Before A Kiss | 9

"Wastafelnya mampet, Mbak."

Rumi membuka obrolan saat mereka sarapan bersama.

"Ada tukang langganan. Nanti minta tolong dia aja, Rum. Rumahnya cuma di sebelah situ. Sekalian minta tolong lampu dapur. Padahal baru diganti kemarin," gumam Darla sebelum menoleh pada Jenar. "Jenar, kapan mau lamaran? Kenapa kesannya diulur-ulur terus."

Sekadar info, Darla mulai intens menanyakan itu sejak tadi malam.

"Ibuk, kami nggak mau buru-buru," sahut Jenar lembut. "Aku sama Haris baru sebulan lho, ini."

"Nggak ada hubungannya, Nar. Semakin cepat justru semakin baik." Rumi menimbrung. "Orangtuanya Haris juga kayak kurang niat aja padahal cuma diminta main ke sini.
Kalian berdua serius, kan?"

Wajah Darla menjadi sedih, dan Jenar berdecak kecil.

"Jelas. Apa coba maksud Bulik?" tanya Jenar.

"Kalian kelihatannya sengaja mengulur waktu, gitu." Rumi menyipit curiga.

"Kami cuma ingin lebih mengenal satu sama lain. Masa mau nikah tapi asing sama calon sendiri? Kan nggak bisa begitu," ucap Jenar. "Lagipula, coba deh sini bilang sama Jenar. Apa sih urgensi dari menikah itu? Kenapa agaknya buru-buru banget?"

"Kan, mulai lagi!" Rumi berdecak. "Menikah memang harus disegerakan, Nar. Umurmu udah pantas nikah. Udah ketuaan, malah. Kalau nanti nggak laku gimana? Jadi perawan tua."

Jenar buru-buru membelai tangan Darla saat wajah ibunya jadi pias.

"Oke. Jadi perawan tua." Jenar mengabaikan istilah 'tidak laku' yang menyebalkan itu. Jenar bukan jajanan dan dia tahu pasti itu. "Ada yang salah dari perawan tua?"

"Nar," sanggah Darla tidak setuju, sementara Rumi menatap Jenar dengan tidak percaya.

"Nggak, Buk. Ini bukan ngomongin Jenar. Coba, apa yang buruk dari nggak menikah dan menua sendirian?" tanya Jenar hati-hati. "Apa Jenar bakal menderita? Bakal sakit tiba-tiba, gitu? Bakal nggak bisa ngapa-ngapain? Nggak, kan? Jenar tetap bisa hidup. Nggak ada yang salah dari hidup sendirian sampai tua."

"Udah tua, sakit-sakitan baru tahu rasa rasanya sendirian!" hunjam Rumi, yang membuat Darla mengelus dadanya.

"Bulik Rum ini, doanya yang baik-baik dong," gumam Jenar sambil menenangkan Darla. "Makanya, dari sekarang harus dipikirkan yang namanya asuransi. Zaman sekarang juga banyak panti jompo berkualitas yang benar-benar merawat penghuninya. Jadi, sebenarnya nggak ada hal menakutkan dari menua sendirian, kan?"

"Kamu bisa bilang begini karena belum merasakan, Nduk," ucap Darla. "Sudah, jangan ngomong yang aneh-aneh. Omongan adalah doa. Ibuk maunya kamu cepat-cepat menikah dan aman."

"Iya kamu ini. Kayak orang nggak percaya Tuhan aja sampai ngomong aneh-aneh," gerutu Rumi.

"Aku bilang begitu karena aku percaya banget sama Tuhan lho, Bulik. Karena Tuhan bilang nggak akan merubah nasib hambanya kecuali mereka berusaha, makanya aku berusaha. Aku sama Mas Haris perlu mengusahakan banyak hal. Gimana keadaan finansial kami? Apakah kami berdua sudah cukup saling paham satu sama lain, Kan gitu. Ibuk nggak mau rumah tanggaku nanti nggak bahagia, kan?"

