Before A Kiss | 20
"Jenar, kamu yakin nggak apa-apa kalau ikut?"
Shanum mencondongkan badan ke arahnya sambil berbisik cemas.
"Nggak apa-apa. Kan kamu sendiri yang bilang kalau di gunung, kita semua adalah kawan," jawab Jenar ringan.
"Tapi--" Shanum melirik Haris. "Haris kayaknya nggak setuju."
Jenar melambaikan tangan. "Jangan dipikirkan. Jadi, ini list bawaanku. Kira-kira ada yang kelupaan, nggak?"
Sekali lagi, Shanum melirik Haris dengan cemas. Mungkin sedikit menyesal karena sudah mengajak Jenar sementara Haris kurang setuju. Lihat saja, manusia gondrong di seberang sana terlihat dingin meskipun tetap mengobrol seperti biasa. Siapapun yang mengenal Haris pasti akan sadar jika lelaki ini sedang marah.
Sebenarnya, mungkin ada dua hal yang membuatnya marah. Pertama, Jenar memaksa ikut pendakian meskipun Haris tidak setuju. Kedua, Hanna menangis histeris karena Rion mengancam akan memutuskan hubungan mereka. Dan sebagai mantan pacar yang masih cinta, Haris ikut marah pada Jenar karena telah membuat Hanna menangis.
Padahal, Rion tidak berkomentar apapun hingga foto itu hilang. Tapi rupanya pacar Hanna lebih suka to the point. Entah apa yang terjadi, pada akhirnya Rion berhasil tahu jika Haris adalah mantan pacar Hanna, dan Hanna masih sering menyambanginya. Yang Jenar tahu, Hanna datang ke kos Haris malam-malam dalam keadaan basah kuyup dan menangis hebat. Pagi harinya, gantian Haris yang bertanya pada Jenar.
"Jen, Hanna bilang kamu bikin story dan tag Rion," tanya Haris via telepon. "Kenapa harus begitu?"
"Menyadarkan seseorang," jawab Jenar sambil lalu.
"Not a wise move, Jenari."
"Aku memang bukan orang bijak, kok. Jadi, Hanna nginep semaleman di tempatmu?" tanya Jenar.
"Nggak," sahut Haris datar. "Hati-hati berangkatnya."
Dan lelaki itu menutup sambungan. Jenar mengangkat bahu dan lanjut mematut diri di kaca. Malamnya, Hanna yang memaki-maki Jenar lewat telepon sambil menangis. Gadis itu meninggalkan ponselnya dan makan malam. Sekembalinya di kamar, sambungan sudah terputus.
Itu, adalah kejadian tiga hari lalu dan Haris masih terlihat semarah ini. Wow.
"Hanna nggak datang lagi?" tanya Jenar.
Shanum menggeleng. "Katanya nggak bisa--oh, itu Hanna! Na! Sini!"
Kejutan! Hanna datang bersama Rion. Berbeda dengan Haris yang tampak sangar, Rion terlihat tenang. Lelaki itu bahkan menyambangi Haris dan berjabat tangan.
"Kali ini bisa ikut, Yon?" sapa Shanum kala mereka mendekat.
"Begitulah. Ada yang sedang butuh diperhatikan," jawab Rion ringan.
Shanum tertawa kecil, tapi Jenar tahu lelaki ini tidak bercanda. Terbukti dari Hanna yang sedikit merapat seperti takut akan sesuatu. Saat bertemu Haris pun, sikap Hanna tidak seagresif biasanya.
"Ketemu lagi, Nar," sapa Rion sambil menatap Jenar lekat.
"Begitulah. Besok ikut mendaki?" tanya Jenar.
"Sayangnya, besok aku ada urusan. Cuma bisa antar Hanna sampai basecamp. Mau ikut? Kamu sama Haris bisa ikut mobil kami. Kalau Shanum pasti sibuk koordinir, ya?" ucap Rion ramah.
"Begitulah," balas Shanum.
"Kan besok kita mau muter-muter dulu, Mas," sela Hanna. "Nanti Jenar sama Haris malah bosan."
Rion mengangkat alis. "Yakin nggak mau bareng?"
Hanna menggeleng cepat dengan wajah pias.
