Before A Kiss | 25
[Ris, guess what? Ibuk udah nggak maksa aku lagi. Rasanya kayak mustahil banget, tapi kemarin Ibuk bilang gitu, Ris. Bulik Rum juga dengar, jadi aku nggak mungkin salah dengar dong. Intinya|]
Jemari Jenar berhenti, lalu gadis itu kembali menghapusnya untuk kesekian kali.
[Haris, gimana kabarnya? Aku harap kamu baik-baik aja. Aku cuma mau bilang kalau Ibuk udah nggak maksa aku buat nikah lagi. Mat malam.]
Jenar mengernyit. Pesan macam apa ini? Gadis itu menghapusnya lagi.
[Jadi beberapa hari lalu, aku sama Ibuk berhasil ngebahas semuanya. Nggak mudah, pastinya. Ibuk baru sedih banget dan aku paling takut menghadapi Ibuk kalau pas begitu. Tapi, mau sampai kapan? Iya kan, Ris? Intinya, akhirnya kita bisa duduk bareng ngobrolin semua, akhirnya. Dan tebak Ibuk bilang apa? Ibuk bilang kalau beliau udah nggak maksa aku menikah lagi. Cuma, aku jadi ngerasa bersalah karena Ibuk jadi lebih banyak diam sama nangis, Ris. Sambil peluk-peluk bajunya Bapak |]
"Kenapa jadi curhat?" geram Jenar jengkel. Dia tidak mau menjadi Hanna dan bilang, "Haris tempat ternyamanku untuk cerita."
Eewww.
Jenar menghapus pesannya dan meletakkan ponsel jauh-jauh di tepi meja.
Benar, dia tidak punya kewajiban memberitahu Haris akan apapun yang telah terjadi. Tadi dia hanya terbawa kebiasaan, seperti yang beberapa bulan terakhir ini mereka lakukan. Maksudnya, Haris pun juga sering memberitahunya hal-hal yang tidak berhubungan dengan perjanjian. Tentang Lokamuda yang makin berkembang, atau Sinar yang panen rambutan, misalnya.
Tidak boleh, tidak boleh. Jenar sendiri yang menyuruhnya berhenti, jadi akan sangat lucu kalau tiba-tiba ia mengirim pesan, kan? Lagipula, dia tidak tahan jika nanti Hanna melabraknya.
"Kalian udah nggak ada urusan lagi! Kenapa masih mengirim pesan ke Haris? Jangan bilang kalau kamu beneran suka Haris! Sampai kapanpun, Haris bersamaku, Nar! Hanya aku yang paling dia butuhkan!"
Aaaaarrghh!!
Jenar menggaruk telinganya yang mendadak gatal, lalu lanjut menyusun materi untuk penyuluhan bulan depan. Wilayah kerjanya belum sebagus yang diharapkan. Pak Praja bisa berubah jadi singa jika Jenar tidak segera bertindak.
Hanya saja--pikirnya sambil mengetik--persetujuan Darla mengangkat separuh permasalahan yang memenuhi kepalanya. Rasanya lega. Selega itu sampai Jenar punya ruang untuk memikirkan hal lain yang selama ini tertepikan. Sikapnya pada Haris di pertemuan mereka yang terakhir, misalnya.
Jenar jadi sadar jika dia agak...kasar. Padahal, lelaki itu sudah memenuhi permintaan Jenar. Dia bahkan berinisiatif menemui Rustam dan menjelaskan segalanya. Tidak bisa dipungkiri, penjelasan Haris itu sangat membantu Jenar. Dan apa yang Jenar lakukan? Sampai sekarang dia bahkan belum berterima kasih.
Jenar mengambil ponselnya, lalu termakan dilema. "Ayolah, berterima kasih aja nggak masalah. Nggak yang menjurus kemana-mana, kok. Cuma sekadar berterima kasih!"
[Haris, gimana kabarnya?] Jenar mengetik sambil menggigit bibir. [Semoga baik |]
"Apaan sih?" tukas Jenar. "Nggak usah basa-basi!"
[Haris, makasih karena udah ngejelasin ke Pakde Rustam, ya. It helps me a lot. Pakde akhirnya ngebantu aku buat meyakinkan Ibuk, dan yaa...aku jadi nggak dipaksa lagi |]
"Too much chit-chat! Too much, Nar! Kenapa sih bawaanmu pengin curhat melulu? Pacar orang itu!" geram Jenar jengkel sambil menghapus beberapa kata.
