Before A Kiss | 24

Hari Jumat, hari ke-4 sejak Darla mendiamkannya, serta hari terakhir Pakde Budenya berada di rumah Jenar. Besok, dia harus menghadapi keterdiaman Darla seorang diri.

Pada beberapa kali kesempatan, Jenar sempat mendengar Rustam yang berusaha mengangkat topik perjodohan dengan Darla, tapi selalu berakhir dengan tangis ibunya hingga obrolan itu tidak pernah ada kemajuan. Bukannya Jenar tidak menjelaskannya pada Darla, tapi Darla tidak mau berbicara dengannya sejak kejadian itu. Dia berlagak seolah Jenar tidak ada di sekitarnya sampai-sampai Jenar canggung sendiri dan memilih pergi. Darla tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya, jadi sepertinya Darla memang betul-betul kecewa.

Sepertinya? Pastinya, Jen.

Suara Haris melintas di kepala, lengkap dengan wajah datarnya yang menyebalkan itu. Jenar tersadar dari lamunan dan menghela napas panjang, lantas meneruskan entry data yang sempat terhenti.

"Nar?"

Jenar melirik pintu, lalu lanjut memasukkan data. "Apa?"

Suaranya parau! Jenar buru-buru berdeham, namun Hayu mendekat dengan penuh selidik.

"Kenapa?" tanyanya. "Bulik baik-baik aja?"

Jenar mengangguk singkat.

"Yakin? Wajahmu murung begitu." Hayu duduk di hadapannya. "Atau Haris kenapa-napa lagi?"

Hayu mengangkat bahu kala Jenar menatapnya heran. "Kamu pernah panik waktu dia kena covid. Jadi, Haris kenapa?"

"Oh..," gumam Jenar lirih. "Nggak, kok. Kami udah nggak bareng lagi."

Mata Hayu membelalak. "Bulik Darla udah oke? Udah nggak ngejar-ngejar kamu buat nikah lagi? Wow!"

"Masih, tapi--" Jenar menghirup napas dengan susah payah kala kerongkongannya menyempit. "Kami ketahuan. Ibuk sempat colaps sampai masuk RS."

Hayu ternganga, lalu menangkupkan tangan ke mulut. "Astaga! Masih di RS? Tapi kondisinya membaik, kan?"

"Udah pulang. Udah baik," gumam Jenar.

"Lalu, gimana setelahnya, Nar?" tanya Hayu simpati. "Gimana kamu setelah ini?"

Jenar mengangkat bahu sambil terus bekerja. "Nikah, mungkin. Sama siapapun aku nggak peduli."

Hayu berdecak cemas. "Kok bisa? Mainmu kurang mulus, ya?"

Jenar mendengkus garing. "Adalah. Nggak perlu dibahas."

Hayu, yang bersiap melontarkan banyak pertanyaan, langsung melipat bibirnya.

"Terus kabarnya Haris?" tanya Hayu hati-hati.

Jenari Jenar berhenti sejenak, lalu kembali menari. "Balikan sama Hanna, happy-happy mendaki gunung, karirnya makin oke, everything about him is going fine."

"Siapakah Hanna ini?" Hayu mengerutkan kening.

"Mantan pacarnya Haris dong. Yang paling tahu Haris, yang paling sayang sama Haris, yang paling dekat sama keluarganya Haris, yang paling bisa memahami Haris," tukas Jenar.

"Oh...ng, paham sih sekarang batas cowok cewek memang makin buram. Toh nggak ada salahnya ada cowok namanya Hanna. "Hayu menyahut tangan Jenar yang menyiksa tuts-tuts keyboard. "Tapi keyboard-nya bisa jebol kalau dipencet pakai tenaga kuda sampai bunyi cetak-cetak begitu!"

Jenar menghela napas dalam demi memanjangkan sabar. Mengingat Hanna masih membuat hati Jenar panas.

"Hanna cewek," ucap Jenar.

"Cew...ha?" Hayu melongo. "Haris ada perjanjian lagi sama cewek lain apa gimana?"

Jenar menatap Hayu dengan bingung, lalu sadar jika Hayu masih mengira jika Haris adalah gay.

"Haris straight," gumam Jenar pelan. "Rumor gay yang selama ini kamu dengar itu nggak benar, Yu. Dia dijebak sama Idrus."

"Hah?" seru Hayu keras. "Dijebak? Dengan rumor yang semasif itu? Nggak mungkin!"

