Before A Kiss | 26

Jenar sedang menatap jemu pada fatamorgana di depan sana kala Sinar mendekatinya.

"Ganti ban, ngebenerin rem, sama ganti oli," gumamnya sambil mengamati clipboard di tangan. "Lo--sorry, kamu skip servis bulanan?"

"Iya. Aku lupa," jawab Jenar jujur. "Ada yang parah, ya?"

"Cuma oli yang udah parah banget. Silakan dibaca dulu. Kalau sudah, tolong tanda tangan di sini," ucap Sinar seraya menyerahkan clipboard itu pada Jenar.

"Ngomong-ngomong, agenda ke Salak bulan depan, itu jadi?" celetuk Jenar sambil menandatanganinya.

"Kok tahu?" telisik Sinar. "Kemarin nggak ikut kumpul, kan? Dikasih tahu Haris?"

"Shanum," jawab Jenar dengan perut bergolak kecil. "Haris ikut?"

"Oh...iya." Sinar menarik kursi bundar dan duduk di hadapan Jenar sambil memijit-mijit tengkuknya. "Kami gabung dengan komunitas Jawa Tengah. Ekspedisi nanti terbilang cukup besar, jadi dia pasti ikut. Harus ikut, sebetulnya. Kamu nggak ikut?"

Jenar menggeleng. "Terlalu jauh. Aku nggak bisa ninggalin Ibuk."

Sinar terkekeh kecil. "Persis seperti yang Haris bilang waktu Shanum bersikeras mau ngajak kamu."

Jenar  tersenyum kecut dan mengembalikan kertas Sinar. "Dia sehat, kan?"

Sinar mengangkat alis, namun mengangguk. "Kalian benar-benar lost contact?"

Jenar mengangkat bahu. "Nggak ada hal yang perlu dibicarakan lagi."

"Oh, tapi tahu kan kalau Haris udah nggak  tinggal di kos itu lagi?"

Jenar menatap Sinar cepat. "Dia balik ke Jawa Barat?"

Sinar menggeleng. "Pindah ke rumahnya sendiri. Ini pun juga nggak tahu?"

"Nggak. Di daerah mana sekarang, Mas?"

Sinar menjawabnya ringan meskipun tatapannya pada Jenar kini penuh selidik. Tapi Jenar mengabaikannya, dia sedang berusaha mengatasi rasa sepi yang tiba-tiba datang. Rumah Haris jauh dari rumahnya, dan berlawanan arah dengan tempat kerjanya. Lelaki itu tidak di sini lagi, tidak bisa lagi ia sambangi sepulang kerja seperti biasa, atau sepintas melihatnya di bengkel Sinar seperti dulu.

Menyadari jika satu-satunya orang yang bisa memahami dirinya lebih awal kini berada di tempat yang tidak ia kenali, rasanya tiba-tiba sepi. Seperti ditinggal sendiri. Haris benar-benar pergi dari hidupnya.

"Masih kangen?" Pertanyaan Sinar membuat Jenar mengernyit seketika.

"Kenapa bilang begitu?" balik Jenar, yang membuat Sinar mengangkat bahu.

"Kalau masih kepo-kepo begitu, kenapa putus?" tanya Sinar lagi. "Haris juga nggak pernah cerita kenapa kalian selesai, maksudku...aku memang berusaha buat nggak kepo sama kalian. But guys, kalau masih kangen, kenapa pisah sih?"

" 'Kangen' adalah kata yang keterlaluan." Jenar merapikan tasnya. "Motorku udah oke, kan?"

"Nggak ada salahnya kok kangen sama mantan pacar," sahut Sinar ringan. "Mau balik?"

Ha. Ha. Mantan pacar dibilang? "Iya. Udah sore ini."

"Oh...siapa tahu kepo rumah barunya Haris," sindir Sinar sambil nyengir.

