Before A Kiss | 18

"Negatif."

Seorang lelaki berkata seraya memberikan dua buah amplop kepada Jenar. "Tapi kenapa tiba-tiba? Ibumu ada gejala?"

Jenar menggeleng. "Ibuk sama Bulik sempat kontak sama temanku yang positif."

"Oh...berarti harusnya nggak lama lagi kena tracking." Lelaki itu membersihkan kacamatanya. "Dirawat di mana?"

"Di rumah sakit pusat." Jenar mengernyit saat kerongkongannya perih mendadak. "Iya, ada tracking tapi hasilnya belum keluar. Dan...dua kali tes mungkin akan lebih meyakinkan buatku."

Lelaki itu tersenyum maklum. "Pertimbangan bagus. Ya sudah, aku balik dulu."

Jenar mengangguk. "Thank you for everything, Gus."

Bagus hanya melambaikan tangan sebelum kembali masuk ke dalam ruangan. Gadis itu termangu pada dua lembar kertas yang menampilkan hasil tes Darla dan Rumi.

Dalam rasa takut yang merajamnya tanpa ampun, Jenar langsung memutuskan untuk memeriksa Darla dan Rumi. Ia meminta tolong Bagus, temannya yang bekerja di sebuah klinik. Untunglah, keduanya negatif. Begitu Jenar sampai rumah, gadis itu menyampaikan hasilnya pada Rumi dan Darla.

"Ya pasti hasilnya negatif, lah. Memangnya ini masih jaman korona?" Rumi menyipit pada kertas hasil pemeriksaannya. "Kamu ini bikin jantungan aja. Dua kali ngajak teman ke rumah buat ambil apa--sampel? Itu. Ck."

"Tetap harus siaga, Bulik. Virusnya masih ada, cuma kitanya aja yang lebih kuat," ucap Jenar.

Darla menekuri kertasnya sedikit lebih lama, lalu wanita itu mengangguk meskipun matanya berair.

"Ini udah benar," gumamnya tersenyum tipis. "Udah di tes, kan? Jadi, Haris bisa main hari ini?"

Jenar menggeleng sambil berusaha mempertahankan ketenangan. "Sayangnya, Mas Haris sibuk banget. Nanti kalau udah longgar dia pasti ke sini."

"Sesibuk apa? Tumben nggak telpon Ibuk." Darla mengerutkan kening.

Jenar meringis, "Nanti aku kasih tahu. Aku ke kamar dulu, ya."

Jenar masuk ke kamar dan menghela napas dalam-dalam demi menenangkan diri. Tapi yang ada, air mata justru terbit lirih dari pelupuk mata. Gadis itu mengusap wajahnya dengan kalut, sama sekali bingung dengan rasa takut asing yang belum padam sejak ia menerima berita dari Sinar.

Dua hari berlalu. Sejak itu, Jenar menerapkan mode diam untuk nomor Sinar dan Haris. Ia tidak pernah lagi mengangkat panggilan maupun membaca pesan dari Sinar. Dia tidak mau mendengar berita apapun tentang lelaki itu. Terserah! Masa bodoh! Jenar ingin tidak peduli saja. Malahan, dia ingin lupa jika ada makhluk bernama Haris Diwangka di dunia.

Jenar mengipasi wajahnya yang makin sembab. Gadis itu segera duduk di meja kerja, menjejali kepalanya dengan pekerjaan agar rasa takut itu menepi sebentar saja.

===

"Mas Wikan sama Yusti besok mau ke sini. Baru bisa libur, katanya."

Rumi membawa kabar itu sebagai pembuka kegiatan makan malam mereka.

"Oh...boleh. Anak-anak pada ikut?" tanya Darla antusias.

"Aji aja. Gilang sama Gelar ada kuliah," jawab Rumi.

"Permisi."

Ketukan di pintu membuat ketiganya menoleh.

"Siapa malam-malam begini?" Rumi mengerutkan kening.

"Haris, Nduk?" tanya Darla.

"Bukan suaranya. Aku periksa dulu." Jenar segera mencuci tangan dan ke depan. Lalu langkahnya berhenti saat ia melihat Sinar melambai padanya.

Jenar meremas bajunya, sementara beribu pikiran buruk berseliweran di kepala. Sinar mengatakan sesuatu, tapi Jenar keburu berbalik arah dan menyambangi Rumi.