"Kita nggak perlu muter-muter, kalau begitu," ucap Rion masih dengan santai. "Bisa langsung ke basecamp, jadi--"
"Nggak perlu. Kami motor sana."
Haris datang entah dari mana. Tiba-tiba saja dia menyahut di belakang Jenar sambil memegang pundak gadis itu.
"Oh, baik." Rion mengangkat bahu. "Ris, boleh bicara?"
"Mas," panggil Hanna takut-takut. "Mau bicarain apa lagi, sih? Kan udah clear semua!"
"Ada lah." Rion melepaskan tangan Hanna yang menahan kausnya. "Bentar ya. Ayo, Ris."
Haris mengikuti Rion ke luar kafe.
"Na, mau pesan apa? Sini sekalian aku pesanin," tawar Shanun.
"Nggak perlu. Aku mau bicara sama Jenar. Bisa kasih waktu sebentar, Num?" ucap Hanna seraya menatap tajam Jenar.
"Oh. Oke." Shanum menatap keduanya dengan bingung sambil menjauh.
"Dasar wanita jahat!" bisik Hanna tajam. "Hatimu buruk sekali, Nar!"
"Lihat siapa yang bicara," balas Jenar. "Anggap aja ini konsekuensi. Memangnya kamu nggak pernah kasihan sama Rion?"
"Itu bukan urusanmu!" balas Hanna gemetar. "Aku sama Haris cuma teman--"
"Teman apa?" balas Jenar cepat. "Nggak seharusnya kamu masih mengganggu Haris dengan segala keluhan-keluhan kecilmu, Na. Bahkan kamu sering cerita keburukan Rion ke Haris! Pacar macam apa itu? Mengadu kelakuan pacar yang sekarang ke mantan pacar? Jahat sekali."
Mata Hanna membulat. "Kamu baca pesan-pesanku? Lancang kamu Nar!"
Hidung Jenar mengembang. "Kalau kamu lupa, aku pacar Haris. Kamu bahkan marah karena aku melarang Haris membalas pesan-pesanmu! Siapa yang lebih dulu lancang di sini?"
"Sudah aku bilang, kami berdua punya masa lalu yang terlalu berharga--"
"Aku nggak peduli," potong Jenar. "Apapun alasannya, hubungan kalian sudah selesai. Aku minta kamu nggak kirim-kirim pesan ke Haris lagi. Aku minta kamu berhenti menyambangi Haris lagi. Astaga! Nggak nyangka aku harus ngomong begitu. Ya gimana, kalau kamu bisa mikir dari kemarin, kamu tahu pada batas mana kamu harus berhenti!"
Hanna menatap Jenar dengan nanar. Untuk sesaat, gadis itu kehilangan kata-kata sebelum ekspresi kemarahan perlahan terbentuk di wajahnya.
"Jenar, kamu nggak bisa melarang aku ke tempat Haris! Dia nggak bisa jauh--"
"Kita sedang nggak bernegosiasi, Hanna. Ini permintaanku sebagai pacar Haris. Kamu? Cuma mantannya." Jenar bersedekap. "Dan mau bilang apa? Haris nggak bisa jauh dari kamu maksudnya? Buktinya dia baik-baik saja denganku. Yang ada, kamu yang nggak bisa jauh dari Haris, kan? Bahkan Rion sampai marah, itu tanda kalau tingkahmu sangat keterlaluan."
"Jangan bawa-bawa Rion! Dasar perempuan pengecut!" seru Hanna hingga Jenar mengerjap. Yang lain kini menoleh ke arah mereka dengan penasaran.
"Mau dibawa ke publik, nih? Ayo deh. Biar teman-teman pendaki juga tahu," balas Jenar santai. "Kemarin Rion bilang apa aja? Katanya marah banget, ya?"
Wajah Hanna makin padam, matanya mulai berair. "Kenapa sih, Nar? Kenapa harus sejahat itu?"
"Kalau aku jahat, kamu apa?" balas Jenar.
Jenar sadar merek kini jadi tontonan, tapi Jenar tidak peduli. Namun seseorang memegang pundaknya, dan gadis itu mendongak.
"Ayo pulang," Haris berkata.
