Before A Kiss | 4

"Saya cuma butuh status. Seharusnya itu nggak masalah buatmu, kan?" ujar Jenar tergesa.

Keterkejutan Haris sirna, berganti dengan tatapan dingin yang membuat Jenar agak gentar juga. Dari jarak sedekat ini, lelaki itu terlihat lebih liar. Perawakan tinggi, kumis dan jambang tipis, rambut gondrong yang dibiarkan hingga ke bahu, ripped jeans, kaus hitam tanpa lengan, dan tas gunung besar yang membuat tubuh Jenar terpental. Semuanya terasa asing dan mengintimidasi.

Haris melepaskan Jenar kala ponsel di sakunya berbunyi.

"Gue nggak jadi ikut, Nar." Lelaki itu mengambil bungkus rokok yang terjatuh, lalu melirik Jenar. "Cewek gue minta jalan."

===

"Dik Jenari."

"Pak Candra."

Jenar balas menyapa canggung sebelum cepat-cepat menyambangi Darla. Ibunya sudah sadar, namun kondisinya masih lemah sehingga ia hanya berbaring saja dengan selang oksigen yang terpasang. "Bulik, Ibuk, ini Haris."

Haris mendekat dan menyalami semua yang ada di sana termasuk Candra. Wajah Candra begitu masam meskipun Haris menjabat tangannya dengan santai dan terlihat tanpa beban.

"Siapa?" Bisik Darla parau saat Haris mencium tangannya.

"Maaf jika kita belum pernah bertemu, Tante," ucap Haris sambil duduk di samping Jenar, menghadap Darla. "Saya Haris, teman dekat Jenar."

"Pacar?" tembak Rumi, sementara wajah Candra mengeruh.

Haris menjawab dengan anggukan kecil dan senyum tipis. Darla langsung mengamati Haris dengan binar yang mulai muncul di mata. Jenar? Berusaha mempertahankan senyum meskipun hatinya memberontak keras.

"Saya permisi!"

Candra tiba-tiba berdiri dan meninggalkan ruangan. Rumi berdecak kecil, namun Jenar segera mengejarnya.

"Pak Candra," ucap Jenar begitu berhasil mencapai Candra. "Maaf, saya harap Bapak tidak meninggalkan tali silaturahmi dengan keluarga kami."

Wajah Candra memadam. "Dik Jenari, kemarin katanya belum berniat menikah. Kenapa tiba-tiba bawa pacar? Kamu mempermainkan saya?"

"Maaf. Tapi...umm...takdir?" Jenar meringis kaku. "Kami memang--"

"Apapun alasannya, saya belum pernah merasa semalu ini selama hidup saya. Dan kamu, kamu lebih memilih begundal seperti itu dibanding saya? Saya merasa terhina."

"Begundal?"

"Lelaki berambut panjang, nggak terurus, kelihatan sekali kalau dia seorang preman! Seleramu rendahan, Dik."

Candra menatap tajam Jenar sebelum meninggalkannya di lorong. Sementara enar melongo, agak kaget dengan kesimpulan Candra yang wow sekali. Tapi gadis itu tidak ambil pusing dan kembali ke ruangan.

Lalu ia terpana.

Karena Darla mengobrol dengan Haris dengan antusiasme yang tidak pernah lagi ia lihat di wajah Darla selepas kepergian ayah dan kakaknya. Lihat, keduanya tertawa. Darla tertawa! Lepas, disertai binar yang menyala di matanya. Dan Haris, lelaki itu bercerita seraya memijit tangan Darla.

Apa yang terjadi selama Jenar meninggalkan ruangan tadi?

"Pacarmu pintar ambil hati orang." Bisikan Rumi membuat Jenar tersadar. "Lihat, baru sebentar tapi udah kayak teman sama Ibumu. Kalau sama Candra tadi cuma ngobrol sekenanya. Tapi benar itu pacarmu?"

"I--ya. Kenapa Bulik?"

"Oh...nggak apa-apa. Sepertinya Mbakyu langsung suka. Jadi, kalian dulu pernah pacaran?"

"Ak--iya." Jenar segera mengingatkan diri akan skenario dadakan yang telah mereka sepakati. Yah, sebenarnya Jenar sendiri yang menyusun segala skenario itu. Haris hanya diam dan mengangguk saja sepanjang perjalanan.

Rumi menghela napas panjang. "Candra marah ya? Pasti nanti canggung banget sama Candra. Kamu sih nggak bilang-bilang kalau punya pacar."

Jenar meraih kalungnya tanpa sadar. "Karena kami--baru ketemu lagi tadi di reuni. Dan aku udah bilang nggak minat sama Pak Candra dari kemarin lho, Bulik."

Rumi hanya berdecak, sementara Jenar meringis kecil. "Sudah ya, aku mau ketemu Dokter Mustafa dulu."