Gadis itu memutar bola mata, yang membuat Sinar terkekeh kecil. Untuk apa pula dia ke sana? Bisa saja ia justru disuguhi pemandangan Hanna yang berseliweran di rumah itu.

Hih!

===

Yelling at the sky
Screaming at the world
Baby why'd you go away
I am still your girl

Suara Sasha Sloan teralun dari earbud, sementara jemari Jenar menggeser foto-foto di galerinya tanpa henti. Bibirnya tersenyum tipis sejak tadi, mengingat jika senyum lebar Putra selalu berhasil memperbaiki suasana hatinya.

Malam yang lain, menyelami memori yang sama. Jenar hapal foto-foto itu saking seringnya ia buka. Tapi dia tidak pernah bosan. Hingga ia sampai di foto terakhir: foto sebelum Putra bilang ia tidak enak badan. Dia masih tersenyum dengan outfit rumah sakitnya, tampak sehat dan bersemangat seperti biasa.

Jenar menatapnya lama, lalu pesan dari Pak Praja membuat Jenar tersadar. Gadis itu mengusap wajahnya dan membuka folder yang lain untuk mengirim foto kegiatan yang diminta Pak Praja, namun tangannya berhenti saat foto-fotonya dengan Haris berbaur dengan foto yang diminta Pak Praja. Jenar langsung mendengkus.

Setelah memenuhi permintaan Pak Praja, Jenar kembali berguling sambil melihat foto-foto itu. Foto-foto itu adalah foto yang mereka ambil di Kenteng Songo. Jenar lupa jika Shanum dan Haris pernah mengirimkan foto-foto pendakian mereka, sebab kegaduhan besar terjadi tepat setelah ia pulang. Jujur saja, Jenar tidak pernah punya kesempatan untuk memperhatikannya.

Sebulan sudah berlalu sejak tragedi pesan tidak sengaja itu. Setelahnya, mereka tidak berbalas pesan lagi. Kegelisahan yang tadinya bercokol di perut Jenar pun tiba-tiba hilang, terganti dengan perasaan kosong. Pesan Haris singkat, tanpa kesan apa-apa. Jadi, untuk apa Jenar membalasnya?

"Buluk banget astaga," gumam Jenar pada foto mereka berdua. "Nggak sih, bulukan dia."

Jenar melihat foto-foto itu sambil terkekeh-kekeh. Padahal, dia berekspektasi jika hasilnya akan slay seperti para selebgram yang pamer mendaki gunung, ternyata dia tetap terlihat dekil dengan rambut awut-awutan dan pipi yang tercoreng tanah. Belum pakaian yang terkena cipratan. Haris pun juga sama, yang membuatnya terkikik geli karena cengiran lebar penuh percaya diri Haris di tengah kondisi dekil sepertinya.

Jenar menikmati foto-foto yang dikirimkan Shanum. Terlihat lebih natural karena kebanyakan foto candid kala pesertanya sedang beraktivitas. Ada beberapa foto tentang Haris dari berbagai sisi dan posisi, termasuk kala ia menatap kompas dengan wajah serius tanpa senyum.  Fotonya diambil dari samping, rambutnya terkucir sebagian dan basah karena keringat. Kausnya menempel di badan, sedikit menampakkan lekuk otot tubuhnya yang membuat Jenar mengangguk bangga. Hoodie-nya terikat di pinggang. Ransel gunung penuh carabiner itu menggantung di punggung, ransel gunung nakal yang menjadi awal mula perjanjian konyol ini.

Kira-kira, sedang apa dia malam-malam begini? Lemburan? Atau jalan bersama Hanna?

Jenar berdecak jengkel dan pergi ke meja makan.

"Ibumu udah dilihat, Nar?" tanya Rumi yang baru saja mandi. "Masih tidur?"

"Iya." Jenar kembali menutup tudung makanan dengan tidak berselera. "Bulik, mau bakmi goreng nggak?"

"Nggak. Bulik mau diet. Ibumu udah makan kan?"

Jenar mengangguk. "Aku beli dulu, deh."

