14. Pertahanan
Tips menulis ala Adia :
"Bagaimana membuat tulisan bagus? Tulis saja. Tidak mungkin tulisan pertama akan langsung bagus. Bisa jadi kedua, kelima atau keseratus. Jangan berhenti."
_._._.___✍️
Reist pembalap MotoGP. Peruntungan tiba-tiba meredup. Musim itu menjadi yang terparah sepanjang karirnya.
Tim pabrikan menuntut Reist juara di sisa seri musim itu. Atau namanya keluar dalam daftar tim, juga berhenti disponsori.
Ada lima seri lagi. Namun Reist sudah jengah. Kehilangan motivasi.
Alih-alih mengistirahatkan diri. Reist malah di push dengan latihan tiada henti.
Kontak dengan keluarga dibatasi. Fokusnya adalah juara.
Naas, Reist tidak tahu kalau di awal musim balap digelar, aku telah hamil anak kedua.
Kehamilanku terindikasi stres berat. Rasa rindu juga perasaan dicampakkan bercampur jadi satu. Batinku selalu meracau, 'Reist tidak menyukaiku lagi.'
Sembilan bulan, bayi itu lahir tanpa sekalipun Reist peduli. Ia lebih memilih balapannya daripada keluarga.
Parahnya, pasca melahirkan aku menderita baby blues. Anak-anak diungsikan ke rumah ayah dan ibu.
Aku lebih sering menjerit-jerit frustrasi, hampir disebut gila.
Kakak lelakiku yang juga editor novelku, menyarankan agar melampiaskan pada tulisan. Ia memintaku menulis lagi setelah cukup lama berhenti karena mengurus anak.
Awalnya berhasil, namun frustrasi makin bertumpuk.
Aku kabur ke pantai. Memotong urat nadi. Aku terlentang di atas pasir. Membiarkan darah menetes, sesekali tersapu ombak.
Seorang nelayan menemukanku. Ia menelepon polisi juga rumah sakit.
Kakakku dihubungi. Seluruh keluarga tahu. Aku tertolong tapi tidak juga bangun.
Kakak sering memergokiku mengigau nama-nama tokoh novel. Bhanuar, Sevi, juga banyak tokoh lain. Kakak menyimpulkan aku tersesat di mimpi.
Atau ... melarikan diri.
📖
Aku menangis setelah mendengar hal itu dari Reist. Semua jadi masuk akal kenapa aku melupakan sosoknya. Kenapa isi dalam kepalaku tak ada yang benar. Karena dia mencampakkanku.
Aku menolak bertemu dengan Reist. Meneriakinya. Menangis dan menangis.
Ibu yang tak mengerti hanya bisa membiarkanku menangis di kamar. Berhari-hari tidak makan, tidak minum, juga tidak sekolah.
Hal itu kedengaran Bhanuar. Ia menjengukku. Mengetuk pintu kamar dimana ada aku bergelung lutut di baliknya.
"Maia, boleh aku masuk? Aku janji tidak akan tanya kenapa. Aku cuma mau memastikan kamu baik-baik saja."
Suara Bhanuar selalu menenangkan di telinga. Kurasa karena dialah aku di novel ini. Karena aku butuh suaranya sebagai penenang.
Bhanu masih berusaha membujuk. Aku terenyuh. Memutar kunci dan membuka pintu.
Ia tampil dengan wajah bugar dan prima. Tidak sepertiku yang kuyu, mata sembab dan tidak ganti baju selama tiga hari.
Bhanuar masuk kamar, mengikutiku duduk malas di bawah kasur.
Aku tahu Bhanuar disuruh Ibu, kepalanya muncul sebelum Bhanuar masuk tadi. Lalu bersembunyi seperti mempercayakan pada Bhanuar.
Suruhan Ibu atau bukan, Bhanuar datang menenangkan mata. Ia tersenyum meskipun aku balas mendelik atau muka kecut.
Bhanuar merogoh isi jaketnya. Mengeluarkan beberapa lembar stiker PVC. Lalu duduk di sebelahku, menjulurkan stiker yang ia bawa.
"Kamu tahu, ini limited edition. Aku memesannya pada teman. Ada namamu di stiker. Maia Resha. Juga namaku." Bhanuar berusaha menghibur.
Aku menerimanya. Terpana pada stiker dengan nama Maia berlatar belakang bunga.
Seandainya dia tahu namaku Adia, pasti aku lebih senang.
Bhanuar memiringkan kepala, dekat ke wajahku. Aku beringsut, khawatir ia bisa mencium bau badanku yang tidak mandi.
Bhanuar seperti tidak peduli. Ia merangkul bahuku. Masih tersenyum menggemaskan.
"Minggir, aku bau badan."
"Biar, aku juga baru berkeringat habis olahraga. Kita dua orang bau."
Oke, dia berhasil membuatku menarik ujung bibir. Bhanuar menangkap itu dan tertawa.
"Jadi menurutmu kata 'bau' itu lucu sampai bisa membuatmu senyum."
"Jangan gila!" Aku melepas rangkulannya.
Sumpah, aku tidak mau dia mencium bauku.
"Oh ya, Maia. Kamu masih simpan kertas kosong yang aku beri waktu itu?"
Aku mengingat-ingat. Sepertinya ada. Aku tak mengerti kenapa Bhanuar memberiku kertas kosong berbau jeruk itu.
Seingatku, kuselipkan di LKS. Ada. Kuberikan kertas itu. Bhanuar bilang akan melakukan sulap.
Aku mau saja waktu ia suruh-suruh bawa lilin. Atau waktu memadamkan lampu.
Selanjutnya Bhanuar membakar sisi kertas. Sedikit saja tidak sampai muncul api.
Ajaib, kertas kosong itu kini berisi tulisan. Api membuat tulisan dari air jeruk menghitam.
Bhanuar menyerahkan kertasnya padaku. Kubaca dalam hati tulisan rapi namun gosong.
'Aku menyukaimu, Maia. Seperti petrichor. Kuat dan menenangkan.'
So romantic.
Aku ingin menangis. Selama hidup, aku tidak pernah dapat hal romantis. Ironisnya aku dapatkan hal itu dari tokohku. Buah pikir khayalanku.
"Aku menunggu lama. Kukira kamu akan tahu dari aroma jeruknya. Ini kan ada dalam percobaan sederhana kimia kelas 1."
Mataku nanar. Tak peduli badanku bau dan hidung Bhanuar akan tersiksa karenanya. Aku memeluk Bhanuar. Menangis di bahunya.
Bhanuar mengelus pundakku lembut. Balas memelukku hingga debarannya sampai ke dada.
Sudah kuputuskan, aku tidak akan pulang. Selamanya akan di novel ini. Menjadi Maia, menjadi kekasihnya Bhanuar.
Sementara itu, di luar kamar kulihat Reist sedang menatap kami berpelukan. Ia tersenyum. Dengan mata nanar.
Tanpa menungguku dan Bhanuar bereaksi, ia pergi.
Aku tidak tahu kalau itu terakhir kalinya aku melihat Reist.
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top