"Ck! Kebanyakan mikir malah nanti nggak jadi-jadi. Yang penting niat! Finansial atau apa itu, bisa dilalui bareng-bareng nanti!" tandas Rumi. "Dan udah berapa kali dibilang, buang kalungnya, Nar."

"Kok tiba-tiba bahas kalung, sih?" Gadis itu menggenggam kalungnya dengan erat. "Mas Haris aja nggak mempermasalahnya lho, Bulik."

"Karena bulikmu dan Ibuk tahu betul bagaimana perasaanmu terhadap kalung itu, Nar." Darla menengahi. "Yang begini ini nggak bagus, Cah Ayu. Kapan mau dikembalikan ke keluarganya Putra?"

Wajah berharap Darla, dan anggukan puas dari bibinya membuat mulut Jenar pahit seketika.

"Aku mau mandi dulu. Jangan lupa makan pepayanya, Buk." Jenar beranjak duduknya, namun Darla menahan lengannya.

"Kalungnya, Nar. Sini, Ibuk simpankan. Nggak bagus yang begini ini, Nduk."

"Betul. Sini Bulik bantu lepasnya--aduh!"

Tanpa sadar, Jenar menepis tangan Rumi yang terulur ke lehernya.

"Maaf, tapi jangan begini," sahut Jenar, suaranya gemetar. "Jangan begini dong, Bulik."

"Tuh kan, Mbak." Rumi berdecak. "Anaknya memang ngeyel."

Jenar merasa jengkel pada Rumi karena Darla menjadi begitu sedih setelahnya.

"Ini cuma kalung, kan? Udah ada Mas Haris, kurang apa sih Bulik?" sergah Jenar.

"Justru karena itu kalung, harusnya kamu mudah untuk melepasnya," balas Darla.

"Dengerin omongan ibumu, Nar!" timbal Rumi. "Senang betul mengingat-ingat masa lalu."

Mata Jenar menghangat. "Aku mau mandi dulu."

Di belakangnya, Darla dan Rumi masih melontarkan kalimat-kalimat bujukan agar Jenar segera melepaskan kalungnya. Namun Jenar justru menggenggam kalung itu lebih erat sambil mati-matian menahan air mata.

===

Jenar takut pulang. Dia takut jika tiba-tiba Rumi dan Darla kembali memintanya melepas kalung. Tapi dia tidak mungkin bisa kabur dari rumah. Darla memerlukannya. Maka setelah mengulur waktu hampir setengah jam, Jenar sampai di rumah pukul lima sore.

Dan hal pertama yang ia lihat, adalah Haris yang hanya memakai kaus singlet. Lelaki itu sedang mengambil perkakas di jok motor saat Jenar tiba.

"Nggak masuk angin, Ris?" tanya Jenar, yang diabaikan Haris.

Jenar terkekeh kecil. Rasanya lega melihat Haris di sini, karena artinya ia tidak perlu menghadapi Darla dan Rumi sendirian.

"Udah pulang, Nar?" tanya Rumi saat Jenar masuk rumah. Buliknya sedang mengumpulkan serpihan kaca di lantai.

"Iya. Kenapa, Bulik?" tanya Jenar cemas.

"Tadi kurang hati-hati aja. Kausnya Haris jadi kena, deh." Rumi melirik dapur dengan cemas.

"Tukangnya nggak mau datang, ya?" Jenar segera membantu Rumi membersihkan sirup yang tumpah ke lantai.

"Baru sakit. Tadi Haris sendiri kok yang menawarkan diri," ucap Rumi.

"Udah pulang, Nar? Mandi gih. Nanti Haris diajak makan habis ngebenerin wastafel." Darla melirik sambil cepat-cepat keluar dari kamar kakaknya--iya, kakak Jenar--sambil membawa beberapa kaus dan menyambangi Haris. "Nak, nanti coba pakai ini. Kayaknya cukup."