"Diet lah, Nar. Masih muda jangan kebanyakan jajan. Nanti gendut, lho!" seloroh Rumi.

"Ini aku diet lho, Bulik. Setiap hari aku atur makanan yang masuk ke mulutku, itu namanya diet. Bukan serta merta ngurangi makan aja. Kurang efisien itu, yang ada nanti malah gampang sakit."

Rumi mencibir, yang membuat Jenar nyengir lebar. Gadis itu melenggang ke kedai nasi goreng langganannya. Selain nasi goreng, kedai itu juga menyuguhkan masakan yang lain seperti bakmi goreng dan bakmi rebus. Sejujurnya, menu masakan di kedai itu adalah salah satu comfort food Jenar kala hatinya sedang kacau. 

"Ada yang ketinggalan, Nar?" tanya penjual nasi goreng kala Jenar masuk kedai.

Jenar mengerutkan kening dengan bingung. "Gimana, Pakde?"

"Pesanannya kurang, ya?" Penjual itu kini mencari-cari. "Tadi benar pacarmu pesan dua, kan?"

Kerutan di kening Jenar tambah dalam. "Ini aku baru mau pesan lho."

Penjual itu berhenti mencari-cari. "Bukannya tadi pacarmu barusan beli? Haris, kan? Barusan pesan dua bungkus tadi."

"Eh, kapan?"

"Paling lima belas menit yang lalu," jawab si penjual yang ikut bingung.

Jenar melongok ke luar kedai. Tapi tentu saja, Haris mungkin kini sudah jauh. Pesan dua, ya? Pasti buat Hanna.

"Jadi, apa yang ketinggalan? Tadi benar Pakde udah masukin dua bungkus, kan?" tanya si penjual.

"Itu tadi Haris pesan buat temannya kok, Pakde. Saya pesan satu, ya." Jenar tersenyum tipis.

"Oalah, kirain bungkusannya kurang atau kembaliannya kurang," sahut si penjual lega. "Sebentar."

"Haris sering pesan ya?" tanya Jenar tanpa bisa menahan diri.

"Cukup sering. Ada seminggu dua kali. Akhir-akhir ini dia beli sendiri. Katanya kamu sibuk." Sang penjual menatapnya prihatin. "Ibumu gimana kabarnya? Kemarin sempat masuk RS lagi, kata Pak RT."

"Iya," jawab Jenar pahit. "Tapi udah baikan, kok."

Si penjual tersenyum hangat. "Baguslah. Pantas kamu sibuk, Nar."

Jenar ikut tersenyum tipis. Untuk kesekian kalinya, ia melongok ke depan hanya untuk mendapati jalanan yang gelap dan lengang.

"Ada urusan apa dia di sekitar sini, coba? Masa ada kantor Lokmud baru di sini?" batin Jenar. Gadis itu tiduran di meja beralaskan tangannya, menguap kecil.

"Ini kenapa lagi?" celetukan si penjual terdengar lalu.

"Nasi gorengnya satu lagi, Pak. Teman saya rupanya juga mau."

Mata Jenar terbuka. Lalu kursi panjang itu berderit, menandakan jika seseorang baru saja duduk di sebelahnya. Aroma parfum yang ia kenal menyeruak di hidungnya, memastikan jika suara tadi bukan hanya ada dalam kepala Jenar saja.

Kala gadis itu menoleh, sepasang iris cokelat gelap langsung membalas tatapannya.

"Lapar, Jen?"

Butuh waktu lama sebelum otaknya berhasil memproses suasana. Lalu ia bergumam, "Lokmud ada kantor di sekitar sini?"

Lelaki itu menggeleng singkat. "Kenapa?"

"Oh..." gumam Jenar. "Kata Pakde, kamu sering beli di sini.  Jadi aku pikir ada kantor di sekitar sini."

"Aku memang ada perlu di sekitar sini," jawabnya kalem. "Tante baik?"

