Before A Kiss | 21

"Lho, mati?"

Jenar melirik Hanna yang berjalan di belakangnya. Gadis itu tampak mengetuk headlamp-nya yang tiba-tiba mati.

"Sini deketan aku aja," tawar Mahira baik hati.

"Sebentar. Ris? Kamu biasanya bawa baterai cadangan, kan? Boleh pinjam?" Hanna menyambangi Haris yang berjalan paling belakang.

Untuk sementara, rombongan terhenti. Jenar memutar bola mata dan memperbaiki sarung tangannya. Mereka melanjutkan perjalanan ke puncak pukul empat pagi. Udara sangat dingin menusuk, dan Jenar tidak bisa melihat apa pun di luar sorotan head lamp-nya.

Seperti yang sudah bisa diduga, Hanna dan Shanum diikutkan dalam rombongan Ergan. Itu berarti, Jenar harus menyudahi kedamaiannya karena akan menyaksikan tingkah polah sepasang mantan kekasih yang gagal move-on.

Tapi sepertinya ancaman Rion berhasil. Sejak semalam, Hanna tampak menahan diri meskipun ia tetap curi-curi pandang ke arah Haris. Sekali dua kali, dia mendekati Haris saat Jenar jauh, tapi hanya itu. Sementara Haris sendiri tampak lempeng dan menanggapi Hanna apa adanya.

Sekali lagi, dedikasi Haris untuk menahan diri perlu diapresiasi.

Hanna kembali dengan headlamp yang sudah menyala. Ia melirik Jenar dingin sebelum mengacungkan jempol pada Ergan. Perjalanan pun berlanjut.

"Berhenti jadi manusia menyebalkan, Nar," gumam Hanna tiba-tiba.

"Sorry?"

"Aku tahu kamu jadi mata-matanya Rion," ucap Hanna yang sedikit menyamai langkah Jenar. "Jadi, berhenti ngomong yang nggak-nggak ke dia. Berhenti jadi orang yang menyebalkan. Paham?"

"Oh, ngapain aku jadi mata-matanya Rion? Toh kalau ada apa-apa, nanti juga pasti ketahuan sendiri," sahut Jenar, yang berkonsentrasi pada jalanan. "Mending kamu fokus deh. Jalannya nggak terlalu enak buat sisihan."

Hanna mendengkus. "Dinasehati sama newbie, great."

"Kecuali kamu memang sengaja kepleset biar digendong Haris, tolong stay di barisan. Si newbie ini butuh konsentrasi," tukas Jenar jengkel.

"Memang. Cuma anak baru yang harus aware sama Merbabu. Buatku, Merbabu cuma kerikil kecil. Jadi pastikan kamu nggak bikin masalah," sahut Hanna sebelum kembali ke barisan.

Sabar, Jenar. Orang sabar disayang Tuhan. Jenar menghirup napas dalam-dalam demi meredam keinginan sparring dengan Hanna. Sebab dia memang perlu berkonsentrasi agar tidak tepeleset tanah basah atau terlilit belukar.

Namun selain itu, Merbabu terlalu indah untuk dilewatkan. Seiring dengan puncak yang makin dekat, sinar matahari mulai terlihat. Nun jauh di sana, gunung-gunung lain tampak berdiri megah sementara kota manusia menyusut bagai hamparan batu di dasar telaga. Kabut melayang tipis di atasnya, menyamarkan kaki gunung, menambah rasa magis.

Puncak tinggal beberapa meter saja saat pekikan keras membuat rombongan berhenti. Hanna terpeleset dan jatuh terduduk dengan posisi kaki yang janggal. Mahira dan Edo buru-buru membantu, sementara Haris berlari dari posisi paling belakang.

"Kesleo ya?" Ergan menyambangi. "Diperiksa dulu, coba."

"Iya. Sepertinya kesleo," jawab Shanum cemas setelah serangkaian anamnesa cepat. Sementara Hanna sendiri meringis kesakitan hingga wajahnya memerah.

"Spray, Do," pinta Haris sebelum berjongkok dan menyemprotkan analgetik di pergelangan kaki Hanna.

