Before A Kiss | 6

"Jadi, ini pertama kali periksa?"

Jenar bertanya pada seorang wanita muda yang tengah hamil tujuh bulan. Wanita itu baru saja dirujuk dari poli KIA ke polinya karena ini pertama kali ia datang untuk memeriksakan kandungan.

Resti, wanita berusia 22 tahun itu mengangguk.

"Ada yang nggak baik?" tanyanya seraya melongok ke arah buku KIA dengan ingin tahu. "Kata bidan, saya kurang darah. Bayinya juga kurang besar. Lengan saya juga kurang gemuk, padahal saya makan banyak. Kata orang, saya hamil kebo. Tahu, kan? Hamil yang nggak pakai pusing muntah-muntah gitu."

Jenar mengangguk seraya tersenyum menenangkan.

"Anemia, tapi masih bisa diatasi. Sudah dapat tablet tambah darahnya, kan? Nanti diminum rutin, ya," ucap Jenar. "Ada makanan yang kurang disuka selama hamil?"

Resti menggeleng. "Saya bisa makan apa saja, Bu."

"Bagus. Kemarin sore makan apa?"

"Nasi goreng," jawabnya.

"Lauk?" pancing Jenar.

"Tempe kering aja. Sama malamnya nyemil kacang kedelai. Kedelai nggak apa-apa kan, Bu?"

"Nggak masalah. Kedelai bagus," ucap Jenar sambil mencatat. "Tadi pagi sarapan apa?"

"Nasi sama urap," jawab Resti.

"Pakai telur?"

Resti menggeleng. "Nggak makan telur selama hamil. Nggak bagus buat orang hamil kan, Bu?"

Goresan pena Jenar berhenti, lalu bertanya ramah, "Alasannya apa? Siapa yang bilang begitu?"

"Ibu sama mertua. Katanya bisa bikin bayi alergi."

"Kamu punya riwayat alergi?" tanya Jenar.

Resti menggeleng.

"Kalau kamu nggak ada alergi, kemungkinan besar kamu bisa makan telur," ucap Jenar sabar. "Diusahakan setiap makan ada lauk hewaninya. Atau minimal setiap hari, ada lauk hewani yang kamu makan. Ayam, ikan, telur, daging-dagingan. Bisa diselang-seling--kenapa?"

Jenar bertanya karena Resti mendadak bergidik.

"Bu, Ibu nggak tahu kalau Ibu hamil nggak boleh makan mis-misan?" Resti menatap Jenar dengan heran. "Ibu hamil, ibu yang habis lahiran, nggak boleh makan, Bu. Nanti bayinya nggak bagus dan luka lahiran jadi becek."

Oh, baik. Sekali lagi, Jenar harus menghadapi salah satu musuh utama profesinya: mitos.

"Itu semua nggak benar. Lauk hewani bagus buat kamu dan perkembangan janin. Lihat?" Jenar menunjukkan hasil pemeriksaan. "Ini salah satu sebab kenapa kamu anemia. Salah satu fungsi darah merah adalah mengantarkan nutrisi yang kamu makan ke tubuhmu sendiri dan tubuh bayi. Kalau kamu kurang darah, nutrisi yang kamu makan nggak tersalurkan dengan baik. Jadinya apa? Ini, bayi dan lenganmu kecil. Paham sampai sini?"

Resti mengangguk ragu.

"Nah, biar darah merahmu naik, kamu harus menambah porsi lauk hewanimu. Tempe dan kacang-kacangan juga sumber protein, tapi lauk hewani akan lebih efektif membentuk sel darah merah. Jadi mulai sekarang, tolong makan lauk hewani ya. Nggak usah yang susah dicari. Bisa telur, atau ayam, atau ikan mujair, lauk pauk yang bisa kamu temui di pasar." Jenar memberikan selembar kertas pada Resti. "Untuk ikan, ini, saya kasih daftarnya. Ikan yang ada di sini, aman kamu makan. Pastikan kamu masak matang, jangan ada yang setengah matang atau bahkan mentah. Jangan lupakan tablet tambah darahnya. Itu mempercepat penambahan sel darah merahmu."