Jenar termangu. Darla tidak pernah mau masuk ke kamar kakak Jenar pasca kematiannya. Tidak bisa, lebih tepatnya. Ibunya akan histeris setiap melihat barang-barang milik kakak Jenar. Jadi, apakah Jenar boleh menganggapnya sebagai tanpa positif?

Tapi setelah mandi, Jenar justru mendapati Haris sedang memperbaiki lampu dapur yang mati beberapa hari belakangan. Sudah memakai kaus, tentunya. Lelaki itu bekerja dalam diam, tampak fokus dengan apa yang ia kerjakan.

"Need a help?" tawar Jenar akhirnya.

"Bisa tolong pegangi tangganya? Agak nggak seimbang," gumamnya.

"Sure." Jenar mengawasi Haris dari bawah. "Bisa? Nggak perlu ganti?"

"Sesuai dugaan. Saklarnya yang rusak." Haris turun sambil membawa bola lampu. "Nanti beli dulu. Kenapa?"

"Nggak." Jenar berpaling canggung. "Kamu pakai kaus favoritnya masku."

"Hm. Kayaknya kakakmu tinggi."

Jenar mengangguk kaku.

"Thanks to him. Aku jadi nggak masuk angin." Haris berkata sambil melipat tangga. "Sabtu malam, ada acara?"

Jenar menggeleng. "Kenapa? Ibuk minta kamu ke sini?"

"Kopdar," gumamnya. "Mau ikut?"

"Oh, di mana?"

"Sekitar kaliurang. Bisa?"

"Lama?"

"Kita pulang kapanpun kamu mau pulang. Jadi?"

Jenar mengangguk singkat. "Oke. Ini yang kemarin dibilang Hanna?"

"Hm," gumamnya sebelum menenteng tangga lipatnya dan meninggalkan Jenar sendirian si dapur.

Jenar memutar bola mata. "Kelihatan banget kalau belum move on."

===

Haris menjemput Jenar dengan motor pada malam minggunya. Tidak sulit mendapatkan izin Darla. Ibunya justru melepas mereka berdua dengan binar bahagia.

"Tante oke ditinggal malam ini?" tanya Haris saat mereka keluar gang.

Jenar mengangguk. "Semakin Ibuk bahagia, aku semakin tenang kalau pergi-pergi. Tapi tetap keep in touch sama Bulik."

"Lalu kenapa kemarin marah waktu diajak pergi Hayu?"

"Katamu aku bisa pulang kapanpun aku mau. Itu poin penting," jawab Jenar.

Haris hanya meliriknya lewat spion sebelum kembali fokus pada jalanan. Malam minggu begini, jalanan Yogyakarta terasa lebih ramai.

"Ngomong-ngomong, ini kopdar apa?"

"Baru tanya?"

"Baru sadar."

Jenar mengangkat alis saat Haris meliriknya lagi lewat spion.

"Komunitas pendaki. Ada Sinar juga," gumam Haris.

"Oh...mereka tahu kamu pernah jalan sama Hanna?" tanya Jenar lagi.

"Hm."

"Kalau gitu kamu perlu jaga sikap, Ris. Kadang gamon-mu kelihatan jelas," tukas Jenar.

"That's why you're here, Jen."

Oh iya, lupa. HAHA

Angin dingin menerpa kulitnya, mengirimkan sensasi menyenangkan yang membuat memorinya terlempar di masa lalu. Aroma masakan berseliweran, bercampur dengan dengung samar keramaian yang makin pekat. Semua itu membangkitkan rindu yang ternyata masih berenang di permukaan kalbu. Dulu, Jenar sering jalan-jalan begini bersama Putra. Sekadar melepas penat, bercakap ringan berdua sambil sesekali tertawa. Memeluk lelaki itu dari belakang, menyandarkan kepala di punggungnya. Sesekali mereka akan mampir di warung-warung tenda pinggir jalan untuk menikmati secangkir kopi, gorengan panas dan Jogja di malam hari.

Rasanya sudah lama sekali. Rasanya...sudah jauh sekali.

