10. Diingat
Tips menulis ala Adia :
"Efisienkan tulisanmu. Kalau bisa satu kalimat untuk apa satu paragraf. Kalau bisa lima kata untuk apa sepuluh kata."
_._._.___✍️
Hari-hari setelahnya kami bersiasat membuat Bhanuar jatuh cinta pada Maia lebih cepat.
Reist bilang punya beberapa trik agar lelaki seperti Bhanu bisa jatuh cinta. Mau tidak mau kuikuti caranya. Sebab menuruti novel pun tak ada guna. Alurnya terlalu lambat.
Siang itu Reist menyuruhku diam di dekat laboratorium. Seekor kucing milik bu kantin telah ia culik kemudian memaksaku untuk mendekapnya.
"Beraktinglah seperti kamu menyukai kucing. Ajak dia bermain. Hitung sampai 20, setelah itu pergilah ke kelas. Ingat, jangan bicara apapun."
Reist memberikan banyak sekali perintah dalam satu tarikan napas. Yang bisa kuingat hanyalah bagian bermain dengan kucing. Siapa yang tidak tergoda pada anak kucing gempal, pipi tembem.
Reist meninggalkanku, yang artinya aku harus menuruti perintahnya. Apa tadi?
Aku mengelus-elus kepala kucing. Bermain kelitikan di perutnya. Tanganku diserang kaki mungil si kucing. Digigit-gigit tapi tidak sakit. Dalam sekejap aku terhipnotis oleh keimutan kucing berbulu orange ini.
Aku tak sadar sudah tergelak tawa melihat kepala kucing miring dengan mata bulat lucu. Aku malah melakukan hal yang sama. Konyol sekali.
Si kucing berlarian karena pemiliknya memanggil. Aku jadi ingat Reist mengatakan sesuatu tentang 20 detik, atau apa. Tapi ini sudah lebih. Masa bodohlah.
Aku bergegas menuju kelas. Berbalik badan dan tanpa diduga mendapati Bhanuar di lorong yang sama.
Kami beradu pandang. Bhanuar sedikit kaget, tidak menyangka aku tiba-tiba membalikkan badan.
Canggung kemudian. Bhanu salah tingkah, disusul pipi merah bersemu.
Aku meninggalkannya dengan dada yang tiba-tiba berdebar hangat.
Aku tahu. Yang kulakukan barusan untuk memberi kesan manis pada Bhanu. Bhanu suka kucing dan suka wanita penyayang.
Aku baru saja menunjukkan dua sekaligus dalam satu frame. Itu artinya aku, Maia, jadi wanita yang patut diperhitungkannya.
Reist bersandar di tembok ujung lorong. Ia menyeringai waktu aku datang.
"Apa dia masuk perangkap?" Aku tertawa mendengar kata terakhirnya.
Entah dia mempelajari hal ini dari siapa, tapi sepertinya siasat kami akan berhasil. Membuat Bhanuar jatuh cinta dan segera pulang ke dunia nyata.
📖
"Beri sedikit sentuhan. Sedikit saja. Buat dia penasaran." Salah satu trik Reist lagi.
Kali ini aku berimprovisasi. Pura-pura terantuk sesuatu kemudian jatuh ke kerumunan Bhanuar dan kawannya.
Bhanu menangkap lenganku. Membantu berdiri. Selanjutnya aku mengangguk ringan dan pergi. Benar-benar waktu yang sebentar.
Bhanu mematung. Begitu kuintip, mata Bhanu masih memperhatikan arah pergiku.
Berhasil lagi.
Memang harus lelaki yang memahami lelaki lain. Atau Reist punya pengalaman pribadi dengan hal-hal ini.
Sebenarnya siapa pengarang cerita ini. Kenapa justru Reist-lah yang lebih mengenal karakter Bhanu daripada aku.
Aku berada di perpustakaan sekolah. Kali ini menjalankan trik lain yang Reist bilang.
"Berbicaralah dengannya. Percakapan yang dia kuasai. Lalu perhatikan matanya saat ia bicara."
Perpustakaan jadi markas Bhanuar selama jam istirahat. Ia mengerjakan soal-soal ujian nasional.
Jadi siswa kelas 3 tentu memberi beban mental untuknya. Karena meskipun pintar, ketakutan akan nama 'ujian' itu sendiri sangat tidak nyaman.
Bicara tentang apa yang Bhanu sukai, jawabannya adalah belajar. Ia mengabaikan masalah asmara karena mengejar akademik.
Maaf Bhanu, bukannya aku memberi contoh tidak baik untuk pembaca. Tapi kamu harus punya perasaan itu sekarang. Kalau tidak, aku tidak akan pernah pulang.
Aku mengambil kursi di samping Bhanuar. Ia tidak memperhatikan. Asyik menulis penyelesaian soal fisika. Saat aku membuka resleting tempat pensilku, barulah Bhanuar sadar.
Ia berubah tegang. Menegakkan punggungnya dan berdehem ringan. Respon yang bagus. Selanjutnya tinggal memainkan waktu. Beri kesempatan Bhanuar merasakan debarannya. Atau bahu kirinya berubah panas kena auraku.
Ada gunanya juga jadi penulis roman. Bermain-main dengan perasaan laki-laki dan wanita dimabuk cinta. Apalagi Bhanuar hanyalah lelaki 18 tahun. Baru merasakan cinta monyet.
"Kak Bhanu," aku mulai melancarkan jurus. "Anu ... Kakak bisa membantuku mengerjakan soal satu ini. Bolak balik aku tidak mengerti."
Tujuanku adalah berbincang dengannya. Aku sadar Bhanuar bukan pembicara ulung. Satu-satunya yang ia kuasai, ya pelajaran matematika ini.
Bhanuar terpancing, ia mengubah arah duduknya.
Seorang pakar bilang, kalau seseorang mengarahkan pusarnya saat berbincang dengan lawan jenis, itu berarti ia tertarik padanya. Baru kali ini bisa kubuktikan.
Bhanuar menerangkan penyelesaian soal yang sengaja kusiapkan sebelum kemari. Bhanuar juga menuliskan langkah-langkahnya di bukuku.
Selama itu, aku memperhatikan wajahnya dari dekat. Hidung mancung, alis tebal, kulit putih tapi tidak sepucat Reist.
Aku mencium aroma bedak bayi dari nadi di lehernya. Bau alaminya ataukah ia mengenakan parfum beraroma bedak bayi?
Aku tertangkap basah sedang memindai wajah Bhanu. Maka terjadilah kami saling menatap.
Aku tidak mengelak, Bhanu juga tidak. Masing-masing kami menikmati momen jantung berdegup cepat juga darah berdesir hebat.
Kuakui Bhanuar tampan dan sesuai tipeku. Aku tidak ingat Bhanu kudapat inspirasi dari siapa. Bhanu adalah perwujudan cinta pertamaku.
Aku menarik diri duluan. Bukankah memikat hati lelaki berarti tidak terlalu mencengkeramnya juga tidak terlalu melepasnya, sesuai porsinya saja.
Untunglah saat aku berdiri, bel tanda istirahat usai telah berbunyi. Aku jadi punya alasan untuk pergi.
Gawat. Aku berencana membuat Bhanuar jatuh cinta. Malah aku sendiri yang terjebak.
Hilangkan perasaan ini, Adia. Kamu sedang berhadapan dengan tokoh fiktif.
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top