Before A Kiss | 8


"Saya ke Bandung tiga hari untuk pelatihan, Tante. Tante makan yang banyak, tiga hari lagi kita ketemu. Bagaimana?"

"Oh, gimana kalau sekalian bawa orangtuamu ke sini? Main saja. Bisa?"

"Sepertinya belum bisa, Tante."

Pada pertemuan terakhir mereka, Haris berpamitan hanya pada Darla. Jenar jelas sibuk dengan fakta baru hingga dia tidak sempat menyusun pertanyaan untuk ditanyakan pada Haris. Lelaki itu pun sama sekali tidak membahas kejadian di bioskop. Luar biasanya, Darla patuh. Ibunya tetap makan dan minum obat dengan semangat.

"Temuan kusta dan suspect polio." Suara Maria menginterupsi lamunan Jenar. 

"Kalau itu benar, aku nggak heran." Tora menimpali. "Tahun lalu jadi KLB, jadi kalau di wilayah lain mulai ada kasus polio, itu bukan kejutan lagi."

"Riwayat imunisasi gimana emang, Mar?" tanya Hayu ingin tahu.

"Nol," ucap Maria di tengah kunyahan loteknya. "Orangtuanya cenderung percaya kalau vaksin cuma akal-akalan pemerintah buat sabotase kesehatan rakyatnya."

Tora mengangguk-angguk antusias. "Terbukti, kan? Herd immunity masyarakat makin lemah seiring mulai asingnya polio di Indonesia. Padahal zaman dulu, polio termasuk kasus kesehatan paling tinggi."

"Apa mau dikata, Tor. Akan selalu ada orang yang begitu. Kita paksa, kita yang disalahin. Kita kasih tahu, dibilang ikut campur. Ya, sudah kan? Udah berusaha sosialisasi juga," gumam Hayu sedih. "Sekarang kalau udah begini, kita mulai dari awal lagi, kan? Bikin program, sosialisasi dan macem-macem."

"Ya begitu. Kalau nggak lihat, manusia memang susah percaya. Kalau udah kejadian, nyalahin semua. Ya pemerintahlah, ya takdir lah, ya Tuhan lah." Maria berdecak. "Entah nanti siapa yang pegang. Semuanya udah pada pegang program, deh."

"Semoga jangan aku. TBC sama HIV udah cukup berat guys," ucap Hayu. "Tambah satu lagi makin susah cari jodoh, ini."

"Jenar?" Tora menebak.

Jenar mengangkat bahu. "Entah. Tapi programku udah cukup banyak."

"Oh iya, sih. Mulai fokus stunting juga, kan?" tanya Tora.

Jenar mengangguk sembari menyantap loteknya. Meskipun baru beberapa tahun terakhir ini menjadi atensi, stunting bukanlah hal yang asing bagi Jenar. Sekarang setelah program pengentasan gizi kurang berdasar berat badan mulai merakyat, pemerintah mencoba mengatasi gizi kurang berdasarkan tinggi badan. Sesuatu yang lebih sulit karena stunting bukan hanya kondisi yang dipengaruhi asupan satu dua hari lalu, namun dipengaruhi oleh asupan selama kehamilan, riwayat ASI dan MPASI. Maka penyuluhannya pun akan sangat kompleks. Belum lagi pengukuran di posyandu yang seringnya belum benar, alias hanya memakai medline dan digendong.

"Kepalamu termakan rumor, Jen."

Jenar mendesah keras tanpa sadar. Sejak Haris mengatakannya, kalimat itu selalu terngiang di kepala tanpa peduli Jenar sedang memikirkan apa.

"Kenapa, Nar?" tanya Maria segera.

Jenar menggeleng dan pamit ke belakang untuk mencuci tangan. Bahkan lotek lezat di samping puskesmas saja tidak bisa mengenyahkan perasaan buruknya.

"Ada masalah sama Haris?"

Suara Hayu mengejutkannya. Gadis itu mengantri di belakangnya dengan ingin tahu.

"Nggak," gumam Jenar. "Ngomong-ngomong, berita Haris waktu jaman kuliah itu booming banget, ya?"