Jenar mengangguk singkat, dan lelaki itu tersenyum samar. "Baguslah."

Jenar mengangguk lagi. Gadis itu mengawasi salah satu pegawai yang sedang meracik demi meredam rasa dingin dan kaku di perut. Keheningan melanda mereka berdua, namun Jenar sadar sekali akan kehadiran makhluk di sampingnya ini.

"Duluan, Ris," pamit Jenar kala pesanannya selesai. Lelaki itu mengangguk singkat dan menepi agar Jenar bisa lewat. Jenar meringis kaku pada si penjual yang menatap mereka dengan bingung, lalu keluar dari kedai.

"Apa itu tadi? Apa?" batinnya panik, yang membuatnya semakin panik karena ia tidak tahu mengapa ia harus panik.

"Pakde juga lihat, jadi nggak mungkin aku salah lihat." Gadis itu berjalan pulang dengan separo pikiran berkelana. "Tapi tiba-tiba muncul begitu? Macam demit aja---"

Jenar meraih ponselnya yang berbunyi dari saku jaket.

Haris is calling...

Langkah gadis itu terhenti, lalu ia mengangkatnya. "Kenapa, Ris?"

"Mau jalan?" tanyanya datar. Jenar otomatis menoleh, dan mendapati lelaki itu berdiri di depan kedai, menatapnya.

"Ke mana?" tanya Jenar.

"Di taman sana, mungkin?" balas Haris.

Jenar terdiam lama, mengamati sosok jangkung yang berdiri beberapa meter di depan sana. Lalu, ia terkekeh lemah tanpa sadar.

"Kamu ngapain sih, Ris?" tanya Jenar.

Lelaki itu memasukkan tangannya yang bebas ke dalam saku. "Answer me, Jen. Yes or no?"

===

Haris masih memakai pakaian kerja yang terbalut jaket. Kumisnya tumbuh tipis, dan rambutnya lebih panjang dari pertemuan terakhir mereka.  Lelaki itu duduk di kursi taman, tepat di sebelah Jenar yang memainkan ayunan dengan pelan.

"Semuanya lancar?" tanyanya membuka percakapan. "Beberapa kali aku lihat Tante siram bunga sama bersih-bersih. Beliau kelihatan lebih sehat."

"Ada banyak hal, Ris," timpal Jenar. "Ibuk udah ke makam Bapak sama Mas. Kejutannya, Ibuk sendiri yang minta ke sana. Kamu percaya itu?"

Haris mengangkat alis. "Begitu?"

"Iya. Kami juga udah ngobrol tentang...itu." Jenar melirik. "Dan...dan akhirnya Ibuk membebaskan pilihanku. Bukan hal yang mudah. Aku takut, Haris. Ibuk masih kecewa berat karena aku dan kami harus ngobrol tentang hal itu, aku takut Ibuk malah histeris lagi. Tapi ternyata hasilnya di luar dugaan. Sebelumnya, Pakde memang udah ngobrol sama Ibuk, sih. Itu jelas membantuku. Dan, kamu...katanya sempat ngobrol sama Pakde."

Jenar berdeham kecil dan melirik Haris lagi. "Itu juga sangat membantu, Haris. Aku nggak bisa membayangkan seberat apa kalau aku harus konfrontasi sama Ibuk dan Pakde di kondisi yang kemarin. Jadi...terima kasih. Banget."

Jenar melotot pada bunga aster di depannya kala pipinya terasa hangat.

"Not a big deal, Jen. Never mind," ucap Haris. "Senang mendengar hubunganmu sama Tante akhirnya baik-baik aja. Congratulation on getting back your life, then."

"Getting back my life, ya. Rasanya komplit dan kurang di saat yang sama. Aku cuma kurang paham kenapa aku ngerasa begitu. Aneh, kan?" celetuk Jenar tercenung.

"Hm. Aneh," sahut Haris sambil mengangguk-angguk.