"Ada tamu, Bulik," ucap Jenar sambil kembali duduk di meja makan.

"Siapa?"

Jenar hanya mengangkat bahu dan terus menyantap makanannya meskipun saat ini, setiap suapan seperti kehilangan rasa. Rumi saling bertatapan dengan Darla, lalu memutuskan untuk keluar. Agak lama, lalu Rumi kembali.

"Gimana sih kamu? Cari kamu, gitu. Katanya teman Haris," tukas Rumi heran.

Jenar masih menyantap makanannya dalam diam, lalu berkata pelan, "Paling cuma mau bilang kalau Haris udah pergi."

"Pergi kemana?" tanya Darla bingung.

Rumi menyenggol bahu Jenar. "Orangnya mau ketemu kamu. Ck, biarin dulu, Mbak. Namanya sejoli, wajar ada masalah kecil. Sana Nar!"

"Oh..." Darla tersenyum tipis. "Katanya latihan. Kalau memang gitu, sana ke depan dulu. Dihadapi, cari solusinya. Jangan dihindari."

"Nggak mau."

"Nar, ck!" Rumi melotot.

"Nggak."

"Ealah. Susah banget kamu ini. Masalah itu dihadapi, bukan dihindari. Sok-sokan minta waktu buat nunda nikah, tapi yang begini aja nggak bisa," cibir Rumi hingga jemari Jenar mengepal erat.

Gadis itu menyugar rambutnya dengan frustrasi dan menatap tajam Rumi. Namun melihat ekspresi bingung Darla, Jenar menahan kalimat yang sudah menggantung di ujung lidah. Dengan langkah berat, Jenar kembali ke depan dan menghadapi Sinar.

"Ya?" tanya Jenar singkat, terdengar datar dan tidak peduli.

Sinar menatapnya dengan heran. "Nggak mau ke rumah sakit, Nar?"

"Oh...ngapain?"

"Haris sakit, kan?" jawabnya bingung. "Aku pikir kalimatku waktu itu udah jelas. Positif covid dan sempat kritis. Tapi sekarang udah baikan dan nanti sore pindah ke bangsal biasa..."

Jenar tidak mendengar lanjutan kalimat Sinar. Dia mendadak sibuk dengan kelegaan yang membanjiri hingga membuat matanya sembab dan hidungnya perih.

"...kan kenapa kamu nggak nengok. Risih banget dia sama Hanna," ucap Sinar.

"Nggak apa-apa kalau ada Hanna. Kami udah putus kok." Jenar berusaha tersenyum. "Baguslah kalau dia sembuh. Aku harus balik ke dalam. Pulangnya hati-hati."

"Wait!" Sinar menahan pintu. "Putus? Kapan?"

Jenar mengangkat bahu dan menyingkirkan tangan Sinar dengan sopan. "Pulangnya hati-hati."

Hal terakhir yang Jenar lihat sebelum pintu menutup erat, adalah wajah terkejut Sinar.

Tapi Jenar tidak peduli. Dia benar-benar tidak mau peduli. Gadis itu melewati Darla dan Rumi yang memanggilnya dan mengunci diri di kamar.

===

"...dan aku malah dimaki-maki!" tukas seorang kader di hadapan Jenar. "Gimana nggak emosi? Itu anak dua tahun cuma dikasih minum susu! Bilang kalau susu udah makanan yang komplit dan sempurna, bangga karena susunya mahal dan bermerk. Sebulan habis puluhan juta! Ujung-ujungnya menghina kondisi ekonomi mantuku! Edan tenan wong kae!"

"Shh shh...sabar Bu," potong Jenar buru-buru.

Dada sang kader itu naik turun karena emosi. Wajahnya padam dan tangannya merah terkepal karena menggebrak-gebrak meja Jenar.

"Tiga bulan nggak naik, memang harusnya dapat surat cinta," ucap Jenar sambil membaca laporan. "Sampun Bu'e. Tenang dulu. Minggu depan anaknya akan dievaluasi. Matur suwun laporannya nggih."

"Bagus!" tukas sang kader. "Biar sadar orangnya. Dikira sini cuma asal ngomong saja apa gimana. Duh Gusti, jadi orang baik kadang susah ya."

