Before A Kiss | 17

Jenar baru saja membersihkan meja makan saat sebuah iklan di televisi menarik perhatiannya.

"Lokamuda?" Darla yang sedang menyantap pepaya, mengerutkan kening. "Kantornya Haris, kan?"

Jenar mengangguk.

"Baru kali ini Ibuk lihat iklannya," celetuk Darla. "Kayaknya baru-baru ini mulai dikenal publik, ya."

"Nggak kok, Buk. Udah lama iklannya ada di internet. Udah banyak juga yang pakai layanannya. Itu, yang kemarin nganterin sayuran ke rumah itu, kan aku belinya lewat Lokmud," ujar Jenar.

"Oh..." seru Darla dengan berbinar. "Bagus, ya. Artinya Haris jadi makin sibuk."

"Dia nggak pernah absen lembur dari dulu," tukas Jenar. "Katanya punya pegawai baru, tapi jam lembur nggak berkurang."

"Mungkin masih banyak yang perlu diurusi, Nar. Berarti Ibuk harus lebih sering kirim makanan buat Haris," tukas Darla antusias. Ibunya langsung membuka ponsel, paling-paling scrolling cookpad untuk mencari menu baru. Jenar membiarkannya saja, toh Darla terlihat bahagia.

"Terus mau kapan nikahnya?" Rumi masuk ruangan sambil membawa lebih banyak buah pepaya yang telah dipotong. "Kamu cewek, udah umur segini. Nggak baik nunda terus, yang ada malah nggak jadi."

Jenar melirik Darla yang berhenti mengunyah, lalu buru-buru nyengir. "Bulik Rumi ini jangan suudzon dong. Kami juga butuh banyak persiapan kalau mau nikah."

"Persiapan aja terus. Kebanyakan mikir malah nggak bagus, itu. Kasihan ibumu," gerutu Rumi sebelum pergi lagi.

Jenar melirik Darla dengan gelisah, menyadari dengan penuh sesal hilangnya binar bahagia dari mata ibunya. "Ibuk, jangan mikir yang macam-macam, ya. Kami baik-baik saja, kok."

"Tapi Rumi benar, Nduk. Nggak bagus nunda-nunda terus." Darla menaruh potongan pepayanya yang tidak habis, kelihatan hilang selera. "Ibuk bahkan belum pernah ketemu orangtuanya Haris, padahal udah selama ini."

"Orangtuanya sibuk kerja, Buk," sahut Jenar.

"Tapi cari waktu juga nggak sulit, kan Nduk? Ini juga hidup anaknya." Darla menghela napas panjang. "Lain waktu, Ibuk mau ngobrol ini sama Haris. Mumpung Ibuk masih ada, baiknya jangan lama-lama."

"Jangan gitu," gumam Jenar. "Jangan ngomong gitu, Buk. Ibuk sehat, Ibuk nggak kemana-mana."

"Umur nggak ada yang tahu. Lihat ayahmu, lihat kakakmu," ucap Darla gemetar. Ibunya mendesah panjang, lalu bangkit dan masuk kamar.

Jenar memandangi pepaya yang tinggal separo, lalu menyugar rambutnya dengan frustrasi.

===

"Aku udah bilang kalau nggak apa-apa nggak ke sini dulu," ucap Jenar sambil menendangi kerikil. "Ada Nirma, kan?"

"Ini perjanjian kita. Nirma nginep di tempat Hanna, jadi nggak ada masalah."

Haris berjalan di sampingnya dengan tangan tersimpan di celana. Seperti biasa, dia langsung ke tempat Jenar sepulang kerja. Rambutnya separo terkucir sambil menyisakan bagian bawahnya saja. Kalau kata Hayu, model rambut Haris mirip Eren Yeager. Padahal Jenar tidak tahu siapa itu Eren Yeager.

Gadis itu merapatkan hoodienya, agak menyesal karena ia hanya memakai celana pendek sebetis.

"Tante baru nggak sehat?"

Jenar menggeleng kecil. "Ibuk mulai nagih pernikahan, kan?"

Haris mengangguk. Jenar menghela napas berat dan menyugar rambutnya dengan bingung. "Kita memang harusnya nikah beneran, Ris. Jadi nggak nanggung begini."

"Pernikahan bukan jalan keluar dari kondisi ibumu, Jen."

"Iya, kan? Harusnya begitu, kan?" Jenar menatap Haris dengan serius. " Nikah bukan jalan keluar dari kondisi Ibuk. Kamu harus terus ngingetin aku, Ris. Jangan sampai aku maksa kamu buat nikah karena putus asa, atau malah cari cowok lain yang mau nikah pura-pura."

"Bukan ide bagus," celetuk Haris.

