Before A Kiss | 16

❤️❤️❤️

Selamat pagi, bagaimana kabar hari ini? Lama tak jumpa yaa. So sorry karena baru bisa update. Baru pindahan dari Jogja ke Jabar, ternyata Sakha butuh banyak waktu untuk penyesuaian. Sampai sini demam dan diare, nggak mau turun, nggak mau sama siapapun selain simamak sampai simamak nggak mandi 🫠. Hamdallah sudah mulai ceria, jadi simamak baru bisa pegang tulisan 😅

Sekian kilas curhatan di pagi hari ini. Selamat membaca yaa.

❤️❤️❤️

"Jenari?"

Ketukan tidak sabar menyertai panggilan dari Rumi. Jenar bangun dengan terkejut, yang membuat laptop di hadapannya langsung menyala. Rupanya ia ketiduran saat mengerjakan lemburan.

Gadis bercepol dengan rambut awut-awutan itu membukakan pintu. "Maaf. Ada lemburan, Bulik. Kenapa? Ibuk kenapa?"

Rumi berdecak seraya berkacak pinggang. "Ibumu udah siap-siap sarapan. Sana ikut sarapan, tapi wajahnya dibersihin dulu itu! Ckck, Nar. Kalau mbahmu masih ada, udah disabet kamu. Anak cewek kok baru bangun jam segini." Rumi meninggalkan Jenar sambil menggerutu kecil.

Jenar hanya meringis kecil sebelum balik ke dalam, sama sekali tidak memasukkan omelan Rumi ke dalam hati. Dia biasanya rajin, kok. Tapi kalau ada lemburan begini, Jenar memang sering kebablasan.

Jenar berhenti saat merasa menginjak sesuatu. Gadis itu menunduk, lalu buru-buru mengambil kalungnya yang entah sejak kapan sudah terserak di lantai. Jenar membetulkan sambungan benangnya dan kembali memakainya.

Hari ini hari Minggu. Dia bisa bersantai setelah mengerjakan tumpukan tugas yang menggunung di mejanya.

"Nar! Sarapan dulu, yuk?" Darla menyambangi pintu kamarnya dengan tidak sabar. "Nanti habis sarapan, tolong kirim makanan buat Haris, ya."

Atau tidak.

Jenar teringat kejadian semalam, lalu mendengkus sebal. Bucin memang menutup mata hati!

===

[Di kosan? Ibuk nitip makanan]

[Lembur, tapi sebentar lagi pulang]

[Mau cokelat, Jen?]

[Kamu ditembak tiap hari?]

[Mau nggak?]

[Sini deh. Daripada mubadzir]

Haris tidak membalas lagi. Jenar mengucir rambutnya ala ekor kuda. Gadis yang sudah rapi dengan jeans dan kemeja kasual itu meraih rantang dan pamit pada Darla.

Pintu Haris masih tertutup saat Jenar tiba di sana. Dia justru melihat Hanna sedang bercengkrama akrab dengan seorang gadis remaja di gazebo. Gadis asing itu tinggi dengan rambut panjang yang bergelombang. Ia memakai jumpsuit yang dipadu dengan sebuah slingbag berbentuk kepala kelinci.

Melihat Hanna, Jenar jadi malas mendekat.

[Haris, udah sampai kos?]

Lima menit berlalu, namun Haris belum membalas. Jenar menimbang-nimbang, lalu memutuskan untuk mendekat. Hanna menoleh, dan senyum ceria lenyap dari wajahnya. Ia berbisik pada si gadis di sebelah, lalu si gadis itu mengangkat alis sambil mengikuti langkah Jenar. Jenar tidak ambil pusing. Gadis itu terus mendekat dengan ekspresi biasa saja.

"Hai, Haris belum datang?" tanya Jenar.

"Belum. Ada urusan apa, Nar? Nanti aku sampaikan," ucap Hanna ramah.

"Main aja." Jenar ikut duduk di gazebo dan menyapa si gadis remaja dengan ramah. "Hai, temannya Hanna?"

"Nggak pernah dikasih lihat foto keluarga?" si gadis tadi berkata dingin. "Yakin situ pacarnya Abang?"