"Begitu ya?" Resti menatapnya cemas. "Kalau telur mentah, boleh Bu? Ayah saya suka makan telur mentah, katanya itu bagus buat stamina."

"Nggak boleh. Telur harus matang sempurna. Nggak boleh setengah matang apalagi mentah. Telur yang nggak matang sempurna bisa membawa Salmonella. Bakteri ini bisa berbahaya untuk ibu hamil. Jelas sampai sini?"

"Resti mengangguk dengan kecemasan yang meningkat. "Tapi--nanti Ibu pasti marah. Jangan, ah. Tahu saya ke sini juga pasti dimarahi."

"Ibumu marah kalau kamu ke puskesmas buat periksa?"

Resti mengangguk takut-takut. "Katanya ngapain periksa, cuma ngabisin duit aja. Tapi kan, saya juga mau lihat perkembangan anak saya."

"Kamu sudah berani hari ini, itu bagus." Jenar tersenyum menyemangati. "Kalau ada apa-apa, kamu selalu bisa minta tolong sama Bu Ruli, kenal kan? Beliau kader di desamu. Minggu depan, kamu datang sama beliau saja. Dan tolong diperbanyak makan lauk hewaninya, oke? Bulan depan sudah persiapan lahiran. Kamu perlu tenaga ekstra. Ibu hamil nggak boleh anemia."

"Tapi Ibu pasti marah," cicit Resti mulai panik.

"Begini saja." Jenar berkata. "Kalau Ibumu masih melarang kamu makan mis-misan, besok ajak beliau ke sini buat ketemu saya."

Resti menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan.

"Bagus sekali. Dan ini." Jenar mengacungkan buku KIA. "Di buku KIA ini, ada banyak informasi tentang makanan sehat untuk ibu hamil. Nanti dibaca-baca. Masih ada yang ingin ditanyakan?"

"Nanti...saya boleh tanya-tanya ke Ibu kalau saya bingung?" tanya Resti ragu.

"Tentu. Ini nomor wa saya." Jenar menyerahkan secarik kertas pada Resti sebelum wanita itu berpamitan.

Sejenak setelah Resti pergi, seorang kader melongok ke dalam.

"Itu tadi warga baruku, Mbak," ucap Bu Ruli saat Jenar mempersilakannya masuk. "Akhirnya periksa, ya?"

"Iya. Bulan lalu baru pindah ke sini, katanya," ucap Jenar. "Keluarganya gimana? Dia kerja apa?"

"Nggak kerja. Tapi suaminya kerja di pelayaran, makanya dia ke sini. Anaknya mantan dukuhku itu lho, Mbak. Wataknya keras, memang."

"Oh...Tolong pantau, Bu. Anemia, Lila kecil dan janin kecil. Udah aku bilang besok kalau ke sini sama njenengan saja. Oh iya, sama PMT buat dia nanti tolong sekalian dibawa."

Wanita berusia empat puluh tahunan itu mengangguk sambil menghela napas panjang. "PR-ku nambah satu. Dan Kiara positif HIV. Udah semingguan nggak mau makan."

Mendengarnya, emosi Jenar yang akhir-akhir ini mencapai permukaan kini menggelegak tidak keruan. Kiara, gadis berusia empat belas tahun itu jadi korban pemerkosaan tetangganya sendiri. Dia kini hamil dan dipaksa menikah dengan si pemerkosa, yang tidak lain adalah duda 31 tahun. Sudahlah bertemu saja membuat Kiara trauma, sekarang ia harus serumah dengan orang yang memberinya rasa sakit secara fisik dan mental. Belakangan diketahui jika pria itu terkena HIV. Kiara di-tracking, dan dia pun kini diketahui positif HIV.