"Bisa jalan?" tanya Ergan.

Hanna mencoba menapak, lalu mengeriut kesakitan.

"Oke." Ergan berkacak pinggang. "Ris, Hanna sama lo. Do, ganti jadi sweeper. Nggak apa-apa kan, Nar?"

"Ap--oh...umm, selama dia oke, aku nggak masalah. Dia habis dari RS, maksudku," jawab Jenar buru-buru.

Ergan menepuk jidat. "Iya. Ya udah. Do, kuat nggak?"

Edo, yang berpostur kurus kecil mengangkat bahu. "Coba sini. Gantian sama kamu nanti, Gan."

"Nggak masalah. Aku oke," sahut Haris.

"Yakin?" Ergan mengerutkan kening.

"Daripada kelamaan, Gan. Sini!" sahut Haris cepat.

"Oke. Yuk lanjut!" Ergan menepuk pundak Jenar sebelum kembali memimpin.

Di belakang sana, Haris berjongkok agar Hanna bisa meraih punggungnya. Jenar langsung berpaling dan mengikuti Ergan.

Tidak, tidak. Jenar tidak boleh sebal. Dilihat dari ekspresi Hanna, gadis itu sangat kesakitan. Tidak mungkin jatuhnya disengaja. Jenar berusaha fokus pada langkahnya hingga sesaat kemudian, mereka sampai puncak.

"Puncak guys!" seru Ergan sambil menghadapi mereka dengan cengiran lebar. "Welcome to Kenteng Songo, again!"

Di antara napas yang mulai terampas, Jenar tersenyum puas. Di depan mereka tampak papan penanda puncak Kenteng Songo yang menjadi obyek foto-foto banyak pendaki yang lebih dulu tiba.

"Bagus, ya." Shanum melingkarkan tangan di pundak Jenar sambil mengulum senyum. "Gimana rasanya?"

"Sedikit capek, sih," jawab Jenar nyengir.

Senyum Shanum melebar. "Tenagamu oke juga."

"Udah biasa keliling kecamatan, Num," gurau Jenar.

Shanum terkekeh, lalu menunjuk. "Yang di sana, itu Merapi. Terus yang kembar itu, Sindoro sama Sumbing. Kalau yang tiga itu, Ungaran, Andong sama Telomoyo."

Jenar menyimak. "Kamu udah ke sana semua itu?"

Shanum mengangguk. "Gunung-gunung itu memang common buat kami. Next trip, mau ikut lagi?"

"Kemana?" tanya Jenar antusias.

"Anak-anak ngebahas mau ke Salak, tapi belum bisa dipastikan. Besok aku kabari lagi. Ngomong-ngomong, Haris udah nganggur tuh!" Shanum mengedipkan sebelah mata dan pergi kala Haris berjalan menuju ke arahnya, sendirian.

Jenar membuang wajah, merasa sebal sekali. Kala aroma parfum Haris tercium, level kesebalan Jenar makin tinggi.

"Baik-baik aja?" tanya Haris.

"Hm. Hanna ditinggal sendiri?" tanya Jenar datar.

"Sama Mahira."

Jenar melirik Haris enggan. "Kamu oke? Pada beberapa orang, covid kadang ninggalin jejak permanen. Aku yakin kamu udah dijelaskan tentang ini."

Haris mengangguk. "Sejauh ini, kondisiku baik-baik aja. Kenapa? Pacarku khawatir?"

"Tolong lebih perhatian sama kondisimu, Ris. Covid bukan hal sepele," geram Jenar.

"I do, Jen. Aku beneran ngerasa baik-baik aja," sahut Haris.

Jenar melirik Haris. Selain keringat yang membasahi rambutnya, kondisinya memang terlihat prima.

Mau foto bareng nggak?"

"Buat apa?" sahut Jenar ngeri.

"Ditunjukin ke Tante, kan?" Haris mengangkat alis. "Ayo foto berdua, Jen."

