Before A Kiss | 23

Sejak pertama kali ide pura-pura itu tercetus, Jenar tidak pernah benar-benar memikirkannya hingga sejauh ini. Ia selalu beranggapan bahwa mereka akan berhenti jauh sebelum skenario ini terbongkar. Haris, tentu saja, hanya alat bagi Jenar untuk mengulur waktu. Agar Darla bisa merelakan rasa kehilangannya dengan baik,  juga memberi pengertian pada Darla bahwa pernikahan bukan solusi untuk apa pun.

Maka ketika tangisan Darla terdengar disertai riuh orang-orang yang menenangkannya, Jenar tahu semuanya sia-sia.

Apa yang harus ia perbuat? Bagaimana cara menghadapinya? Dia takut sekali. Pikirannya buntu dan tubuhnya dingin. Jenar berusaha memikirkan sesuatu dalam kekalutan yang melandanya, tapi ia tidak kuasa.

"Jen--"

"Kamu jangan masuk," potong Jenar terbata. "Kamu...kamu pulang aja."

"Nggak akan. Kita jelaskan sama-sama," sergah Haris.

"Haris," sahut Jenar putus asa. "Di situasi sekarang, Ibuk cuma akan makin parah kalau lihat kamu. Tolong kamu pulang aja dan...dan jangan pernah ke sini lagi. Kamu lihat? Kita benar-benar selesai."

Haris tampak terkejut, namun Jenar berusaha menatap lelaki itu dengan sisa ketenangan yang ia punya.

"Thank you for everything, dan maaf karena kamu harus terseret masalah keluargaku. Semoga masa depanmu selalu lancar dan..." Jenar berhenti sejenak saat kerongkongannya terasa perih. "Dah, Haris."

Jenar berbalik kala matanya mengabur cepat. Gadis itu buru-buru masuk rumah dan mencari Darla, hingga ia nyaris bertabrakan dengan Rumi.

"Ibuk gimana?" tanya Jenar gugup karena Rumi menatapnya dengan emosi yang kentara.

"Itu benar?" tanya Rumi dingin. "Semua yang dikatakan Hanna benar? Kamu sama Haris cuma pura-pura?"

Jenar meremas piyamanya kuat-kuat, lalu mengangguk. Rumi mendesah keras.

"Astaga Tuhan..." rintihnya tidak percaya. "Durhaka kamu Nar!"

"Maaf," ucap Jenar tercekat. "Ibuk--Ibuk gimana?"

"Masih peduli sama ibumu?" sahut Rumi cepat. "Ibumu sesak napas dan muntah-muntah, kami mau membawanya ke rumah sakit sekarang."

Rustam keluar kamar sambil membopong Darla yang terkulai. Di belakangnya, istri Rustam berjalan sambil buru-buru memasukkan baju ke tas jinjing. Kala melihat Jenar, Rustam hanya menggeleng-gelengkan kepala, lalu berlalu begitu saja.

"Minggir, Le!" Suara Rustam di depan terdengar keras. "Jangan ke sini lagi. Jenar urusan saya. Jangan sampai saya lihat kamu lagi. Pergi!"

"Ck ck! Anak-anak zaman sekarang makin nggak bisa dipercaya," gerutu istri Rustam.

Jenar melihat semuanya dari jendela. Mereka semua pergi dengan mobil yang dikemudikan Aji, meninggalkan Haris yang masih berdiri di teras.

Jenar memejamkan mata sambil menyugar rambutnya, lalu berjongkok.

"Jen." Suara Haris mendekat. "apa kita perlu--"

"Pergi," gumam Jenar.

"Setidaknya, aku antar kamu ke rumah sakit," balas Haris.

Jenar menggeleng. Gadis itu berdiri dan mendorong pelan Haris hingga ke pintu depan.

"Kamu dengar Pakde bilang apa, kan? Jangan ke sini lagi. Kita selesai," ucap Jenar lirih.

"Kita masih bisa menjelaskannya, Jen," gumam Haris.