Hayu mengangguk. "Banget! Sampai masuk surat kabar. Soalnya banyak yang kejaring, termasuk Idrus Rajendra. Tahu, kan? Yang bapaknya anggota DPR itu. Mana kampus kita yang kena. Tapi kenapa tiba-tiba tetarik berita lawas?"

Jenar menghindari tatapan curiga Hayu dengan menggeleng kecil. "Aku nggak terlalu tahu beritanya."

Hayu berdecak tidak puas. "Makanya kubilang, Haris itu misterius. Kita kenal namanya juga karena kasus itu, selebihnya nggak. Perlu hati-hati, Nar."

Jenar mengawasi Hayu yang mencuci tangan, sementara pikirannya begitu bising saat ini. Harusnya, ia tidak mempercayai Haris begitu saja. Bisa saja lelaki itu mepermainkan Jenar karena toh tanggapannya kelewat santai. Tapi Jenar tidak bisa mengabaikan ekspresi Haris saat melihat Hanna. Ada sesuatu dalam ekspresi Haris kala lelaki itu menatap Hanna dalam diam. Ekspresi yang makin kentara kala pacar Hanna datang dan langsung meraih tangan Hanna. Sesuatu yang mengusik Jenar. Sesuatu yang terlewat oleh Jenar karena gadis itu terlalu syok oleh fakta baru tentang Haris.

Dan apa katanya? Mereka baru selesai dua minggu lalu? Artinya, beberapa hari sebelum reuni. Lalu apa motivasi Haris menyetujui perjanjian mereka? Ruang aman yang dijanjikan Jenar nyatanya tidak pernah ada. Sebenarnya apa yang diinginkan Haris?

"Serius banget, Nar. Yakin nggak ada masalah?" Pertanyaan Hayu membuat Jenar tersadar. Gadis itu menggeleng meskipun tetap menghela napas panjang. Namun Hayu malah makin curiga. "Sori tapi--jangan bilang kalau kamu mulai tertarik sama Haris."

Dan semua kekhawatiran Jenar langsung tergusur dari kepala.

"Sama Haris?" tanya Jenar syok seraya menggenggam kalungnya. "Sama dia?"

"Akui aja, Haris ini oke, lho. Biasanya nggak suka cowok rambut gondrong, sih. Tapi di Haris nggak begitu, malah kelihatan makin ganteng dan manly. Kalau dipikir-pikir, minusnya cuma dua. Agak belok dan agak misterius. Selebihnya, dia oke." Hayu memainkan alisnya. "Jangan sampai jatuh cinta tanpa sadar, Nar. Nggak enak, tahu!"

"Mana ada! Dari satu sampai sepuluh, skor Haris cuma tiga. Tiga! Dia nggak punya satu hal pun yang Putra punya," tukas Jenar.

"Aduh, udah udah. Nggak baik bilang begitu. Nanti suka beneran malah susah, soalnya nggak bakal dibales," ujar Hayu nyengir.

Jenar hanya mendengkus kecil. Gadis itu teringat mobil yang penuh asap rokok, lalu meringis. Tidak, dia tidak membenci orang yang merokok, dia hanya tidak terbiasa dengan asap rokok. Jadi perokok aktif jelas bukan kriteria calon suaminya. Oh, dia memang tidak ingin menikah, kok.

"Ngapain di sini? Ngegosip?" Pak Kunto, kepala puskesmas mereka melirik keduanya sambil mengacungkan berkas. "Ke ruang rapat. Dan kamu, Nar, pastikan entry penimbangan selesai sore ini."

Iya. Seharusnya ia pusing karena data-data penimbangan belum lengkap, bukan pusing karena memikirkan Haris. Hah!

===

Jenar berusaha fokus pada pekerjaan, tapi nyatanya ia tetap terganggu. Terganggu oleh fakta bahwa dia belum mengetahui motif asli Haris menerima perjanjian ini. Apa tepatnya yang diinginkan lelaki itu? Sejauh ini, dia selalu menepati janji. Datang saat Jenar memintanya datang, juga menanggapi Darla dengan ramah dan sopan. Dia melakukan semua skenario konyol ini tanpa menuntut apa pun. Yah, kecuali dua poin konyol waktu itu.