[Haris, makasih karena udah ngejelasin ke Pakde Rustam. It helps me a lot. So, have a happy life, Haris."]
Jenar mengangguk-angguk puas. Singkat, padat, dan tidak ambigu sehingga tidak berpotensi menimbulkan kecemburuan.
Tinggal menekan tombol send, tapi Jenar masih menahan diri dengan perasaan yang tidak nyaman.
"Aneh nggak, sih?" tanya Jenar ragu pada diri sendiri. "Aneh, kan? Aneh pasti--"
"Nduk!"
Jenar melemparkan ponsel ke sofa dan lanjut mengetik. Jantungnya berdentam kencang seperti pencuri yang ketahuan.
"Lho, Ibuk nggak jadi tidur?" tanya Jenar kala Darla duduk di belakangnya.
"Belum bisa," jawabnya pelan. "Sibuk?"
Jenar menggeleng seraya mengamati ibunya. Dilihat dari ekspresinya, sepertinya Darla habis menangis.
Setelah percakapan seriusnya dengan Darla beberapa hari lalu, ibunya jadi super pendiam. Dia memang tidak lagi merongrong Jenar tentang pernikahan, tapi ibunya pun juga nyaris tidak bicara apapun pada Jenar dan Rumi. Sehari-hari, ibunya memegang pakaian ayah dan kakak Jenar bergantian. Menatanya di lemari, bahkan menjahit kancing maupun baju yang robek. Sering sekali, ibunya hanya membelai baju-baju itu selama berjam-jam sambil menangis kecil. Jenar berusaha menghiburnya, tentu. Tapi senyum Darla tidak berlangsung lama. Nanti, beliau pasti begitu lagi.
Jujur saja, Jenar takut.
"Besok ke makam Bapak sama Masmu, mau nggak?" tanya Darla gelisah.
"Buk?" Jenar meraih tangan Darla dengan cemas. "Ibuk baik-baik aja, kan?"
"Ibuk kangen Bapak, Nar," bisik Darla tercekat. "Ibuk kepingin ketemu Bapak. Ibuk rindu ngobrol sama Bapakmu."
Tubuh Jenar merinding. "Ibuk--"
"Ke makam yuk, Nar?" pinta Darla. "Besok pagi temani Ibuk beli bunga, ya?"
Jenar mengamati sepasang bola mata yang berkaca itu, lalu mengangguk. "Besok aku temani. Aku aja yang beli juga nggak apa-apa."
"Ibuk juga mau ikut milih bunga yang masih segar, Nar," sahut Darla tidak setuju. "Kamu kapan mau ke makamnya Putra?"
Jenar tergugu sejenak, lalu tersenyum kecut seraya mengangkat bahu.
Sorot mata Darla bergetar, namun ibunya membelai bahu Jenar dengan lembut.
"Haris gimana kabarnya?" tanya Jenar kaku.
"Ha?" Jenar keceplosan. "Tapi Buk, Haris--"
"Biasanya jam segini dia baru pulang dari sini. Kalimat-kalimatnya selalu bikin Ibuk tenang, tapi mengingat kelakuan kalian berdua..." Darla menghela napas panjang.
"Maaf," gumam Jenar pelan. "Kami udah nggak berkomunikasi lagi kok, Buk."
"Begitu?" gumam Darla tercenung. "Bagus, Nar. Ibuk nggak suka pembohong."
Suasana canggung menyelimuti mereka hingga Rumi datang sambil membawa ponsel.
"Yusti mau ngobrol, Mbak," ucapnya seraya menyerahkan ponsel pada Rumi.
Tak butuh waktu lama, kakak beradik itu terlibat dalam percakapan hangat. Sementara Jenar kembali menghadap tugas dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Gadis itu mengambil ponselnya, lalu membatu.
Pesan itu terkirim pada Haris dengan dua centang biru.
Tuhan! Tolong kirim Jenar ke Antartika detik ini juga!
===
"Jenar, main yuk? Mumpung Anggie juga libur!" ajak Hayu semringah lewat sambungan.
"Aku mau ke makamnya Bapak, Yu," jawab Jenar lesu. "Kemarin Ibuk ngajak, nggak mungkin ditolak."
"Wait, what?" seru Hayu heboh. "Boleh ikut?"
"Silakan."
"Aku ajak Anggie sekalian deh! Jam berapa berangkat?"
"Sembilan."
"Okay! Tunggu kami, ya!" serunya.