Jalanan mengabur saat Jenar tidak bisa membendung air mata. Gadis itu meremas kalungnya kuat-kuat sambil menunduk, menangis diam-diam. Yogyakarta begitu ramai seperti biasa, namun ia merasa sangat sendirian.

"Sampai, Jen."

Jenar mengusap wajahnya dengan panik saat Haris berbelok di salah satu kafe. Wajahnya pasti berantakan saat ini. Ck!

"Aku ke toilet dulu." Jenar langsung berjalan cepat menuju toilet begitu Haris memarkirkan motornya.

Jenar memarahi diri sendiri saat membenahi penampilannya di depan cermin. Tapi, entahlah...rasanya justru lega setelah menangis tadi. Darla akan ikut menangis jika mendapati Jenar menangis di rumah. Belum lagi jika Rumi tahu. Buliknya itu pasti akan memarahinya. Dan dia tidak mungkin menangis di kantor.

Setelah dirasa sempurna, gadis itu keluar. Ternyata Haris menunggunya di depan toilet.

"Dia nggak lihat yang tadi, kan? Nggak, kan?" batin Jenar cemas.

Tapi Haris tidak berkomentar apapun. Lelaki itu berjalan diam di sisinya saat mereka memasuki kafe.

"Oi Ris! Sini!"

Sinar melambai dari meja di sudut sana. Kerumunan yang semeja dengan Sinar ikut menoleh, dan mereka menyambut Haris dengan ramai.

Rombongan itu cukup besar. Mungkin terdiri dari dua puluhan pemuda-pemudi berbeda usia. Mereka semua menyapa Haris sambil mencuri pandang pada Jenar meskipun tetap menyapanya dengan ramah. Tak terkecuali Hanna. Gadis itu tampak terkejut saat melihat Jenar, namun ia segera tersenyum.

"Diseret Haris, Jen?" tanya Sinar sambil terkekeh. "Pacarnya Haris, guys."

Orang-orang itu langsung mengangguk paham. Beberapa mencuri lirikan ke arah Hanna, yang lain berdeham canggung. Jenar jadi penasaran seperti apa Haris dan Hanna dulu.

"Mau apa, Jen?" tanya Haris sambil membuka buku menu.

"Kopi susu aja," jawab Jenar. "Jadi, kalian semua dari Jogja?"

Gadis yang duduk di sebelah Jenar menggeleng. "Domisili Jogja. Tapi kami asli dari mana saja. Oh iya, aku Shanum. Baru pertama diajak kopdar Haris, kan?"

Jenar mengangguk. "Jenari. Dipanggil Jenar saja."

"Ketemu Haris di mana, Mbakyu?" tanya salah satu pemuda dengan penasaran.

Tidak butuh waktu lama bagi Jenar untuk berbaur. Setelah sekian lama, baru kali ini Jenar nongkrong bersama orang di luar profesi kesehatan. Mereka orang yang asik, supel dan ramai. Jenar jadi sedikit paham mengapa Darla tertarik dengan cerita pendakian Haris, karena mendengarnya sendiri ternyata memang seseru ini.

"Pernah mendaki ke mana aja, Nar?" tanya Shanum antusias.

"Belum pernah mendaki," jawab Jenar.

"Oh, tapi nggak keberatan ikut, kan?" Shanum terkekeh. "Ris, lain kali ajak nggak apa-apalah. Kalau pas summit ke area friendly aja."

Haris menggeleng. "Ibunya baru sakit. Jenar belum bisa lama-lama pergi."

"Oh, sorry, Nar," ucap Shanum simpati.

"Kita banyak agenda kok, Nar. Nggak mesti summit. Kadang hiking atau out bond sekadar buat ngelemesin otot aja. Bilang kapanpun kamu bisa ikut, pasti kita ajak," ucap seorang pemuda dengan ramah.

"Nggak perlu maksa. Jenar nggak suka mendaki kan," sahut Hanna.

"Lain kali kalau memang bersedia dan ada waktu kok, Nar. Nggak maksa lho ini," seloroh si pemuda tadi.