"Buat apa? Nggak usah, itu urusanku. Aku juga udah capek jadi...just let it flow aja. Sekarang aku mau urus Ibuk dulu. Ini salahku." Jenar menatap Haris, sadar jika setelah ini, hari-harinya pasti akan terasa sangat berbeda. Gadis itu berusaha tersenyum meskipun ujung bibirnya gemetar hebat. "Dah, Haris. Semoga sukses untuk apapun yang kamu perjuangkan."

Gadis itu  menutup pintu, namun Haris menahannya.

"Kamu yakin mau sampai di sini saja?" tanyanya.

Jenar mengangguk. "Udah, ya. Aku mau nyusul Ibuk."

Haris menatapnya dalam diam selama beberapa saat. Tatapannya menyiratkan ketidakterimaan, namun di saat yang sama terasa teduh dan penuh pengertian. Lelaki itu menghela napas panjang.

"Sorry. Ternyata nggak berjalan bagus," gumamnya.  

"Bukan salahmu. Memang hal begini...nggak akan bisa awet," balas Jenar.

"Apa rencanamu setelah ini, kalau begitu?" tanya Haris lagi.

Jenar mengangkat bahu. "Menjelaskan skenario konyol kita, karena pasti nanti bakal diadili. Jadi, sekalian saja aku menegaskan lagi kalau menikah bukan rencana hidupku. Kalau memang masih nggak bisa, kalau memang Ibuk masih mau aku nikah, ya...sudah. Semoga dia nggak tua-tua amat. Mungkin aku bakal cerai nggak lama setelah nikah. Bilang nggak cocok atau apalah, yang penting nikah dulu."

Haris diam, yang membuat Jenar terkekeh sedih. "Kenapa? Mau bilang nggak setuju, kan? Aku nggak peduli, Ris. Aku sayang Ibuk, sayang banget. Tapi aku juga nggak mau kehilangan Putra untuk yang kedua kalinya. Aku udah kehilangan Putra dan semua rencana masa depan kami waktu dia pergi. Aku nggak mau kenanganku sama dia pun sampai diusik juga."

Haris memandangnya beberapa saat, lalu turun ke arah kalung Jenar hingga Jenar merabanya dengan panik. Namun kalung itu masih berada di lehernya.

"Kalungnya memang bagus," celetuk Haris. "Terlalu bagus sampai-sampai rasanya risih di mataku."

Jenar mengerutkan kening, namun Haris hanya menggeleng singkat.

"Merelakan seseorang nggak pernah mudah, kan?" ucapnya tiba-tiba. "I've been there, Jen. Jadi, aku paham dan menghormati semua keputusanmu tentang apa pun yang sudah kamu rencanakan. Kamu udah dewasa, hidupmu sepenuhnya milikmu. Tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran, bisa tolong beritahu aku?"

"Kamu...apa?" tanya Jenar bingung. "Buat apa."

"Menawarkan opsi lain," jawab Haris. "May be you like it, may be you don't. Apa pun itu, entah batal pergi ke panti jompo, batal nikah paksa, atau ketika Tante Darla akhirnya membebaskanmu, just tell me."

"Opsi lain apa?" Jenar makin kebingungan.

"Opsi yang muncul setelah kamu maju satu langkah dari titik ini," balas Haris.

Kerutan di dahi Jenar makin dalam. "Aku nggak paham."

Haris hanya mengangkat bahu, yang membuat Jenar berdecak kecil.

"Kemungkinan yang terakhir tadi, walaupun hampir mustahil, tetap aku amini." Jenar tersenyum sedih. "Kalaupun Ibuk pada akhirnya paham, aku tetap mau pergi ke panti jompo jadi--mari kita akhiri semuanya dengan damai. Dah lagi, Haris. Harusnya ini nggak berefek buruk di kamu, kan? Udah lama kita tahu bagaimana sikap Hanna ke kamu. Semoga sukses dengan Hanna--dan yang lain. Aku harus ke rumah sakit. Hati-hati di jalan, ya."

