Before A Kiss | 7
[Ke sini jam berapa?]
[Skrng]
Jenar melirik balasan Haris sebelum kembali mendengarkan Hayu. Minggu pagi, Hayu dan Anggi berkunjung ke rumah Jenar dengan alasan ingin melihat kondisi Darla. Tapi Jenar yakin, mereka juga akan mencerca Jenar tentang Haris. Hayu sudah pasti memberitahu Anggi, gosip-buddy di kos-kosan meskipun Anggi berbeda peminatan dengan mereka. Kini, wanita beranak satu itu berprofesi sebagai psikiater. Kepadanyalah Jenar sering berkonsultasi tentang Darla."Kamu yakin keputusanmu bakal aman? Haris cukup misterius dan kita nggak pernah tahu seberapa aman cowok ini. Are you okay, Nar? Jujur aja, aku nggak akan tahu dia kalau dia nggak pernah kena kasus," bisik Hayu dengan cemas.
"Aku nggak punya pilihan, Yu. Memangnya ancaman apa yang bisa aku dapat kalau aku kerjasama sama Haris, sih?" balik Jenar.
"Dicemburui?" Hayu meringis. "Kalau Haris punya pacar, gimana?"
"Betul. Haris punya pacar?" Anggi menimpali. "Nggak peduli orientasi seksual seseorang, yang kamu lakuin ini bisa bikin pacar orang cemburu."
"Aku belum pernah tanya. Perlu tanya, ya?" tanya Jenar cemas.
Anggi dan Hayu mengangguk bersamaan.
"Nggak lucu kalau tiba-tiba dilabrak cowok berbadan kekar," ucap Hayu.
Jenar jadi membayangkan seseorang datang ke Puskesmas, lantas menantangnya dengan suara menggelegar sambil berkata, "Jauhi Haris!"
Duh!
"Aku boleh bilang Awan kalau kamu punya pacar?"
"Nggak!" desis Jenar.
"Tapi dia udah tahu. Hehe."
"Ya ampun, Ini bukan bahan gosip, Yu," tukas Jenar tidak percaya.
"Tenang, cuma Awan yang tahu, kok. Kan, siapa tahu kalian bisa jadi alasanku buat double date. Biar nggak canggung, gitu. Jadi, gimana kalau kita double date?"
"Nggak."
"Tapi aku udah bilang sama dia kalau kita bakal double date." Hayu mencebik. "Ya Nar, ya? Daripada aku berdua sama Awan--"
"Yu, ck!" Anggi berdecak. Wanita itu ganti melirik Jenar. "Dari dulu aku udah mewanti-wanti sikap impulsifmu itu, Nar. Yang bisa aku bilang, kamu cuma mengalihkan perhatian Tante Darla. Bukan mengatasinya."
"Tahu, kok. Aku cuma berusaha mengambil keputusan paling baik di antara keputusan buruk," gumam Jenar tabah. "Kamu juga jangan ngomong sama siapa-siapa. Termasuk sama Pandu."
Anggi mengangkat bahu. "Dulu gosipnya santer, jadi mungkin Pandu juga tahu siapa Haris. Sekali dia lihat Haris di dekat kamu, dia pasti bertanya-tanya."
Jenar mendesah pasrah sambil meremas kalungnya. Hal terakhir yang dia inginkan adalah menyebarnya berita jika ia berpacaran dengan Haris.
"But, are you okay?" tanya Anggi.
"Sejauh ini Haris bisa diajak kerjasama," jawab Jenar.
"Bukan, Jenari. Are you okay?"
Anggi menatapnya serius, sementara Hayu mendadak tampak tidak nyaman. Jenar memilin kalungnya sambil menerawang beberapa bunga mawar yang mulai layu karena belum disiram.
"Aku nggak punya pilihan selain harus terus baik-baik saja, kan?" gumam Jenar. "Aku cek Ibuk sebentar."
Jenar masuk ke dalam rumah sebiasa mungkin, namun Anggi menepuk pundaknya tidak lama kemudian. "Mandi, gih. Tante Darla biar aku sama Hayu yang jaga."
Jenar melirik keduanya yang kini memeriksa kamar Darla. Ibunya masih tidur, sementara Rumi pergi ke pasar.
"Bukan, Jenari. Are you okay?"
Jenar mendengkus kecil demi menyamarkan kerongkongannya yang tercekat. Seperti biasa, Anggi terkadang membuat seseorang merasa terlucuti, dan itu terasa menyebalkan.
===
Dari sudut matanya, Jenar melihat Anggi mengawasi Darla lekat-lekat kala Jenar dan ibunya keluar membawa sepiring jajanan pasar.