Jenar berterima kasih dengan tulus. Komunitas ini cukup dewasa untuk tidak pernah menyinggung tentang Hanna dan Haris, bahkan hanya sekadar kode maupun candaan belaka. Jenar menghargai bagaimana cara mereka menghormati Haris dan Hanna. Mungkin juga menghormati keberadaan Jenar.

Hanya satu yang membuat Jenar penasaran. Hanna sering meliriknya sejak tadi. Saat Shanum mengajaknya, ekspresi ketidaksukaan Hanna tampak nyata. Jenar berusaha mengabaikannya, sungguh. Tapi ekspresi gadis itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Jenar jadi menebak-nebak.

Jenar melirik Haris. Makhluk satu ini ternyata bisa mengendalikan diri dengan baik. Terbukti dari betapa naturalnya ia bercengkrama dengan teman-temannya, termasuk Hanna. Kecuali tatapannya. Tatapan Haris untuk Hanna masih sama, dan karenanya lelaki itu seperti menghindari bersitatap dengan Hanna terlalu lama.

Jenar hanya memutar bola mata, tapi tidak berkomentar. Move on adalah hal yang sulit, kok. Jenar paham sekali.

"Ris, kamu nggak penasaran kenapa aku bisa ikut kopdar di sini?"

Hanna mendekati mereka saat yang lain mulai makin asyik. Beberapa bercengkrama dengan yang lain, beberapa lagi ikut bernyanyi bersama cafe singer di depan sana.

"Kenapa?" tanya Haris sambil mengunyah mendoan.

"Aku juga bakal ditempatkan di kantor Jogja," ucap Hanna antusias. "SP baru datang kemarin, jadi batal pulang, deh. Mau siap-siap di sini sekalian. Kamu ada rekomendasi kos, nggak? Atau kos di tempatmu aja, gimana?"

"Kosku penuh. Tanya Jenar saja. Permisi." Haris beranjak menuju toilet, sementara Jenar termangu. Dia tidak tahu menahu tentang kos-kosan kosong.

Hanna mendengkus geli. "Dasar bocah itu. Tapi aku nggak nyangka dia bakal ajak kamu ke sini, Nar. Dan kamu juga mau. Bukannya katanya nggak suka mendaki?"

"Sekadar hang out nggak masalah," jawab Jenar. "Kamu sendiri?"

Hanna mengangguk. "Mas Rion sedang ada kerjaan. Dia bukan orang yang banyak waktu luang."

"Oh..."

"Anak-anak ini agak ngawur. Summit, hiking, bukan kerjaan ringan. Kalau nggak terbiasa, bisa sakit sebadan-badan. Saranku sih baiknya nggak perlu ikut kalau diajak," kata Hanna simpati.

"Tapi sepertinya menarik. Kalau ada yang cocok, mungkin bisa ikut," jawab Jenar ringan.

"Katanya ibu sakit?" Hanna mengangkat alis.

"Iya. Jadi aku bilang kalau ada yang cocok, aku bisa ikut. Kalau nggak, ya sudah." Jenar mengangkat bahu.

Hanna mengangguk. "Betul. Lebih penting ibu, Nar."

"Begitulah. Lagipula kami bisa kencan di tempat lain selain mendaki gunung bersama, kan?"

Jenar menangkap basah Hanna yang meliriknya, lantas Hanna tertawa canggung.

"Iya, benar. Dulu kami juga sering jalan-jalan aja. Cuma muter-muter kota aja, gitu. Sesekali kulineran. Karena...yah, Haris belum mampu nyisihin untuk hal-hal tersier semacam itu," gumam Hanna. Gadis itu menatap para anggota yang riang di depan sana, tampak menerawang. "Haris ada cerita tentang aku? Tentang kami, mungkin?"

Jenar menggeleng. "Haruskah ada cerita tentang kalian?"

"Bukannya begitu, sih. Siapa tahu aja..." Hanna terdiam sejenak. "Kami memang berpisah dengan alasan yang kedengarannya kurang baik. Mungkin dia cerita kalau dia sakit hati, atau mengutukku di belakang. Siapa tahu?"