"Oh, betul betul." Jenar memperbaiki penampilannya. "Udah. Tapi, jangan di sini. Di sana aja, Ris! Background-nya bagus."

Jenar menggamit tangan Haris dengan antusias menuju spot pilihannya, lalu merapikan rambut. "Di sini."

Haris mengatur ponselnya di atas batu dan berlari ke arah Jenar.

"Berapa detik?" tanya Jenar. "Eh, kenapa?"

Haris menurunkan tangannya dan menggeleng. "Rambutmu terbang-terbang di jidat. Aku atur ulang lagi. Tadi udah keburu take."

Dan Haris berlari-lari kecil menuju ponselnya.

"Kurang lama lho, Ris!" tukas Jenar kala lelaki itu masih mengutak-atik kameranya. Lelaki itu nyengir kecil sebelum meletakkan ponselnya dan kembali.

"Yang ini beneran. Lima detik," ucapnya.

Mereka mengambil banyak foto berdua. Setelahnya, Ergan mengajak foto mereka semua hingga Jenar menepi karena kelelahan. Rambutnya terkucir tidak keruan karena angin yang menderu. Gadis itu menggerigiti sisa ubi rebus sambil selonjoran di tanah, mengamati batu-batu berbentuk lumpang yang diberi tali pengaman.

"Ubinya masih ada?" Haris ikut duduk di sampingnya.

"Nih." Jenar memberikan ubi terakhirnya. "Batunya kenapa begitu?"

"Oh itu. Itu namanya lumpang atau kenteng," kata Haris kalem. "Jumlahnya sembilan, makanya diberi nama Kenteng Songo."

"Woah. Itu alami?" tanya Jenar tertarik.

Haris menggeleng. "Kenteng-kenteng ini termasuk artefak kuno. Kemungkinan pernah digunakan buat ritual zaman dulu."

"Di puncak gunung?" Jenar mengerutkan kening.

"Banyak situs keagamaan kuno ditemukan di dataran tinggi, Jen. Gedong Songo di Semarang contohnya. Juga ada candi-candi kecil di Gunung Ungaran," jelas Haris.

Jenar mengangguk paham. "Kamu banyak tahu soal hal beginian, ya."

"Jam terbang?"

"Mungkin," sahut Jenar seraya tertawa kecil.

"Kita turun sekarang ya. Keburu panas." Ergan memeriksa arloji dan mengumpulkan mereka. "Cek barang dan kawan. Udah oke? Do, udah? Okay, kita turun guys!"

"Oke?" Haris berdiri lebih dulu dan mengulurkan tangan pada Jenar, yang disambut gadis itu.

"Oke. Masih ngegendong Hanna?" tanya Jenar.

Haris mengangguk. "Mau digendong juga?"

Jenar menabok bahu Haris dengan segenap jiwa. Lelaki itu membalas dengan mengacak rambut Jenar yang sudah acak-acakan.

"Ris, ck!" tukas Jenar gusar saat rambutnya menutupi wajah.

Haris terkekeh. "Hati-hati, Pacar."

Jenar mengawasi kepergian Haris dengan menggerutu. Gadis itu merapikan penampilannya dengan cepat dan segera ikut dalam barisan.

Meskipun ia kembali sebal saat melihat Hanna yang bertengger nyaman di punggung Haris, Jenar menyambut perjalanan turun mereka dengan antusias.

===

"Ayo, Nar!" Mahira menarik tangan Jenar, namun gadis itu menahannya sambil melongok ke belakang.

"Haris belum kelihatan, Ra," gumam Jenar.

Mahira ikut melongok. "Itu dia. Do! Ris! Cepetan deh!"

"Nggak kelihatan, Ra." Edo nyengir. "Udah, yok lanjut! Jangan kepisah sama yang lain! Yok yok jalan!"

"Oke?" tanya Haris seraya menatapnya lekat.

Jenar mengangguk. "Kamu?"

"Aku oke, Jen. Jangan panik. Konsentrasi ke Shanum," ucap lelaki itu.

Jenar mengangguk lagi. Mereka mempercepat langkah dan nyaris bertabrakan dengan Shanum.

