Before A Kiss | 19

"Tante baik-baik saja?"

Jenar mengangguk. "Tadi malam telpon Ibuk lama, kan. Ngomong-ngomong, nanti pulang jam berapa?"

"Tengah hari," jawab Haris.

Lelaki itu duduk di atas ranjang sambil memakan jeruk. Infus sudah dilepas dan rambutnya sudah dikucir seadanya. Ia tampak jauh lebih sehat dan suaranya terdengar lebih kuat. Mungkin juga karena di sini dia punya banyak waktu untuk beristirahat, wajahnya terlihat segar. Jenar jadi sadar kalau makhluk di depannya ini sebenarnya masih muda.

"Kenapa?" tanya Haris saat Jenar terdiam lama.

Gadis itu menggeleng. "Cuma menyadari betapa berbedanya situasi dulu sama sekarang. Buatku, covid pernah jadi penyakit yang bikin kami ketar-ketir. Puskesmas, maksudnya. Bed-bed di lorong masuk, kami yang nggak pernah berhenti mondar-mandir, belum lagi pakaian astronot yang gerahnya minta ampun."

Puskesmas juga?" Haris mengerutkan kening.

Jenar mengangguk. "Kami juga bertugas memetakan daerah rawan covid di wilayah kerja. Termasuk tracing juga. Kalau ada suspect yang meninggal di rumah, kami ada tim khusus untuk ke sana. Chaos banget kalau diingat-ingat."

"Kalian sudah berusaha keras. I have nothing to say but thank you," ucap Haris.

Jenar mengangkat bahu. "Keras sekali, sepertinya. Nggak cuma dunia medis saja, sih. Kita ini semacam...apa ya? Berevolusi? Beradaptasi secepat ini demi bisa menyelamatkan diri. Kadang kalau diingat-ingat, manusia memang secerdas itu, ya. Bukti nyata kalau pengetahuan punya dampak besar bagi keselamatan manusia."

Haris mengangguk-angguk. "Dikatakan dengan bagus sekali, Jenari."

Jenari hanya memutar bola mata. Gadis itu duduk di samping bed, menemani Haris menghabiskan sisa jeruknya.

"Mau?" Haris mengulurkan jeruknya.

"Nggak. Aku gampang, Ris. Kamu yang harus makan banyak," tukas Jenar. Gadis itu melirik jam. Masih setengah jam lagi sebelum dia harus balik ke puskesmas. "Nirma nggak ke sini?"

"Sibuk. Tapi kemarin telpon."

"Ayah?" tanya Jenar hati-hati.

"Ayahku nggak akan cukup peduli." Haris melirik Jenar. "Penasaran?"

Jenar menggeleng, tidak berani mengulik lebih dalam tentang keluarga Haris meskipun jawabannya membuat Jenar bertanya-tanya.

"Jen?" panggil Haris setelah hening yang kikuk.

"Hm?"

"Apa rencana masa depanmu?" tanya Haris tiba-tiba.

"Kerja keras, nabung yang banyak buat masa tua, cari panti jompo yang bagus, dan tinggal di sana setelah pensiun," jawab Jenar lancar.

"Kelihatannya sibuk sekali."

"Gitu, ya?" tanya Jenar geli. "Kenapa tiba-tiba tanya?"

"Just wondering, apa rencanamu setelah kita selesai."

Tawa Jenar memudar. Untuk sesaat, dia bingung akan respon dirinya sendiri, tapi Jenar mengabaikannya.

"Kamu sendiri?" balik Jenar.

"Hm...nyicil beli rumah, mungkin. Dan cari side job. Lokmud mulai stabil, akan ada banyak waktu luang nantinya," jawab Haris.

"Seems like a happy future." Jenar bertopang dagu. "Bikin rumah yang nyaman, Ris. Yang temanya alam, gitu. Ada kolam ikannya yang gede, pakai batu-batu alam. Jadi kalau aku main, aku nggak bosan."

"Kalau cuma rumah biasa, nggak mau main?" tanya Haris.

"Tetap mau, kok. Kan kalau mau upgrade gitu, Ris." Jenar bersungut-sungut.

Haris tersenyum tipis. "Batu alam dan sebagainya, itu bisa. Tapi butuh waktu. Semoga pacarku bisa menunggu."