"Nggak pernah, kok," ucap Jenar.

Hanna tersenyum sedih. "Seperti biasa, dia memang terlalu baik."

Jenar membiarkan Hanna yang menatap ke depan sambil entah memikirkan apa. Jenar hanya menikmati kopi susu ini dengan jadah tempe yang enak sekali. Di depan sana, puncak Merapi tampak perkasa berlatar langit malam yang ceria.

"Kami bertemu saat dia masih berobat ke psikiater. Saat itu, dia masih kacau sekali, nggak tenang seperti sekarang," celetuk Hanna tiba-tiba. "Tapi aku tahu dia orang baik dan tulus, itu kenapa aku jatuh hati sama dia. Dia--di tengah kekacauan dan rasa rendah diri yang nyaris pupus itu, dia tetap mau berjuang buat sembuh. Jadi, tiap minggu kami ke psikiater. Setiap dia kacau, aku yang ada di sisinya. Setiap dia butuh teman, aku selalu support Haris. Di saat teman-teman seumurannya sudah lulus dan mulai kerja, dia masih sibuk sama dirinya sendiri. Saat teman seumuran udah mulai mapan, dia justru baru mulai kerja. Jadi ya, begitu."

Jenar mendengarkan dengan saksama. Informasi ini cocok dengan cerita Haris tempo hari.

"Aku melihat dia tumbuh dari Haris yang kaku jadi Haris yang banyak senyum. Pernah lihat senyumnya?" tanya Hanna.

Tidak, Jenar menyadari. Tapi demi perannya, gadis itu mengangguk pasti.

"Oh...padahal dulu dia cuma mau senyum di depanku. Di depan orang lain, dia jadi batu," Hanna tertawa garing. "Tapi itu saja nggak cukup kalau kita mau maju ke jenjang yang lebih serius, kan? Dengan kondisi finansial Haris yang begini, kami nggak mungkin nikah. Sementara targetku udah nikah di usia 27. Kedengaran jahat, ya? Tapi aku cuma berusaha realistis. Nikah butuh kemapanan finansial."

Untuk pertama kalinya, Hanna terlihat gelisah. "Itu kenapa aku heran sama kamu, Nar. Kenapa kamu mau sama dia? Kalian nggak ada target menikah ke depannya?"

"Mungkin ya, mungkin nggak. Aku cuma mau menikmati apa yang bisa aku nikmati," ucap Jenar, yang membuat Hanna menatapnya tidak setuju. "Jadi itu alasan kalian putus? Tapi kamu udah ada pacar, kan?"

"Mas Rion." Hanna bergumam. "Dia kolega kerjaku. Orangnya dewasa dan mapan. Kedengarannya pasti jahat, tapi hidup selalu tentang memilih."

"Aku masih jauh dari harapannya. Keputusan Hanna realistis, itu haknya."

Jenar paham, tapi rasanya pasti sakit. Mendengar orang yang membersamai nyatanya memilih orang lain. Walaupun tahu jika itu memang hak Hanna, walaupun tahu jika Hanna akan lebih bahagia bersama Rion, walaupun tahu jika dirinya memang banyak kekurangan, tapi merelakan tidak pernah jadi perkara mudah.

"Bukan kapasitasku menilai kamu benar atau salah. Itu hidupmu," celetuk Jenar akhirnya

Hanna tersenyum. "Terima kasih, Nar. Lega rasanya. Andai Haris juga bisa kasih kalimat semelegakan itu. Bukan cuma nyuruh aku pergi aja."

"Dia udah merelakan, kok." Berusaha merelakan, maksudnya. "Aku di sini, ngomong-ngomong."

"Ah...tentu," Hanna tertawa canggung. "Kalau ada yang nggak kamu paham tentang Haris, bisa tanya aku, Nar. Aku tahu semua tentang dia."

Jenar mengangguk kecil.