Jenar mengamati ketidakpercayaan nyata di wajah Hayu, tiba-tiba merasa pedih. Apakah begini rasanya jadi Haris? Apakah dia juga sering melihat ketidakpercayaan kala ia berusaha memberitahukan kebenaran? Pantas dia jadi malas menjelaskan.

"Dia korban. Dia dijebak sama Idrus dan teman-temannya, lalu ketahuan. Kita ngomongin Idrus Rajendra, generasi ketiga dari keluarga Rajendra yang itu. Gampang bagi dia buat membungkam media. Jadi kata Haris, lebih mudah bilang kalau Haris ikut pesta itu daripada mengaku. Mengaku otomatis bikin si Idrus jadi tersangka, kan? Nggak mungkin lah. Lihat aja Idrus selama kuliah macam apa. Kalau dosen-dosen kita nggak teguh pendirian, nilai bisa dibeli sama dia!"

"Begitu?" Hayu mengernyit. "Astaga, sandiwara banget, deh! Dan kamu percaya?"

"Tahu apa imbalan yang dia minta di perjanjian kami? Dia minta aku jadi pacar pura-puranya biar si Hanna ini cemburu," gumam Jenar. "Cuma itu, nggak ada permintaan lain. Dan kalau kamu lihat tatapan Haris ke Hanna, kamu juga akan percaya. Pengin aku colok aja matanya waktu itu!"

"Matanya siapa?"

"Haris lah!"

Hayu mengerjap, dan Jenar berdecak sebal. "Hanna bukan cewek baik-baik. Dia manipulatif. Tapi astaga, namanya cinta memang buta!"

Hayu kembali menyelamatkan keyboard dari terjangan jemari Jenar.

"Ini kamu cemburu sama Hanna, gitu?" tanya Hayu heran.

"Cemburu sama cewek semacam itu? Nggak banget!" tepis Jenar.

Hayu tertawa geli. "Cemburumu modelannya gitu, Nar. Dulu waktu sama Putra juga gitu, pakai sarkas-sarkas nggak jelas."

Jenar memutar bola mata. "Ngapain juga aku cemburu?"

Hayu mengangkat bahu meskipun matanya melirik usil. "Cemburu tanda ci...cilan banyak sampai nggak bisa healing-healing hehe."

"Nggak mungkin. Nggak ada cerita yang begitu," ucap Jenar sambil meraih kalungnya.

Melihat itu, senyum Hayu langsung luntur. Gadis itu membelai lengan Jenar dengan lembut.

"Jadi, yakin ini kalau Haris straight? Rumor itu nggak benar?" tanya Hayu lagi.

"Iya. Jadi jangan nyebar-nyebar rumor lagi, Yu. Bilang juga sama Awan kalau Haris straight," ucap Jenar.

"Kenapa harus bilang sama Awan?" Hayu mengerutkan kening.

Jenar mengangkat bahu. "Kalau bisa, bilang aja. Nggak ada ruginya."

"Kelihatannya kayak kamu ngebela dia banget," ucap Hayu.

"Karena walau bagaimanapun, aku sudah dibantu banyak sama Haris. Bahkan di akhir pun, dia masih berusaha meyakinkan pakdeku kalau aku nggak harus nikah buat bikin ibuku bahagia." Jenar menatap Hayu dengan senyum kecil meskipun matanya memanas. "Itu hal besar buatku."

"Iya?" Mata Hayu melebar. "Wah, dia oke juga ya."

"Hmm. Tapi Ibuk masih...yah, beliau masih marah. Kami ketahuan bohong jadi--"

"Kok isooo?" sergah Hayu gemas.

"Hanna yang bilang ke Ibuk. Jadi, begitulah," Jenar berkata enggan.

"Ya ampun, pantas Bulik sampai begitu," ujar Hayu cemas. "Astaga, kalian ini beneran deh, Nar. Lagipula ini kelamaan, lho. Empat bulan, coba. Nggak pernah sekalipun berusaha cari rencana cadangan kalau plan A kalian gagal? Atau kamu kadung nyaman sama Haris?"

Jenar melirik tajam pada Hayu, yang langsung meringis sambil berkata,"Peace."

"Jangan ngomong aneh-aneh, Yu. Sana balik ke BP," tukas Jenar kesal.

Hayu menatap Jenar dengan penuh dilema, lalu berdecak kecil, "Maaf kalau aku bikin kamu nggak nyaman, tapi aku harus ngomong ini. Kamu--yakin nggak ada rasa berlebih ke Haris? Maksudku, kamu pernah nangis dan sepanik itu waktu tahu dia kena covid. Kamu takut dia kenapa-napa, kan? Nggak ada salahnya move-on kok, Nar."