Tugas Jenar sebagai ahli gizi puskesmas sangat berbeda dengan tugas para ahli gizi di rumah sakit. Dia tidak hanya berkutat dengan diet murni para pasien. Dia bertanggung jawab dengan status gizi warga satu kecamatan. Ada gizi buruk, Jenar yang akan dipanggil oleh dinas. Ada ibu hamil gizi buruk, Jenar pula yang akan dimarahi oleh dinas. Dan lihat dua kasus tadi? Status gizi seseorang tidak pernah telepas dari pengetahuan dan lingkungan sosialnya. Jika mau ditelaah lebih jauh, Jenar tidak akan pernah bisa menutup mata dari kondisi lingkungan sosial dan ekonomi warganya untuk benar-benar memahami apa yang menyebabkan mereka berstatus salah gizi. Bahkan untuk kasus seperti Kiara, dia harus memutar otak untuk menangani gadis berusia empat belas tahun yang menghadapi depresinya.

Gadis itu bersandar di kursinya saat sang kader akhirnya pamit setelah berdiskusi hampir tiga puluh menit. Pandangan Jenar terpaku pada kertas-kertas berisi status gizi para balita di lingkungannya, lalu menghela napas panjang.

Seharusnya sepuluh menit menjelang waktu pulang adalah waktu bersantai. Tapi kasus-kasus di wilayah kerjanya begitu banyak dan rumit sampai tidak bisa dibawa santai.

Telefon dari Rumi membuat Jenar langsung menyambar ponselnya.

"Kenapa, Bulik?" tanya Jenar tergesa.

"Jenar, pulang jam berapa?" suara Darla terdengar parau dari seberang sana.

"Ini udah siap-siap pulang, Buk. Kenapa? Ibuk ada keluhan? Atau ada titipan?"

"Nggak. Cuma mau tanya anak gadisku. Pulangnya hati-hati, ya. Hujan deras di sini."

Sambungan selesai, dan Jenar terpaku. Rasanya sudah lama sekali Darla berkata begitu. Mendengar ibunya bertanya kabar Jenar dengan tulus, matanya berair juga.

[Ke RS]

Pesan dari Haris muncul di layar. Lelaki itu memang berjanji akan mampir sepulang kerja.

Hah, lebih baik Jenar juga segera pulang.

===

"Mau masuk kapan, Jen?"

Jenar hampir melempar ponselnya saat suara Haris terdengar begitu dekat. Ternyata lelaki itu tepat di sebelahnya, duduk di atas motor kopling tua entah sejak kapan. Jenar sendiri masih berada di atas motornya karena sibuk membalas pesan orang dinas.

Haris masih memakai kemejanya dengan tas ransel di punggung, dan dia terlihat agak berbeda. Mungkin karena hari pertamanya bekerja, lelaki itu mencukur kumis dan jambangnya sehingga Jenar jadi agak sadar jika lelaki ini seumuran dengannya. Haris bertopang dagu dan menatap Jenar dengan tatapan datar yang menyebalkan.

"Kantormu memperbolehkan pegawainya punya rambut panjang?" tanya Jenar saat mereka memasuki rumah sakit bersama.

"Yang penting rapi," jawab Haris.

Jenar hanya mengangguk saja. Mereka sampai di ruangan Darla, yang membuat Darla seketika terlihat bersuka cita.

"Nak Haris, pulang kerja juga?" tanya Darla kala lelaki itu menyalami ibunya.

"Ya sudah. Ada Haris, Bulik pulang dulu." Rumi berkata sebelum pamit keluar ruangan.

Tak lama, makan malam datang. Jenar mengawasi Darla yang menyantap makanannya sendiri sebelum melanjutkan urusannya dengan orang dinas yang sempat tertunda.

"Jadi, kerjanya di kantor ngapain, Nang?" Darla membuka obrolan dengan Haris yang suduk di samping Jenar.

"Di depan komputer saja, Bulik. Baca-baca data," jawab Haris.

"Itu buat apa?" tanya Darla ingin tahu. "Lihat pemasukan sama pengeluaran, gitu?"