"Nggak banget, kan?" Jenar mengernyit. "Makanya, harus hati-hati. Kata Anggie, aku ini orangnya impulsif. Ternyata bahaya juga--eh, kenapa?"

Karena Haris tiba-tiba menahan dahi Jenar dengan telapak tangannya hingga langkah gadis itu berhenti.

"Jangan minta bantuan seperti itu ke lelaki sembarangan, Jen. Ada banyak cowok berengsek yang senang memanfaatkan keadaan di luar sana," ucap Haris kalem.

"I knew it. Tapi kita, Haris Diwangka, adalah produk impulsif dari Jenari yang putus asa," seloroh Jenar.

"I am one in a million, Jen. Artinya ada ribuan orang berengsek di luar sana yang nggak bisa kamu tabrak dan kamu mintai tolong seenak hati," tukas Haris seraya menatap Jenar dengan lekat.

"Lucky me, then." Jenar bersedekap dan menyipitkan mata. "Tapi permisi, ini tangannya mau nempel sampai kapan?"

Haris menatapnya lekat-lekat selama beberapa saat sebelum melepaskan tangannya.

"Cuma mau bilang begitu," ucap Haris kembali kalem.

Jenar memutar bola mata. "Tapi, are you okay? Tanganmu agak hangat."

"Iya?" Haris mengamati tangannya. "Bukan hal serius, sepertinya. I feel good."

"Kecapekan, mungkin. Kualitas tidurmu kurang bagus, Ris. Dan kamu juga merokok. Sorry, bukan bermaksud mendiskreditkan perokok, tapi pasokan oksigen yang kurang ditambah kurang tidur--"

"Aku bukan perokok. Darimana kamu dapat ide itu, Jen?" Haris mengerutkan kening.

Jenar mengangkat alis. "Rokok yang kamu bawa waktu pertama kita ketemu? Mobil yang penuh rokok? Don't believe you need to lie about this."

"Itu rokok Sinar, dan mobil itu punya Sinar," sahut Haris datar.

Jenar mengerjap. "Oh...aku kira..."

Jenar bergumam canggung dan berjalan lebih dulu menuju warung bakmi langganan mereka.

"Nirma juga mau bakmi, nggak?" tanya Jenar sambil melihat-lihat.

"Boleh."

"Sekalian buat Hanna?" tanya Jenar kaku.

Haris meliriknya, lalu mengangguk. Jenar menyebutkan total pesanan mereka dengan nada yang biasa saja, padahal hatinya risih dan tidak terima.

Tapi, yah...mau bagaimana lagi? Mereka masih mengharapkan satu sama lain begitu. Lagipula, Jenar ini siapa? Dia tidak berhak mengganggu jalan jodoh orang lain. Dia hanya berdoa semoga Rion mendapat ganti yang lebih baik.

===

"Antar ini buat Haris, ya."

Jenar menatap rantangnya, lalu meringis. "Serius, Buk?"

Darla meletakkan rantang di boncengan motor Jenar. "Kemarin dia kurang sehat. Suruh makan yang banyak."

"Oh...iya, kan? Kayaknya dia memang kurang sehat, deh," komentar Jenar seraya memakai helm.

"Dia nggak ngomong apa-apa?" tanya Darla keheranan.

"Nggak ngerasain apa-apa, katanya. Aku berangkat dulu, Buk."

Nirma dan Hanna sudah ada di sana saat Jenar sampai. Keduanya sedang menyantap jadah tempe di gazebo sambil mengobrol, lalu menoleh saat Jenar mendekat.

"Ke sini lagi," celetuk Nirma dingin. "Abangku sakit karena kamu, kan? Kamu kerja di tempat banyak orang sakit."

"Haris beneran sakit?" sahut Jenar segera. "Sakit apa? Keluhannya apa?"

"Cuma demam biasa." Hanna melirik pintu Haris yang tertutup. "Sebetulnya kamu nggak perlu repot-repot, aku udah bawakan dia sarapan tadi. Dan dia balik tidur setelah sarapan, jadi jangan diganggu, ya. Dia butuh banyak istirahat."

"Makanannya habis? Benar-benar nggak ada keluhan?" Cerca Jenar.

"Ck, berisik banget! Harusnya kamu nggak usah cerewet setelah Mbak Hanna bilang begitu!" Nirma menghampiri Jenar dengan langkah menghentak dan menariknya keluar pagar. Dengan tinggi yang setara dengan Jenar, gadis itu melakukannya dengan mudah. Ia menatap Jenar galak. "Abangku butuh istirahat. Pulang sana! Kamu malah ganggu!"