Maka setelah memastikan Darla baik-baik saja, sore itu Jenar memutuskan untuk pergi ke tempat Haris. Tapi di sana, dia justru bertemu Hanna. Ia tampak manis dengan kaus dan celana jeans panjangnya. Rambut panjangnya tergerai ringan hingga ke punggung. Gadis itu tampak berjingkat-jingkat di depan gerbang, lantas terkejut saat melihat Jenar mendekat.

"Cari Haris?" tanya Jenar langsung.

Hanna mengangguk canggung, yang tidak dimengerti Jenar mengapa ia harus secanggung itu. "Tapi Haris nggak ada. Ini benar kontrakannya, kan?"

Jenar mengangguk. "Itu, unit nomor tiga."

Hanna tersenyum tipis. "Kamu tahu banyak tentang Haris. Dia pindah saja aku nggak tahu. Oh, Haris belum pulang, ya? Biasanya jam segini dia udah pulang."

"Haris pelatihan di Bandung selama tiga hari, dan kemarin seharusnya sudah pulang," jawab Jenar. "Udah kasih kabar ke Haris?"

Hanna hanya menggeleng kecil sambil tersenyum kecut.

"Mungkin bisa ditunggu sebentar lagi. Mau ke gazebo saja?" tawar Jenar.

"Boleh," jawab Hanna canggung. 

Pada akhirnya, keduanya duduk di gazebo. Hanna tampak gelisah sambil sesekali memainkan jemarinya. Beberapa kali pula, Jenar menangkap basah Hanna mencuri pandang ke arahnya. Mau tidak mau, Jenar risih juga.

[Ris, di mana? Ada Hanna. Dan aku mau ngobrol tentang sesuatu]

Pesan terkirim, namun Haris belum membacanya. Jenar mengayunkan kakinya dengan kikuk, berusaha sekali mencari obrolan.

"Motornya nggak ada," celetuk Jenar. "Mungkin baru keluar cari makan."

"Hmm. Makannya masih nggak teratur, ya? Dasar, kebiasaan." Hanna tertawa kecil. "Dulu, aku sering masak buat dia. Sering bawakan bekal juga."

"Begitu?" gumam Jenar tidak terlalu peduli.

"Jadi saranku, tolong perhatikan tabiat buruk Haris yang satu itu--oh iya. Aku Hanna, nggak enak kalau udah ngobrol tanpa tahu nama," ucapnya tersenyum.

"Jenar," jawab Jenar.

"Mumpung ke Jogja, Nar. Jalan-jalan sekalian main ke rumahnya Mas Rion. Aku harap kamu nggak marah," kata Hanna. 

Jenar menggeleng. "Silakan saja." 

Hanna meliriknya canggung dan berdeham, "Jadi, Haris memang punya kebiasaan buruk terkait makan. Dia bisa seharian nggak makan. Harus sering-sering diingetin, Nar."

"Oke," jawab Jenar sambil lalu.

"Kalau ada waktu, bawain bekal juga, gih. Nggak usah yang susah, asal ada aja. Dulu aku masakin mi goreng instan aja dia udah seneng banget. Bukan berarti aku cuma masak mi goreng aja, ya. Maksudku, kalau sedang buru-buru. Aku kerja, maksudnya," ucapnya.

"Sure," jawab Jenar sekenanya. Hujan mulai turun, membuat Jenar menggerutu dalam hati.

"Tapi kamu nggak keberatan?" tanya Hanna lagi.

"Dengan?"

"Dengan kondisinya. Dia bukan pria dengan ekonomi yang mapan. Jauh dari kata mapan, malah. Lihat aja kontrakan ini, cuma sepetak. Motornya pun motor bekas punya Bang Sinar. Dia juga cuma kerja di Lokamuda, bukan perusahaan besar yang terkenal. Udah pasti gajinya nggak besar," gumam Hanna. "Cinta boleh, tapi harus realistis juga, iya kan?"

Jenar mengangguk sebagai persetujuan dari kalimat terakhir tapi deskripsi tentang Haris, Jenar tidak terlalu peduli. 