Jenar melirik kecil. Kesalahpahaman tentang pekerjaan Haris telah ia luruskan. Dan karenanya, Darla penasaran sekali dengan pekerjaan seorang data analyst.

"Bukan, itu beda lagi. Sederhananya, kami membaca dan menyimpulkan banyak data sehingga Lokamuda bisa mrmbuat keputusan tepat terkait konsumen. Contohnya, kami bisa tahu apa yang menarik minat pembeli berdasarkan data. Setelahnya, tim pemasaran bisa mulai membuat materi marketing yang sesuai dengan tren saat itu."

Darla mengangguk-angguk. "Kelihatannya bagus, tapi Bulik nggak paham. Zamanmu beda dengan saman kami."

Haris terkekeh kecil dan memperlihatkan sesuatu di ponsel kepada Darla. "Ini aplikasi Lokamuda. Semua hal yang Bulik lihat di halaman pertama, adalah produk penyimpulan data. Seperti slot iklan di sini, harus kami isi dengan iklan-iklan yang merepresentasikan tren saat ini. Menu-menu cepat ini juga diputuskan lewat pembacaan data."

Wajah Darla mengerut sambil mengamati layar ponsel Haris, lalu ia menggeleng kecil.

"Bulik masih nggak ngerti," gumam Darla.

Haris menjelaskan sekali lagi dengan kesabaran yang sama, dan Darla banyak bertanya sambil menunjuk-nunjuk. Mereka berdua sepertinya tidak sadar jika Jenar tengah melirik keduanya.

Jenar masih menyangkal jika rencana pernikahannya adalah solusi dari keadaan Darla. Tapi melihat Darla yang begini, Jenar tidak bisa berkata apa-apa. Semoga saja saat waktunya tiba, ia bisa menjelaskan pada Darla tanpa perlu menyakiti ibunya.

Jenar memukul-mukul pelan ponsel ke dahinya tanpa sadar hingga sesuatu menghalangi kegiatannya.

"Kamu nganggur?" tanya Haris pelan sambil meletakkan tangan di depan dahi Jenar. "Aku keluar dulu."

"Kenapa, Nar?" tanya Darla. "Ada masalah di kantor?"

"Nggak kenapa-napa, kok. Kenapa Buk? Mau minum?"

"Kalungnya," gumam Darla lirih seraya ke arah kalung Jenar yang tersembunyi di balik baju. "Belum kamu lepas?"

"Haris nggak keberatan," gumam Jenar canggung. "Dia...nggak komentar apa-apa, kok."

"Dia tahu tentang Putra?" tanya Darla.

"Dia nggak perlu tahu," jawab Jenar semakin canggung.

"Nduk, kamu perlu memikirkan perasaan Haris kalau dia tahu tentang kalung ini," ucap Darla lembut. "Ada baiknya kamu simpan saja kalung itu."

"Nanti," gumam Jenar. "Nanti, Buk."

Jenar berusaha menghindari tatapan Darla yang mulai berkaca. Untuk yang satu ini, Jenar tidak mau diganggu gugat.

"Kamu udah ketemu orangtuanya Haris?" tanya Darla tiba-tiba. "Kapan mau main ke rumah?"

"Orangtuanya masih sibuk. Jadi mungkin nanti--mungkin beberapa bulan lagi," jawab Jenar tidak enak hati.

"Niat baik seharusnya nggak ditunda-tunda. Kamu juga harus--"

Saat itu, Haris masuk. Kehadiran Haris menyelamatkan Jenar dari apapun yang hendak dikatakan Darla.

"Selesai urusannya?" tanya Darla.

Haris mengiyakan sebelum duduk di samping Jenar dan kembali mengobrol dengan Darla. Jenar agak lega Darla tidak mengangkat topik barusan di depan Haris. Gadis itu melirik mereka berdua sebelum lanjut berbalas pesan.

"Jadi, besok kita pulang jam berapa, Nar?" Darla meletakkan piring makan malamnya yang sudah kosong ke atas nakas.