"Lama nggak ketemu, makin cantik saja Hayu sama Anggi. Bapak sehat, Yu?" tanya Darla saat duduk di kursi. Meskipun tampak tertatih dan masih sedikit pucat, Darla berbicara dengan penuh senyum.
Padahal Hayu dan Anggi baru saja bertandang kurang dari satu bulan lalu. Namun kedua temannya merespon sambutan Darla dengan penuh pemakluman.
"Sehat, Bulik. Sejak pensiun Ayah makin rajin mancing," jawab Hayu sambil terkekeh.
"Bagus, nggak apa-apa. Biarkan saja, Nduk. Setelah pensiun kadang orang ngerasa sepi," ucap Darla sebelum beralih pada Anggi. "Pandu sama Arjuna sehat?"
"Sehat, Tante. Tante Darla sehat?" tanya Anggi ramah.
"Tante harus sehat kalau mau lihat Jenar nikah," ucap Darla, yang membuat perut Jenar langsung bergolak. "Haris teman Jenar waktu kuliah. Kalian kenal, kan? Anaknya gimana?"
Hayu sudah mencubiti punggung Jenar dengan tidak nyaman, namun Anggi tersenyum tenang.
"Anaknya ya begitu, Tante. Persis seperti yang diceritakan Jenar. Memang begitu dari dulu," ucap Anggi.
Darla tertawa renyah. "Beda jauh sama Jenar, ya. Jenar orangnya suka di rumah aja. Ya sudah, dimakan, Nak. Bulik ke belakang dulu."
"Lho? Mau ngapain, Buk? Masak nanti biar aku aja," cegah Jenar.
"Nggak masalah. Ada Rumi, kok. Kamu di sini saja. Haris bentar lagi juga datang," ucapnya ringan sebelum berjalan pelan ke dapur, namun ia kembali menoleh. "Kamu udah mandi, kan?"
"Sampun," ucap Jenar.
"Bagus. bagus. Ketemu calon suami harus rapi dan wangi," ucap Darla sebelum menghilang ke dapur.
"Begitu. Memang begitu," ucap Jenar pasrah kala Hayu dan Anggi menoleh bersamaan.
"Tante Darla sepertinya bahagia sekali, ya." Anggi bersedekap. "Agak bahaya."
"Jangan keras-keras," geram Jenar, lalu melempar tatapan bertanya pada Hayu yang melihatnya dengan cemas. "Kenapa? Ck, begini. Aku tahu konsekuensinya, dan aku tahu ini nggak bagus tapi guys, kalau ada solusi yang lebih efisien dan efektif tanpa aku harus nikah, bakal aku ambil. Serius!"
"Aku nggak bilang keputusanmu salah, kok," sambar Hayu yang tambah cemas.
"Same here, Jenari. Aku cuma memastikan kamu tahu konsekuensi dari keputusan yang kamu ambil," timpal Anggi lembut.
"Tahu, Nggi. Paham banget," sahut Jenar lelah. "Dan tolong, jangan ngebahas ini di rumah lagi."
"Permisi."
"Oh. My. God," gumam Hayu, sementara Anggi menatap lelaki itu dengan penuh minat.
Haris berdiri di depan pintu seraya menatap datar mereka bertiga. Pagi ini, ia memakai kaus lengan pendek dan celana chino pendek. Seperti biasa, rambutnya diikat ke belakang.
"Masuk aja, Ris," ucap Jenar seraya menyambangi Haris.
Lelaki itu menyerahkan sebuah paperbag pada Jenar. "Bulik sehat?"
"Hm. Masuk aja. Ada temanku, Hayu sama Anggi. Kamu udah ketemu Hayu kemarin, kan? Aku ke belakang dulu. Makasih untuk ini, Ris." Jenar membawa buah-buahan itu ke belakang. "Har--Mas Haris datang, Buk."
"Oh...suruh duduk dulu aja. Buatin minum, Nar," ucap Darla yang sedang mengiris sayuran. "Oh iya. Kapan orangtuanya mau main ke sini?"
"Belum tahu," jawab Jenar tidak nyaman. "Masih baru banget, Buk. Jangan buru-buru."
"Nggak baik nunda niat baik, Nar. Godaan setan banyak banget sama orang yang berniat menikah," ucap Rumi. "Nggak usahlah lama-lama. "Dua-tiga bulan pacaran harusnya cukup."
Jenar hendak membantah, namun raut antusias Darla yang menatapnya membuat Jenar bungkam. Gadis itu berpaling pada segelas kopi yang sedang ia aduk.
"Nanti kami obrolkan. Ke depan dulu," gumam Jenar.
Namun Jenar tidak menemukan Haris di ruang tamu.