"Aku nggak berminat move on," ucap Jenar dingin seraya menggenggam kalungnya.

"Tapi perasaan itu halus mainnya. Kadang dia datang tanpa kamu sadari, Nar. Oke, aku agak sotoy sih tapi...tapi kalaupun itu benar, Maksudku perasaanmu buat Haris, kamu nggak berdosa sama Putra kok, Nar. Ngomong-ngomong, ng...skornya masih tiga ya? Udah ya, aku balik! Dadah!"

Hayu buru-buru pergi, meninggalkan Jenar yang meremas kalungnya erat-erat.

"Ngomong apa sih?," gumam Jenar jengkel.

Ng...skornya masih tiga ya?

Dia bahkan lupa dia pernah merepresentasikan Haris dalam bentuk skor. Berapa skor terakhirnya untuk Haris? Enam? Hm...sekarang setelah mengenal Haris lebih jauh, enam pun terasa pelit. Seperti kata Hayu, lelaki itu cukup oke.

Jadi, 8? atau 9?

Tidak, tidak. Lelaki itu masih terbutakan oleh Hanna. 8 cukup untuknya.

Jenar menyugar rambut kala otaknya makin berkelana. Kenapa kepalanya justru sibuk memikirkan skor untuk Haris, sih?

Jenar kembali bekerja meskipun hatinya masih panas, lalu melotot saat salah satu tombol mengetikkan huruf secara terus-menerus. Gadis itu berusaha mencongkel, menggoyang-goyangkannya, tapi tidak berhasil. Jenar buru-buru keluar.

"Pak Ujang! Keyboard-ku rusak!" serunya panik sambil berlari menuju ruang TU.

===

Jenar sampai rumah pukul tujuh malam. Rumahnya sepi, karena Rustam dan yang lain pulang siang tadi. Gadis itu memandangi rumahnya yang tampak lengang, merasa sedikit takut.

Lalu, jeritan Darla membuatnya terperanjat. Jenar buru-buru masuk. Darla bersimpuh di lantai sambil memeluk baju ayahnya, sementara Rumi berusaha menenangkannya. Namun Darla masih histeris, berteriak bahwa dia ingin ikut ayah dan kakak Jenar saja. Berkata bahwa anak perempuannya tega berbohong padanya. 

Dada Jenar sesak dengan cepat. Gadis itu hendak mendekat, namun Rumi melarangnya dan justru menyuruhnya segera mandi. Setelah mandi, beberapa tetangganya sudah mengelilingi Darla yang sedikit tenang meskipun masih terisak-isak kecil. Beberapa dari mereka mencuri pandang pada Jenar, lalu berbisik satu sama lain.

Mungkin bergunjing bahwa Jenar menolak dijodohkan. Mungkin juga setelah ini, satu kampung melabelinya sebagai anak durhaka yang membuat ibunya sengsara. Memikirkannya saja, rasa lelah Jenar jadi naik dua kali lipat. Ia menatap Darla, lalu berjalan ke meja makan dengan hati yang berat sekali.

"Makan yang banyak," ucap Rumi kala Jenar tengah makan. Wanita itu duduk di hadapan Jenar.

"Masih ada tetangga?" tanya Jenar.

Rumi mengangguk. "Ya gimana Nar. Ibumu jadi sering teriak-teriak begitu, tetangga jadi sering gosipin kamu."

"Aku nggak akan mati cuma gara-gara gosip," sahut Jenar datar.

Rumi mendengkus geli. "Pakdemu udah ngomong sama ibumu, sama Bulik juga. Tapi ibumu masih kukuh."

"Iya, aku tahu," gumam Jenar. "Merubah prinsip orang memang nggak gampang. Apalagi Ibuk punya alasannya sendiri."

"Begitulah. Tapi Bulik pun rasanya juga kurang setuju sama keputusan yang kamu ambil, Nar. Membohongi orang tua dosanya besar."

Jenar tersenyum sedih. "Aku juga nggak setuju sama diriku sendiri kok, Bulik."

Rumi berdecak kecil. "Jadi, kamu beneran niat jadi perawan tua?"

Jenar mengangguk, yang membuat Rumi mencibir.

"Nggak semudah yang kamu bayangkan lho Nar. Sepi lho," tukas Rumi. "Kamu bilang begitu karena nggak mau nyoba move-on aja."