Jenar mengamatinya sejenak, lalu mengangguk paham. "Kamu adiknya Haris. Dan, belum pernah. Mungkin dia mau kita ketemu langsung suatu hari nanti."

"Nggak perlu. Cuma Mbak Hanna yang bakal jadi istrinya Bang Haris," sahutnya.

Hanna tertawa canggung. "Ngomong apa sih, Nir? Kami udah putus."

Jenar mengangguk sambil bertopang sagu. "Benar. Mantan calon kakak iparmu ini udah punya calon suami, lho. Kamu doain dia putus sama calon suaminya?"

Si gadis remaja tadi melirik Hanna, lalu berdecak. "Kalau perlu, putus aja. Masih perhatian sama Bang Haris gini."

"Sebagai teman aja. Kan, kami tinggalnya dekat," jawab Hanna buru-buru. "Udah kenalan dulu! Nar, ini Nirma. Nirma, ini Jenar."

"Tahu." Nirma kembali meraih ponselnya dan beringsut ke arah Hanna. "Jadi yang mana, Mbak? Biru? Apa yang merah?"

"Biru aja deh, Nir. Bentuknya bagus di badanmu," jawab Hanna serius. "Tapi coba yang lain. Crop top yang ini?"

Mereka berdua sibuk memilih-milih baju hingga kepala mereka menempel satu sama lain. Jenar melirik keduanya, lalu membuka ponselnya untuk membalas pesan kader-kadernya.

"Mbak ke belakang dulu, deh. Sana ngobrol berdua. Ck, Nirma ini gimana. Calon kakak ipar nih!" Hanna mengacak puncak kepala Nirma dengan gemas.

"Apasih!" seru Nirma. Hanna tertawa-tawa dan pergi ke toilet.

Jenar melirik Nirma yang masih sibuk dengan ponselnya, lalu ia menyimpan ponselnya sendiri.

"Nirma kuliah di mana?" tanya Jenar ramah.

"Kalau kamu nggak tahu, berarti kamu nggak sebernilai itu buat Bang Haris," celetuknya datar dengan tatapan masih ke layar ponsel. "Nggak usah sok dekat. Aku nggak suka."

Jenar menatap gadis itu sejenak, lalu akhirnya memilih diam dan bermain ponselnya sendiri. Dia benar, Jenar tidak perlu sok dekat dengan adik Haris.

"Kenapa kamu harus jadi pacarnya Bang Haris?" celetukan sarat emosi itu membuat Jenar menoleh. Nirma menatapnya dengan tajam. "Putus aja! Tinggalin Abangku sekarang! Harusnya Mbak Hanna yang jadi pacarnya Abang. Bukan kamu!"

Jenar kembali menatap ponselnya. "Nggak bisa. Aku masih butuh Abangmu. Sorry."

"Kamu cuma bawa hal buruk ke Abang kan? Nggak kayak Mbak Hanna yang selalu kasih Abangku motivasi, kamu malah ngebiarin Abang terjebak di perusahaan nggak jelas!"

Jenar melirik Nirma. "Hanna bilang apa aja tentang aku?"

"Semua. Kamu nggak akan pernah bisa jadi seperti Mbak Hanna. Cuma Mbak Hanna yang pantas buat Abang. Dia yang udah bantu Abang dari dulu. Dia yang bantu Abang baikan sama Bapak. Dia juga--" Nirma berhenti sejenak, lalu meneruskan dengan suara gemetar, "dia juga satu-satunya orang yang bisa ngeyakinin aku kalau Abangku sebenarnya baik."

Nirma kembali sibuk dengan ponselnya, begitupun dengan Jenar.

"Kamu cuma ngeganggu Abangku sama Mbak Hanna," celetuk Nirma. "Gara-gara kamu, Mbak Hanna akan susah kalau mau balikan sama Abang."

"Memangnya Hanna mau balikan?" tanya Jenar tanpa menoleh.

"Mbak Hanna cuma pergi sebentar," gumam Nirma. "Nanti juga dia balik lagi. Abang cuma akan bahagia kalau sama Mbak Hanna. Dan jangan lihat ponsel kalau sedang ngobrol sama seseorang. Kamu nggak sopan."