"Nggak masuk, Ris?" Jenar berkata kala mendapati Haris duduk di balai-balai.
Haris yang sedang bermain ponsel, hanya meliriknya. Jenar tidak ambil pusing dan meletakkan secangkir kopi di sampingnya.
"Silakan diminum." Gadis itu menimbang-nimbang, lalu duduk di samping Haris. Lelaki itu bergeser sedikit, namun Jenar tidak mempermasalahkannya. Jenar menatap tanpa minat pada motor kopling tua Haris yang ia lihat hari lalu, lalu berkata, "Aku rasa kita perlu ngobrol sesuatu yang agak privasi."
Lelaki itu mengangkat alis.
"Sorry, tapi...kamu punya pacar?" tanya Jenar canggung. "Bukan maksud apa-apa, kok. Aku cuma berusaha menghindari perselisihan yang nggak perlu. Maksudku, semua orang bisa cemburu. Paham, kan?"
Lelaki itu meliriknya sekilas sebelum kembali memainkan ponselnya. "Pacarku duduk di samping."
"Haris, aku tanya serius," tukas Jenar. "Jangan sampai tiba-tiba ada orang yang bikin gaduh di puskesmas. Atau parahnya, ngomong ke Ibuk."
"Serius," gumamnya tanpa menoleh. "Pacarku di sini."
Jenar mendengkus. "Karena kamu bilang begitu, ekspektasiku nggak akan ada orang yang ngelabrak aku, kan?"
"Hm. Seharusnya begitu."
"I have your words, then," ucap Jenar sebelum beranjak pergi.
Namun ia mengurungkan niat saat Darla keluar. Haris tersenyum ramah, yang disambut bahagia oleh Darla. Mereka mengobrol entah apa, sementara Jenar sedang mencari momen untuk bisa kabur.
"Ngomong-ngomong, kapan orangtuanya mau ke sini?" tanya Darla hingga Jenar langsung waspada.
"Ayah Ibunya Mas Haris kan agak sibuk, Buk. Tapi nanti kami akan cari waktu," jawab Jenar. "Iya kan, Mas?"
"Benar. Kami juga perlu mempersiapkan semuanya," sambung Haris.
"Buk, Mas Haris boleh sarapan di sini? Kasihan belum makan dari tadi." Jenar mengabaikan Haris yang meliriknya.
"Oh, boleh," jawab Darla antusias. "Ayo masuk! Rawonnya hampir matang, kok. Hayu sama Anggi juga mau sarapan bareng. Ah, iya. Sambil nunggu matang, Tante boleh telfon ibumu, Nak? Sibuk nggak?"
"Sibuk!" sahut Jenar cepat. "Sibuk banget. Jadi nanti aja!"
"Oh...kalau gitu boleh minta nomor telfon--"
"Tante!" seru Hayu riang. Jenar diliputi kelegaan saat temannya muncul di saat yang tepat. "Tante, aku boleh ajak Haris sama Jenar double date?"
"Oh, boleh sekali," ucap Darla, yang langsung berbinar-binar. "Haris, jaga Jenari!"
"Tentu, Tante," jawab Haris.
Hayu bersorak, dan Haris bertopang dagu sambil mengamati Jenar yang melotot padanya.
===
"Nar, masih marah, ya?"
Jenar mengurai sedekapnya dan menatap tajam Hayu. "Di antara semua orang, seharusnya kamu paling paham, Yu. Ibuku barusan keluar dari rumah sakit dan di rumah cuma sama Bulik yang buta pengetahuan medis. Bisa-bisanya kamu lempar ide kayak gini?"
Hayu mengerut sambil mencebik, "Habisnya...udah kepalang beli empat tiket."
"Lain kali jangan begini, Yu. Aku mau di rumah sebisa mungkin. Aku mau jaga ibuku."
"Tapi kan, Bulik juga senang lihat kamu jalan sama Haris." Hayu membela diri.
"Nggak akan ada ide itu kalau kamu nggak ngomong duluan," desis Jenar.
"Hai, ada apa ini?" Awan segera berdiri di sebelah Hayu sambil memberikan minuman. sementara Haris yang juga datang bersama Awan, melirik Jenar yang membuang wajah.
"Nggak apa-apa, biasalah. Awan, tiketnya?" Hayu meraih lengan Jenar dan menariknya. "Yes! Ayo masuk!"
Hayu duduk di sebelah kirinya dan mulai nyemil snack, sementara Haris di sebelah kanannya, tampak bermain ponsel. Tapi Jenar tidak peduli. Suasanya hatinya begitu buruk sampai-sampai dadanya berat sekali. Bahkan film yang notabene ia tunggu-tunggu rilisnya pun hanya menarik sedikit minatnya.