"Tenang, tenang," ucap Ergan. "Headlamp masih pada waras? Bagus! Ayo jalan lagi! Stay close, guys." 

Selang satu jam setelah mereka turun, kabut tebal pun ikut turun. Sebegitu tebal hingga sinar matahari tertutupi dan jarak pandang mereka terbatasi. Rasanya gelap, padahal Jenar tahu hari masih pagi. Suhu turun drastis, membuat telapak tangan dan kulit wajah Jenar hampir mati rasa.

Suara samar terdengar bersahutan entah dari mana. Deru angin ataukah suara rombongan lain, Jenar tidak tahu. Sesekali tangannya tergores belukar dan kakinya tersandung, namun ia tidak bisa melihat jalan maupun sekitar dengan jelas.

Jenar mempercepat langkah, khawatir kehilangan Shanum yang makin samar dalam kabut. Hingga tiba-tiba, Jenar terperosok. Tubuhnya meluncur bebas hingga kakinya membentur batu dengan keras. Gadis itu berusaha meraih tepi jalan meskipun ia terperosok hingga dada.

"Astaga! Gan berhenti! Jenar jatuh!" pekik Mahira panik. "Nar, mana yang sakit? Ada yang nggak bisa gerak?"

"Oke oke--kok..." Jenar merintih saat kulitnya terasa perih di sana sini. "Ng--cuma kakiku rasanya sakit banget."

"Bisa digerakin?" Ergan menghampiri dengan tergesa.

Jenar mencoba menggerakannya. Berhasil, namun nyeri luar biasa hingga Jenar mau menangis.

"Kesleo juga kayaknya. Sini Nar." Shanum mengulurkan tangan. Bersama dengan Ergan dan Mahira, mereka berhasil menarik Jenar hingga gadis itu duduk tersungkur. Celananya robek dan kakinya berdarah.

"Nggak dalam, kok." Shanum menenangkan. Gadis itu mengeluarkan perban dengan cekatan.

"Kepleset." Mahira berkata pada Edo, Haris dan Hanna yang baru datang.

Hanna melongok lewat bahu Haris dengan ingin tahu. "Kesleo juga kayaknya. Sama kamu aja, Gan. Cuaca makin nggak bagus--Ris? Aw!"

"Sorry," kata Haris yang baru saja menurunkan Hanna.

"Tapi kakiku masih sakit!" protes Hanna. "Jenar bisa sama Ergan atau Edo. Iya kan?"

Ergan menggaruk rambutnya dengan canggung. "Kayaknya sih nggak boleh. Kamu aja sini yang aku gendong!"

Hanna protes, tapi Jenar tidak peduli. Sejujurnya, dia tidak peduli obrolan tidak penting yang baru saja terjadi. Dia masih syok dengan kenyataan bahwa dia bisa saja jatuh lebih dalam ke bawah sana.

"Gimana, Num?" Haris ikut memeriksa.

"Sejauh ini nggak ada yang serius, tapi nanti coba cek lagi di pos. Jenar kayaknya masih syok." Shanum meringis. "Nih udah. Yakin masih kuat?"

Haris mengangguk. "Jen?"

Jenar mengerjap dan menoleh.

"Pulang?" Haris mengulurkan tangan.

Jenar mengangguk. Gadis itu melingkarkan lengan di leher Haris tanpa banyak pikir. Mengejutkan bagaimana rasa hangat dan aroma parfum samar milik Haris membuat syok-nya berkurang.

"Aku berat Ris. Sorry," gumam Jenar lirih setelah beberapa saat mereka kembali berjalan.

"Such a good thing you are heavy, Jen. It is prove that you're here," balas Haris datar. "Tolong, lain kali kalau aku bilang nggak aman, jangan maksa ikut muncak."

Jenar cemberut. "Marah, Ris?"

"Sedikit."

Jenar tambah cemberut dan tidak berani berkata apapun setelahnya. Hingga mereka beristirahat di pos pun, Jenar tidak berani menatap Haris secara terang-terangan.