Dan Jenar menutup pintu, meninggalkan lelaki itu tepat di depan pintu. Pembicaraan tentang Hanna masih membuatnya kesal, dan membayangkan apa yang akan mereka alami setelah ini, makin membuatnya panas. Tapi alasan paling utama mengapa ia memaksa untuk menutup pintu, adalah kenyataan jika ia masih ingin melanjutkan obrolan mereka hingga dini hari tiba. Sebab, rasanya tidak rela kala Jenar harus mengusir jauh satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya. Tapi itu harus. Dia tidak bisa melibatkan Haris lebih jauh lagi

Sudah selesai. Gadis itu menyugar rambutnya dan bersandar di pintu. Mulai saat ini, dia harua berjalan sendiri. Dia harus memastikan bahwa Darla baik-baik saja, meskipun itu berarti dia harus menghadapi cercaan pertanyaan dari Rustam dan yang lainnya.

===

Darla terbaring dengan selang oksigen terpasang. Ibunya terjaga--beliau menatap langit-langit tanpa kedip dengan air mata yang mengalir ke samping. Tidak ada satupun suara yang terdengar, bahkan isakan. Hanya bunyi tarikan napas yang cepat.

Jenar mengintip kondisi ibunya dari jendela pintu. Gadis itu tertegun sejenak, lalu berjongkok sambil memainkan kalungnya tanpa fokus. Kondisi Darla membuatnya takut, dan itu salahnya.

Sepuluh menit berlalu, Jenar menguatkan diri. Gadis itu membersihkan wajahnya dan mengetuk pintu. Arifa dan Rumi menoleh, tapi Darla tidak. Ibunya masih termenung persis seperti tadi.

"Oh, kamu ke sini?" Rumi berkata dingin. "Bulik kira kamu kabur sama si pembohong itu."

"Rum," tegur Arifa pelan.

"Kenapa? Begitu kan anak-anak zaman sekarang? Tahu ibunya pingsan di depan mata bukannya nolong malah kabur. Kemana lagi kalau bukan di tempat cowok kurang ajar itu?" sahut Rumi sengit.

"Ini salahku, Bulik. Seratus persen salahku. Jadi jangan ngomong jelek tentang Haris," balas Jenar lirih.

"Attitude kalian berdua memang jelek!" sembur Rumi murka. "Berbulan-bulan kita menjaga ibumu, Nar! Lalu apa yang kamu perbuat? Demi Tuhan Jenari, kamu mempermainkan ibumu sendiri!"

Jenar terdiam, sebab ia sadar kata-kata Rumi benar. Gadis itu mendekati Darla walaupun langkahnya kian berat.

"Buk," panggil Jenar kala ia sampai di samping ranjang. "Maaf."

Manik mata Darla bergerak menatapnya, tampak sayu dan kosong. Persis seperti saat Darla belum bertemu Haris. Darla membelai pipi Jenar dengan jemarinya, lalu beringsut memunggungi Jenar.

Air mata Jenar tumpah. Gadis itu terisak di sisi ranjang Darla sambil menunduk dalam-dalam. Bahu Darla pun berguncang pelan, tanda jika ibunya juga menangis dalam diam. 

Padahal, dari dulu dia tidak bisa melihat Darla menangis. Padahal, hanya Darla satu-satunya keluargavyang ia punya. Padahal, dia sudah berjanji akan menjaga Darla setelah ayah dan kakaknya tiada. Tapi ternyata, dia juga orang yang paling membuat ibunya terluka.

Jenar duduk di sisi ranjang. Menunggu sampai Darla mau menatapnya lagi. Didengarnya Rumi dan Arifa berbisik pelan, tapi Jenar hanya berfokus pada Darla saja.

"Nar, Bulik mau ngomong," ucap Rumi.

"Silakan, Bulik," gumam Jenar.

"Di luar."

Di sini aja. Aku mau jaga Ibuk."

"Biarkan ibumu istirahat. Lagipula, ibumu belum mau ngomong sama kamu, kan?" sahut Rumi.

Jenar menatap punggung Darla sejenak, lalu berkata, "Nanti aku balik lagi, Buk."

Darla tidak menjawab. Maka, gadis itupun mengikuti Rumi keluar ruangan. Rumi mengajaknya jauh ke ujung lorong, lalu mengempaskan diri di sebuah kursi panjang.

"Hanna...atau siapalah itu, bilang kalau hubungan kalian cuma dibuat-buat. Kamu nggak mau nikah dan masih cinta sama masa lalumu. Itu maksudnya Putra, kan? Begitu yang dia dengar, dan dia bilang ke kami," kata Rumi cepat.