Jenar meringis. Kader itu pun pamit dan Jenar memijit kepalanya kuat-kuat. Salah satu tugas Jenar, adalah mendengarkan curhatan para kadernya. Mereka sudah bekerja dengan baik, Jenar tidak menampik itu. Tapi masyarakat memang terlalu berlapis hingga konflik selalu bisa tercetus dari sisi mana pun.

"Nar!"

Jenar mengangkat wajah, dan melotot saat melihat Sinar melambai di depan pintu.

"Sini cepetan! Aku nggak punya banyak waktu!" tukasnya.

Jenar menyambanginya. "Kenapa? Butuh konsultasi gizi?"

"Nih, kasih dia asupan vitamin K yang banyak." Sinar menjejalkan secarik kertas ke tangan Jenar, lantas menatap Jenar lekat-lekat. "Kalian berdua udah dewasa, kan? Astaga! Ke RS deh, Nar. Lagaknya macam anak ayam kehilangan induknya. Tiap menit ciap-ciap nanyain kamu."

Jenar membuka gulungan kertas itu dengan bingung.

[Pacarku mana?]

Cuping hidung Jenar langsung mengembang.

"Tuh, butuh vitamin K, kan? Vitamin Kasih Sayang. Udah ya. Aku tadi ke sini sekalian tes motor," tukas Sinar. "Fyi, dia nggak punya siapapun di sini selain aku. Masalahnya, aku juga perlu ngawasin bengkel. Akan sangat membantu kalau kita gantian jaga Haris di RS."

Jenar mendengkus. "Ada Hanna. Ada teman-teman mendaki juga."

"Teman-teman punya urusan sendiri, Nar. Dan Hanna...seriously?" Sinar mengangkat alis sebelum berbalik. "Ciao!"

Jenar menatap Sinar yang menjauh dengan buru-buru, lalu sekali lagi membaca kertas itu. Gadis itu duduk di kursi tunggu di depan ruangannya sendiri. Sejenak, ia termenung seraya mengamati taman kecil di sudut halaman, lalu merogoh ponselnya. Ia membuka chat Haris dan mulai membaca 236 notifikasi itu dari bawah.

[Jen?]

[Jen?]

[Kapan ke sini]

[I bet it's a lie]

[Apa covid juga bikin amnesia?]

[Kapan kita putus?]

[Jen]

[Jenari, I am fine]

Sebuah pesan baru muncul. Pesan baru dari Haris, sebuah voice note.

"I know you're there, Jen. Now come here."

Ada emosi yang terselip di suara paraunya. Jenar mendengkus kecil sambil memutar pesan itu berulang-ulang.

"Iya sih, suara cowok yang serak-serak gitu emang seksi abis. Tapi perlu diulang-ulang banget, Nar? Dari dapur udah kedengaran, lhoh." Hayu muncul dari arah dapur sambil membawa dua mangkuk es buah dengan hati-hati. "Yuk minum ini dulu."

"Thank you." Jenar buru-buru membantu Hayu.

Hayu mengangguk dan duduk di sebelah Jenar. "Anak-anak IGD pada beli tadi. Mood-mu parah banget beberapa hari terakhir. Kerjaan numpuk, ya? Keteteran apa gimana? Udah dibilang minta THL sama Pak Kunto aja, Nar."

"Nggak perlu segitunya," gumam Jenar.

Hayu melirik Jenar yang menyantap es buahnya sambil termenung, lalu berdecak kecil. "Ngelamun lagi. Kenapa? Ada masalah di rumah, ya? Bulik kenapa lagi?"

Jenar hanya menggeleng.

"Ngomong-ngomong, itu tadi Haris?" tanya Hayu. "Suaranya agak nggak sehat, gitu."

Jenar mengangguk singkat. "Dia habis kena covid."

Mata Hayu membulat terkejut. "Terus Bulik gimana? Kalian udah tes?"

Jenar mengangguk. "Negatif semua."

"Astaga Tuhan! Syukurlah!" Hayu menepuk-nepuk dadanya dengan panik. "Pantas kamu kepikiran terus! Tampangmu waktu itu juga kayak ketakutan banget sampai nangis. Kenapa nggak cerita sih?"

Jenar hanya mengangkat bahu.

"Terus Haris gimana?" kejar Hayu.

"Nggak tahu. Nggak penting."