"Bengkak," gumam Haris yang memeriksa kaki Jenar. "Ada sakit di bagian lain, nggak?"

Jenar menggeleng kaku. "Ng--nanti aku sama Shanum aja nggak apa-apa. Jalan sedikit-sedikit pasti bi...sa."

Jenar menciut saat tatapan Haris menajam.

"Cuaca nggak mendukung, Jen. Jauh lebih efektif kalau kamu digendong. Kita butuh sampai di basecamp secepat mungkin demi menghindari kemungkinan terburuk, salah satunya hipotermia. Dan apa? Jalan? Mau sebengkak apa lagi kakimu, Pacar?"

"Gi--gitu ya?" Jenar mencicit. "Ng...tapi kamu baik-baik aja? Maksudku, aku berat. Dan...umm--aku nggak keberatan kalau minta tolong Ergan atau Edo--"

"Aku yang keberatan. Kamu tanggung jawabku, Jen. Case closed, oke?"

"O--ke," sahut Jenar terbata.

Haris menahan tatapan galaknya selama beberapa saat, lalu menghela napas panjang. Kali berikutnya Haris menatap Jenar, sorot matanya lebih hangat. Ditepuknya pelan kepala Jenar. "Mau sampai kapan bikin jantungan, Pacar?" 

"Jantungan dibilang," Jenar mencuri lirikan. "No need to go this far, huh?"

Lelaki itu terdiam sejenak sebelum berkata, "You, also no need to go that far when I got Covid, Jen. You confuse me, Jenari. Are you still standing at that crossroad?"

Jenar terpaku. Untuk sesaat, tatapan teduh Haris membuatnya takut. Tangannya melayang ke leher secara otomatis, dan panik melanda kala lehernya telanjang.

"Haris! Aku harus--"

"Ini." Haris mengulurkan kalungnya. "Jangan panik, Jen. Kita masih perlu fokus untuk sampai bawah."

Haris tersenyum samar dan berbalik, meninggalkan Jenar yang tergugu di pojok pondok. Gadis itu mengawasi punggung Haris yang sedang berbicara dengan Ergan, lalu menatap kalung yang sedikit basah di tangannya.

====

Hujan turun kala mereka nyaris mencapai basecamp. Hanya Haris, Shanum dan Ergan yang tidak menggigil. Bibir Hanna dan Jenar bahkan sampai membiru. Butuh beberapa waktu sampai rombongan lengkap dan kembali ke Yogyakarta hari itu juga.

Tapi selain itu, sisa hari berlangsung normal. Termasuk Haris. Setelah omongan membingungkannya tadi, Haris tidak bicara aneh-aneh lagi. Dia bahkan mengantar Jenar pulang dan bertemu dengan keluarga besar Jenar.

Tapi, respon Darla membuat Jenar heran. Untuk pertama kalinya, Darla tidak antusias kala bertemu Haris. Ibunya bahkan cenderung dingin kala Haris berpamitan dengannya.

"Ibuk sehat?" Jenar berbisik kala mereka semua berkumpul di ruang tamu. Aji bahkan bermain gitar di teras sambil bernyanyi heboh.

"Hm. Mana lagi yang luka?" tanya Darla.

"Cuma ini aja, kok," jawab Jenar sambil mengoleskan salep pada pergelangan kakinya yang masih bengkak. 

"Bocah begitu yang kamu percaya, Darla?" Rustam berdecak. "Dan kamu ini gimana to Nar, Nar. Pergi bareng bocah lanang begitu, naik gunung pula. Darla, kamu harusnya lebih menjaga putrimu!"

"Pakde, ini aku nggak kenapa-napa, lho," sahut Jenar buru-buru. "Aku justru dijaga Mas Haris selama di gunung. Dia bahkan ngegendong aku sepsro perjalanan turun karena kakiku bengkak."

Rustam menggeleng. "Nggak elok anak wadon main jauh cuma berdua begitu, Nduk. Pacarmu yang dulu jauh lebih sopan."

