Before A Kiss | 2

"Nar, ada tamu."

"Siapa, Bulik?" tanya Jenar yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Rumi mengangkat bahu. "Orangnya mau ketemu kamu."

Siapa? Hayu? Atau kader? Namun Jenar justru menemukan seorang pria asing duduk di ruang tamu.

"Ada yang bisa saya bantu?" Jenar ikut duduk dengan sopan.

Pria itu mengamati Jenar sebentar, lalu tersenyum dengan sedikit salah tingkah.

"Bu Darla di mana? Saya nggak lihat beliau," tanyanya.

"Oh, Ibuk masih tidur. Bapak mau ketemu Ibuk? Kalau boleh tahu, ada urusan apa?"

"Jangan panggil Bapak, panggil Mas saja, Dik Jenar."

Jenar langsung merinding, apalagi ketika bapak-bapak itu tersenyum semakin lebar.

"Maaf, Bapak siapa, nggih? Kita pernah kenal sebelumnya?" Jenar berusaha mempertahankan kesopanan.

"Kita akan kenal nantinya. Saya Candra. Mbak Rumi pasti sudah cerita soal saya," ucapnya.

"Ng--nggak. Maaf, tapi saya belum pernah mendengar tentang Bapak--"

"Mas Candra," ucap Candra sambil tersenyum.

"Pak Candra," Jenar meneruskan hingga senyum Candra memudar. "dari Bulik Rumi. Jadi, ada yang bisa saya bantu? Maaf, tapi saya harus siap-siap berangkat ke kantor."

"Pagi-pagi kok sudah ribut." Rumi keluar sambil membawa dua gelas teh. "Silakan diminum, Mas Candra. Dan Jenari, yang sopan sama Candra."

Rumi melotot pada Jenar sebelum masuk, yang membuat Jenar ternganga. Sedikit banyak, dia jadi punya asumsi tentang siapa gerangan bapak-bapak di hadapannya ini.

"Saya menunggu, Pak Candra," ucap Jenar.

Candra kembali menatap Jenar, lalu memperbaiki sikap duduknya. Senyum manis yang sedari tadi ia tampilkan kini sirna, berganti dengan wajah ramah yang minim pencitraan.

Candra terlihat seperti pria berusia tiga puluh-empat puluh tahunan. Persetan jika Jenar terlihat tidak sopan dengan orang yang lebih tua darinya. Dia punya hak membela diri meskipun harus menghadapi manusia berusia seribu tahun.

"Saya kemari karena Mbak Rumi berkata bahwa Dik Jenari sedang cari jodoh. Kebetulan saya juga sedang cari istri, jadi saya terima undangannya," ucapnya. "Dik Jenari nggak perlu khawatir tentang materi. Saya pastikan saya--"

"Sebentar. Pak, saya belum niat cari calon suami. Info Bulik Rumi itu salah," ucap Jenar. "Maaf, saya nggak bisa. Saya--permisi dulu, mau berangkat kerja."

"Kamu belum bisa mengikhlaskan calonmu, Dik. Saya ngerti, saya bisa nunggu, kok."

"Tapi saya nggak perlu ditunggu," ucap Jenar dingin. "Permisi, saya perlu bersiap-siap."

Jenar segera masuk, namun Rumi menghadangnya.

"Orangnya belum selesai bicara lho, Nar--"

"Bulik!" sergah Jenar. "jangan begitu lagi. Aku nggak suka!"

"Ealah, ponakanku egois banget! Hidupmu enak kalau sama Candra!" bisik Rumi. "Jenar? Jenari!"

Jenar tidak menggubris panggilan Rumi. Ia langsung berjalan cepat ke kamarnya. Lebih baik menyimpan tenaga untuk pekerjaannya dibanding menahan rasa jengkel di rumah.

====

"Ya Tuhan. Tapi kok tega ya, nitipin orangtua ke panti jompo?" Melati mengomentari berita tentang sebuah panti jompo yang terbakar.

"Tapi, hidup sama teman sezaman sepertinya nggak seburuk yang dikira," gumam Jenar seraya mengaduk bubur ayamnya.

"Lalu anakmu?" tanya Metta, salah satu bidan yang juga ikut sarapan bersama. "Atau suamimu? Lebih enak tinggal dengan keluarga sendiri daripada tinggal dengan orang asing, Nar. Aneh-aneh aja kamu. Umur masih dua enam juga!"