"Dia...nggak sedih, kan?" tanyanya tiba-tiba. "Maksudku, aku tahu keputusan kami memang tiba-tiba."

Apa pun yang telah mereka lakukan dulu, wajah Haris sama sekali tidak ada sedih-sedihnya. Maka Jenar pun menggeleng.

Hanna tersenyum tipis. "Iya, sih. Kalian juga langsung jadian. Kalian ketemu di mana?"

"Reuni. Kami satu almamater."

"Sudah aku duga, kamu bukan teman sepermainannya," ucap Hanna. "Aku kenal semua teman Haris, kami satu komunitas pendaki. Kami sama-sama hobi mendaki, soalnya. Tapi Haris nggak pernah ngebiarin aku mendaki sendiri, dasar cowok itu. Kamu juga suka mendaki?"

"Belum pernah dan nggak tertarik."

Mata Hanna membulat. "Tapi Haris suka mendaki. Akan sangat bagus kalau punya hobi yang sama, kan? Kalian bisa saling memahami. Bukan pamer, ya. Tapi dulu aku bisa jadi teman cerita Haris tentang pendakian. Kami ngobrolin banyak hal, mulai dari pengalaman ke gunung ini, rencana ke gunung itu, bekal apa yang perlu dibawa. Semuanya. Aku bisa bilang kalau cuma aku yang paling mengerti dia."

"Tentu." Jenar mengangguk-angguk.

"Aku pikir agak susah." Hanna termangu. "Aku kira dia nggak bisa sama sembarang orang. Fakta kalau dia sama kamu, itu berarti kamu bisa bikin dia nyaman. Tahu maksudku, kan? Dengan apa yang terjadi sama dia di masa lalu? Juga kondisi dia yang sempat ditangani psikiater, Haris jadi orang yang sangat selektif."

Hanna mengerutkan kening saat Jenar hanya melongo. "Kamu nggak tahu?"

"Memangnya dia pernah kenapa?" tanya Jenar tertarik.

Hanna makin mengerutkan kening. "Kamu nggak tahu masa lalunya?"

"Dia pernah jadi gosip seantero kampus karena kejadian yang nggak mengenakkan," ucap Jenar coba-coba. "Selain itu, apakah ada lagi?"

Hanna mengangkat alis. "Astaga, ini termasuk rahasia besarnya, lho. Harusnya hal begini nggak ditutup-tutupi dari pacar, kan?"

Rahasia besar? "Selain fakta kalau dia bukan--"

"Haris!" Hanna melambai pada seseorang yang baru saja membuka gerbang kontrakan.

Di antara hujan yang mulai lebat, Haris mendekat. Kepalanya tersembunyi di balik hoodie yang ia pakai. Ransel besar bertengger di punggung, terlindungi dengan mantel ranselnya.

"Baru pulang? Kenapa nggak kasih kabar kalau ke Bandung?" tanya Hanna saat Haris menyambangi mereka. 

Haris tidak menjawab. Dia justru berdiri menjulang di hadapan Jenar dengan kedua tangan di dalam saku. 

"Hujan, Jen," gumamnya datar. "Ngapain ke sini hujan-hujan?"

"Aku--" Jenar melirik Hanna yang tampak tidak terima. "Kita perlu bicara sesuatu."

"Di dalam aja," ucapnya sebelum berbalik. 

Jenar menatap ragu punggung Haris, sementara Hanna langsung mengikuti lelaki itu. Namun Haris kembali menoleh. 

"Ayo, Jen."

Jenar menimbang-nimbang, lalu mengikuti Haris tanpa berani menatap Hanna. 

"Haris, aku mau bicara," ucap Hanna, yang berjalan di sisi Haris yang lain. 

"Rion tahu kamu di sini?" tanyanya sambil membuka pintu unitnya.

"Nggak, tapi ini cuma sebentar," sahut Hanna. "Haris--"

"Telfon Rion," gumam Haris sambil menarik ransel Jenar sampai gadis itu masuk di unitnya. 

"Dia nggak perlu tahu. Aku masuk dulu, ya. Di luar dingin." Hanna mengikuti mereka, yang langsung dihadang Haris sambil mengulurkan payung lipat.