Jenar menyerahkan mangkuk yang sudah kosong pada Hayu, lalu melenggang ke dalam. Meninggalkan Hayu yang melongo pada Jenar.

===

[Pacarku hilang.

Perlu lapor polisi nggak, Jen?]

[Kapan ke sini?]

[Jen, pacarku mana?]


[Cerewet]

[Oh, ponselmu udah ketemu?]

[Ke sini kapan, Pacar?]

[Satu pesan lagi,

aku nggak jadi ke sana]

Dan ponsel Jenar hening seketika. Jenar mendengkus geli dan menyalakan motornya menuju rumah sakit.

Namun saat Jenar tiba di bangsal kelas dua itu, Haris tidak sendiri. Ada Hanna yang sedang membujuk Haris untuk menyantap makanannya. Sepertinya, ia membawakan bermacam makanan hingga ruangan Haris bau masakan.

Mereka berdua berdebat kecil tanpa menyadari kehadiran Jenar. Yah, Jenar juga hanya mengamati dari jauh, sih. Gadis itu menghela napas panjang dan berbalik, merasa sangat bodoh karena sudah buru-buru datang.

"Lho, udah mau pulang?"

Sinar membuka pintu tepat saat Jenar akan keluar. Gadis itu mengangkat bahu, dan Sinar melongok ke belakang Jenar. Ekspresinya langsung berubah.

"Come in," tukasnya sambil menarik ransel Jenar menuju bangsal di pojok sendiri. "Nih, induk ayammu!" 

Dan Sinar berbalik, meninggalkan Jenar bersama dua orang yang kini terdiam menatapnya.

Jenar bersandar di dinding dan bersedekap. "Kenapa berhenti? Terusin aja nggak masalah lho.
Tapi suster tahu kalau kamu bawa makanan dari luar?"

"Paling nggak, sebagai teman aku lebih peduli daripada dia yang disebut pacar," sahut Hanna dingin. "Kamu baru bisa datang sekarang, ya?"

"Hm." Jenar membalas tatapan Haris yang menatapnya dalam diam. "Jadi karena Hanna udah di sini, sepertinya aku memang nggak perlu ke sini, kan? Pulang aja, ya. Toh kamu juga udah baikan."

"Di sini dulu, Jen." Haris membuka suara. "Thank you, Na. Kami perlu waktu berdua."

Hanna menatap Haris tidak percaya. "Ris! Cewek egois yang begini masih mau kamu pertahankan? Dia bahkan nggak peduli waktu kamu nyaris mati!"

"Dia punya alasan," sahut Haris kalem. "Sini, Jen."

"Alasan apa?" tukas Hanna. "Dia cuma nggak mau susah-susah ngerawat kamu! Lihat! Yang ngerawat kamu cuma aku sama Sinar!"

"Aku yakin alasannya bukan begitu. Pacarku orang yang peduli," gumam Haris sambil mengulurkan tangan. "Sini, Jen."

Dalam hati, Jenar mengagumi keteguhan hati Haris untuk tetap menolak Hanna sementara ada kesempatan emas di hadapannya.

"Makanannya dibawa balik aja, Na. Thank you," ucap Haris, yang membuat Hanna menatap Jenar murka. Gadis itu membereskan makanannya dengan gusar dan pergi, meninggalkan Haris yang menatap Jenar dalam diam.

Lelaki itu duduk di atas ranjang, tampak sakit dan tambah kurus. Rambutnya tergerai lusuh, dan kumis tipis mulai tumbuh. Jenar segera membuang wajah saat menyadari jika ia telah mengamati Haris terlalu lama.

"Padahal tadi itu kesempatan langka," ucap Jenar. "Hanna di sini ngerawat kamu, itu bukti nyata. Kenapa harus cari aku segala?"

"Perjanjian kita belum selesai, Jen. Harusnya pacarku yang di sini," balas Haris. "Mau di situ sampai kapan? Sini."

Jenar beringsut mendekat. "Aku lihat Hanna oke. Dia sama Nirma udah dites?"

Haris mengangguk. "Ada tracking, dan mereka negatif. Tante Darla sama Tante Rumi?"

"Negatif juga."

"Kamu?"

"Negatif," gumam Jenar dengan kerongkongan yang mulai perih. "Jadi, gimana? Kamu--udah baikan? Ada keluhan apa sekarang?"