Jenar mengangkat bahu dan melambai pada Hanna yang sibuk membersihkan wajah, sementara Rion berdiri di sampingnya dengan kedua tangan di dalam saku.
"Oke. Selamat malam, semuanya," pamit Jenar pada mereka-mereka yang mencuri pandang padanya.
Jenar melirik Haris. Lelaki itu tampak lebih santai daripada tadi. Tidak ada tanda-tanda marah karena Jenar sudah berani mendebat mantan kesayangannya.
"Dimarahin Rion, Ris?" tanya Jenar penasaran.
Haris menggeleng. "Rion orang yang berkepala dingin."
"Kalau kepalamu, masih panas?" tanya Jenar lagi hingga Haris mengerutkan kening.
"Masih marah karena aku tag Rion sampai mantan pacarmu dimarahi?"
"Kapan aku marah tentang hal itu?" tanya Haris.
Jenar memutar bola mata. "Wajahmu seram akhir-akhir ini."
"Itu karena pacarku tetap mau ikut mendaki," sahut Haris datar.
"Ah, yang benar?" sindir Jenar. "Bukannya kemarin bilang kalau aku kurang bijaksana?"
Haris menyisipkan tangan di saku. "Karena buatku pribadi, itu hal yang sangat nggak berfaedah."
"Kalau nanti Hanna putus sama Rion dan minta balikan di kamu, aku yakin kamu baru merasakan faedahnya," sahut Jenar lancar.
"Just stop it, Jenari," gumam Haris kalem.
"Itu doamu, kan?"
Haris meliriknya, namun tidak berkomentar.
"Besok yakin Tante Darla sudah ada yang jaga?" tanya Haris beberapa saat kemudian.
Jenar mengangguk. "Pakde Bude Bulikku datang. Memang mau jenguk Ibuk. Jadi aman."
"Panji jaga basecamp. Ada yang bisa dititipin nomornya Panji? Kalau ada apa-apa, nanti telfon ke Panji, lalu diteruskan ke sweeper."
"Nomornya Bulik Rum aja. Kamu jadi sweeper?"
Haris mengangguk. "Ada pacar keras kepala yang harus diawasi."
Jenar mencibir, dan Haris tersenyum kecil. Lelaki itu melirik sekilas pada kalung Jenar yang memantulkan cahaya bulan, lalu menghela napas panjang.
===
"Pakde udah sampai rumah. Kamu sampai mana, Nduk?"
"Baru aja sampai, Buk."
"Ya sudah. Hati-hati, ya. Mana Haris?"
"Ini. Ha-Mas? Ibuk mau ngobrol." Jenar menyerahkan ponsel pada Haris.
"Ya Tante. Iya, pasti. Baik. Selamat berakhir pekan," salam Haris hangat.
"Ibuk bilang apa?" tanya Jenar saat Haris mengembalikan ponsel.
" 'Jaga Jenar baik-baik, Le.' Begitu bilangnya," gumam Haris. "Ayo, Jen. Kita briefing dulu."
Mereka mulai mendaki di sore hari. Kata Haris, untuk menghindari terik matahari agar tidak dehidrasi. Mereka harus menghemat air karena jalur Selo tidak punya mata air. Kata Haris, jalur Selo ini panjang, namun landai sehingga ramah bagi pemula.
Jenar menikmati setiap langkahnya seiring terbenamnya matahari. Beberapa saat kemudian, matahari sepenuhnya hilang. Berganti dengan malam bertabur bintang yang membentang di atas sana. Obrolan samar yang bercampur dengan langkah kaki terdengar begitu segar di telinga. Kala mereka sampai di padang sabana, alam tampak membentang tanpa tepi. Rasanya begitu bebas, begitu lepas hingga Jenar terhenyak tanpa sadar.
"Kenapa?"
Mahira, yang berada tepat di belakang Jenar, bertanya saat Jenar berhenti tiba-tiba. Di belakang sana, Haris menatapnya lekat. Jenar buru-buru menggeleng dan mereka melanjutkan perjalanan.
"Kuat juga, eh?" Ergan nyengir pada Jenar saat mereka sampai di pos 3, tempat mereka akan mendirikan tenda.