"Kamu bisa nunggu Rion di gazebo," gumamnya. "Dan ini nggak perlu dikembalikan."

Pintu ditutup di depan wajah Hanna. Haris melepas hoodie-nya dengan wajah biasa saja, seolah tidak pernah ada mantan pacar yang ternganga tidak percaya di depan pintunya. 

"Jadi?" Jenar bersedekap. "I smell something fishy here."

"Nggak ada ikan di sini. Hidungmu bermasalah, Jen," gumam Haris. "Bisa balik badan?"

Jenar buru-buru berbalik saat Haris mulai melepas hoodie-nya. Ia duduk di tepi kasur dan mengamati bilik kos Haris yang tertata rapi. Unit kecil itu terdiri dari satu ruangan berisi kasur, nakas dan sebuah laptop yang diletakkan di atas meja lipat kecil. Untuk ukuran seorang perokok, Haris cermat juga. Tidak ada sedikitpun aroma rokok di ruangan ini. Yang ada, justru aroma pepper, ginger dan woody tercium lebih pekat. Aroma yang baru Jenar sadari selalu tercium setiap Haris berada di dekatnya. Dia juga baru sadar jika dia tidak pernah membaui aroma rokok setiap berada di dekat Haris.

"Haris, aku mau bicara." Hanna mengetuk pintu dengan tidak sabar. "Ris, di sini dingin. Boleh masuk?"

"Nggak kasihan sama Hanna, Ris?" tanya Jenar saat Haris justru mulai menyalakan laptopnya.

"Akan lebih salah kalau dia masuk ke sini," gumam Haris.

"Kamu masih marah, ya? Kamu harusnya paham alasanku, Ris," seru Hanna. "Haris, buka pintunya dong! Mumpung aku di sini, kita bisa ngobrol, kan?"

Haris menghela napas panjang dan membuka pintu dengan cepat. "Pulang, Na. Nggak bagus kalau Rion tahu kamu di sini."

"Tapi aku mau ngomong sama kamu." Hanna mengamati Haris dengan cemas. "Kurusan, Ris. Kamu sakit?"

Haris mengelak kala Hanna mengulurkan tangan. "Jangan begini. Pulang, minta Rion jemput kamu."

"Tapi--aku dimaafkan, kan? Kamu paham alasanku, kan?" tanya Hanna. "Kamu masih boleh cerita apapun sama aku, Ris. Bukan berarti kita harus jadi orang asing setelah selesai. Aku ada buat kamu kapanpun kamu butuh."

"Ada Jenar sekarang, jadi aku baik-baik saja," ucap Haris. "Pulang Na."

"Aku cuma--" Hanna melirik Jenar dan tersenyum tipis. "Maaf, Nar. Aku cuma ingin memastikan masa lalu kami selesai dengan baik. Kamu paham kan, Ris? Aku sudah dimaafkan, kan?"

Jenar mengangkat alis saat Haris hendak meraih kepala Hanna, namun lelaki itu justru menyimpan tangannya di dalam saku.

"Aku paham. Jadi, kamu pulang ya, Na?" pinta Haris. "Naik apa ke sini? Aku pesankan ojol, mau?"

"Haris, aku--"

Hanna terkejut dan segera mencari-cari ponselnya yang berdering nyaring.

"Iya, Mas. Aku ada perlu sebentar." Hanna melirik Haris. "Udah pulang emang? Iya--iya, deres banget. Oke. Aku tunggu. Love you too."

Dan Jenar melihatnya lagi. Ekspresi kecewa, pedih sekaligus mendamba yang tersorot dari tatapan Haris meskipun wajah lelaki itu tampak datar, seperti yang ia lihat waktu di bioskop.

"Kamu tahu nggak akan ada yang berubah dari kita. Kamu masih jadi tempat ternyamanku untuk cerita, begitu juga sebaliknya. Kapanpun kamu butuh, kamu bisa cerita ke aku, Ris." Hanna menoleh pada Jenar. "Sebagai teman, Nar. Oh, dan jangan lupa. Minggu depan ada pertemuan di sini juga. Kamu berangkat, kan?"

