12. Seperti
Tips menulis ala Adia :
"Saat writer block datang, tinggalkan dulu tulisanmu. Jangan dipaksakan menulis. Kamu akan kehilangan sense dan minatmu."
_._._.___✍️
Rumor cepat sekali menyebar. Bila kemarin Reist dikenal sebagai murid baru yang ganteng, kali ini pamornya turun. Jadi lelaki pecundang yang menyerang seorang wanita.
Sevi sendiri tidak terdengar kabarnya. Ada yang bilang ia pindah sekolah. Takut bertemu Reist lagi.
Aku curi dengar, dari orang yang menyaksikan kejadian tempo hari secara langsung.
Sevi menelepon preman jalanan, meminta Maia dikerjai di luar sekolah. Hal itu kedengaran Reist. Ia minta Sevi berhenti. Selanjutnya bisa ditebak. Mereka bertengkar mulut dan Reist mengamuk.
Pantas saja Reist sangat marah. Kalau aku di posisinya pasti melakukan hal sama.
Aku merasa bersalah sudah meneriakinya seperti kemarin.
Pulang sekolah, langit hujan. Ini hujan pertamaku di dunia novel. Tak berbeda seperti hujan nyata, di sini pun sama.
Aku berlarian ke halte bus. Menunggu hujan mereda. Kepalaku menengadah, tertarik dengan langit dan suara hujan.
Tak lama Bhanuar datang juga ke halte. Ia menjadikan kedua tangannya payung di atas kepala. Kemudian menepuk-nepuk bagian bahu yang basah.
Kami bertukar pandangan. Saling bersapa ringan. Bhanu duduk di kursi panjang. Dimana ada aku di sebelahnya. Canggung. Hanya kami berdua di tengah kepungan air hujan. Menelan ludah berkali-kali karena ragu untuk berbincang.
Satu menit sudah kami saling mendiamkan. Bhanu yang inisiatif memulai percakapan.
"Menunggu jemputan atau bus?" tanya Bhanuar.
"Aku menunggu hujan reda. Rumahku dekat. Biasa jalan kaki."
Bhanu mengerucutkan bibir. Mengangguk-angguk. Ia seperti tidak mau melewatkan momen kali ini. Ia bergeser sebelum mulai bertanya.
"Anu ... boleh aku tanya sesuatu padamu," katanya malu-malu. Aku mengangguk. "Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu dan Reist?"
Pertanyaan yang menohok. Mungkin ia sering melihat kami bersama. Atau rumor itu telah sampai ke telinganya. Tentu Reist tidak akan meracau kalau bukan karena ada 'sesuatu' di antara kami.
"Ibuku menyewakan kamar kost. Dan Reist salah satu penyewanya," jelasku hati-hati.
Aku tidak mau kami ketahuan. Bisa gagal total strategi yang kami buat. Bisa-bisa Bhanu menjauh karena merasa Maia punya hubungan dengan Reist.
"Hm, karena itukah kalian sering pulang bersama?"
"Ya!" kujawab cepat.
Bhanu terlihat lega. Ia menunduk sambil tersenyum manis dengan pipi bersemu.
Kami hening lagi. Masing-masing kami memperhatikan hujan dengan cara sendiri.
"Kamu tahu, aku suka petrichor," katanya tiba-tiba. "Wangi tanah basah yang terkena hujan pertama kali. Menurutku aromanya lebih seperti kacang tanah, kuat tapi menenangkan."
Bhanuar terlihat bahagia saat mengatakannya. Tentu saja aku tahu tentang itu. Akulah yang menciptakanmu.
"Kalau Maia, apa yang kamu suka?" pertanyaannya mendadak. Aku bahkan berkedip lebih sering saat dia menatapku dengan senyum seperti bayi.
"Aku suka stiker lucu," jawabku spontan. "Aku suka mengoleksi dan menempelnya di kaca atau sampul buku. Stiker apa saja yang berwarna-warni."
"Hobi yang unik."
"Kak Bhanu juga."
Bhanuar tidak melepas tatapannya. Sengaja mengambil kesempatan saat hanya ada kami berdua di jalanan sepi berhujan.
Anehnya, aku pun melakukan hal sama. Tersedot dalam tatapannya. Tenang namun menghanyutkan.
Kami terperanjat karena suara klakson berbunyi tiba-tiba.
PIP PIP PIP!
Mobil sedan berhenti di depan halte. Jendela si pengemudi turun menampilkan lelaki kira-kira usia dua puluh tahunan.