Jenar melirik Darla dan Haris, lalu keluar ruangan dengan sejuta beban di dada. Dia tidak suka berbohong, tapi otaknya memang agak gila saat mendengar kondisi Darla. Jenar tinggal punya Darla di dunia, dia tidak ingin ibunya kenapa-napa.

Begitu ia kembali, hal pertama yang ia dengar adalah tawa Rumi.

"Kalau nggak berangkat reuni, mana ada cerita cinta lama bersemi kembali? Iya, kan?" Rumi terkekeh.

Jenar ikut tertawa kaku, yang membuat hatinya tercubit malu. Lebih baik dia pergi dari suasana penuh kebohongan yang ia ciptakan sendiri. "Aku beli makan malam dulu. Bulik Rum titip apa?"

"Apa saja Bulik mau," jawab Rumi ringan.

"Haris ditawari juga, Nduk," ucap Darla parau. "Nak Haris mau makan apa? Atau kalian mau makan bareng keluar?"

"Nggak kok," tepis Jenar buru-buru. "Ris, mau makan apa?"

"Mas," tegur Darla. "Dibiasakan, Nar."

Ujung bibir Jenar berkedut saat ia memaksakan senyum. "Mas Haris, mau makan apa?"

Haris melirik Jenar, yang susah payah mempertahankan senyum hingga bibirnya gemetar.

"Kami boleh keluar sebentar?" tanya Haris.

Darla mengangguk antusias. "Yang lama nggak apa-apa. Tapi nanti ke sini lagi. Ibuk masih mau ngobrol banyak."

"Tentu," jawab Haris hingga senyum Darla melebar.

Kala mereka sudah keluar ruangan, Jenar langsung mengambil jarak.

"Thank you," gumam Jenar canggung seraya memegang kalungnya. "Ini nggak akan lama. Dan maaf baru bisa ngobrol tentang imbalannya. Jadi, apa yang kamu minta?"

Sesaat setelah Jenar mengatakannya, dia sadar jika ia sudah terlalu gegabah. Sekarang ia melirik Haris penuh antisipasi, menunggu permintaannya seperti menunggu sebuah vonis. Kalau nggak masuk akal, batal aja lah!

Namun Haris tidak kunjung menjawab. Lelaki itu justru menyisipkan tangan ke dalam saku sembari terus berjalan.

"Be my girlfriend," ucapnya kemudian.

"Kamu yakin kita nggak nikah aja kalau itu yang kamu minta?"

"You're not my type." 

Ha.Ha. "Oke. Tetap pura-pura, aku rasa."

"If you say so, then yes. Siapa namamu tadi?"

"Kadita Jenari. Jenar," ucap Jenar canggung. "Dan selama kita ada di skenario ini, kamu boleh ngelakuin apapun yang kamu mau. Maksudku pacar atau kencan atau semacamnya. Jangan khawatir, saya nggak akan membatasi kamu, saya juga nggak akan berkomentar macam-macam. Hanya--tolong datang waktu aku minta kamu datang."

Haris mengangguk singkat tanpa menoleh.

"Mau makan apa?" tanya Jenar saat mereka keluar gedung.

"Nggak perlu."

Jenar mengerutkan kening saat Haris mengeluarkan kunci mobilnya. "Mau pulang?"

"Ada kerjaan," gumam Haris sebelum menghilang menuju basement.

Jenar tidak mempermasalahkannya. Yang penting lelaki itu muncul kala mereka harus balik ke ruangan Darla. Gadis itu memutuskan duduk di kursi sebelum pergi membeli makan malam, lantas memilin kalungnya dengan main-main.

"Maaf. Cuma sebentar kok, Mas. Sampai Ibuk tenang. Nggak akan lama," gumam Jenar seraya menatap langit malam. Ia kembali mengingat percakapan tadi siang dengan enggan.

"Gue nggak jadi ikut, Nar. Cewek gue minta jalan."

Jenar langsung menggenggam kalungnya dengan gugup.
 

" 'Seharusnya itu nggak masalah buatku' ," ucapnya menimbang-nimbang gawai sebelum menyimpannya di saku. "Bisa dimengerti. Jadi, mari dengar alasan gilamu."

"Saya nggak berminat pacaran," ucap Jenar buru-buru. "We need to get married. Bukannya pernikahan akan membuat kamu lebih aman dan bebas?"

Haris mengamati Jenar sejenak, lalu mendekatinya hingga Jenar melangkah mundur dengan kegugupan yang meningkat. Bukannya apa-apa, tapi rambut gondrong berantakan yang membingkai wajahnya membuat tatapan tajam Haris jadi makin seram.

"I marry someone I want," gumamnya sambil terus mendekat. "And I don't want you, woman."

"Kita bisa pisah setelah lima atau enam bulan. Nggak akan lama. Kamu boleh ngapain aja selama--"

"No marriage, or no agreement," ucap Harris yang kembali berjalan menuju lift.

