Before A Kiss | 22
"Keluarga besar sedang mempertimbangkan nge-ban kamu dari daftar calon suami Jenar."
Abu di pucuk rokok itu berjatuhan kala Aji menjentiknya pelan.
"Jenar kelihatan kalut banget," ujar Aji lagi. "Sebenarnya niatmu gimana, Ris?"
Haris menatap Aji sejenak, lalu ikut bersandar di gazebo. "Aku serius."
"Oh...gitu?" Aji mengangkat alis. "Terakhir kita ketemu, jawabanmu cuma 'mau menikmati semuanya dulu'. Sebagai orang muda, aku juga paham kalimatmu, kok."
"Keadaan sudah berbeda," gumam Haris.
"Time changes our mind, huh?" Aji menyeringai. "Tapi kalau serius, sorry. Kalian agak kelamaan. Atau jawabanmu ini cuma karena aku kakak Jenar? Sebenarnya, kamu nggak niat nikah sama Jenar karena ada keadaan khusus?"
Aji menunggu dengan alis terangkat, seolah menantang.
"Kamu tahu sesuatu," celetuk Haris. "Atau kamu ingin memastikan sesuatu?"
Aji melirik Haris lewat ekor mata sebelum kembali menyesap rokok.
"Kami punya sepupu," ucapnya. "Namanya Dinar. Dia masih kuliah di kampus yang sama kayak kamu, Ris. Dan tebak apa yang terjadi belakangan ini?"
Haris tidak menjawab. Lelaki itu hanya mendengarkan.
"Ada mahasiswa yang kedapatan pesta seks di kos. Gay sex." Aji melirik Haris, yang masih saja diam tanpa menunjukkan respon apapun. "Seantero kampus heboh, dan berita lama kembali jadi gosip. Berita lama tentang kasus serupa, yang menyeret nama Haris Diwangka. Berapa banyak Haris Diwangka yang ngampus di sana, di tahun itu? Jawab jujur, itu kamu, kan?"
Haris menatap Aji lama, lalu menjawab, "Iya, itu aku."
Aji mematikan rokoknya dengan kasar sambil mengusap wajah. "Jadi itu benar? Jenar cuma tameng buatmu? Berengsek, Ris!"
"Berita itu nggak benar, dan Jenar bukan tameng," jawab Haris kalem. "Sudah selesai? Atau masih ingin tahu sesuatu?"
"Bullshit banget! Apa lagi yang kamu sembunyikan? Hm? Kamu cuma bedebah berengsek, Ris! Bajingan!"
"Sudah lama aku tahu kalau menjelaskan sesuatu ke orang yang nggak mau dijelaskan, adalah hal sia-sia. Mereka cuma akan setuju dengan opini di kepala mereka, mereka cuma akan setuju dengan apa yang dipercaya banyak orang. Menjelaskan sesuatu sama orang-orang yang begitu, cuma akan bikin lelah. It only wasted my time, Ji," ucap Haris datar, sedatar wajahnya. "Melihat reaksimu, sebenarnya aku malas. Tapi sayangnya, kamu kakak sepupu Jenar."
"Memangnya apa lagi?" tantang Aji. "Apa alasan busuk yang bisa membenarkanmu mempermainkan Jenar?"
"Berita itu nggak benar. Aku korban pemerkosaan," ucap Haris. "Tapi mereka ini anak orang-orang terpandang. Media dipelintir dan kebenaran ditutupi dengan uang. Jadi sampai saat ini, seperti itulah berita yang beredar."
"Kamu?" Wajah Aji terkejut bercampur sanksi. "Kamu yang begini jadi korban pemerkosaan?"
"Memangnya aku gimana?" balik Haris kalem.
Aji mengembangkan lengannya sambil mengamati tubuh Haris. "Bukan seperti orang yang mudah dipukul sampai pingsan--begitu. Hold on! Apa yang menjamin omonganmu itu benar? Nggak ada satupun bukti yang bisa menunjukkan kebenarannya."
"Mereka pakai obat bius," jawab Haris.
Aji terdiam, lalu ia mencondongkan tubuhnya ke arah Haris. "Sayangnya, itu tetap nggak bisa meyakinkanku. Listen to me, Haris. Aku punya teman-teman dengan orientasi seksual yang berbeda, dan beberapa dari mereka sanggup menikah hanya demi menutupi orientasi mereka. Hasilnya? Istrinya sengsara dan kesepian, si anak menderita karena nggak pernah lihat orangtuanya saling mengasihi. Sorry, tapi kamu berharap apa ke aku? Beritanya masif dan mereka punya bukti. I need to protect my sister."