"Ini aku ngonongin panti jompo yang beneran mengurusi penduduknya, bukan panti pura-pura atau sekedarnya," gumam Jenar. "Lagipula tinggal di sana bukan berarti keluarga nggak peduli, kan? Kebutuhan psikis orang tua juga sama dengan kebutuhan psikis orang lain. Mereka butuh ngobrol, butuh teman sharing, butuh didengar. Nggak ada salahnya kalau masa tuaku nanti punya teman yang seumuran, sezaman. Kayaknya aku bakal lebih happy."

"Nikah aja dulu, Nar. Baru bisa menilai betapa bahagianya lihat anak-anak kita," seloroh Meta pedas.

"Kalau udah dewasa, mereka bakal pergi sama pasangannya dan membentuk keluarga sendiri," ucap Jenar.

"Ngomong-ngomong..." Hayu buru-buru menengahi kala melihat Meta bersiap membalas, sementara Jenar damai-damai saja dengan sarapannya. "Kalian udah pada sibuk reuni belum? Ini aku udah mulai dapat udangan reuni banyak banget. Iya kan, Nar."

Maka topik percakapan segera beralih pada acara reuni masing-masing orang. Hingga Meta izin ke toilet, dan Jenar tiduran di meja. Ia sengaja berangkat lebih pagi karena hatinya masih panas akibat ulah Rumi.

"Jadi," Hayu beringsut mendekati Jenar. "Jangan bilang kalau apa yang aku pikirkan ini jadi kenyataan."

"Memangnya kepikiran apa?" tanya Jenar tanpa membuka mata.

"Berencana jadi perawan tua," tukas Hayu.

"Oh. Ada masalah?"

Hayu cemberut, namun tidak membahasnya lebih lanjut. "Beneran nggak ikut reuni?"

Jenar menggeleng. Saat itu, sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

08XXXXXXXXXX
[Halo Dik Jenar. Ini nomor saya, Mas Candra. Save ya]

08XXXXXXXXXX
[Udah sampai kantor, Dik? Nanti siang mau ketemu?]

"Siapa?"

Hayu melongok ingin tahu kala ekspresi Jenar berubah masam. Jenar menggeleng dan pamit pergi ke ruangannya sendiri.

==

Jenar malas sekali pulang ke rumah, sungguh. Rumi sudah pasti akan merecokinya lagi. Tapi semua perasaan jengkelnya dikesampingkan saat mengingatkan diri jika Darla membutuhkan kehadiran Jenar.

Maka pukul empat sore, Jenar masuk rumah sambil memijit tengkuk. Hayu sedang bercengkrama dengan Rumi di ruang tamu. Temannya itu berbaik hati mengantarkan jatah hantaran aqiqah dari salah satu sejawat mereka.

"Lama di dinkes, Nar?" Hayu menyeringai.

"Ngebagiin PMT juga," jawab Jenar kaku. "Ibuk mana, Bulik?"

"Tidur. Mbakyu agak demam hari ini."

Mendengarnya, Jenar segera membersihkan diri dan pergi ke kamar Darla. Ibunya tidur meringkuk sambil memeluk baju milik ayahnya. Jenar memeriksa suhunya, memang agak demam. Diusapnya kaki Darla yang begitu kurus, lalu menutupinya dengan selimut dan kembali ke depan.

"Mau makan?" tanya Jenar pada Rumi.

"Sama kayak kemarin," jawab Rumi. "Demamnya nggak naik, kan?"

Jenar menggeleng, dan Rumi bernapas lega. Buliknya pergi, membiarkan Jenar berdua dengan Hayu.

"Udah aku periksa kok, Nar," bisik Hayu. "Nggak tinggi, tapi tetap harus dipantau. Waktu aku datang tadi beliau...umm...agak histeris. Tante masih sering nangis?"

Jenar mengangguk. "Kata Anggi, Ibuk perlu waktu."

Hayu menatap Jenar yang menjawab datar dengan cemas. Namun temannya itu tidak berkata apa-apa lagi. Jenar hanya mengambil segelas air putih dan duduk di hadapan Hayu, mengurai rambut panjangnya.

"Kamu nggak ngajuin THL?" tanya Hayu. "Kamu sendirian lhoh, Nar. Ngurusi satu kecamatan, pula."

"Dikasih ya syukur, nggak juga nggak apa-apa. Dari dulu juga gitu. Lagipula--ini apa, Bulik?"

Rumi tiba-tiba meletakkan setumpuk kertas di pangkuan Jenar. Sekilas dilihat, bentuknya seperti CV.