"Hayu!" panggil Jenar tiba-tiba. "Yu, ng...dua centang biru itu artinya udah dibaca, kan?"
"Dua cen--oh, iyalah. Kenapa?" tanya Hayu.
"Nggak...ng, kalau mau undo pesan yang udah kebaca, gimana?" tanya Jenar lagi.
"Undo? Hapus maksudnya? Tinggal dihapus aja, Nar," jawab Hayu lancar.
"Yakin?" desak Jenar. "Masa nggak ada cara, sih?"
"Ya kan udah dibaca. Kalau mau ngehapus pesannya kan tinggal sihapus. Ngehapus memori yang baca? Reset aja otaknya!" tukas Hayu. "Kenapa sih? Kamu salah kirim pesan ke siapa?"
"Nggak--nanti hati-hati," jawab Jenar lemas.
Gadis itu mematikan sambungan dan tersungkur di kasur. Ia menatap pesannya yang dihias dua centang biru itu. Semalam, tidurnya begitu gelisah karena penasaran dengan balasan Haris. Tapi hingga pagi, Haris ternyata tidak membalasnya. Kegelisahan Jenar berubah jadi rasa malu yang sangat besar.
"Iya, kok. Aku memang nggak penting, kok. Kan udah ada ayang Hanna," kata Jenar sebal.
Lagipula, pesannya bukan jenis pesan yang butuh jawaban. Sah-sah saja jika Haris tidak membalasnya lelaki itu kan memang cuek. Sudahlah. Lebih baik dia mandi daripada mengkhawatirkan hal yang tidak penting begitu!
Tapi setelah mandi, Jenar buru-buru memeriksa ponselnya, lalu mencampakkannya dengan jengkel kala tidak ada balasan satu pun.
Anggie membuka pintu kamar dan langsung duduk di sebelah Jenar yang sedang bercermin.
"Tell me more!" pintanya antusias.
Jenar mengernyit. "Ini apa tiba-tiba?"
"Di jalan tadi aku cerita semuanya ke Anggie," tukas Hayu, yang menyemil lupis di atas tempat tidur Jenar.
"Oh...nggak ada terusannya," jawab Jenar singkat.
"Benar dugaanku. Haris straight," celetuk Anggie puas.
"Kapan kamu bilang gitu?" Jenar menyipit.
"Iya, perasaan nggak pernah ngomong apa-apa deh." Hayu mengernyit.
"Aku belum pernah ngomong, kok. Ini kan cuma praduga," jawab psikolog muda itu dengan ringan.
"Sejelas itu buatmu?" Jenar mengerutkan kening.
Anggie menggeleng. "Tapi setelah pulang triple date itu. Gerak geriknya, mikro action-nya, caranya lihat kamu, it tells me something."
"Uwow! Caranya lihat Jenar?" sahut Hayu antusias, sementara Jenar memutar bola mata.
"Let's say...hangat dan teduh." Anggie berkata. "Sekali lagi, ini cuma praduga. Praduga yang salah satunya terbukti nyata."
"Salah satunya?" tanya Hayu makin tertarik.
"Praduga yang lain, he is into you, Nar," ucap Anggie ringan.
Hahaha! Tidak mungkin! Pesan tidak terbalas itu adalah bukti nyata!
"Aku berani jamin, itu salah besar. Aku udah bilang dia punya mantan tersayang. Namanya Hanna. Satu-satunya imbalan yang dia minta dari perjanjian kita, adalah bikin si Hanna cemburu. See? Lihat usahanya," tukas Jenar.
Anggie mengangkat bahu. "Praduga."
"No way. Udahlah. Nggak perlu bahas itu lagi," pinta Jenar risih. "Ini...kalian beneran mau ikut?"
Kedua teman Jenar yang memakai pakaian serba hitam itu mengangguk hingga mata Jenar menghela napas panjang.
"Kami udah ngobrol tentang perjodohan, pernikahan, yang itulah," kata Jenar canggung. "Akhirnya, kami bisa membahas itu depan proper dan hasilnya, Ibuk ngebebasin aku."
Mata Hayu membulat dengan seiris lupis menggantung di bibir, sementara Anggie mengangkat alis. Jenar tertawa gugup.
"Bagus, ya? Maksudku, akhirnya kami sampai di titik ini. Tapi...tapi setelahnya, Ibuk jadi super pendiam dan jarang ngomong." Jenar menggigir bibir dengan mata memanas. "Ibuk cuma duduk diam sambil bawa bajunya Bapak, terus nangis. Terus tadi malam, Ibuk tiba-tiba bilang kepingin ke makam Bapak sama Mas Ini...guys, tolong bilang salahku di mana? Aku takut."