"Would like to see that," sahut Jenar antusias. "Eh, tapi nggak jadi, deh. Aku nggak suka ketemu Hanna. Nggak, nggak! Aku nggak akan ke rumahmu."

Haris terkekeh.

"Lhoh, aku serius ini. "Satu-satunya alasan aku mau dekat sama Hanna, itu karena kamu," ujar Jenar.

Kekehan Haris makin keras. Lelaki itu meraih buah pir di atas nakas dan berkata, "Trims, pacar."

Jenar mendengkus. "Dikupasin nggak?"

Haris menggeleng dan mengupas buah pirnya sendiri. "How about marriage? Nggak ada rencana untuk itu?"

"Perlukah?" Jenar bersedekap.

"Nggak." Haris mengulurkan separuh buah pir yang telah dikupas pada Jenar. "Makan. Menua sendirian perlu banyak persiapan."

"Menua berdua juga butuh banyak persiapan," ucap Jenar, yang akhirnya menerima buah pir itu. "Kenapa?"

Jenar mengangkat alis saat Haris tidak kunjung menyantap buahnya. Lelaki itu malah sibuk menatapnya sejak tadi.

"Menua berdua memang butuh banyak persiapan," gumam Haris sambil menggigit buahnya. Jenar mengernyit. Makhluk di depannya memang kadang tidak jelas.

"Bro!"

Panggilan itu datang bersamaan dengan pintu yang dibuka dengan tidak sabar. Rupanya Ergan dan beberapa teman pendaki datang. Beberapa dari mereka masih memakai seragam dinasnya. Jenar menyambut mereka dengan ramah hingga melihat Hanna berada di baris paling belakang. Seketika itu juga, mood Jenar langsung anjlok.

Serius, Rion sebenarnya tahu kelakuan Hanna atau tidak? Mengapa gadis ini gemar sekali menemui mantan pacarnya? Memangnya Rion tidak cemburu?

Jenar memilih berdiri di sudut terjauh untuk memberi waktu pada teman-teman Haris. Tapi Jenar tidak tahan untuk tidak mengawasi tindak tanduk Hanna, yang hanya meliriknya sebelum ikut mengobrol bersama yang lain.

"Salah waktu buat sakit, eh. Merbabu barusan dibuka, tuh," ucap Ergan nyengir.

"Minggu depan, deh. Atau lihat sikon dulu? Merbabu bagus buat pemanasan," timbrung yang lain.

"Lihat sikon dulu, guys. Nanti dibahas pas kopdar lagi biar lebih mantep. Nar, mau ikut ke Merbabu nggak?" Ergan melongok.

"Jangan!" seru Hanna.

"Nggak," tepis Haris.

Keduanya berbicara di waktu yang sama hingga Jenar mengangkat alis, namun Haris menatap Ergan tajam.

"Merbabu kurang ramah buat pendaki baru, Gan. Jangan macam-macam," ucap Haris.

"Haris betul. Jenar belum terbiasa lho, Gan. Mending kalau mau ajak newbie, ke Andong aja. Merbabu jangan dulu, deh. Dia nggak akan kuat," sambar Hanna.

"I am in," sahut Jenar, yang membuat Haris menatapnya lekat. Jenar mengangkat bahu. "Ada kalian, kan? Harusnya aku aman."

"Jenari," desis Haris. "Bukan begitu cara mainnya."

"Ikut nggak masalah sih, Ris. Merbabu kok," ucap Shanum menenangkan.

Tatapan Haris mengeras, namun Jenar berkata,"Kalau Shanum menilai begitu, harusnya nggak apa-apa kan? Aku suka pengalaman waktu ke Nglanggeran kemarin. Ya Ris ya?"

"Kali ini beda, Jen." Haris menatapnya lekat. "Aku nggak ikut, Gan."

"Lhoh kok?" Ergan memprotes.

"Mana bisa?" hunjam Hanna terkejut.

"Kamu nggak ikut? Ya nggak apa-apa. Aku tetap mau ikut," sahut Jenar, yang membuat Haris menatapnya tajam. Jenar buru-buru memeriksa jam tangannya. "Sudah, ya. Aku harus balik ke kantor. Kalau kopdar kabari aku ya, Num. Takutnya Haris sengaja nggak ajak aku kopdar. Untuk urusan mendaki, anggap aja aku anggota baru komunitas. Bukan pacarnya Haris. Daah semuanya. Dadaah, pacar."

