11. Otak
Tips menulis ala Adia :
"Cerita harus logis. Saat pembaca protes, berarti ada yang tidak logis."
_._._.___✍️
Kelasku ramai. Bahkan dari kelas lain pun ikut berkumpul depan kelas. Aku mendekat. Terkejut karena seseorang melemparkan kursi ke papan tulis. Di samping papan tulis ada Sevi yang menjerit ketakutan. Dan yang melemparkan kursi ... oh tidak, itu Reist.
Aku memaksa masuk kelas. Mendorong kerumunan dengan paksa.
"Reist!" aku berteriak. Berhenti di hadapan Reist. Gigi Reist gemetrakan. Urat di pelipisnya mencuat. Dan kepalan tangannya gemetaran seolah menahan untuk tidak meluncur tak tertahankan.
"Dasar gila, kamu mau membunuhku?" Sevi berteriak bercampur tangis sesengukan.
Reist terpancing. Ia berniat melewati bahuku, mengincar Sevi. Tapi kutahan tubuhnya sebisa mungkin. Amarah Reist bukan sesuatu yang bisa ditahan. Dan ia tidak kelihatan sedang bercanda kali ini.
"Reist!" suaraku melunak. Meminta Reist sedkit menurunkan kadar amarahnya.
"Minggir Adia!"
"Tidak!"
"Minggir kataku!" Reist menepis kedua tanganku. Tenaganya yang kuat nyaris mendorongku jatuh. Aku terkejut. Dan sepertinya Reist juga.
Ia mendengkus, untuk kemudian melenggang pergi dari kekacauan.
Beberapa orang menghindarinya. Kerumunan tunggang langgang takut kena amukan Reist juga.
Apa yang terjadi?
📖
Malam-malam, aku masih kepikiran wajah marah Reist. Ia langsung pulang setelah guru BK memberinya skorsing. Sevi juga tidak banyak bicara. Cuma tahu menangis. Terus seperti itu sampai ibunya menjemput.
Kugulung tubuhku dengan selimut. Mencoba tidur dengan posisi janin dalam kandungan. Tiba-tiba kudengar suara jendela di belakangku terbuka.
Reist.
Belakangan ia jadi lebih sering masuk kamarku lewat jendela.
Aku tidak bergerak. Pura-pura sudah tidur. Perlahan Reist naik ke kasur. Masuk ke dalam selimutku. Lalu mencari punggungku untuk ia peluk.
Aku menepisnya. Membuat tangan Reist jauh dari tubuhku. Kemudian aku bangun, berdiri sambil melipat kedua tangan di dada.
Reist duduk bersila di kasur. Seolah tahu akan kumarahi.
"Apa-apaan tadi? Apa kamu harus semarah itu pada Sevi? Sekesal apapun kamu atau semenyebalkan apapun Sevi, kamu harusnya tidak melempar kursi ke arahnya. Apa kamu ini preman?"
Reist tidak mengelak. Tertunduk seperti anak anjing dimarahi majikan.
"Sebaiknya kamu punya alasan bagus, Reist. Atau aku akan mendiamkanmu selamanya."
Reist tidak terlihat akan menjawab. Mata sendunya berlari keluar jendela. Benar-benar memancingku berteriak memanggil namanya.
"Reist!"
"Aku cuma kesal dia terus berusaha mengganggumu." Reist balas berteriak. "Masa bodoh dia salah satu karaktermu atau bukan. Wanita itu sudah keterlaluan."
"Tapi tidak perlu semarah itu."
"Kenapa kamu melarangku marah? Kamu suka dikerjai Sevi dan kawan-kawannya?"
"Aku tidak suka."
"Kalau begitu harusnya kamu sama marahnya denganku."
"Aku cuma mau pulang." Teriakanku naik dua oktaf. Reist berhenti menimpali. Ia sadar ada butir air mata di pipiku. Juga gemetaran hingga buatku terisak.
"Sudah cukup kamu merusak alurnya. Aku benar-benar tidak yakin bisa kembali meskipun sudah buat alur baru. Aku lelah dengan novel ini. Aku mau pulang."
Hening sesaat. Hanya isak tangis yang menengahi suara kosong kami.
"Tidak bisakah kamu hanya menonton dan duduk diam. Di sini aku pemeran utamanya. Dan kamu bukan siapa-siapa."
Reist menghela napas panjang. Ia mengacak rambut gondrongnya.
Reist bangun dari kasur. Mendekatiku. Refleks aku mundur. Menepis tangannya yang berkali-kali berusaha memelukku. Dia tidak berhenti meski sudah kudorong.
Reist menangkap kedua tanganku. Memaksaku masuk ke rangkulan tubuhnya. Aku berontak, tapi Reist tidak melepaskan.
"Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf," lirihnya di telingaku. "Aku janji tidak akan melakukannya lagi."
Aku pasrah di pelukannya. Hingga tangisku reda. Hingga kami berdua ketiduran di atas kasur.
Pagi-pagi sekali aku terbangun. Entah bagaimana kami jadi tertidur berhadapan begini. Wajah Reist sangat dekat. Aku kehabisan tenaga untuk mengelak. Lagipula kenapa aku harus terus mengelak. Sangat tidak adil bagi Reist.
Mataku memindai wajah Reist. Tentu siapapun setuju, Reist tampan. Mahakarya sempurna. Setiap jengkalnya tanpa cela.
Aku jadi ragu, benarkah dia suamiku?
Bagaimana akhirnya kami bersama. Siapa yang menyukai duluan.
Aaarrrgg ... aku kesal kenapa tak ada satu pun yang kuingat tentangnya.
Reist terbangun. Kelopak matanya mengedip. Bahkan cara mengedipnya saja indah. Kami tidak melakukan apapun, kecuali saling berkedip satu sama lain.
Kemarahan semalam telah menguap. Ternyata benar, pertengkaran membuat hubungan semakin kuat.
"Reist, kamu tampan," pujiku tulus. Reist menarik ujung bibirnya. Tersenyum simpul. "Pasti aku menikahimu karena kamu tampan."
"Bukan," balasnya bernada rendah.
"Oh, atau karena aku terlalu mencintaimu. Mengejarmu sampai kamu luluh?"
"Bukan."
"Atau, kamu yang suka aku?"
"Bukan juga."
"Lalu karena apa kita menikah?"
Reist bangun. Jawaban sudah ada di ujung lidah. Tapi enggan ia ucapkan. Aku menunggunya.
"MBA ...," jawabnya gamblang. "...karena aku menghamilimu."
Selanjutnya bantalku melayang ke kepala Reist. Aku terus menghajarnya bahkan sampai ia terpojokkan ke jendela.
Sialan.
Aku tidak peduli dia jujur atau bercanda. Aku hanya mau menghajarnya tanpa ampun.
📖
Ket.
MBA = Married Because Accident atau bahasa gaulnya Hamil Duluan.
Jangan ditiru ya guys.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top