Jenar mengangguk singkat. "Iya."

"Apa yang ada di kepalamu sih, Nar?" cerca Rumi tidak percaya. "Dari semua hal, Bulik nggak pernah menyangka kamu akan sebegini jahatnya! Kamu dulu gadis baik-baik, Nar. Kamu diancam sama Haris? Nemu di mana sih laki-laki macam dia? Harus diakui, omongan pakdemu ada benarnya! Harusnya Bulik waspada dari awal sama cowok dengan penampilan seperti Haris!"

"Nggak. Haris orang baik, sama sekali nggak ada ancaman atau apapun," jawab Jenar buru-buru. "Semuanya murni ideku."

"Lalu kenapa dia mau?" Rumi menelisik. "Apa yang dia minta dari kamu? Kamu--kalian nggak ngapa-ngapain, kan?"

"Apa yang Bulik pikirkan?" tanya Jenar tidak terima. "Selama aku kenal Haris, dia nggak pernah memperlakukan aku semena-mena, Bulik. Dia orang yang sopan dan tahu tanggung jawab. Di beberapa kesempatan, aku justru dijaga sama dia."

"Lalu apa alasannya, kalau begitu?" tandas Rumi lagi. "Uang? Iya?"

"Bukan. Tapi yang pasti, ada." Jenar mengendurkan suaranya yang naik tanpa sadar kala Haris dinilai yang tidak-tidak oleh Rumi. "Maaf."

"Ceritakan!" perintah Rumi. "Cerita sama Bulik dari awal kamu kenal sama Haris sampai kepikiran buat membohongi kami semua!"

Jenar menatap Rumi sejenak, lalu memalingkan wajah seraya memilin tali slingbag-nya.

"Aku sayang Ibuk, tapi aku nggak suka dipaksa menikah," ucap Jenar pelan. "Jadi aku pikir kalau aku punya pacar, Ibuk akan berhenti nyuruh aku nikah dan...dan keluarga besar juga berhenti ngirim cv calon ke aku. Beberapa dari calon yang diajukan itu, sering banget minta telpon malam-malam, Bulik. Aku risih."

Rumi mendengkus. "Hanya karena itu? Katamu kamu sayang ibumu, Nar. Kalau kamu nggak mau berkorban demi kebahagiaan ibumu, berarti kamu nggak sesayang itu."

Pilinan Jenar makin erat hingga jemarinya perih. "Begitu, ya?"

Rumi berdecak. "Zaman dulu banyak orang yang dijodohkan, dan mereka rukun-rukun saja sampai tua. Memang kamu ini agak manja, Nar. Lalu kamu ketemu Haris di mana? Hm?"

"Di--di reuni," jawab Jenar yang makin merasa kerdil. Apakah dia salah karena berupaya memperjuangkan haknya? Apakah dengan begitu, ia jadi manusia egois? Apakah sikap yang benar adalah menerima pernikahan meskipun dia tidak bahagia? Demi Darla?

"Dan Haris langsung mau?" tanya Rumi, yang membuat fokus Jenar kembali.

"Sorenya, aku langsung ajak dia ketemu Ibuk di rumah sakit. Itu."

"Jadi, kalian memang nggak ada rencana menikah?" cecar Rumi.

Jenar menggeleng.

"Kamu masih kepikiran Putra?"

Jenar mengangguk.

"Mau sampai kapan begini, Nduk?" sergah Rumi emosi. "Jadi orang jangan manja! Ada ibumu yang harus kamu pikirkan! Sekarang ibumu begini, ini gara-gara keegoisanmu!"

Jenar tidak bisa menjawab. Gadis itu hanya terus memilin tali slingbag dengan rasa bersalah yang makin besar.

Rumi menghela napas panjang. "Bulik nggak tahu di mana hubungannya, tapi tepat sebelum Hanna datang, Dinar telpon pakdemu. Dia bilang, kalau Haris itu nggak normal. Dia gay. Jenari, seberapa banyak masalah yang kamu bawa kali ini?"

"Dinar?" sahut Jenar terkejut.