"Aku sendiri yang mau ikut, Pakde. Bukan paksaan," sahut Jenar tidak terima. "Dan kami nggak cuma berdua. Ada banyak teman juga."

"Wis, wis. Nggak suka Pakde. Dan kamu bahkan belum pernah ketemu orangtuanya si Hafis ini kan, Nar?" tanya Rustam dengan suara menggelegar.

"Haris, Pakde." Jenar berusaha tersenyum. "Belum. Kami masih perlu banyak waktu--"

"Nggak, nggak. Bukan begitu, Nduk. Pacarmu itu cuma main-main sama kamu. Pakde tadi tanya, dan jawaban dia muter-muter nggak keruan." Rustam membenahi kacamatanya. "Sudah hampir dua bulan dan nggak ada progres, memangnya kalian masih bocah? Seharusnya kalian sudah lebih serius. Darla, pacarnya Jenar ini cuma pembohong. Seorang pria nggak akan butuh waktu lama untuk mempersunting perempuan yang dia kasihi. Ini? Dikenalkan saja belum. Jelas anak nggak benar itu!"

"Pakde, bukan begitu. Tapi kami--"

"Sudah aku bilang padahal, Mas," tumbrung Rumi. "Harusnya Haris nggak selama itu buat membawa keluarganya ke sini, atau ajak Jenar ke keluarganya. Sekadar kenalan gitu kan, nggak masalah. Tapi Jenar bilangnya butuh waktu lah, yang ini itulah! Kamu itu nggak ngerti banyak lelaki bermulut manis, Nar. Nasibmu baik karena Putra dulu orang baik!"

Jenar menghela napas panjang demi menahan perih di dada. Gadis itu menggenggam tangan Darla yang sudah dingin. Ibunya hanya diam sambil menunduk. Ini jelas bukan hal bagus.

"Pakde Bude nggak perlu khawatir. Nanti kalau waktunya tiba, kami juga pasti akan kenalan, kok," sahut Jenar.

"Kelamaan!" Rustam melambaikan tangan. "Putus aja, Nar. Nggak baik pacarmu itu!"

"Bude setuju," sahut Arifa, istri Rustam. "Kami menawarkan banyak kandidat yang lebih baik sama kamu. Paling nggak, kami bisa menjamin mereka bagus bibit bebet bobotnya karena kami kenal keluarganya. Kamu kok malah pilih lelaki nggak jelas gitu sih, Nar? Kasihan ibumu jadi banyak pikiran."

Bibir Jenar sudah kelu, namun Rustam kembali berdecak.

"Darla, aku kurang setuju kalau Jenar sama si Haris Haris ini. Penampipannya urakan, sikapnya nggak jelas. Nggak niat itu anak!" tukas Rustam. "Sudahi saja, Nduk. Coba kamu perhatikan usulan kami. Pasti ada satu dua yang cocok untuk kamu."

"Pakde, tapi aku--"

"Ibuk rasa Pakdemu benar," sahut Darla lirih. "Haris baik, tapi dia memang kurang menunjukkan niatnya untuk menikahi kamu, Nar."

Jenar menatap Darla dengan memohon, namun Darla menggeleng kecil sambil memejamkan mata. Napasnya mulai cepat dan ia menggenggam tangan Jenar dengan erat. Jenar meraih ibunya dengan sigap, berusaha menenangkannya meskipun ia sendiri merasa terguncang.

"Ibuk takut nggak punya banyak waktu." Suara Darla gemetar. "Tolong, Ibuk kepingin lihat kamu nikah, Nduk."

"Ibuk, tapi nggak bisa begini juga," sahut Jenar sehati-hati mungkin. "Pakde, Haris orang baik. Tinggal menunggu waktu sebelum keluarga kami bertemu satu sama lain. Kami semua baik-baik saja sebelum ada prasangka yang nggak baik seperti ini."

"Prasangka nggak baik bagaimana? Kalian sudah seharusnya ada di usia serius untuk menikah. Dua bulan tanpa progres apapun? Cowokmu perlu dipertanyakan!" hunjam Rustam tak kalah keras kepala.