"Jam sembilan udah bisa keluar," jawab Jenar. "Ibuk benar nggak ada keluhan lagi?"

Darla menggeleng kecil. "Besok Haris mainnya ke rumah aja. Kerjaanmu masuk tiap hari, Nang?"

"Sabtu Minggu libur," jawab Haris. "Kalau besok belum ada kendaraan, saya antar saja."

"Nggak!" Jenar menepis tanpa sadar. "Umm--maksudku, nggak perlu repot-repot, Ris--"

"Mas," koreksi Darla tajam.

"Mas," desis Jenar, merasa sebal saat melihat ujung bibir Haris yang berkedut. "Besok bisa pakai ojol. Aku juga ambil cuti, jadi nggak perlu ngerepotin Mas Haris. Besok sabtu kan, katanya mau pergi sama Sinar?"

Tidak, Haris tidak ada agenda pergi dengan Sinar. Jenar hanya berusaha mencegah keterlibatan Haris lebih jauh. Gadis itu menatap Haris dengan penuh senyum sambil berusaha mengirim kode. Paham kan? Paham dong. Ayolah, masak nggak paham?

"Bisa dibatalkan," ucap Haris ringan. "Besok saya jemput saja?"

"Boleh. Sekalian kenalan sama rumahnya Jenar," jawab Darla dengan antusias, sementara senyum sudah hilang dari wajah Jenar.

Lelaki itu mengangkat alis, yang membuat Jenar memutar bola mata. Haris jelas sedang bersenang-senang di dalam perjanjian mereka, dan Jenar akan membiarkannya selama Darla baik-baik saja.

===

Jenar memang cuti. Tapi pekerjaannya mana mungkin mengenal kata cuti?

Seperti yang dijanjikan, pagi tadi Haris mengantar kepulangan Darla. Jenar membersamai mereka hingga atasannya di dinas menelfon Jenar.

Maka setelah memastikan Darla baik-baik saja, Jenar pergi ke puskesmas dengan tergesa.

"Lhoh Nar, katanya cuti?" Hayu menyambanginya saat melihat Jenar di ruangan.

"Besok rapat dan Pak Praja minta materi dari sini," ucap Jenar lelah. "Piket, Yu?"

"Yep. Sebentar lagi pulang." Hayu duduk di depan Jenar sambil mengamati kawannya mengumpulkan berkas-berkas. "Tante baik-baik aja, kan?"

Jenar mengangguk.

"Syukurlah. Habis ini deh, aku ke rumahmu."

"Nggak perlu," tepis Jenar cepat. "Maksudku, Ibuk biar istirahat dulu, Yu. Lagipula--"

"Jen?"

Kedua gadis itu menoleh ke pintu, dan Jenar merinding sampai ke ubun-ubun. Di depan ruangannya, Haris berdiri sambil mengacungkan ponsel Jenar.

"Ponselmu ketinggalan. Nggak sadar?"

Jenar buru-buru keluar dan menyahutnya.

"Terima kasih." Jenar berbisik sambil mendorong Haris agar segera menyingkir dari sana. "Dan terima kasih untuk hari ini. Pulangnya hati-hati!"

"Haris?"

Jenar memejamkan mata saat Hayu mengejar mereka dengan buru-buru. Ia menatap Jenar dan Haris dengan bingung.

"Haris, kan?" tanyanya. "Haris Diwangka, anak teknik, kan?"

Haris mengangguk singkat. "Ada apa?"

"Sorry, tapi...kenapa ada di sini?" Dahi Hayu makin mengerut saat ia menatap Jenar dan Haris bergantian. "Maksudku, ada urusan apa dengan Jenar? Kenapa--eh, kalian sejak kapan saling kenal? Dan kenapa ponsel Jenar ada di kamu?"

Nggak! Jangan sama Hayu--

"Jenar pacar saya," gumam Haris. "Cukup jelas?"

==TBC==

Haii, selamat pagi. Selamat hari jumat. Terima kasih sudah membaca 💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top