Hanna menepuk bahu Haris sambil tersenyum, lalu melambai pada Jenar sebelum melenggang keluar kontrakan.

"Apa itu tadi?" tanya Jenar saat Harus tidak kunjung beranjak dari ambang pintu.

"Lain kali, lakukan peranmu dengan lebih baik, Jen. I am asking you to be my girlfriend." Haris kembali duduk di lantai sambil menghadap laptopnya.

Jenar mengangguk-angguk puas. "Ohhh, begitu rupanya. Jadi kamu mau aku pura-pura jadi pacarmu biar Hanna menilai kalau kamu udah move on. Begitu?"

"Just do it properly," celetuk Haris tanpa menoleh.

"Memangnya aku harus bagaimana? Berlagak marah karena mantanmu datang? Cemburu? Atau tenang-tenang saja karena toh hubungan kalian sudah berakhir?" Jenar bertopang dagu. "Kalau kamu mau aku 'do it properly', akan lebih baik kalau aku paham sedikit tentang kalian. Harus jelas latarnya, Ris. Seperti waktu aku jelasin alasanku tentang Ibuk. Di kasusmu, alasan putus, misalnya. But are you sure? Sekilas aku lihat, You're still into her."

Jenar menunggu, namun Haris tidak kunjung menjawab. Lelaki itu justru meneruskan pekerjaannya tanpa menggubris Jenar. Sudahlah. Mungkin bukan sesuatu yang seharusnya Jenar tahu.

"Aku masih jauh dari harapannya," jawab Haris tiba-tiba. "Keputusan Hanna realistis, itu haknya."

"Dengan kondisinya. Dia bukan pria dengan ekonomi yang mapan. Jauh dari kata mapan, malah. Lihat aja kontrakan ini, cuma sepetak. Motornya pun motor bekas punya Bang Sinar. Dia juga cuma kerja di Lokamuda, bukan perusahaan besar yang terkenal. Udah pasti gajinya nggak besar. Cinta boleh, tapi harus realistis juga, iya kan?"

Jenar mengerjap kala kalimat Hanna melintas di kepala. "Lalu siapa Rion?"

"Calon suami Hanna. Orang yang kamu lihat di bioskop."

Kening Jenar mengerut. "Dan dia masih minta kamu menghubunginya setiap ada masalah?"

"Tawaran yang menarik, kan?" celetuk Haris.

"Kamu terima?" Jenar mengernyit.

Haris menggeleng kecil, yang langsung membuat Jenar mengangguk setuju.

"Jangan dulu. Kamu perlu move on, dan dia juga harus menghargai calon suaminya." Jenar mendengkus. "Dia juga harus menghargai pacarmu, ngomong-ngomong. Caranya ngobrol sama kamu di depanku sangat nggak oke. Untung cuma pura-pura. Gimana kalau tadi ada pacarmu beneran, coba? Perang dunia ketiga yang ada."

Bahu Haris berguncang kecil saat lelaki itu terkekeh pelan. 

"Senang bisa menghibur," tukas Jenar. "Tapi aku serius, Ris."

"Tahu. Thank you," ucap Haris yang kembali menghadapi banyak diagram dan sheet excel. "Jadi, ke sini mau apa?"

"Mau minta kejelasan. Tapi ternyata sudah jelas sendiri," jawab Jenar ringan. "Tentang salah paham itu. Kamu nggak bilang dari awal, juga."

"Nggak ada gunanya. Kepalamu keburu dipenuhi rumor," tandas Haris. "Dan kamu panik."

Iya juga, sih.  "Tapi, kenapa bisa? Beritanya waktu itu booming banget, Ris. Namamu jadi terkenal karena itu."

"Bukan cara favorit buat terkenal, kan?" gumam Haris.

"Itu cuma--"Kok bisa ada gosip kalau kamu gay? Dan kamu memang kedapatan bareng mereka-mereka yang gay, Ris. Idrus dan kawan-kawan, mereka memang nggak menutupi sex orientation mereka."

Haris tidak menjawab, yang segera disadari Jenar bahwa mungkin pertanyaannya cukup sensitif. "Maaf, nggak perlu dijawab. Kita ngobrolin yang lain--"

"Keluarga berkuasa yang bisa menyetir media dengan mudah, dan stigma jika lelaki nggak mungkin jadi korban pemerkosaan. What do you think, Jen?"