Jenar mengabaikan wajah seram Haris. Ia justru melewati Hanna dengan wajah puas. Jenar sudah mengikhlaskan mereka berdua, kok. Tapi Jenar akan membuatnya sesulit mungkin. Syukur-syukur kalau Haris akhirnya sadar jika Hanna bukan gadis yang baik untuknya.

===

[Jen, Merbabu kurang aman. Kalau kamu mau, kapan-kapan kita ke Andong]

Pesan Haris menarik perhatian Jenar. Gadis itu meninggalkan pulpennya dan meraih ponsel.

[No, no. Mau ke Merbabu. Kamu udah pulang?]

[Udh]

Jenar terkikik geli. Haris yang mempersingkat kata adalah Haris yang sedang kesal. Tapi Jenar tidak akan kalah oleh ekspresi dan kalimat meremehkan dari Hanna. Nggak akan kuat, katanya? Cih! 

Jenar melirik jam dinding. Pukul empat sore. Gadis itu menelpon Darla, mengabarkan jika ia akan pulang terlambat karena mampir ke tempat Haris lebih dulu. Tentu saja Darla memperbolehkannya dengan senang hati. 

Maka sore itu, Jenar sampai di tempat Haris sambil menenteng tiga kotak berisi ayam goreng. Gadis itu melirik gazebo yang sedang dipenuhi banyak cowok. Banyak dari mereka melirik kala Jenar lewat hingga gadis itu merasa risih. Jenar cepat-cepat mengetuk pintu kamar Haris, berdoa jika ia memang ada di kosan karena tadi ia tidak memberi kabar. 

"Hai," sapa Jenar saat Haris membuka pintu. Lelaki itu memakai kaus rumah dengan celana pendek selutut. Rambutnya dikucir seadanya, dan ada noda tinta di hidungnya.

Haris melirik gazebo dan memperlebar pintunya. "Ada apa?"

"Dinner bareng." Jenar mengacungkan bawaannya. "Ini satu buat Mas Sinar. Thanks to him, dia yang bawa kamu ke rs kemarin."

Haris melirik gazebo lagi, lalu akhirnya menarik Jenar masuk. "Thank you. Kalau nggak keberatan, tolong di sini dulu. Aku antar ini buat Sinar."

"Nggak ke sini aja? Kita makan bareng-bareng?" usul Jenar.

"Sinar sibuk," ujar Haris singkat. "Kunci pintunya. Aku nggak lama."

Pinti tertutup, meninggalkan Jenar sendirian dengan laptop Haris yang menyala.

"Udah pegang kerjaan?" bisik Jenar tidak percaya kala melihat rentetan data dan diagram di layar laptop itu. Speaker mengalun lirih, mendendangkan lagu ballad yang tidak Jenar kenal. 

Tapi selain itu, ruangan Haris serapi biasanya. Gadis itu menyamankan diri di lantai dan bermain ponsel untuk mengusir sepi, hingga nada lirih menarik atensi Jenar.

Sebuah panggilan masuk di ponsel Haris, dari Hanna. Jenar tergelitik untuk mengangkatnya, tapi ia menahan diri.

Hanya saja, Hanna rupanya pantang menyerah. Jenar mengawasi Hanna yang menelpon untuk keempat kalinya, lalu meraih ponsel Haris.

"Haris, udah di kos, kan? Mau makan apa? Aku beliin, deh."

"Hai Hanna, nggak perlu repot-repot. Kami mau dinner malam ini," sahut Jenar manis.

"Oh...kamu Nar," sahut Hanna kaku. "Haris mana?"

"Haris baru pergi sebentar. Ada pesan?" tanya Jenar.

Hanna terdiam lama, lalu berkata. "Nggak ada."

Hanna mematikan sambungan. Jenar menatap ponsel Haris dengan penuh minat. Ponselnya tidak terkunci, wow. Gadis itu menimbang-nimbang, lalu memberanikan diri membuka aplikasi berkirim pesan dan membuka ruang chat atas nama Hanna.

Hasilnya, ada banyak pesan dari Hanna sejauh Jenar scrolling ke atas. Isinya panjang dan macam-macam. Terkadang keluhan tentang Rion, tentang pekerjaan, ataupun membujuk Haris untuk keluar dari Lokmud. Sesekali Haris membalas singkat saat Hanna bertanya kabar, namun tidak lebih dari itu. Sebagian besar dari pesan Hanna hanya dibiarkan saja meskipun telah dibaca.