"Aku juga nggak akan mati cuma gara-gata kesepian," sahut Jenar kaku.

Buliknya mencibir, namun tidak berkata apapun dan kembali ke luar saat para tetangga berpamitan pulang.

Sepi? Hmph! Dia justru bisa jalan-jalan ke manapun yang ia mau. Ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi, atau ke rumah Haris.

Jenar mendesis jengkel. Tidak, di sana ada Hanna!

"Ck, udahlah Nar. Ngapain sih mikirin bucin macam dia?" tukas Jenar galak. Gadis itu memejamkan mata untuk menenangkan diri, lalu membereskan piringnya dan memutuskan menghadapi Darla.

Meskipun ia takut pada sorot kecewa Darla, tapi mereka tidak boleh begini terus. Mereka hanya punya satu sama lain. Jika setelah ini Darla masih menginginkan Jenar menikah, maka Jenar akan mematuhinya.

"Ibuk." Jenar bersimpuh di pangkuan Darla yang duduk di kursi. "Ibuk, maaf."

Darla hendak bangkit, namun Jenar menahannya.

"Nggak! Ibuk, tolong jangan begini," ucap Jenar tercekat. "Maaf Buk, maaf. Aku nggak akan banyak alasan. Aku salah."

Darla masih berpaling meskipun tangannya terkepal erat di pangkuan. Sementara Rumi pergi meninggalkan keduanya sendiri.

"Ibuk juga...Ibuk juga udah ngobrol sama Pakde. Tentang Haris, tentang semuanya. Ibuk jangan menyalahkan Haris. Ini semua ideku, Buk. Aku yang paksa dia," ucap Jenar terbata.

"Bisa-bisanya..." gumam Darla gemetar. "Ibuk udah percaya sama kalian berdua, sama Haris. Tapi dia pun juga tega bohong sama Ibuk."

"Karena aku minta begitu, Buk. Selain itu, Haris tulus sama Ibuk." Jenar mati-matian menahan air mata kala Darla tidak juga mau menatapnya. Ibunya hanya menangis dalam diam seraya menatap ke luar jendela. Air matanya tampak berkilauan di pipi. Demi Tuhan, Jenar benci sekali pada dirinya sendiri. "Ibuk, sini lihat aku. Ibuk mau aku nikah? Hm? Ya udah, aku nikah bulan depan. Ibuk pilihkan aja calonnya buat aku."

Untuk pertama kalinya, Darla menatap Jenar. Sorot matanya begitu sedih dan tampak layu, kosong seperti lorong berwarna kelabu.

"Untuk apa?" tanya Darla parau. "Nanti kamu cuma akan bohong ke Ibuk lagi."

"Ibuk maunya aku nikah, kan? Ibuk bisa mengatur semuanya, aku nggak apa-apa. Mulai dari penghulu sampai aku dapat buku nikahnya. Jadi, Ibuk tahu kalau kali ini aku nggak akan bohong," ucap Jenar dengan senyum memohon. "Jadi Ibuk nggak perlu pergi ke mana-mana. Ibuk di sini saja sama aku, ya? Aku yang rawat Ibuk sampai Ibuk gembira lagi. Ya?"

"Tapi Ibuk nggak bahagia di sini." Darla menangis lagi. "Ibuk kangen bapakmu, Nduk. Sejak bapakmu pergi, semuanya kacau balau. Ibuk gagal mendidik kamu."

"Ibuk." Dengan suara yang gemetar hebat, Jenar meraih tangan Darla dan meletakannya di pipi. "Ibuk, aku masih di sini, Buk. Aku masih mau sama Ibuk. Jadi Ibuk jangan ke mana-mana dulu. Dan ini bukan salah Ibuk. Ini salahku, yang mengambil keputusan kekanakan padahal aku udah dewasa. Nggak ada sangkut pautnya sama Ibuk. Ibuk nggak salah apa-apa."

Darla mengusap pipi Jenar sejenak, lalu melepaskan tangannya. Wanita itu membelai kemeja sang suami dengan lembut, lalu tangisnya pecah.

"Kenapa kamu sulit menangkap maksud baik Ibuk, Nduk?" isaknya. "Walau bagaimanapun, Ibuk akan merasa lebih tenang kalau kamu nikah. Umur Ibuk ini nggak lama lagi, Nduk. Ingat kemarin dokter bilang apa, kan? Ibuk cuma minta kamu paham maksud dari permintaan Ibuk. Ibuk nggak mungkin menyiksa putri Ibuk sendiri. Ibuk sayang sama kamu, Nar."