"Agak pegal, sih. Tapi pemandangannya bagus." Jenar ikut nyengir.
"Dikasih minyak gosok, Jen. Dan jangan mondar-mandir," gumam Haris yang sibuk mendirikan tenda, lalu menggeram saat Jenar justru sibuk sendiri. "Mau ngapain?"
"Nyiapin makanan, kan?" tanya Jenar bingung. "Eh, iya kan, Ra?"
Mahira mengangguk. "Tapi Haris benar. Baiknya dikasih minyak gosok dulu biar nggak kram."
"Oh, oke. Mau masak apa, Ra?" tanya Jenar sambil mengoleskan minyak gosoknya.
"Makan dimsum dari kamu itu ajalah Nar. Sama rebus-rebus sayuran. Udah cukup itu," jawab Mahira semringah. "Banyak banget. Satu orang satu pak, lho. Bikin ini sejak kapan? Nggak capek?"
"Nggak. Gampang itu. Udah rencana dari lama." Jenar tersenyum. Ia memang membuat banyak dimsum dan di-press sehingga bisa jadi bekal regu pendakinya.
"Hmm...kayaknya enak." Ergan menyambangi saat tenda sudah jadi. "Udah bisa makan?"
Jenar mengangguk. "Silakan."
Maka, tujuh orang itu berkerumun mengelilingi perapian.
"Dingin, Jen?" tanya Haris yang tiba terakhir. Lelaki itu berjongkok di samping Jenar yang melilitkan kain di badan.
Jenar mengangguk. "Tapi apinya lumayan hangat, kok. Makan gih!"
"Kamu?"
"Nanti aja. Masih mau lihat-lihat," jawab Jenar antusias.
"Aku ambilkan?" tawar Haris.
Jenar menggeleng. "Makan sana, ck!"
Haris diam sejenak, lalu ikut mengambil makanan dengan yang lain. Jenar terkekeh geli saat melihat siluet Haris yang membesar karena jaket yang ia kenakan, mengingatkan Jenar pada ulat gemuk berwarna hijau. Lalu Jenar melihat sekitar dengan antusias, menyadari banyaknya tenda yang terhampar di dataran sabana ini hingga tampak berwarna-warni. Sekali lagi, ini adalah pengalaman baru yang menyenangkan baginya.
Di tengah nuansa menenangkan itu, Ergan dan dua orang lainnya bangkit dengan waspada, lalu lari entah ke mana.
Jenar menoleh saat pundaknya diketuk. Ternyata Haris, yang datang membawa dua porsi makanan.
"Makan," ucapnya sambil berjongkok di samping Jenar. "Perut kosong bikin gampang hipotermia. Makan saat ada kesempatan."
Jenar menerimanya. "Ergan ke mana?"
"Leader Shanum hipotermia, sweeper-nya cedera," jawab Haris.
Jenar membelalak. "Terus?"
"Ergan dan yang lain membantu. Nanti kelompok Shanum akan dibagi jadi dua, dan ikut di kelompok lain. Mengingat ada Ergan, kemungkinan ada yang masuk di kelompok kita," jawab Haris yang makan dengan begitu kalem. Jenar mendorong bahunya hingga Haris tersedak.
"Dasar kejam!" Jenar melotot saat Haris menatapnya tidak percaya. "Kenapa nggak ikut Ergan? Kamu bisa jadi tenaga penolong juga, Ris!"
Haris menatapnya lama, lalu memperbaiki duduknya. "Terus siapa yang jaga anggota dan barang-barang kita, Pacar?"
"Kan lebih penting yang cedera sama hipo--"
"Penting semuanya, Jenari," kata Haris sabar. "Sudah ada cukup banyak orang yang menangani mereka. Anggap aja,ini pembagian tugas."
"Oh...gitu ya?"
Jenar melirik Haris yang kembali makan. Dia mengakui, track yang telah ia lalui mudah tapi cukup melelahkan. Untung saja Jenar rajin jogging akhir-akhir ini.
"Kenapa nggak boleh bawa tisu basah, ya?" gumam Jenar yang bingung mencari lap setelah makan.