Haris menggeleng. "Tinggal sendi-sendi aja yang sedikit nyeri. Selebihnya nggak ada. I am good."

Jenar mengangguk singkat. "Kita selesai aja, Ris."

"Sorry?"

"Perjanjiannya sampai di sini saja. Toh ibuku juga progresnya sedikit." Jenar berusaha menekan rasa pahit yang menggulung lidahnya.

Tatapan Haris mengeras. "Mau bilang apa ke Tante nantinya?"

Jenar mengangkat bahu. "Apa pun. Nggak perlu dipikirkan. Itu urusanku."

"Itu bukan perjanjian kita, Jen. Aku masih bisa membuat ibumu merasa lebih baik lagi." Haris menatapnya lekat.

"Pikiranku cuma akan tambah ruwet. Sudah, ya. Kita sampai di sini saja."

"Nggak bisa begitu, Jenari," tepis Haris cepat. "Aku akan lebih berusaha lagi--"

"Nggak ada gunanya kalau kamu sakit begini, paham nggak sih?" tepis Jenar dengan suara bergetar. "Masalahku udah banyak tanpa ditambah rasa takut kalau kamu kenapa-napa. Udahlah, Ris. Selesai aja. Toh aku juga nggak banyak berguna buatmu. Hanna udah nyata-nyata suka sama kamu. Tinggal tunggu waktu sebelum dia ambil keputusan balik ke kamu!" 
Haris menatapnya lama, lalu bergumam pelan. "Belum cukup. Bukan kamu saja yang mengambil keuntungan dari perjanjian ini. Jadi, mari bermain lebih lama lagi, Jen."

Jenar meremas roknya. "Kalau begitu, aku ada syarat."

Haris mengangkat alis. "Dan syaratnya?"

"Keluar dari Lokmud," tukas Jenar.

"Karena menurutmu di sana kurang prospek?" tanya Haris kalem.

"Karena load kerjanya nggak manusiawi, Ris! Bergadang bisa melemahkan imun! Dan kamu kerja sendiri sampai malam--"

"Nggak lagi. Asistenku mulai bisa diandalkan," potong Haris. "Kita bisa kencan lebih sering, kok."

"Bukan itu maksudnya!" geram Jenar hingga Haris terkekeh. Kekehan yang berubah jadi batuk-batuk kecil hingga Jenar memucat.

"Karena Lokmud mulai tumbuh dan banyak pegawai, load kerjaku otomatis berkurang, Jen. Mungkin satu dua hari akan lembur, tapi nggak akan setiap hari lagi," gumam Haris parau. "Udah memenuhi syarat?"

Jenar menggeleng. "Kalau begitu, jangan sakit. Jangan pernah sakit selama kita ada di perjanjian ini."

"Batuk, pilek, demam?" Haris mengerutkan kening. "Masuk angin? Pusing? Pegal-pegal?"

Wajah Jenar mengerut emosi, namun lelaki di hadapannya justru terkekeh lagi.

"Iya, iya. Maaf. Yang ini kecolongan. Nggak lagi, semoga." Haris berkata. "Mau daging bistik nggak?"

"Dari Hanna?"

"Dari rumah sakit. Aku kenyang."

"Oh, boleh. Sini." Jenar menusuknya dengan garpu, lalu menatap langit-langit. "Hm? Di rumah sakit ada tokek?"

Saat Haris ikut menengadah, Jenar memasukkan daging bistik tadi ke mulut lelaki itu hingga Haris terkejut.

"Protein mempercepat regenerasi sel, artinya bisa membantu kamu cepat pulih. Cuma segitu, apa susahnya dimakan," gerutu Jenar sambil menata piring, lalu mengangkat alis saat Haris menatapnya sambil sibuk mengunyah.

"Hari ini pacarku galak sekali," celetuk Haris dengan mulut penuh.

Jenar menyipit, yang dibalas Haris dengan senyum hingga matanya melengkung meskipun pipinya masih penuh menggembung.

Jenar menemani Haris hingga senja nyaris tenggelam. Dia butuh waktu lama demi menyakinkan diri jika makhluk berantakan di hadapannya ini memang sudah baik-baik saja.

Paling tidak setelah keluar dari rumah sakit ini, rasa takut asing ini juga ikut pergi.

===TBC===

Selamat siang. Terima kasih telah membaca 💕
























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top