Hati Jenar mencelus sakit, namun gadis itu buru-buru mengangguk. "Aku paham, kok. Aku sekarang paham."

Jenar mengusap pipinya dan berusaha tersenyum. "Jadi, minggu depan, ya. Ibuk aja yang pilih calonnya. Biar sreg gitu, Buk."

Darla menggeleng. "Sudah nggak perlu, Nar. Ibuk takut Ibuk justru dibohongi lebih dari ini sama kamu."

"Nggak akan--"

"Kamu akan bahagia?"

Dan Jenar terdiam. Wajah Darla makin keruh.

"Kalau kamu paham tujuan dari permintaan Ibuk, harusnya kamu akan bahagia. Nyatanya kamu begini, Nar. Kamu cuma akan bohong lagi kalau seperti ini. Pakdemu pun minta Ibuk buat nggak memaksa kamu." Darla kembali berpaling. "Kenapa? Padahal Ibuk cuma ingin melindungi anak Ibuk satu-satunya. Gimana kalau Ibuk mati dan belum ada yang jaga kamu? Ibuk kepikiran itu sampai sesak rasanya, Nar."

Darla menangis lagi.

"Ibuk," ucap Jenar, yang berusaha memilah kata dengan sangat hati-hati. "Tanpa menikah pun, aku punya banyak teman yang bisa aku andalkan. Terlebih, aku punya diri sendiri yang selalu bisa aku andalkan."

"Nggak akan bisa begitu selamanya, Nar. Saat makin tua nanti, kamu akan sadar kalau sendiri itu rasanya sepi," bantah Darla.

"Ibuk, Ibuk pernah dengan panti wredha, kan?" gumam Jenar penuh antisipasi.

Wajah Darla penuh kengerian. "Kamu mau ke sana?"

Jenar meraih ponselnya, lalu menunjukkan sebuah griya lansia eksklusif yang menjadi salah satu incaran Jenar.

"Ini, adalah Griya Lansia eksklusif. Perawat-perawatnya tersertifikasi, dan ada dokter khususnya. Di sana, ada banyak fasilitas yang bisa digunakan sama lansia. Ada program piknik tiap waktu tertentu. Dan yang paling penting, di sana aku nggak sendiri. Saat aku jadi lansia nanti, aku akan banyak teman yang seumuran. Aku bisa ngobrol sama mereka, dan kemungkinan obrolan kami nyambung karena kami seumuran. Jadi, aku nggak akan pernah kesepian. Ide tinggal di panti wredha ini nggak terlalu buruk kan, Buk?"

Darla menatap informasi di ponsel Jenar, lalu ganti menatap Jenar dengan kengerian yang berlipat.

"Kamu nggak mau nikah?" tanyanya tercekat, tangannya mulai gemetar. Jenar cepat-cepat menggenggam tangan Darla.

"Ibuk, bukannya yang penting aku bahagia? Bukannya yang penting ada yang jaga aku?" sahut Jenar. "Kalau tentang anak, aku bisa beramal ke panti asuhan atau mengangkat anak. Lagipula, menikah pun juga nggak menjamin kebahagiaan kan, Buk. Lihat beberapa tetangga kita? Bahkan ada yang cerai karena KDRT. Jadi menurutku, menikah bukan jaminan kebahagiaan, Buk."

Jenar merasa bersalah karena harus menyentil salah satu tetangganya. Tetangga yang, ironisnya tadi ke sini dan memberinya tatapan sinis.

Jenar berdeham. "Aku tahu Ibuk pasti lebih paham. Itu kenapa aku nggak mau diburu-buru. Pernikahan butuh dipikirkan matang-matang agar aku nggak terjebak dalam pernikahan yang nggak bahagia. Paling nggak, standar suamiku harus kayak Bapak, ya kan, Buk? Bapak pasti cowok super sampai bisa bikin Ibuk cantik tiap hari. Katanya salah satu tips istri cantik itu karena pernikahan yang bahagia. Aku maunya yang begitu."

Ketegangan Darla meluntur. "Bapakmu memang suami yang pengertian."

Jenar buru-buru mengangguk. "Iya, Bapak juga bisa ngemong anak-anaknya. Jadi, begitu kan? Ibuk bukan bahagia karena menikah saja. Ibuk bahagia karena menikah dengan orang yang tepat. Anak-anaknya pun bahagia karena punya ayah yang super. Nggak sempurna, sih. Aku juga kadang lihat Ibuk dibikin jengkel sama Bapak. Tapi paling nggak, Bapak kelihatan banget usahanya buat jadi suami dan ayah yang baik. Makin besar, aku makin menyadari itu."

