saat kuseret-seret masuk mall. Atau ketika kulepaskan begitu saja di atrium.
Ia pasti sadar aku cemas. Kalau tidak, Bhanuar tidak akan menggenggamku begitu kuat. Memberiku senyuman menenangkan sebelum kami naik lift.
Benar juga, lupakan Reist. Aku di sini untuk Bhanuar.
Lift penuh sesak. Aku dan Bhanuar sampai berhimpitan ke sudut.
Seorang anak 5 tahunan menarik perhatianku. Ia berbincang dengan Ibunya. Menggebu-gebu seolah ada kilat di matanya. Sedikitnya aku mendengar percakapan mereka.
"Beneran Bu, aku bisa ketemu Ayah di sini?" anak itu bersemangat. Ibunya mengangguk.
"Tentu. Ayah menunggumu sambil memesan eskrim."
"Hore!"
Yang bisa kutangkap adalah ayah dan anak ini terpisah. Mereka kemari untuk suatu pertemuan. Anak itu pasti sangat merindukan ayahnya.
Pintu lift terbuka. Yang di dalamnya berhamburan keluar. Termasuk aku dan Bhanuar.
Anak tadi berlari pada lelaki paruh baya yang duduk di kursi foodcourt.
"Ayaaaaahhh!" Suaranya melengking, tersirat kegembiraan.
Dadaku mencelos. Tiba-tiba saja memori dalam kepala memaksa keluar. Urutannya acak, mirip seperti slide film, terpotong, tak beraturan.
Kenangan pertama ketika seorang anak laki-laki berseru riang, 'Bunda, lihat ayah ada di TV.'
Itu anakku. Anak sulungku. Setiap minggu punya acara favorit yang tidak bisa dimanipulasi siapapun. Acara motoGP. Ia bahkan hafal jadwalnya setiap seri di musim itu. Lebih hafal daripada perkalian tiga.
Lalu potongan kenangan lain muncul.
Ketika anakku berteriak lantang begitu mendapati ayahnya di pintu. Pulang sehabis menjuarai balapan.
Reist merangkul anakku. Menciumi pipinya karena rindu. Lalu menghambur ke pelukanku begitu si kecil ditaklukan dengan sebuah piala emas.
Sesaat kenangan itu berhenti. Aku tercekat dibuatnya. Meskipun kaki terus bergerak mengikuti Bhanuar ke lobi bioskop, ingatan dalam kepalaku terus merangsek keluar.
Reist yang mengantuk.
Reist yang kabur karena takut serangga.
Reist yang menyisir rambut panjangnya dengan tangan.
Reist yang membuka tutup cola untukku.
Reist yang menggembungkan pipi.
Reist yang menonton TV.
Reist yang tertawa karena guyonanku.
Reist yang berlari dengan anakku.
Reist yang itu.
Aku ingat semuanya.
Bagaimana aku bisa lupa.
Lelaki yang membuatku memperhatikannya dari jauh.
Lelaki yang memberikan gelang tali untuk menggulung naskahku yang berceceran.
Lelaki yang berlutut di hadapan Papa meminta dinikahkan denganku.
Lelaki yang mencintai skateboard tapi berhenti setelah menikah.
Lelaki yang terlihat keren memakai helm.
Reist-ku.
Hanya satu titik kenangan buruk. Bagaimana bisa menghapus jutaan kenangan indah dengannya.
Aku memisahkan diri. Membiarkan Bhanuar melenggang ke stand popcorn. Diam-diam aku pergi. Sambil memegangi kepala yang berdenyut nyeri, juga air mata yang tak bisa kutahan.
Aku berlari sekencang-kencangnya. Tujuanku adalah taman bermain skateboard tadi. Kuharap masih ada Reist di sana. Kuharap ia memaafkan aku yang bodoh ini.
Aku selalu ketakutan ditinggalkan Reist, padahal ia tak pernah pergi kemana pun. Ia selalu di tempat yang sama. Di lintasan balap yang sama.
Aku sampai di taman skateboard. Reist masih di sana. Berseluncur dengan skateboardnya.
Aku lari menerobos beberapa pemain skateboard. Tidak peduli ada yang menabrakku atau seseorang jatuh karenaku. Aku hanya berlari menuju Reist.
Reist sadar dengan kedatanganku. Matanya melotot kaget. Diinjaknya ujung skateboard hingga papan luncur itu bisa ia raih dengan salah satu tangannya.
Tanpa aba-aba, aku melompat ke tubuhnya. Memeluk dadanya yang bidang.
"Sekarang aku ingat, Reist. Semuanya tentangmu, aku ingat."
Reist terdiam. Masih belum sadar keadaan. Tapi ketika cengkeraman tanganku di perutnya makin kencang, Reist balas memelukku.
Skateboard di tangannya ia tinggalkan, menggelinding jauh dari kami.
Kedua tangan itu kini melingkupiku. Menghangatkanku lagi. Seperti dulu.
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top