"Hm. Dia bilang dapat dari berita kampus lama," kata Rumi. "Pakdemu murka sekali tadi, dan Bulik setuju sama Pakdemu. Haris ini laki-laki bermasalah. Untung saja cepat tahu. Kita nggak pernah tahu apa yang dia incar kalau makin lama berurusan sama dia."

"Itu nggak benar," tepis Jenar cepat. "Dia dijebak, Bulik."

"Dia yang bilang begitu?" Rumi mengangkat alis dengan sangsi. "Apapun itu, lebih baik nggak berurusan sama dia lagi, Nar. Pesta seks, astaga!"

"Bulik--"

"Di sini rupanya."

Kegugupan Jenar melesat kala Rustam menyambangi mereka. Ia menatap tajam Jenar, seolah ingin mengunyah keponakannya hingga jadi serpihan.

"Pakde mau bicara sama kamu," katanya tegas.

"Udahlah. Gimana kamu aja, Mas," ucap Rumi lelah. Wanita itu pergi setelah menghela napas panjang. 

Jenar tidak berani menatap Rustam. Pakdenya tinggi besar dengan postur tegap. Tatapannya tajam, kata-katanya sangat jahat bila sedang marah.

"Ada yang mau kamu bilang?" tanya Rustam saat duduk di samping Jenar.

"Maaf," ucap Jenar lirih.

"Bilang itu ke ibumu, Nar. Darla kecewa sekali," kata Rustam kaku. "Yang dibilang perempuan itu benar? Tiba-tiba dia datang lalu bilang kalau kamu sama Haris cuma pura-pura. Bayangkan betapa terkejutnya ibumu."

Meskipun ia masih dikurung penyesalan, nyatanya ketidaksukaannya pada Hanna masih bisa ia rasakan.

"Iya, benar," jawab Jenar pahit.

"Kenapa, Nduk?" tanya Rustam. "Sebegitu jauhnya usahamu untuk menghindari permintaan ibumu sendiri?"

"Karena--" Jenar menjeda kala dadanya terasa sesak. "Karena aku nggak mau nikah atau...hal-hal semacam itu, Pakde. Aku sayang Ibuk, kok. Tapi menikah itu lain hal. Pernikahan akan mempengaruhi hidupku sampai--setidaknya, sampai aku tua atau aku mati. Aku nggak mau melakukannya hanya karena aku dipaksa."

"Kamu bahkan nggak mau mencoba mengenal calon-calon yang kami ajukan," tandas Rustam. "Setidaknya coba mengenal satu dua, kamu bahkan langsung menutup komunikasi setiap kali ada yang mencoba mengajak kenalan."

"Karena...aku nggak suka itu," jawab Jenar berat.

"Karena Putra?" celetuk Rustam. "Karena kamu masih belum rela dia pergi?"

"Udah, kok," jawab Jenar tercekat. "Mungkin, udah. Cuma...yah, aku cuma nggak mau nikah sama siapapun selain dia. Aku nggak keberatan hidup tanpa pasangan. Itu nggak akan merubah niatku buat merawat Ibuk."

Raut wajah Rustam memadam karena emosi. Jenar cepqt-cepat menunduk karena dia yakin Rustam akan memarahinya. Tangan pakdenya sudah mengepal, tapi tidak kunjung ada suara yang terdengar. Yang ada, justru tarikan napas yang panjang. 

"Jenari, Jenari," gumamnya penuh sesal. "Manusia nggak bisa hidup sendiri. Siapa yang akan mengurus kamu saat kamu tua nanti?"

"Aku--nggak berencana hidup sendiri. Ada panti wredha yang fasilitasnya cukup bagus. Rencananya, aku mau tinggal di sana setelah pensiun nanti," jelas Jenar. "Tapi kalau memang aku nggak bisa meyakinkan Ibuk, kalau memang Ibuk nggak bahagia sama pilihanku, aku...nggak apa-apa nikah. Mungkin ada satu calon yang cukup bagus."

"Cukup bagus?" tanya Rustam.

"Yang nggak bikin aku sengsara setelah nikah." Jenar meneruskan lirih. "Sengsara lahir batin, maksudnya."