Darla terdiam lama. Jenar pun rasanya begitu deg-degan karena nekat membawa-bawa memori tentang ayahnya.

"Menikah selalu butuh dua pihak yang saling mengerti, Nar. Kami juga nggak langsung tumbuh jadi suami, istri, atau orangtua yang baik," gumam Darla lembut.

"Iya, Buk. Tapi nggak semua laki-laki mau bertumbuh," ucap Jenar sama lembutnya.

Darla terdiam lagi, lalu membelai kemeja ayah Jenar dengan lembut.

"Ayahmu pria yang mau berusaha," gumamnya parau. "Ibuk jadi ingat kata-kata ayahmu."

"Kata-kata apa?" tanya Jenar penasaran.

"Kalau salah satu yang membedakan manusia, adalah usahanya," ucap Darla lirih, lalu ia menghela napas panjang. "Ibuk paham alasanmu. Tapi tetap, nggak menikah rasanya pilihan yang berat. Ibuk sulit merestuinya, Nar."

"Ibuk, coba jangan dilihat menikah atau nggaknya. Coba dilihat bahagia atau nggaknya aku, hm?" pinta Jenar. "Aku udah punya planning yang memastikan masa tuaku baik-baik aja."

"Kamu yakin akan tetap bahagia dan nggak kesepian?" tuntut Darla.

Jenar mengangguk pasti. "Jadi Ibuk jangan khawatir. Ibuk di sini saja sama aku, ya? Kita punya banyak waktu jalan-jalan berdua. Kalau Ibuk sehat nanti, ayo ke Raja Ampat. Ibuk kepingin ke sana kan dari dulu?"

Darla hanya diam sambil mengamati kemeja suaminya. Dibelainya lembut kemeja itu, lalu ia melipatnya dengan penuh kasih. Saat melakukannya, Darla menangis tanpa suara. Mata Jenar pun memanas, tapi Jenar membiarkannya saja.

"Orang-orang kadang pergi tanpa permisi," celetuk Darla parau. 

Jenar hampir meraih kalungnya, tapi ia menahan diri.

"Hm." Jenar berdeham saat kerongkongannya terasa perih sekali. Ia menyamarkannya dengan senyum kecil meskipun gagal hingga lebih mirip orang sakit gigi. "Kadang memang begitu. Cuma, ada orang yang pernah bilang kalau kita masih bisa menyentuhnya lewat doa dan kenangan."

Darla tercenung, "Haris, ya?"

Jenar mengangguk meskipun tetap waspada. Haris di mata Darla sekarang berubah jadi laki-laki jahat. Namun Darla tidak berkomentar apapun tentang Haris. Ibunya justru terdiam lama sekali sebelum ia mengulurkan tangan. Jenar mengira Darla akan menyentuh pipinya, tapi jemari Darla justru menyentuh kalung di leher Jenar hingga gadis itu terpaku.

"Kalungnya memang cantik di lehermu. Putra nggak pernah salah pilih," gumamnya lirih. "Kapan-kapan, bawa ini ke toko emas biar diperbaiki. Jangan pakai benang begini."

Darl meraih pipi Jenar, yang menatapnya tidak percaya. Lalu tersenyum lembut meskipun berurai air mata.

"Maaf ya, Nduk."

Jenar meremat rok Darla kala air matanya berdesakan tidak keruan. "Ibuk...Ibuk gimana?"

"Kalau bahagiamu memang begitu, Ibuk bisa apa? Toh kamu benar. Bagi Ibuk, yqng penting kamu bahagia."

Gadis itu menenggelamkan wajah di pangkuan Darla, menanggis sesenggukan. "Aku juga minta maaf, Buk."

Darla tidak berkata apapun, wanita itu hanya terus membelai kepala Jenar sambil menangis.

Dan Rumi, yang sejak tadi mengintip dari pintu, ikut menangis sejadi-jadinya. 

===TBC===

“Nauouoo, masih lamakah endingnya?” 

Harapannya nggak akan lama lagi. Mungkin beberapa bab ke depan udah selesai. Mo nulis yang ringan-ringan aja habis ini 👀

Jadii, terima kasih telah membaca. Selamat hari Jumat semuanyaaa 💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top