Jeda lama menghiasi percakapan mereka. Keduanya beradu tatap hingga akhirnya Haris berkata, "Jenar tahu rumor itu. Dari awal kami bertemu, dia sudah tahu."
Aji terperangah. "Dia...apa? Terus, dia tetap mau kalian lanjut, begitu?"
Haris mengangguk. "Aku juga jujur kalau itu semua nggak benar. Aku korban di kejadian itu."
"Dan dia percaya?" Ketidakpercayaan Aji bertambah dalam. "Segampang itu dia percaya? Jenar benar-benar kena cinta buta!"
"Di luar konteks cinta buta atau bukan, Jenar mendengarkan alasanku," balas Haris.
"Terlalu mudah, Jenar itu. Tapi aku nggak bisa percaya semudah itu." Aji mendengkus. "Apa bukti yang kamu punya untuk mendukung pernyataanmu?"
"Namanya Idrus Rajendra," gumam Haris. "Ada beberapa berita kotor tentang dia yang gagal ditutupi keluarganya, meskipun aku yakin saat ini bakal sulit ditemukan. Orang yang berani berbuat sekotor itu, bisa melakukan apapun demi kepuasannya."
"Tetap saja aku butuh bukti tegas kalau kamu bukan seperti yang dituduhkan, bukan konklusi deduktif semacam itu. Hanya karena seseorang bertindak kotor, bukan berarti kamu pasti jadi korbannya," balas Aji. "Kalau cuma begitu pembelaanmu, mana bisa aku percaya? Di mataku, kamu abu-abu, Ris. Memang lebih baik kalian selesai."
Aji memainkan putung rokoknya, kemudian menghela napas panjang. "Aku nggak akan ngomong tentang skandalmu di keluarga besar. Putus saja, kalian putus saja dengan alasan orangtua yang nggak merestui. Aku harap kamu paham pandanganku. Nanti atau besok, datang ke rumah buat pamitan ke Bude sebagai itikad baik."
"Memang lebih baik kami selesai?" ulang Haris. "Lalu kalian akan memaksanya menikah dengan orang yang nggak dia suka?"
Aji yang sudah berjalan menjauh, kembali menoleh.
"Siapapun asal nggak bermasalah, itu lebih baik," balik Aji dingin.
"Itu sama menyiksanya, Ji. Dia masih butuh waktu berduka. Adakah dari kalian yang memahaminya?" tanya Haris tajam.
Tatapan keras Aji sedikit melunak. "Aku tahu. Dulu, itu juga salahku. Aku dukung Jenar kali ini meskipun keluarga besar akan mendesaknya habis-habisan. Tapi tentang kalian, itu hal lain. Aku tetap nggak bisa membiarkannya. So, please stay away from her."
Aji menepuk pundak Haris dan berjalan menjauh. Haris mengawasinya hingga Aji hilang dari pandangan, lalu duduk termenung di gazebo entah berapa lama.
"Ris."
Haris mengangkat wajah, dan mendapati Jenar sudah berdiri di depan gazebo entah sejak kapan. Ia memakai piyama yang dilapisi jaket. Kucir rambutnya melonggar hingga beberapa rambut beterbangan di sisi wajahnya. Matanya merah dan bengkak, kentara sekali habis--atau justru sedang menangis.
"Malam-malam ke sini?" tanya Haris. "Harusnya kamu istirahat di rumah, Jen."
"Ibuk pingsan," bisik Jenar tercekat. "Ibuk pingsan gara-gara aku, Ris."
"Sekarang?" tanya Haris terkejut. Aji tidak bilang apa-apa tentang kondisi Darla.
"Masih pingsan." Jenar terisak sambil mengusap wajahnya. "Kita berhenti aja, Ris."
Pikiran Haris berusaha menggabungkan informasi dari Aji dan Jenar, lalu ia berusaha menguasai diri.
"Sepertinya pacarku sedang sedih sekali." Haris turun. "Mau ke dalam?"
Jenar mengangguk, lalu meraih tangan Haris yang terulur.
"Tante sama siapa?" tanya Haris.
"Banyak. Ada--ada Pakde, Bude, saudara-saudaranya Ibuk. Harusnya aku juga di sana. Harusnya aku di rumah aja. Tapi--"
Jenar tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Gadis itu hanya merasa sangat sesak di dada. Haris tidak bertanya apa pun lagi sampai mereka masuk ke dalam unit kos Haris.