Tatapan Jenar terpaku pada punggung jangkung itu. Seiring dengan pemahaman yang meresap di kepala, seluruh bulu kuduk Jenar meremang.

"Nggak mungkin," bisik Jenar nanar.

"Apanya yang nggak mungkin? Cowok nggak akan pernah bisa jadi korban pemerkosaan? An easy thing, actually. Kamu bisa pakai obat khusus. Make him unconscious or make him high with no concent, then rape him," sahut Haris kalem.

Bukan! Bukan itu! Tapi fakta jika lelaki di depannya mengalaminya

"Haris, serius?" Jenar meninggikan suara tanpa sadar.

"Hm. That's why I hate rumour."

"Tapi kenapa--kenapa yang kesebar justru berita kalau kamu gay? Mana berita yang itu?" tanya Jenar terbata.

"Nggak akan kamu temukan. Ada Idrus Rajendra di sana. Jauh lebih mudah bilang kami semua bersenang-senang dibanding jadi tersangka pemerkosaan. Laki-laki, pula. Siapa yang akan percaya?"

Suara kalem Haris berbanding terbalik dengan dahsyatnya fakta yang baru saja ia tahu. Masa lalu yang seperti itu bukan memori biasa, tapi punggung di depannya tetap tenang. Sementara Jenar kehilangan kata-kata.

"Tahu, kan? Dengan apa yang terjadi sama dia di masa lalu? Juga kondisi dia yang sempat ditangani psikiater?"

Hayu juga pernah bilang jika setelahnya, Haris menghilang. Dia bahkan tidak ikut wisuda.

Jadi, tidak. Kejadian itu pasti membekas dalam bagi Haris. Kejadian itu pasti melukainya sebegitu rupa hingga hidupnya morat marit. Bahkan di zaman sekarang, masih susah dipercaya jika lelaki bisa jadi korban pemerkosaan. Padahal definisi pemerkosaan sangat sederhana: melakukan hubungan seksual dengan paksaan atau tanpa persetujuan salah satu pihak, entah itu perempuan atau lelaki.

"Udah lama. Nggak perlu sekaget itu." Haris melirik Jenar. "Bakso komplit atau kosongan?"

Kala Haris mengatakannya, Jenar baru sadar jika di depan lewat gerobak penjual bakso dengan ketukan khasnya.

"Ng--komplit," jawab Jenar yang masih syok. Gadis itu mengawasi sosok Haris yang sedang bercengkrama dengan si penjual bakso sambil sesekali mengobrol. Tidak ada raut mendung di wajahnya, seolah ia tidak pernah membahas sebuah memori yang berpotensi menjadi momok dalam hidupnya. 

"Tolong saus kecapnya, Jen." Haris duduk dan meletakkan dua mangkuk bakso di lantai. 

"Nggak dikasih sama bapaknya?" tanya Jenar saat membawa dua benda itu. 

"Lebih suka yang ini." Haris mendorong satu mangkuk pada Jenar yang duduk di hadapannya. "Jangan dibuang kalau ada yang nggak disuka. Taruh di mangkukku saja."

"Terima kasih. Dan...maaf," ucap Jenar lagi tanpa berani menatap wajah Haris. Gadis itu hanya menunduk sambil mengaduk baksonya, merasa sangat menyesal.

"Nggak perlu. Hidup harus terus berjalan, Jen. Sekarang aku di sini dan makan bakso. Not so bad, isn't it?"

Apa yang telah Haris lalui, tentunya bukan perkara ringan. Namun pernyataan tenang dan sederhana darinya menunjukkan pada Jenar bahwa lelaki itu telah jauh melampauinya. Jenar melirik Haris yang sedang melahap bakso bulat-bulat hingga pipinya menggembung, kemudian mulai menyantap baksonya sendiri. 

Mungkin, angka tiga terlalu kejam dan meremehkan. Mungkin empat akan lebih cocok untuknya. 
 

===TBC===

 Selamat pagii, selamat hari jumat. Luv yu all 💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top