Jenar memeriksa panggilan. Ternyata selama ini Hanna masih sering menelpon Haris meskipun tidak pernah diangkat. Sejauh yang Jenar lihat, Haris tidak pernah menelpon Hanna.

Untuk ukuran mantan yang sama-sama belum move-on, ini aneh sekali. Apakah mereka berkomunikasi lewat cara lain?

Jenar mengembalikan ponsel Haris tepat saat pintu dibuka. Haris langsung berkacak pinggang, menatap galak pada Jenar.

"Ng, kenapa?" Jenar mengerjap.

"Jangan ikut ke Merbabu," ucap Haris.

"Oh...aku mau ikut. Kan kata Shanum, Merbabu aman." Jenar mulai membuka ayam gorengnya. "Makan dulu, deh. Nggak lapar?"

"Ada yang lebih aman untuk pendaki pemula, Jen," sahut Haris cepat. "Kalau kamu memang mau mendaki, ada Andong yang dekat."

Jenar menggeleng. "Mau Merbabu."

Wajah Haris mengeras, namun Jenar berusaha mengabaikannya dengan mulai menyantap makanannya.

"Karena Hanna?" celetuk Haris. "Karena Hanna bilang kamu nggak akan kuat?"

"Kenapa memangnya?" balik Jenar.

"Karena kalau iya, itu alasan yang ceroboh."

Jenar mengangguk-angguk. "Anggie bilang aku memang agak impulsif."

"Bukan hal yang bisa dianggap enteng, Jen. Mendaki gunung nggak seremeh itu."

"Tapi aku punya kamu." Jenar mendongak. "Apa itu belum cukup?"

Haris menatap Jenar lama, lalu menghela napas dalam. "Prepare sungguh-sungguh. Dicatat kalau perlu. Dan tolong duduk di sebelah sini, Jen."

"Nggak perlu. Di sini udah enak, kok," tepis Jenar ringan.

"Tahu yang di depan itu?" celetuk Haris tiba-tiba. "Mereka cukup ahli bikin orang nggak nyaman, terutama perempuan. So please sit here, Jenari."

Melihat wajah serius Haris, Jenar jadi was-was juga. Gadis itu berganti posisi sehingga ia tidak terlihat dari gazebo yang penuh orang. Tapi baru saja ia menyamankan diri, seseorang datang hingga mood Jenar anjlok hingga ke dasar bumi.

"Hai, Nar. Sorry, tapi Haris perlu dimarahi," ucap Hanna, lalu berkacak pinggang pada Haris. "Kenapa pulang duluan sih, Ris? Kan udah dibilang tunggu aku aja. Pulang sendirian kayak tadi, kalau ternyata ada apa-apa di jalan gimana?"

Pulang sendirian? Jenar mengira Haris pulang bersama Sinar. Gadis itu langsung hilang selera makan.

"Lain kali jangan gitu, Ris. Kalau ada apa-apa di jalan gimana?" omel Hanna sambil sambil duduk di ambang pintu. Gadis itu masih memakai seragam dinas. Berarti dia langsung ke sini setelah pulang kerja. "Gini nih, Nar. Haris memang agak bandel, perlu dicerewetin biar nggak abai sama diri sendiri. Ini, aku beliin ini. Ada banyak, kok. Jadi Jenar juga bisa ikut makan."

Hanna mengeluarkan empat kardus berisi nasi lengkap dengan lauk, sayur dan buahnya. Terlihat lebih sehat ketimbang hanya nasi dan ayam goreng yang dibawa Jenar.

"Jaga-jaga kalau kamu lapar nanti malam," ucap Hanna antusias seraya menyerahkan dua tumpuk pada Haris, lalu memberikan satu untuk Jenar. "Dimakan, Nar. Nasi ayam begitu porsinya pasti sedikit."

"Aku udah kenyang, thank you." Jenar mengembalikan kardus itu pada Hanna.

"Udah nggak apa-apa. Bawa pulang aja, Nar." Hanna bersikukuh. "Nebeng makan ya, Ris. Lapar."