"Mau teh?" Haris menawari.
"Kopi, punya?" tanya Jenar parau.
"Hm. Mau?"
Jenar mengangguk. "Tanpa gula."
Gadis itu duduk di pojok ruangan, membiarkan Haris berlalu lalang di kamar kecil ini sebelum mengulurkan secangkir kopi hitam di hadapannya.
Gadis itu mencecapnya sedikit, lalu menghela napas panjang.
"Keluarga besarku datang." Jenar memulai. "Yang kamu temui tadi, itu saudara-saudaranya Ibuk. Kunjungan rutin mengingat keadaan Ibuk yang...begitu."
Jenar menyeruput sedikit kopi. "Tiba-tiba aja, mereka komentar tentang kita. Pakde minta ketemu keluargamu. Semuanya jadi merembet ke mana-mana dan aku...kelepasan. Terus Ibuk pingsan."
Jenar menunduk dalam hingga rambutnya menjuntai. Kala ia kembali menatap Haris, ia menangis lagi. "Padahal, aku mencoba buat ngomong apa yang aku mau. Untuk pertama kalinya, aku ngomong pendapatku tentang pernikahan. Tapi ternyata Ibuk malah pingsan. Jadi aku nggak bisa lanjut, Ris. Perjanjian kita sampai di sini aja. Kasihan ibuku kalau lama-lama."
"Ayo bertemu ayahku, kalau gitu," sahut Haris cepat.
Jenar menggeleng lemah. "Mana bisa, Ris? Aku nggak mau bohong lebih banyak lagi. Aku--kita berhenti saja sebelum kebohongan ini jadi lebih besar lagi. Aku udah nggak sanggup, ini terlalu berat buatku."
"Aku bisa bantu kamu meyakinkan pakdemu. Ayo ke rumahmu sekarang," Haris berdiri, namun Jenar bergeming. Gadis itu justru menyeruput kopinya lagi.
"Ibuk juga sependapat. Dia minta kamu nggak ke rumah lagi," gumam Jenar berat. "Ibuk...aku nggak mau kamu dengar omongan nggak enak dari Ibuk dan keluargaku. Pakdeku bisa jahat sekali kalau bicara."
Jenar kembali meneguk kopi demi menyembunyikan matanya yang kembali memburam.
"Mungkin ini teguran dari Tuhan, iya kan?" gumam Jenar tercekat. "Bohong itu nggak baik, apalagi bohong ke orangtua. Dari awal, rasanya memang udah berat banget. Aku...cuma berharap aku punya waktu untuk meyakinkan keluargaku kalau pernikahanku, itu bukan jalan keluar untuk apapun. Aku pikir perjanjian kita bakal memberi waktu buat itu tapi...tapi nyatanya tetap nggak bisa. Ini udah berapa lama, coba? Ini udah terlalu lama."
"Aku nggak keberatan. Kita bisa berusaha lebih keras lagi. Aku bantu bicara ke mereka, hm?" Haris kembali duduk menghadap Jenar. "Atau aku saja. Sejauh ini, semua keraguan keluargamu bisa diatasi. Jadi ayo kita coba lagi."
Jenar menggeleng putus asa. "Nggak usah. Aku juga udah lelah. Memangnya kamu nggak mau berhenti aja? Toh masalah Hanna udah jelas, tinggal tunggu waktu sebelum dia balik ke kamu--"
"Nggak ada hubungannya sama Hanna, Jen. Aku memang belum mau berhenti," ucap Haris. "Ayo kita ngomong ke keluargamu."
Jenar tergugu sejenak. Ditatapnya mata lelaki itu sebelum ia menunduk.
"Ibuk rasa Pakdemu benar. Haris baik, tapi dia memang kurang menunjukkan niatnya untuk menikahi kamu, Nar."
"Ibuk takut nggak punya banyak waktu. Tolong, Ibuk kepingin lihat kamu nikah, Nduk."
Ucapan Darla terngiang di telinga, pun dengan suaranya yang gemetar, ekspresinya yang penuh kecewa, dan kesedihan mendalam di sorot matanya.
"Aku cuma punya Ibuk," gumam Jenar seraya menatap pantulan wajahnya sendiri di permukaan kopi. "Setelah Bapak sama Masku nggak ada, cuma Ibuk yang tersisa buatku. Aku nggak mau ibukku kenapa-napa. Aku udah berusaha sampai...sekotor ini. Tapi toh nyatanya tetap nggak bisa juga."