Jenar menghela napas dan menatap lekat-lekat gadis muda itu. "You do something to me, I do the same, sweet girl. Kalau kamu mau diperlakukan dengan baik, kamu juga harus memperlakukan orang lain dengan baik. Jadi kalau mau ngobrol sama aku, ponselmu ditaruh dulu, coba."

Wajah Nirma mengeras hingga bibirnya membentuk garis tipis. Kalau begini, wajahnya sedikit mirip dengan Haris.

"Dasar pendendam!" Gadis itu membuang wajah dan sibuk dengan ponselnya.

Jenar terperangah, lalu mengangkat bahu dan kembali membalas pesan-pesan dari rekan kerjanya.

"Haris!"

Hanna yang sedang menyebrangi halaman, melambai riang ke arah Haris yang rupanya baru saja membuka pintu gerbang. Jaket dan kausnya kusut. Matanya merah, dan wajahnya tampak lelah.

Melihat Haris yang memarkir motornya, Nirma buru-buru sembunyi dengan wajah panik.

"Ris! Ris! Sini deh. Lihat siapa yang datang!" Hanna menggamit lengan Haris dan menariknya tidak sabar.

"Pacarku?" Haris melepaskan diri, namun Hanna kembali meraih lengannya.

"Bukan, ck! Kamu pasti senang!" Hanna terkikik seraya menahan lengan Haris. "Sini!"

"Hanna, tanganmu."

Hanna mengerucutkan bibir dan melepaskan Haris. "Tapi Ris, lihat siapa yang datang!"

"Pacarku yang datang," gumam Haris seraya mendekati Jenar yang duduk anteng di gazebo sedari tadi. "Udah dari tadi?"

"Lumayan." Jenar melirik Nirma yang panik dan gelisah. "Ngomong-ngomong, kamu ada tamu--"

"Ris, lihat dulu!" Dengan tidak sabar, Hanna menarik Haris hingga ke gazebo. "Lihat! Nirma lho, Ris. Udah gede ya, dia. Berani ke sini sendiri."

Hanna tampak puas sekali saat Haris membeku. Sementara kini, wajah Nirma memadam. Untuk beberapa saat, sang adik melihat sang kakak dengan takut-takut. Tapi pada akhirnya, ia turun dan menghadapi Haris dengan berani.

"Aku dibantu Mbak Hanna, kok," ucap Nirma. "Jadi, Abang ngekos di sini sekarang?"

Wajah Haris mengeras. Kedua tangannya mengepal hingga urat di punggung tangannya terlihat jelas.

"Sama siapa ke sini?" tanya Haris kaku.

"Sendirian. Tapi dijemput Mbak Hanna di stasiun."

"Kamu ngebiarin Nirma ke sini sendirian?" Haris menatap tajam Hanna.

"Ya dianya maksa." Hanna meringis. "Bilang dong Nir. Mbak cuma bantuin kamu, kan?"

Nirma buru-buru mengangguk. "Aku kok, Bang. Jangan marah sama Mbak Hanna. Kan, dia justru kasih tahu cara yang benar. Aku yang mau ketemu Abang."

Wajah pongah yang Jenar lihat tadi kini sirna, berganti dengan ekspresi takut saat Haris menatap adiknya dengan tajam tanpa keramahan.

"Jangan marah." Nirma mengerut. "Ya udah deh. Aku pulang lagi aja--"

Kalimat Nirma terhenti saat Haris meraihnya dalam pelukan. Erat sekali seperti tidak pernah melihatnya selama bertahun-tahun. Wajah lelaki itu kaku sarat emosi, namun tangannya membelai belakang kepala Nirma dengan lembut.

"Kamu kalau mau ke sini, bilang sama Abang," ucap Haris. "Lancar, kan? Nggak ada yang ganggu, kan?"

Nirma menggeleng di pelukan kakaknya. Bahunya berguncang. Apakah ia menangis?

Hanna berdiri di sebelah mereka. Wajahnya tampak prihatin. Ia juga ikut membelai bahu Nirma. Dan Haris, mengusap pundak gadis itu. "Thank you, Na."