"Kamu nggak ngomongin ini sama aku," kata Anggun lembut. "Apa yang jadi bebanmu, Nar?"
"Karena...karena aku pikir ini kemajuan, jadi harusnya aku bisa mengatasinya sendiri. Dan...nggak enak selalu ngerepotin kamu, Nggie. Yang aku konsultasikan ini kasus beneran, kan?" Jenar merepet. "Tapi ternyata aku tetap takut. Maaf."
Anggie membelai bahu Jenar dengan simpati. "Katanya, satu-satunya orang yang bisa mengatasi kekacauan hati, cuma sang pemilik hati. Orang luar hanya membantu. Kemarin itu, Bulik Darla sedang mencoba menata hatinya lagi satu-persatu. Diamnya beliau, bisa jadi karena proses penerimaan. Aku yakin kepalanya bising sekali. Bagus dia punya kamu sama Bulik Rumi yang mendampingi dia, Nar. Sekaran pertanyaannya, kamu sendiri baik-baik saja atau nggak tentang pergi ke makam ayah sama kakakmu? Kalau mau di rumah, juga nggak apa-apa. Nanti aku atau Hayu yang ikut Bulik Darla."
Jenar menggeleng. "Jangan. Itu ibukku."
Anggie tersenyum menyemangati. "Oke. Kamu selalu bisa minta pulang kapanpun kamu mau."
"Kamu bisa pulang kapan pun kamu mau, Jen."
Wajah Anggie kabur kala suara Haris terngiang di telinga.
"Syuh syuhhh! Hih!" Jenar mengipaskan tangannya ke telinga dengan jengkel.
Hayu mengernyit. "Beneran nggak apa-apa, Nggie? Sekarang aku yang takut."
"Maaf...yuk berangkat?" ajak Jenar gugup.
"Kamu tidur aja di mobil, Nar. Wajahmu kuyu banget. Serius! Nggak bisa tidur semalaman, ya?" tanya Hayu simpati.
Iya, gara-gara chat menyebalkan itu! Hahahahh! Jenar hanya menggeleng lelah, lalu berjalan keluar.
===
Jenar kira, hal yang paling membuatnya sedih adalah melihat Darla yang menangis seraya membelai pusara ayah dan kakaknya. Nyatanya, hal yang paling merobek hati Jenar adalah momen saat Darla duduk di samping pusara itu, membelainya lembut, dan mengobrol seolah ayahnya masih hidup. Kerinduan besar terpancar dari sorot matanya, begitu besar hingga Jenar ikut merasa perih di ulu hati.
Meskipun begitu, Jenar tetap bersyukur ibunya bisa melewati hari ini dengan baik. Ada kelegaan besar yang terpancar dari gestur Darla saat kembali ke rumah. Ibunya jadi jauh lebih tenang, lebih berbesar hati.
Jenar sendiri menatap dua pusara yang bersebelahan itu dengan kacau. Menyadari jika dua nama yang ada di sana pernah mengisi hari-harinya, pernah berbicara dengannya, menyentuhnya, tertawa bersama...
Terasa jauh dan dekat di waktu yang sama. Terasa dingin dan hangat di waktu yang sama. Terasa lekat di memori, namun sadar tidak akan pernah terjangkau lagi.
Jenar mengernyit kala gumpalan pahit di kerongkongannya tidak juga sirna. Ia berterima kasih pada Hayu dan Anggie yang benar-benar memperhatikan Darla karena Jenar sendiri pun cukup terguncang. Hari ini berakhir dengan memastikan Darla bisa tidur di kamarnya sendiri, lalu Jenar membanting diri di kasur. Padahal masih siang, namun ia merasa lelah sekali.
Ia mencari-cari ponselnya dengan malas, benda yang tidak ia pedulikan begitu mereka berangkat ke pemakaman. Sedikit merasa bersalah jika ternyata Pak Praja mengirimkannya pesan, atau Pak Kunto yang menanyakan kemajuan programnya, atau Haris yang...
Jenar melotot dan langsung duduk tegak. Ia membaca notifikasi itu dua kali, lalu membukanya dengan jantung yang berdentum kencang.
[Thank you, Jen. Semoga kamu juga bahagia.]
===TBC===
Haiii, selamat pagi. Selamat berakhir pekan. Terima kasih telah membaca 💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top