Jenar menyeruput kopinya dengan bibir gemetar. "Lagipula kalau dipikir-pikir, apa susahnya nikah sama orang lain, ya nggak? Cuma ada Putra buatku. Terserah si cowok itu bakal ngapain, tugasku cuma jadi istri yang baik saja. Toh, perasaanku sepenuhnya udah berhenti di Putra. Ya kan, Ris?"
Jenar mendongak saat Haris tetap diam.
"Iya, kan?" desak Jenar tercekat. "Omonganku benar, kan? Nikah toh cuma...begitu. Harusnya nggak berat, kan? Haris, bilang sesuatu!"
Jenar terisak kecil saat Haris hanya diam sambil menatapnya.
"Begitu keputusanmu?" celetuk Haris. "Gimana kalau di tengah jalan, perasaanmu justru mulai tumbuh?"
"Nggak akan," jawab Jenar. "It feels like cheating, Haris. Kamu tahu seberapa uncomfortable-nya perasaan itu? Mikirin orang lain secara khusus sementara kita udah punya pasangan pun, rasanya nggak enak. Merasa bersalah banget, ya nggak?"
"It feels like cheating," ulang Haris. "It feels like cheating, ataukah kamu mungkin memang udah merelakan masa lalu dan menerima saat ini?"
Jenar menggeleng cepat. "Nggak mungkin. Nggak akan."
"Lalu, di mana kalungmu?"
Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja kalungnya di si--
Racauan Jenar berhenti saat jemarinya tidak menemukan apa-apa di leher. Lehernya telanjang. Mata Jenar membulat panik dan wajahnya pias.
Jenar langsung berdiri. "Hilang di mana--"
Jenar terpaku saat Haris mengulurkan kalungnya. Gadis itu cepat-cepat meraihnya. Tampak kelegaan besar terpancar di wajah gadis itu.
"Thank you, Ris." Jenar menggenggam bandul kalung yang kini sudah terpasang di lehernya.
"Sepertinya memang belum bisa."
Celetukan Haris membuat Jenar menoleh. "Apanya?"
Haris menggeleng. Ia menatap kalung itu sejenak, lalu bertanya, "Kenapa bisa lupa hal sepenting ini?"
"Aku...capek banget hari ini dan kalungnya udah nggak rapet. Paling tadi jatuh atau--"
"Kalungmu udah lepas sejak di bis tadi, Jen. Dan kamu nggak pernah menyadarinya?"
Jenar menggenggam kalungnya. Keterkejutan melintas di mata gadis itu, bercampur dengan kebingungan dan rasa takut yang mulai menyelusup. "Udah aku bilang, aku capek banget hari ini. Makasih udah disimpan baik-baik."
Haris tidak menjawab. Lelaki itu hanya diam seraya menatapnya dengan sorot yang membuat Jenar risih hingga gadis itu berpaling. Kemudian, Haris menghela napas panjang.
"Jadi, pacarku berencana mempermainkan pernikahan," ucap Haris kemudian.
Jenar tertawa pedih. "Aku udah berusaha menjelaskan dari awal, tapi sia-sia saja. Lagipula, siapa yang peduli aku main-main atau nggak? Yang penting ibuku bahagia, keluargaku nggak rusuh lagi, dan aku bahagia karena Ibuk bahagia. Semua orang happy."
"But you're not," gumam Haris, yang membuat tawa Jenar berhenti.
"Memangnya siapa yang peduli?" balik Jenar pahit.
"Aku peduli." Haris berdiri dan meraih jaketnya. "Ayo. Kita perlu bicara sama keluargamu."
"Nggak perlu. Kamu mau ngomong apa sih ke mereka? Ibuk dan yang lain minta pertemuan keluarga besar. Itu nggak mungkin!" kata Jenar.
"Apa pun. Apa pun yang bisa kasih kamu waktu untuk memberi pengertian ke keluargamu dan bikin kamu nggak ambil keputusan gila," ucap Haris tajam. "Pernikahan bukan hal yang bisa dipermainkan. Kalau memang kamu memutuskan untuk menikah, do it properly."
"Aku tahu, kok. Tapi memangnya aku punya pilihan?"
"Then, let me help you. Ayo ngomong ke mereka." Haris mengulurkan tangan.
Jenar mendengkus. "Menurutmu hasilnya akan berbeda?"
"Kita harus mencoba. Masalah utamanya bukan di kamu, Jen. Tapi di pemahaman kalau pernikahanmu adalah hal wajib untuk membahagiakan ibumu. Tante Darla punya banyak alasan untuk bahagia. Kita bisa membantunya memahami itu," ucap Haris.