"Baik! Baik! No marriage!" ucap Jenar buru-buru.

"Dan apa imbalannya untuk saya?"

"Ng--safe place?" jawab Jenar coba-coba, yang membuat Haris langsung berjalan melewatinya. "Atau--apapun yang kamu mau!"

Langkah Haris berhenti. "Berapa uang yang kamu punya?"

"Kamu butuh berapa?" balik Jenar dengan berani, padahal otaknya langsung menghitung berapa banyak uang yang ia miliki.

Lelaki itu lantas tersenyum dingin. "Bukan uang. Jangan khawatir."

Sial! Apakah dia melihat rupa pejuang rupiah di wajah Jenar?

"Apapun yang kamu mau, pokoknya," ucap Jenar akhirnya. "Jadi ikut saya ke rumah sakit. Sekarang."

Tapi bukannya mengikuti Jenar, lelaki itu justru mengambil arah yang berbeda hingga Jenar menahan carabiner yang menggantung di ransel gunungnya.

"Cuma hitungan bulan," ucap Jenar putus asa. "Itu nggak lama."

"Kamu mau saya ganti baju di sini?"

Jenar langsung melepas Haris. "Nggak!"

Maka Jenar menunggu di depan toilet sambil sesekali melirik pintunya dengan kegugupan yang luar biasa. Tak lama, Haris keluar. Lelaki itu mengganti kausnya dengan kemeja. Ia juga sudah mengganti ripped jeans-nya dengan celana yang lebih sopan. Rambut yang tadinya terurai hingga bahu diikat ke belakang. Mengherankan bagaimana kesan seram tadi berganti dengan penampilan yang sopan dan rapi. Dia bahkan memakai parfum.
 

"Pintu keluar di sana, Ris," ucap Jenar kala Haris mengambil lorong yang tidak seharusnya.

Namun lelaki itu menunjukkan kunci mobilnya tanpa menoleh. "Kamu bisa menjelaskannya di mobil."

Jenar menahan kakinya kali ini. "Saya tahu jalanan di sini. Kalau sampai kamu macam-macam, saya akan langsung telfon teman saya."

"Apa yang kamu lihat di saya?" tanyanya datar. "Kriminal?"

Ng--90%, mungkin? Semua orang asing patut dicurigai. Tapi ini darurat! Katakanlah, Jenar mempertaruhkan 10% jaminan amannya demi Darla.

"Jadi?" tanyanya saat mereka mulai melaju di jalan raya.

"Ng--" Jenar mengalihkan fokus dari pesan Hayu. "Jadi--jadi, kita akan ketemu ibuku di rumah sakit. Di sana...umm...juga ada bulik--adiknya ibuk."

Jenar memejamkan mata kala ia merasa sangat kacau. Gadis itu berusaha keras menata perasaannya sendiri sebelum melanjutkan.

"Untuk beberapa alasan, mereka semangat sekali menyuruh saya nikah. Jadi di depan mereka, kita adalah dua orang yang punya hubungan istimewa. Kita dulu pernah--" Jenar berdeham. "pacaran dan kita memutuskan mencoba lagi setelah ketemu di reuni. Untuk menikah...bilang aja kita sedang menuju ke arah sana. Dan satu lagi, nanti mungkin bakal ketemu bapak-bapak. Jadi kita harus--tahu maksudnya, kan?"

Haris langsung menepikan mobilnya.
 

"Kamu selingkuh?" tanya Haris tiba-tiba.

"Nggak!" tukas Jenar jengkel. "Kenapa berhenti? Kita harus ke rumah sakit sekarang, Ris."

Haris mengabaikan kalimat Jenar. "Jadi, kamu meminta saya bohong ke ibumu?" 
 

"Daripada saya kehilangan ibu hanya gara-gara alasan konyol," jawab Jenar dingin. "Sekarang kamu tahu alasannya. Jadi, kita teruskan atau saya turun di sini?"
 

Haris meliriknya sebelum kembali mengemudi dan tidak bertanya apapun lagi di sepanjang perjalanan. Jenar menarik napas kasar dan menyugar rambutnya, berusaha mengembalikan fokus pada kondisi Darla. Gadis itu lantas menelfon psikiater yang mengangani ibunya untuk berkonsultasi. Hayu pun mencercanya dengan berbagai pertanyaan tentang Darla, dan para kader serta atasannya di kantor mendadak membutuhkan Jenar di waktu yang sama.

Memikirkan semuanya di dalam mobil yang penuh aroma rokok ini, ditambah dengan kesadaran jika dia akan membohongi Darla, rasanya kepala Jenar ingin meledak.

-TBC-

Haii, selamat pagi. Bagaimana kabar minggu ini?

Please stay healthy, stay happy and stay safe yaa

See u when I see u 🌸

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top