"Kenapa pesannya Candra diabaikan?" Rumi menyipit.

"Oh, dia bilang?" tanya Jenar datar.

"Ya tinggal dibalas apa susahnya sih, Nar?" sahut Buliknya tidak puas.

"Nggak," tukas Jenar. "Terus apa hubungannya sama ini?"

"Ck, kamu kayaknya tipe pemilih. Jadi sekalian saja Bulik kasih ini. Kandidat suami," tukas Rumi. "Kalau memang nggak mau sama Candra, pilih itu salah satu. Itu calon potensial yang diajukan bude pakdemu, juga sepupu-sepupumu. Bulik minta keluarga besar juga membantu. Pilih satu yang kamu suka, Nar. Mereka pria-pria yang memang sedang cari jodoh."

"Astaga Bulik," gumam Jenar tidak percaya, sementara Hayu melongo.

"Candra mungkin ketuaan buat kamu. Bulik ngerti, makanya Bulik kasih ini biar kamu bisa milih sendiri. Hayu, kamu mau lihat? Dari lajang sampai duda, semua ada. Mereka kenalan saudaranya Jenar, jadi pasti nggak asal pilih." Rumi meraih CV pertama dengan antusias. "Amar ini punya usaha. Duda cerai mati. Bulik kenal juga, dan orangnya baik. Anaknya dua, sih. Nggak apa-apa, dia orangnya ngemong, kok. Umur 58--"

"Bulik." Jenar berusaha sabar meskipun ubun-ubunnya sudah memanas. "Udah aku bilang, nikah bukan jalan keluar dari kondisi Ibu."

"Tahu dari mana?" balik Rumi. "Lagipula, apa sih buruknya buat kamu, Nar? Umur udah cukup, kerjaan juga udah mapan. Apa yang masih kamu cari?"

"Bukan gitu, Bulik. Aku nggak bisa milih begitu saja terus--"

"Orang-orang ini etikanya baik, udah mapan juga. Semuanya kenalan keluarga, jadi pasti bisa kamu percaya," ucap Rumi berapi-api. "Nggak ada salahnya dicoba dulu, kan?"

"Tapi aku nggak bisa--"

"Jenar, berhenti mikirin diri sendiri. Kamu mau lihat ibumu tambah sedih dan tambah sakit? Kalau ada apa-apa sama Mbakyu, itu karena keegoisanmu!" Hunjam Rumi.

"Nah, nah, tentang ini," Hayu berusaha menengahi saat melihat raut wajah Jenar. "Minggu depan ada reuni akbar, Bulik. Jenar boleh ikut? Kalau nggak ada yang dipilih di situ, siapa tahu Jenar dapat jodoh di sana. Bukannya pilihan sendiri biasanya lebih awet?"

Jenar melotot, namun Hayu balas melotot.

"Reuni akbar?" Rumi menyipit.

Hayu mengangguk. "Nggak cuma angkatan kami. Ada kakak dan adik tingkat juga. Banyak orang, Bulik. Siapa tahu Jenar agak tercerahkan."

"Oh, boleh, boleh!" Rumi bersemangat. "Nanti nyalon dulu, Nar! Atau apa itu faisal dulu, yang elus-elus wajah itu."

"Facial, Bulik," jawab Hayu berbaik hati.

"Nah iya, fesyel. Sukur-sukur pulang bawa calon, kan?"

"Aku nggak ikut. Ibuk nggak bisa ditinggal sendiri," ucap Jenar, yang membuat Rumi berkacak pinggang.

"Ibumu biar sama Bulik. Kamu pergi sana!"

"Aku mau istirahat di rumah Bulik, mumpung libur--"

"Jadi boleh kan?" Hayu buru-buru memotong kalimat Jenar.

"Boleh," jawab Rumi. "Sana keluar! Masih muda kok ndekem di rumah! Nanti tambah susah cari suami!"

Raut wajah Jenar mengeras, namun Hayu cepat-cepat mengganti topik sehingga Rumi tidak lagi membahas pernikahan Jenar.

Jenar? Pergi ke kamarnya untuk menata hati.

Pak Candra
[Dik Jenar, baru apa?]

Jenar melemparkan ponselnya di kasur saat tulisan itu muncul di pop-up pesannya, lalu keluar untuk mandi. 


*TBC*

 Haiii, selamat sore.

Terima kasih sudah membaca. Stay healthy, stay happy and stay safe yaa. I luv yuuu 💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top