"Hai Bhanu, butuh tumpangan?" tawarnya. Bhanu diam sebentar lalu menoleh padaku. "Ayo naiklah. Kebetulan aku mau ke lingkungan rumahmu."
"Anu Bang, boleh dia ikut juga?" Bhanu menunjukku sopan.
"Boleh lah, kursi masih kosong, kok!"
Aku bisa saja menolak, tapi sederet gigi rapi dari Bhanu terlalu menggiurkan untuk kutolak.
Aku dan Bhanu duduk di bangku belakang. Sesaat sebelum melaju Bhanu melakukan tos akrab dengan lelaki pemilik mobil.
"Jarang nongkrong ya kamu sekarang, Bhanu!" sahutnya sembari menjalankan kemudi.
Setelahnya terjadi percakapan akrab antara mereka. Dari cara bicara, ketahuan kalau mereka teman nongkrong. Tapi Bhanu mulai jarang karena statusnya sebagai anak kelas 3. Belajar lebih utama.
Aku menyender di jendela. Memperhatikan jalanan padat karena lampu merah.
"Dia siapanya kamu nih, Bhanu?" Orang yang dimaksud adalah aku. Tentu aku terpancing untuk menoleh pada lelaki teman Bhanu lewat kaca tengah mobil.
"Pacar? Atau ...."
"Ya begitulah."
"Ya begitulah apa? Yang jelas."
Mataku menoleh pada Bhanu yang tersenyum malu-malu. Ia menunduk untuk kemudian balas menolehku. Dia sengaja memberi jeda dari pertanyaan barusan. Padahal aku juga penasaran. Apa maksudnya.
"Masih pendekatan, Bang!"
Ya Tuhan, ternyata usaha-usahaku selama ini membuahkan hasil. Aku cukup percaya diri menganggap ucapan Bhanu sebagai tanda ia menyukaiku, menyukai Maia.
Dalam novel butuh setahun lebih. Tapi kali ini hanya dua minggu. Sepertinya aku punya harapan untuk kembali pulang dengan cepat.
Kami berpisah setelah aku turun depan pagar. Bhanu melambaikan tangan. Aku membalasnya.
Kabar baik. Aku ingin segera memberitahu Reist.
Aku datang ke indekos. Terkunci. Tidak ada ciri-ciri Reist di dalamnya.
Aku pulang ke rumah, berharap Reist ada di sana, sedang mengobrol dengan Ibu, atau sedang menonton TV. Tidak ada juga. Mungkin sedang keluar.
Aku mandi, mengerjakan PR, mengintip ke kamar Reist. Ia belum pulang. Lampunya padam padahal malam sudah hampir tiba.
Sudah larut malam, Reist belum kelihatan batang hidungnya. Aku jadi malas memberitahu kabar baik ini. Sudah basi. Mood-ku jadi hilang.
Reist muncul kemudian. Membuka pagar dan menuju kamarnya yang gelap.
Aku bergegas lari padanya. Berdiri di hadapan Reist yang bermuka pucat.
"Dari mana saja kamu?" kalimatku terdengar seperti istri yang menunggu suaminya pulang.
Reist menunjukkan bungkusan keresek yang ia beri tali rapia hingga bisa ia belitkan di bahunya.
"Aku membeli skateboard. Tempatnya lumayan jauh."
Ketahuilah, dari tadi aku menunggunya dengan harap-harap cemas. Berniat membagi kabar baik yang sebenarnya belum tentu baik. Tapi Reist terlambat datang dengan perkataan itu. Membeli skateboard?
Tahukah dia, beberapa hari ini aku berusaha membuat Bhanuar tertarik padaku hanya demi kami bisa pulang.
Lalu apa yang dia lakukan?
Bersenang-senang?
"Ada apa?" Reist menyadari ada yang salah dengan raut wajahku.
Aku kepalang emosi. Malas mengatakan apapun. Aku memilih menggelengkan kepala dan mundur perlahan.
"Sudah malam. Selamat tidur!" kataku.
Kukira Reist akan menghentikanku atau bicara sesuatu sebab ia sadar ada yang salah dengan nada bicaraku. Tapi Reist bergeming.
Aku mengepalkan tangan. "Oh ya, sepertinya Ibu mulai curiga. Mulai malam ini aku akan mengunci jendela. Jadi kamu tak bisa masuk lewat sana lagi."
Dingin. Aku ingin memberi kesan dingin untuknya.
Sepertinya aku tahu alasan aku melupakannya semudah itu. Karena dia tak layak kucintai.
Lelaki egois.
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top