Cuping hidung Jenar mengembang. "Dengar ini, Nir. Di masa-masa sekarang, demam masih perlu diwaspadai. Kalau sampai sore demamnya belum turun atau malah naik tiba-tiba, bawa dia ke klinik. Paham?"

Nirma mengernyit. "Kamu ngedoain abangku kena Covid?"

Jenar menggeleng meskipun hatinya tersekap oleh rasa takut yang tidak terduga.

"Nggak--" Jenar berdeham demi meredam suaranya yang bergetar. "Cuma nggak ada salahnya kita selalu siaga, kan? Kamu pakai masker, ya. Hanna sama abangmu juga suruh pakai masker. Kamu--hari ini kamu di sini? Kamu nemenin kakakmu?"

"Cuma setengah hari," sahut Nirma datar.

"Kalau gitu, nanti tanyain kakakmu gimana indera pencecapnya dan apa keluhannya, oke?" Jenar berusaha mempertahankan ketenangan dalam suaranya. 

"Ck, berisik sekali," gerutunya. "Sana pergi! Dan bawa balik itu makanannya. Abangku udah makan."

"Nirma, dengar sebentar saja. Kamu boleh kok nggak suka sama aku, tapi kondisi kakakmu itu beda cerita. Just take it serious, okay?" Jenar mengangkat alis. "Dan ini dari ibuku. Kecuali kamu mau kena karma karena durhaka sama orangtua, ambil ini buat kakakmu. Paham?"

Nirma mendengkus. "Karma?"

"Ketemu kakak tingkat galak nan judes waktu ospek?"

Wajah Nirma memucat. Ia meraih rantang dengan kasar dan buru-buru masuk ke dalam. Jenar memandangi pintu kamar Haris yang tertutup, lalu berangkat kantor dengan perasaan yang sangat tidak enak.

[Demam, Ris? Berapa derajat?]

[39]

Langkah Jenar berhenti di selasar puskesmas.

[Ada keluhan lain?]

[Byuk]
 
 


[t]
 

[Tapi kemarin nggak batuk]

[Ha is makan basreng setoples, Jen. Diare juga]
 

Harusnya, Jenar mengumpat. Tapi masa lalu masih begitu lekat hingga hati Jenar belum mampu berkelakar.

[39 itu tinggi. Periksain aja di klinik. Dan pakai masker. Ada Nirma sama Hanna juga, kan?]

[Y. Off, Jen. Pusing liht latae]

[

Lyar]
 
Jenar terpaku pada balasan Haris yang penuh typo, berasumsi jika fokus Haris memang sedang berantakan. Lalu Haris mengirimkan pesan lagi.

[Tante sehar?]

[Ibuk baik. Periksa!]

[Y]
 

"Nar!"

Hayu menepuk pundak Jenar hingga gadis itu melonjak tinggi.

"Mikir apa sampai serius gitu?" Hayu mengerutkan kening pada Jenar yang mencengkram jantungnya.

Jenar berdecak kecil dan menggeleng. Hayu nyengir dan melingkarkan lengannya di leher Jenar.

"Jenariii, lihat! Lihat!" Hayu memamerkan cincin di jarinya.

"Apa ini? Lamaran dari Awan?" Jenar mengangkat alis.

Hayu tersenyum lebar. "Belum resmi, sih. Tapi minggu depan dia sama orangtuanya mau ke rumah."

Jenar tersenyum tipis. "Selamat ya."

"Thank you beb," sahut Hayu ceria. Gadis itu mengiringi langkah Jenar sambil berdendang, lalu berdecak saat Jenar diam saja sedari tadi.

"Kepikiran apa, Nar? Badmood kayaknya. Tante kenapa?"

"Ng--demam bukan selalu covid kan, Yu?" tanya Jenar lamat-lamat.

"Bulik demam?" pekik Hayu.

"Haris."

"O-oh..." Hayu mengerjap. "Nggak, sih. Klinis aja, kan? Suruh periksa lab kalau mau yang pasti-pasti. Tapi, kita pasti mikir gitu sih, ya. Hampir tiga tahun kita aware sama Covid, jadi agak sensitif kalau ada orang demam."

Iya, mungkin karena itu. Belum lagi karena Covid merampas hidup Jenar, jadi wajar jika ia berburuk sangka.

"Are you okay?" Hayu menatapnya dengan cemas kali ini. "Kamu kayak mau nangis, Nar."

"Ngaco," tukas Jenar. "Sudah sana ke bp!"

Hayu menyipit, namun Jenar buru-buru pergi sebelum Hayu berkomentar aneh lagi.

Hingga sore hari, Haris tidak memberi kabar. Lelaki itu juga tidak datang ke rumah. Ia sudah menjelaskan kondisi Haris pada Darla, dan Darla mengerti. Ibunya pun memutuskan tidur lebih awal, meninggalkan Jenar dengan setumpuk pekerjaan di meja kerjanya.