Jenar mendengkus geli. "Jadi, ada urusan apa di daerah sini? Pakde Nasgor bilang kamu beberapa kali beli, Ris."

"Aku langganan," ucap Haris singkat.

"Sejauh itu cuma demi nasgor?" kata Jenar skeptis.

"Nasi gorengnya enak," sahutnya kalem, yang membuat Jenar memutar bola mata.

"Mas Sinar bilang kalau kamu pindah," gumam Jenar. "Sejak kapan?"

"Baru sebulanan," jawab Haris.

"Oh...selamat ya. Akhirnya kesampaian juga," ucap Jenar tulus. 

Haris mengucapkan terima kasih, lalu keduanya diam selama beberapa menit. Keterdiaman yang anehnya tidak membuat Jenar merasa canggung. Dia justru merasa nyaman. Kemudian, sesuatu membuatnya memelankan ayunan.

"Kamu sama Hanna, kalian--"

Suara Jenar diinterupsi oleh ponsel Haris yang tiba-tiba berbunyi. Lelaki itu mengangkatnya, dan suara bernada tidak sabar samar terdengar. 

"Ini udah," ucap Haris. "Iya. Sebentar lagi Nir."

Jenar berayun pelan sambil menunggu lelaki itu selesai.

"Nirma?" tanya Jenar.

Haris mengangguk.

"Oh, pulang gih Ris. Nirma udah lapar itu," kata Jenar.

Haris mengusap ponselnya sejenak, lalu menatap Jenar. "Ada cerita apa lagi?"

Banyak.

Jenar menggeleng. "Pulang! Kasihan Nirma. Suaranya kayak nggak sabar banget."

"Hm. Dia jadi mudah marah kalau lapar," timpal Haris.

"Kita semua begitu deh kayaknya," tukas Jenar, yang membuat Haris tersenyum tipis. 

"Mau aku antar balik?" tawarnya.

"Nggak...perlu. Nanti orang rumah lihat kamu," gumam Jenar pelan.

"Good point," gumamnya, lalu menghela napas panjang. "Pulang, Jen. Udah malam."

Jenar mengangguk dan bangkit berdiri. Keduanya berhadapan, tapi tidak ada yang kunjung berpamitan.

Harusnya, Jenar tinggal berbalik dan pulang ke rumah. Harusnya itu mudah. Tapi alih-alih berpamitan, gadis itu justru bertanya, "Kamu ikut ke Salak?" 

Haris mengangguk. "Kamu jangan ikut. Apapun yang dibilang Shanum, jangan ikut dulu."

"Nggak, kok. Salak terlalu jauh buatku," ucap Jenar. "Kamu hati-hati."

"Sure."

"Aku serius," tandas Jenar. "Hati-hati, Ris."

"Iya, Jenari."

Jenar menyipit, lalu berpaling. "Bagus. Aku--pulang dulu."

"Aku antar sampai dekat," ucapnya yang tiba-tiba berjalan lebih dulu.

Jenar mengangkat alis, lalu buru-buru mengejar Haris. Lelaki itu meliriknya, namun tidak mengatakan apa-apa. Hanya perjalanan singkat, mungkin hanya tiga menit.

"Aku pulang," bisik Haris kala mereka sampai di depan rumah tetangga Jenar.

"Thank you. Hati-hati di jalan," gumam Jenar.

Lelaki itu mengangguk. Ditatapnya Jenar beberapa saat, tampak ingin mengatakan sesuatu hingga Jenar menunggu. Haris menghela napas panjang dan menggeleng, tersenyum samar lalu berbalik pergi. 

Jenar memandang punggung jangkung itu hingga akhirnya hilang di tikungan, lalu menggenggam kalungnya erat sekali.

Sebab kegelisahan asing tengah menyeruak dari ulu hati, bercampur dengan keengganan besar kala menyadari jika Haris pergi untuk yang kedua kali.

Dan Jenar mulai takut. 

===TBC===

Selamat sore, terima kasih telah membaca 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top