"Kami punya pertimbangan sendiri, Pakde. Yang namanya pernikahan harus dipikirkan matang-matang," balas Jenar yang masih mempertahankan kesopanan.

"Saling bertemu dengan keluarga masing-masing nggak ada salahnya. Justru kalian bisa lebih tahu satu sama lain," balas Arifa. "Haris sering bertemu Darla. Sudah sepantasnya kamu juga bertemu orangtua Haris, Nar. Begitu seharusnya tahap-tahap perkenalan kalian."

"Kalau sampai minggu depan belum ada progres, sudahi saja, Nduk. Cuma cowok berengsek itu." Rustam membenahi kacamatanya. "Masih banyak pria lain yang lebih baik dari dia."

"Pakdemu benar," ucap Darla berat. "Ini terlalu lama. Ibuk juga yang salah. Mulai besok, Haris nggak perlu ke sini, Nduk."

"Ibuk, tapi bukannya Ibuk suka Mas Haris?" balik Jenar. "Dia orang baik kan, Buk?"

"Ibuk lebih butuh lelaki baik yang mau menikahi kamu sesegera mungkin." Darla mengusap pipi Jenar dengan lembut. "Ibuk mau lihat kamu nikah sebelum Ibuk mati, Nduk. Biar Ibuk tenang."

"Betul, Nar. Dengarkan ibumu. Jangan egois. Bulik juga suka Haris, tapi makin ke sini makin nggak jelas. Semacam cuma main-main sama kamu," sahut Rumi seraya mengunyah biskuitnya.

Semua sanggahan yang hendak Jenar katakan, kini tersangkut di ulu hati. Gadis itu menatap Darla, lalu Rumi, lalu seluruh keluarga yang masih bercengkrama lirih. Beberapa dari mereka saling berkomentar sambil memakan biskuit dan kue kering.

Tampak ringan sekali.

"Nggak ada yang tanya pendapatku, ya?" tanya Jenar lirih.

"Memangnya apa pendapatmu?" sahut Rustam. "Mau mempertahankan Haris karena cinta? Tipikal anak muda. Pakde berusaha melindungi kamu dari pria-pria nggak baik, Nduk."

"Gimana kalau aku nggak nikah aja sekalian? Enak, kan? Aku nggak perlu bergantung sama laki-laki, jadi nggak perlu pusing mikirin mana yang baik mana yang nggak baik."

"Jenar! Omongan apa itu?" bentak Rustam.

"Omongan yang realistis," sahut Jenar gemetar. "Memangnya kandidat dari Pakde Bude sudah pasti lebih baik daripada Haris? Bagaimana kalau ternyata salah satu dari mereka jadi suami yang nggak baik buatku? Memangnya ada yang menjamin kalau aku sudah pasti bahagia setelah menikah? Kalau ternyata nggak, Pakde Bude mau tanggung jawab? Nggak, kan? Lalu kenapa suka sekali memaksa aku buat nikah sama siapapun itu? Aku nggak suka dipaksa!"

Rasa puas yang liar itu hanya sedetik saja, sebelum Darla pingsan dan membuat Jenar menyesal sudah berani membela diri.

===

"So careless, Jenari."

Haris berbaring di kasur sambil mangamati kalung berbandul bulan itu di tangannya. Kalung itu terjatuh lagi saat Jenar tertidur si bus.

"You, also doesn't need to go that far when I got Covid. You confuse me, Jenari. Are you still standing at that crossroad?"

Haris menghela napas panjang, menyesali kalimat itu. Seharusnya ia bisa lebih bersabar.

Tok tok!

Pintunya diketuk keras. Lelaki itu bangkit dan membukanya.

"Ji?" Haris mengerutkan kening.

Aji tersenyum janggal. "Di rumah baru chaos."

"Kenapa?" tanya Haris waspada. "Jenar kenapa?"

Aji menggeleng singkat. "Mungkin Jenar ke sini sebentar lagi. Tapi sebelumnya, bisa ngobrol sebentar?"

===TBC===

Selamat hari Jumat, terima kasih telah membaca 💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top