"Sorry, aku cuma--" Bisikan Hayu berhenti. "Aku cuma merasa kalau kamu terlalu memikirkan banyak hal tanpa bisa kasih ruang ke diri sendiri, Nar. Kepalamu, itu kerasa penuh banget. Sumpek. Jadi--ng, just wanna save you. Selain biar bisa jalan sama Awan, sih."
Hayu meringis kala Jenar hanya meliriknya. Raut bersalah tergambar jelas di wajah gadis itu. Jenar berdecak dan kembali menonton televisi meskipun ponselnya siaga dalam genggaman.
Tapi Jenar tidak bisa menikmati filmnya. Pikirannya penuh akan Darla.
"Pulang saja kalau khawatir."
Gumaman Haris terdengar sesaat setelah Jenar memeriksa ponsel untuk kesekian kali. Lelaki itu berkata tanpa menoleh. Ia tampak nyaman bersandar di kursi sembari mengunyah popcorn. Jenar meremas ponselnya dengan cemas, lalu berbisik pada Hayu.
"Aku balik duluan. Kita bisa jalan bareng lain kali," bisik Jenar sebelum berdiri. "Haris, di sini aja. Sayang tiketnya. Aku duluan, guys."
"Lhoh! Nar? Jenar!" Hayu beranjak, namun Awan menahan tangannya dan berkata jika filmnya masih lama.
Saat Jensr lewat, Haris melipat kaki meskipun matanya terpancang di layar. Gadis itu cepat-cepat keluar dari ruangan dan segera memesan ojek online.
"Hujan, Jen. Pesan taksi saja."
Jenar menoleh dengan terkejut. Entah sejak kapan, Haris sudah berjalan di belakangnya.
"Nggak lanjut nonton?" tanya Jenar kala lelaki itu membersamai langkahnya. "Lumayan tiketnya lho, Ris."
"Boring," gumam Haris sebelum lanjut memakan popcorn-nya. "Taksi, Jen."
"Udah keburu ojol. Telat, sih," tukas Jenar. Lelaki tinggi itu hanya meliriknya, namun tidak berkata apa-apa.
Hingga mereka berpapasan dengan seorang gadis, dan langkah Haris berhenti. Jenar otomatis ikut berhenti. Gadis itu menatap mereka dengan terkejut sebelum tersenyum paksa.
"Gitu dong, Ris. Move on nggak susah, kan?" Ditinjunya pelan bahu Haris sambil tertawa canggung. "Jagain dia, Mbak."
"Hanna, udah lama nunggu?" Seorang lelaki muncul dengan tergesa. Ia langsung menggenggam tangan gadis itu sebelum menyadari Haris dan Jenar. "Oh, temannya Hanna?"
"Hm." Hanna tersenyum tipis. "Ayo, Mas. Duluan, Ris."
"Cantik," celetuk Jenar sambil lalu. "Pacarmu, Ris?"
"Sampai dua minggu yang lalu, dia masih pacarku."
Ia menatap Haris sejenak, lalu mengangguk paham. “Oh, another save place.”
"I tended to marry her."
Jenar mendengkus. "Mana yang katanya 'I marry someone I want'? Kamu menolak tawaranku. Apa bedanya kami, coba?"
"I want her, I don't want you. Simple."
Jenar meliriknya. "Kita ngomongin pernikahan pura-pura, kan?"
"Pernikahan pura-pura, ck ck. You're scary, Jen. Pernikahan nggak pernah jadi mainan buatku."
Jenar berhenti, lalu bertanya lamat-lamat. “Dia--beneran pacarmu?”
Haris mengangguk singkat, yang membuat Jenar menatapnya ngeri. "Tapi katamu kan--kamu... in sexual way, kamu cuma pilih cowok?"
“Aku nggak pernah bilang apapun.”
“Tapi--kasus waktu kuliah dulu itu?” tanya Jenar terbata.
Haris mengunyah popcorn-nya sambil menatap Jenar tanpa ekspresi. "Kepalamu termakan rumor, Jen."
Jenar menatap Haris tidak percaya. “Serius?"
Haris mengangguk, yang membuat Jenar tambah ternganga. "Haris! Kenapa nggak bilang?”
Haris meliriknya sebelum kembali berjalan. "Kamu nggak pernah tanya."
Punggung jangkung itu hilang timbul di antara kerumunan, meninggalkan Jenar yang ternganga dengan ketidakpercayaan besar di wajahnya.
Tuhan, apa lagi ini?
=TBC=
Selamat pagi, selamat hari jumat. Please be happy, be healthy, and be safe ya. Luv yu all ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top