Tapi Jenar tidak bisa berkonsentrasi. Pada akhirnya, ia mengirimkan pesan pada Haris.

[Udah periksa, Ris?]

Sampai pukul setengah satu dini hari, Haris tidak membalasnya hingga Jenar tidur dengan kegelisahan besar yang bercokol di hati.

===

Jenar membuka mata pada dering alarm pertama. Gadis itu langsung menyahut ponselnya, lalu makin cemas saat Haris tidak juga membalas pesannya.

"Gimana Haris hari ini, Nduk?" tanya Darla saat sarapan.

"Agak baik, katanya." Jenar berusaha tersenyum.

"Syukurlah," ujar Darla lega. "Nanti bawain makanan lagi, ya."

Maka, Jenar berangkat lebih pagi agar masih punya waktu untuk mampir di kos Haris. Namun pintu kamar Haris masih tertutup. Tidak ada Hanna ataupun Nirma kali ini. Gadis itu pun mengetuk pelan.

"Haris? Masih nggak enak badan, ya?" panggil Jenar.

Gadis itu mengetuk lagi saat Haris tidak menjawab. "Haris?"

Beberapa detik berlalu, namun Haris tetap tidak menjawab. Mungkin lelaki itu masih tidur. Ia menulis sebuah pesan di sticky notes dan menempelkannya di rantang, lalu menaruh rantang itu di depan pintu kamar Haris agar Haris segera menemukannya waktu ia bangun nanti.

"Kayaknya orangnya belum balik dari rumah sakit, Mbak."

Celetukan itu berasal dari tetangga kos Haris yang baru saja keluar dari kamar.

"Rumah sakit?" Jenar mengulang, perutnya mulai kebas. "Parah, ya?"

"Kata anak-anak, dia pingsan. Dibawa ke rumah sakit sama Sinar. Itu, yang punya bengkel di depan sana," ucapnya.

"Ke rumah sakit mana?" tanya Jenar.

"Kami juga belum tahu. Sinar sama Haris nggak bisa dihubungi dari kemarin." Ia meringis. "Aku berangkat dulu. Mari, Mbak."

Jenar memandang kosong punggung lelaki itu, lalu buru-buru meraih ponselnya.

Benar. Pesannya tidak sampai kepada Haris. Panggilannya pun tertolak. Apakah ponsel Haris mati?

Gadis itu buru-buru meraih rantangnya. Ia berkendara menuju bengkel Sinar, yang ternyata masih tutup.

"Nggak apa-apa. Haris nggak apa-apa, kok. Pingsan bisa jadi karena dehidrasi. Ya dia makan basreng setoples!" Jenar berusaha menenangkan diri selama perjalanan ke kantor.

[Haris?]

Masih sama, pesannya hanya centang satu. Ia juga masih belum bisa menelpon Haris. Gadis itu memeriksa buku teleponnya, mencari kalau-kalau ia pernah menyimpan nomor Sinar atau Hanna.

Tidak ada.

[Haris? Katanya di rs, ya?]

Langkah Jenar berhenti saat pesannya terkirim. Sepertinya, seluruh pesannya sejak semalam baru saja terkirim. Gadis itu menelpon.

"Haris, katanya di rumah sa--"

"Jenar, ini Sinar. Bagus kamu telpon. Ponselnya Haris di-lock jadi aku nggak bisa ngebales pesan. Baru bisa dicas juga."
 

Sinar menghirup napas panjang.

"Haris masuk ICU, Nar. Dia positif covid." 

Tiba-tiba, Suara Sinar terdengar jauh sekali. Bercampur dengan deru darah yang mengalir di telinga, rasa nyeri di dada, dan rasa takut yang menghentak jantungnya hingga seluruh tubuh Jenar terasa dingin.

"Positif, Nar. Nggak apa-apa. Aku di rumah sakit terbaik di ibukota, ingat? Jadi, Jenariku baru apa?"

"Masuk isolasi. Masih bisa vc. Mau vc?"

"Maaf, kemarin agak drop."

"Jangan sedih, Nar. Tunggu aku, ya. Aku pasti pulang."

"Putra is calling..."

"Jenari, ini Mama. Putra pergi tadi malam, Nak."

"Nar!" Seseorang mengguncang bahu Jenar dengan panik. "Jenari! Kenapa nangis?" 

==TBC==

BP : Balai pengobatan/ruang pemeriksaan umum.

Haii, selamat sore. Sayang-sayangku, terima kasih untuk doanya. Mohon  maaf nggak sempat balas satu persatu. 

Selamat hari Jumat, terima kasih telah membaca 💕💕
 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top