Jeda panjang menghiasi percakapan mereka. Jenar mengusal air matanya dengan buru-buru. Dia sedang sangat berusaha menguatkan hati.

"Benar kamu nggak mau nikah?" tanya Rustam tiba-tiba.

Jenar melirik Rustam takut-takut, lalu mengangguk samar. "Tapi kalau Ibuk--"

"Kalau Ibuk, persis seperti yang dia bilang. Pada akhirnya, kamu gagal menyadari jika niat Darla hanyalah demi kebaikanmu, Nar," potong Rustam.

Jenar menggeleng. "Alasannya memang cuma demi Ibuk. Aku...nggak mau Ibuk kenapa-kenapa."

Rustam menatapnya sejenak, lalu kembali menghela napas panjang.

"Dia bilang, Pakde nggak boleh emosi," ucap Rustam. "Sebagai orang yang mengambil alih tanggung jawab terhadap kamu setelah ayahmu pergi, Pakde juga harus mencoba memahami kamu dari sudut pandangmu, dari perasaanmu. Dia bilang, perasaanmu juga sama pentingnya dengan perasaan Darla. Lancang sekali anak itu. Bocah masih bau kencur tapi berlagak menasehati orang yang lebih tua."

Jenar mengerutkan kening. "Siapa?"

"Bocah gondrong itu," gumam Rustam berat. "Dia minta ketemu tadi."

"Haris?" tanya Jenar terkejut. "Ketemu sama Pakde? Kapan? Di mana?"

"Barusan. Di kantin. Dia bilang mau bicara sama Pakde." Rustam meliriknya. "Kenapa?"

"Nggak..." Jenar bingung sendiri. "Pakde, jangan marah. Nanti aku bilang kalau dia nggak sopan--"

"Memang nggak sopan," cetus Rustam keras. "tapi Pakde jadi mengerti. Pakde nggak membenarkan tingkahmu, Nar. Membohongi ibumu sampai seperti ini, itu sikap yang keterlaluan. Tapi Pakde jadi mengerti alasan kenapa kamu sampai bertindak jauh, sesuatu yang bukan kamu sekali. Mungkin memang benar kalau selama ini, kami terlalu fokus ke Darla sampai-sampai lupa sama perasaanmu. Karena jujur saja, kondisi Darla mengkhawatirkan. Pakde cuma nggak mau terjadi hal buruk ke ibumu, dan menurut Pakde, menikahkan kamu pun juga bukan opsi yang buruk. Seandainya ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, kamu sudah ada tempat untuk pulang selain Darla. Cuma, Pakde nggak menyangka kalau itu justru membuat perasaanmu terabaikan."

Jenar terdiam, agak terkejut dengan pemikiran Rustambyang berbelok tiba-tiba. Rustam bersandar ke punggung kursi sambil memejamkan mata.

"Dia punya kepedulian besar ke kamu," katanya.

"Siapa?" tanya Jenar.

"Haris. Kamu juga sepertinya peduli sama dia. Nggak mau setidaknya mencoba sama Haris? Dia bukan orang asing lagi buat kamu, kan?"

"Mencoba...apa?" Jenar mengerutkan kening.

Rustam meliriknya, lalu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Pantas dia agak menahan diri begitu," tukasnya. "Sudah sudah, nggak usah dipikirkan. Kali ini, terserah kamu saja.  Nanti Pakde bantu bicara ke ibumu. Pakde juga nggak akan memburu-burumu buat menikah lagi, Nduk. Untuk urusan ini, kamu bebas menentukannya sendiri."

Jenar terperangah. Dia mengira dia harus berjuang lebih keras demi meyakinkan Rustam. Dia mengira rasanya akan lebih berat dari ini, karena ia menentang pendapat orang-orang yang ia segani.

"Maaf, ya." Rustam membelai kepala Jenar  dan menatapnya dengan lembut meskipun sorot emosi itu masih tersisa. "Pasti berat sekali ditinggal Putra."

Dan demi satu kalimat itu, air mata Jenar merebak tidak tertahan.

===TBC===

Haiii, maaf untuk keterlambatannya yaa. Terima kasih telah membaca. Selamat berakhir pekan 💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top