Kalimat Haris membuat Jenar terdiam. Seketika, bayangan akan menghabiskan hidup sendirian seraya memoles setiap kenangannya dengan Putra tampak begitu menggiurkan. Maka, Jenar pun meraihnya.
"Boncengan aja. Kasihan kakimu. Atau mau pinjam mobilnya Sinar?"
Jenar menggeleng. "Boncengan aja."
Jenar mengikuti Haris, mendadak merasa sedikit yakin bahwa mungkin saja, hasilnya bisa berbeda kali ini. Ia merasa sangat bersalah pada Darla, tapi dia juga tidak ingin menyerahkan hak hidupnya kepada siapa pun. Jenar belum rela. Maka--
Jenar berhenti saat perutnya berbunyi keras sekali.
"Kamu belum makan?" Haris mengerutkan kening. "Sejak kamu sampai rumah tadi?"
Jenar menggeleng. "Bahasan di rumah langsung begitu. Memangnya sempat kepikiran makan?"
Wajah Haris berubah galak, namun lelaki itu segera menghela napas.
"Maaf. Gimana kalau kita makan dulu?" ajak Haris.
Jenar terdiam, tercabik antara khawatir tentang Darla dan masih ingin kabur dari rumah. Akhirnya, ia mengirimkan pesan pada Aji seraya mengabaikan puluhan pesan dan missed-call dari sepupunya itu.
[Udah bangun. Udah baik-baik aja. Kamu kapan pulang??]
Jenar mengembuskan napas lega. Ia menyimpan ponselnya tanpa membalas Aji. Tiba-tiba saja, perutnya terasa begitu lapar.
"Ibuk udah nggak apa-apa." Jenar berdeham. "Ayo cari makan."
"Perutmu nggak perih? Kamu tadi minum kopi hitam, Jen," tanya Haris.
"Perutku kuat, kok," sahut Jenar lirih.
"Tapi tetap saja..."
Jenar melirik Haris yang mengomel rendah tentang kopi hitam yang tidak baik dikonsumsi saat perut kosong. Jenar hanya cemberut, tapi tidak menyahut. Dia sedang mereguk rasa aman dan nyaman yang selalu datang setiap kali ada Haris di dekatnya.
Dia yakin, nanti pasti akan baik-baik saja.
===
Jenar bahkan belum melepas helmn kala lengkingan pedih terdengar dari dalam. Itu Darla. Jenar buru-buru masuk, namun seseorang keburu keluar rumah.
Itu Hanna.
Gadis itu menatap Haris dan Jenar dengan senyum ganjil dan kepuasan yang membara.
"A cheater, kamu bilang?" Hanna berbisik saat ia melewati Jenar. "Tapi kamu nggak lebih dari seorang pembohong besar, Jen. Bahkan orangtuamu saja kamu bohongi."
Jenar membeku. Pikirannya macet. Segala macam rasa takut kini menjelma jadi kebas.
"Hanna." Haris mencekal lengan Hanna. "Ada urusan apa kamu di sini?"
"Oh, hanya menyampaikan kebenaran." Hanna mengangkat bahu. "Laki-laki dan perempuan tanpa status nggak boleh berduaan di kosanmu kayak tadi, Ris. Pintunya pun ditutup. Bahaya. Tapi apa yang aku dengar nyatanya lebih berharga."
Kami tadi menutup pintunya, batin Jenar terbata. Dia sadar isakan dan racauannya tadi terdengar keras. Dia sedang kalut. Tapi seharusnya pintu kamar Haris cukup untuk memblokade apapun, tolong...
"Jadi begitu rupanya." Hanna berkata. "Dari awal, aku nggak percaya kalau kamu bisa beralih secepat itu, Ris. Aku benar, kan? Tapi kenapa kamu harus ikut rencana bodoh begini?"
Ha. Ha. Tentu saja tidak mungkin. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pintu tipis yang bahkan punya celah bawah sebesar lima senti?
Lagipula, harusnya Jenar tahu bahwa kebenaran tidak akan pernah bisa bersembunyi selamanya. Suatu saat nanti, kebenaran itu akan terungkap lewat dua cara: dikatakan sendiri, atau dibuka oleh Semesta.
Dan sepertinya, Semesta sudah gerah pada gadis durhaka yang senang berbohong pada orangtuanya.
===TBC===
Haii, selamat pagi, selamat hari Jumat. Terima kasih telah membaca 💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top