Haris tidak berkomentar apapun sejak tadi. Lelaki itu sibuk menghabiskan makanan dari Jenar dengan khusyuk. Sementara Jenar berusaha menahan dongkol setengah mati.

"Kamu pesan di mana, Na? Kayaknya enak," komentar Jenar.

"Katering dekat kantorku. Enak banget, kok. Gede pula. Cabangnya udah di mana-mana. Jadi langganan kantor kalau ada event tertentu. Yang punya juga ahli gizi kayak kamu, katanya," jawab Hanna antusias.

Jenar manggut-manggut. Gadis itu mengeluarkan ponsel dan memgambil gambar Hanna dan Haris dalam satu frame. Hanna bergaya dengan senyum dan jari tangan membentuk huruf V, sementara Haris masih setia dengan ketidakpeduliannya.

"Ngomong-ngomong, Rion punya instagram?" tanya Jenar.

Hanna mengangguk. "Pengusaha besar macam Mas Rion pasti punya, Nar. Cari aja Rion Dwi Pangestu. Kalau ada banyak foto motor Harley, udah pasti itu akunnya."

Dengan cepat, Jenar menemukan akun Rion. Untungnya, akun itu tidak di-privat. Akun itu punya banyak pengikut dan sering memposting tentang usahanya dan motor Harley. Ada beberapa foto dengan Hanna di dalamnya. Ia pun menemukan akun Hanna tanpa kesulitan.

Jenar memposting foto yang baru saja ia ambil sebagai cerita, lalu men-tag Rion dan Hanna.

"Suasana yang ada manis-manisnya."

Jenar mengamati foto dan caption yang baru saja ia upload, lalu menyimpan ponselnya.

"Aku harus balik, Ris. Dan ini nggak perlu." Jenar menumpuk makanannya di atas dua kardus milik Haris.

Haris menahan ransel Jenar. "Bareng, Jen. Aku mau ketemu ibumu."

"Makan dulu, Ris. Segitu mana kenyang?" sahut Hanna dengan ketidaksetujuan yang jelas terlihat.

"Ini cukup. Bawa balik aja, Na," gumam Haris yang mulai beres-beres.

"Mana bisa, Ris? Aku udah beli lho ini!" seru Hanna.

Jenar memutar bola mata, agak jengah dengan drama di depannya. Ditepuk-tepuknya tangan Haris yang masih menahan ranselnya.

"Lepas, lepas! Mau pulang ini," tukas Jenar.

"Bareng aja," sahut Haris seraya menyeret Jenar demi mengambil jaketnya.

"Ris, ih!" Hanna merajuk.

"Nggak akan mubadzir, Na. Ini tetap dimakan," gumam Haris sambil meraih tiga tumpuk makanan itu.

Tapi alih-alih menyimpannya di dalam kos, ia justru berjalan menuju kerumunan di gazebo dan menyerahkan tiga kardus tadi pada salah satunya.

Kegembiraan Hanna sirna, digantikan wajah terluka yang sangat ketara hingga Jenar bahkan tidak tega tertawa.

"Pulang, Na. Mereka bukan gerombolan yang ramah ke perempuan," gumam Haris.

Mata Hanna berkaca dengan cepat. Gadis itu mengemasi barangnya tanpa kata dan berjalan cepat menuju motor, lalu hilang dari pandangan.

"So cruel," komentar Jenar. "Tapi aktingmu boleh juga."

"Akting apa?" tanya Haris kalem sambil mengunci pintu.

"You love her, but you do the opposite," dendang Jenar. "Uhh...dededikasimu buat move-on agak ngeri."

"Menurutmu begitu?" balik Haris, lalu menyeret ransel Jenar. "Ayo pulang, pacar."

"Nggak kasihan, Ris? Kalau jadi Hanna, rasanya sakit lho," ucap Jenar.

"Pacarku udah cukup," kata Haris.

"Oh, kalau tadi aku nggak ada, kalian bakal dinner bareng?"

"Still do the same."

"Tuh, kan. Dedikasimu itu mengerikan!"

Haris terkekeh kecil seraya mengacak lembut rambut Jenar. "Sana duluan. Aku di belakang."

Jenar mematuhi Haris. Dari kaca spionnya, Jenar melihat Haris yang berkendara tepat di belakangnya. Tanpa sadar, senyum terulas lebar di bibir Jenar.

===TBC===

Selamat hari jumat, terima kasih telah membaca 💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top