"Tisu basah susah terurai. Bahan kimianya bisa merusak tanah, dan aromanya bisa mengundang hewan liar," jawab Haris. "Namamu bisa di-black list kalau ketahuan bawa tisu basah ke Merbabu."
"Tapi aku nanti bawa pulang lagi, kok. Kan nggak boleh buang sampah sembarangan." Jenar merogoh kantung celananya. "Nih, bungkus kukisnya aku kantongin."
Haris mengusap puncak kepala Jenar sambil terkekeh geli. "Pacarku manis sekali. Tapi nggak semua pendaki semanis kamu, Jen. Jadi daripada makin nambah sampah, diberlakukan larangan seperti itu."
Haris pergi untuk mencuci piringnya. Sementara makanan Jenar masih banyak karena sejak tadi ia sibuk mengamati banyak hal. Rasanya damai dan tenang sekali. Mungkin karena Hanna tidak di sini, jadi Jenar tidak perlu repot-repot mengawasi dua makhluk yang jadi aneh kalau bersama--baca: Hanna dan Haris. Hanna ikut rombongan Shanum. Rion seharusnya ikut mendaki, tapi seperti biasa, dia membatalkannya karena urusan mendadak.
"Jen, mau jalan-jalan?" Haris mendekat.
"Lhoh, katanya mau jaga?" Jenar bertanya.
"Sekitar sini aja. Nggak jauh-jauh."
"Mau!" Dengan antusias, Jenar meletakkan piringnya dan bangkit, namun Haris menahan dahinya dengan jari.
"Dihabiskan dulu," katanya sambil kembali duduk di samping Jenar.
Jenar patuh. Dia menghabiskan makanannya dengan cepat dan kembali menyambangi Haris setelah membersihkan piringnya.
"Bahagia sekali," komentar Haris saat melihat Jenar menuju ke arahnya dengan melompat ringan hingga tudung penutup kepalanya memantul-mantul kecil.
"Alamnya bagus." Jenar nyengir.
"Glad to hear that. Nggak capek? Tenagamu cukup impresif." Haris menarik tali hoodie Jenar dan menyimpulkannya di bawah dagu.
Jenar yang mendongak, mengangkat bahu. "Nyatanya begini. Jangan-jangan aku memang bakat jadi pendaki."
Haris mendengkus kecil. "Bicara begitu kalau nanti sudah turun. Ini baru seperempat perjalanan."
Jenar mencibir, yang membuat Haris terkekeh kecil.
"Sudah." Haris menepuk-nepuk puncak hoodie-nya. "Ternyata pacarku kecil, ya?"
"Sampai aku seusia ini, baru kamu yang berkomentar begitu," tukas Jenar, yang jelas sekali tidak termasuk golongan perempuan bertubuh kecil. Memang postur cowok ini saja yang agak intimidatif, mengingatkan Jenar akan impresi pertamanya saat bertemu Haris. Gadis itu menarik jaket Haris dengan tidak sabar. "Ayo jalan-jalan."
"Haris!"
Baru mendengar suaranya saja, mood Jenar langsung tenggelam di dasar bumi. Melihat Hanna berjalan cepat ke arah mereka dengan tergopoh, air muka Jenar langsung cepat berganti.
Jenar melepaskan Haris dan berjalan lebih dulu. Dia tidak akan mengizinkan siapa pun mengganggu kegiatannya mengagumi alam, tidak juga dua orang itu. Haris pasti akan fokus pada Hanna, dan Jenar tidak menyukainya. Lihat, Haris bahkan tidak mengejarnya! Jelas saja dia lebih memilih Hanna ketimbang menemaninya jalan-jalan.
Dasar bucin menyebalkan!
Jenar berjalan cepat di antara tenda, memandangi langit malam demi mengembalikan mood-nya.
Meninggalkan Haris yang memungut sesuatu dari tanah. Sesuatu yang akan membuat Jenar mengobrak-abrik Yogyakarta jika kehilangannya. Lelaki itu membersihkannya dari pasir yang menempel, mengamati cahaya yang terpantul dari sana. Memang indah. Keindahan yang membebani.
Haris melirik punggung Jenar, lalu menyimpannya ke dalam saku.
===TBC===
Selamat pagi, selamat berakhir pekan 💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top