"Orangtuanya juga aku kenal. Sama adiknya juga cukup akrab." Hanna terkekeh. "Bisa dibilang, aku sudah dianggap keluarga oleh anggota keluarga Haris yang lain. Ya mana mungkin nggak, kan? Empat tahun bareng, aku tahu semua kebiasaan Haris. Contohnya, dia sering lupa bawa handuk kalau mandi. Jadi Nar, kamu perlu ingatkan dia tentang hal satu itu."

"Sure." Jenar bertopang dagu sembari mengamati Hanna.

"Selebihnya sih, dia nggak ada masalah. Sabar sabar aja ngadepin dia. Padahal udah jadi pacar, ya? Tapi aku lihat sikapnya ke kamu masih agak dingin. Harusnya bisa lebih hangat dari ini. Dulu, nggak ada beban di antara kami. Kami lepas aja. Ngobrol bareng, bercanda bareng." Hanna tertawa kecil. "Kadang dia agak aneh, sih. Tapi itu justru jadi sisi menariknya. Haris, sini!"

Hanna melambai pada Haris yang kembali.

"Mendoannya masih anget, Ris. Cobain, gih. Favoritmu, ini." Hanna menyodorkan sepiring mendoan pada Haris.

Haris menggeleng singkat. Ia justru meraih jaketnya dan berkata, "Pulang, Jen?"

"Sekarang? Masih jam segini mau pulang?" Hanna mengerutkan kening.

"Iya," jawab Haris kalem. "Ayo, Jen."

Lelaki itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Jenar yang terlalu asik mempelajari ekspresi Hanna.

"Aku paham keputusanmu tadi," ucap Jenar hingga membuat Hanna menoleh padanya. "Pertanyaanku cuma satu. Masih mengharapkan Haris?"

Hanna terkejut. "Aku--nggak. Mana mungkin?"

"Bagus. Kita nggak mau ada salah paham setelah ini, kan?" tanya Jenar manis. "Sampai ketemu lagi, Hanna."

"Jen?" panggil Haris yang sudah beberapa langkah di depannya.

"Iya, iya!" Jenar segera menyusul Haris dengan senyum lebar.

Mereka berpamitan dengan anggota yang lain sebelum keluar dari kafe.

"Haris, mau tahu sesuatu?" tanya Jenar saat mereka berjalan ke parkiran.

"Apa?"

"She's still into you," celetuk Jenar.

Haris menoleh, dan Jenar melihat kilat harapan yang melintas cepar sebelum berganti dengan ekspresi datarnya yang biasa. Senyum Jenar tambah lebar.

"Tahu dari mana?" tanyanya.

"Oh, dia kurang terima kalau kamu udah punya pacar. Hanna sering bilang hal-hal yang memberi kesan kalau dia yang paling tahu kamu. Itu cuma dilakukan sama orang yang cemburu," ucap Jenar ringan. "Jadi, mau aku bantu?"

"Jangan macam-macam. Ada Rion," gumam Haris.

"Bagus juga untuk Rion, Ris. Hanna perlu tahu kalau keputusannya punya konsekuensi. Seperti kamu, dia seharusnya juga menerima kalau kamu move on. Tapi apa? Nggak, kan? Hanna mungkin sedang ada di persimpangan." Jenar mengernyit. "Mungkin. Entah Rion atau kamu pada akhirnya, tapi menurutku kamu masih punya peluang."

Haris melirik kecil. "Menurutmu begitu?"

Jenar mengangguk. "Mau aku bantu? Kamu nggak perlu ngapa-ngapain. Biar aku yang ngapa-ngapain. Kalau dia lulus, berarti kalian nggak jodoh."

"Jangan begitu. Itu nggak bagus, Jen. Just stay with our agreement."

"Tapi kalau suatu saat mereka putus dan Hanna minta balikan, kamu mau?" desak Jenar.

Lelaki itu tetap menuju motornya dalam diam, dan Jenar terkekeh kecil.

*TBC*

"Pegel Jen. Punya koyo?"


Haiii, selamat hari jumat. Terima kasih telah membaca 💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top