"Anytime. Apapun buat keluargamu, Ris," jawab Hanna lembut.

Jenar masih di gazebo, duduk hanya berjarak lima langkah dari mereka. Tapi sepertinya, Jenar jadi transparan. Sekarang, ia seperti sedang menonton reuni keluarga kecil yang bahagia.

Gadis itu melirik lengan Hanna yang bergelayut di pinggang Haris, lalu meletakkan rantangnya di gazebo. Setelahnya, ia meninggalkan keriuhan kecil itu. Obrolan samar dari ketiganya terdengar sesaat sebelum Jenar pergi mengendarai motor.

Mungkin, hanya Hanna yang bisa membuat Haris bahagia. Gadis itu tahu semua tentang Haris, dan membantunya di saat-saat terlemah Haris.

Mungkin, Hanna memang sedang pergi sebentar.

Mungkin, Jenar telah salah sudah bertindak begitu gegabah. Manusia tidak ada yang sempurna, dan cinta selalu lewat banyak liku sebelum bermuara, katanya. Jadi, mungkin ini salah satu liku di kisah cinta Haris dan Hanna.

Lagipula, mengapa Jenar jadi tersesat jauh sekali dari perjanjian mereka? Bukankah dari awal, menjadi makcomblang adalah imbalan Haris karena sudah setuju dengan skenario konyolnya?

Jenar berhenti di depan stasiun. Gadis itu termangu sejenak, merasa begitu sepi seorang diri.

Sepi, ya.

Tapi harusnya Jenar mulai membiasakan diri, kan? Dia berniat sendirian sampai tua. Jadi, mengapa ia merasa terkucilkan? Apakah dia mulai bergantung pada kehadiran Haris?

Nggak boleh, Nar. Pikiranmu nggak waras!

Jenar memuntiri kalungnya sambil melamun, lantas menunduk saat tangannya basah. Ia buru-buru mengusap dagunya. Tapi air mata sialan ini justru tidak mau berhenti. Yang ada, gadis itu menutupi wajahnya saat air mata makin membanjiri.

Di saat-saat begini, rindunya pada Putra terasa begitu jelas dan menyiksa.

Mungkin pergi sekarang akan jadi ide brilian.

Sebentar saja. Jenar hanya merasa ingin pulang.

===

"Je.Na.Ri!"

Jenar terkejut. Haris berjalan cepat ke arahnya dengan tampang menyeramkan hingga Jenar mengerjap. Lelaki itu masih memakai kausnya yang tadi. Sesampainya di depan Jenar, lelaki itu berkacak pinggang demi mengatur napasnya yang terengah.

"Ng--ya?"

"Di sini dari tadi?" geram Haris.

Jenar mengangguk, tidak memgerti mengapa Haris emosi. Tapi, yah...mungkin karena dia habis lembur. Orang kurang tidur cenderung temperamental.

Haris terus memandanginya sambil mengatur napas. Jenar membuang wajah sambil terus mengunyah roti. Suasana damainya sirna saat melihat lelaki ini. Dasar bucin menyebalkan!

"Jenar di sini, Tante. Baru duduk-duduk sambil makan roti."

Perut Jenar melilit tidak keruan. Demi Tuhan! Dia melupakan Darla dan malah duduk-duduk ria di stasiun sambil makan roti!

"Jenar di sini sama saya. Jangan khawatir," ucap Haris sebelum menutup ponselnya. Ia menatap Jenar dengan level kegalakan yang bertambah hingga Jenar sedikit mengerut.

Haris menyugar rambutnya dan duduk di samping Jenar. Gadis itu meraih ponselnya untuk menelpon Darla, tapi ternyata ponselnya mati entah sejak kapan.

"Aku pulang, deh." Jenar bangkit, namun Haris meraih sikunya hingga gadis itu kembali duduk.

"Ibumu udah tenang," jawab Haris kaku.

"Ibuk--nggak apa-apa?" tanya Jenar mencuri pandang.

"Baru kepikiran sekarang?"

Jenar mengangguk, merutuki kecerobohannya sendiri. Entah apa yang merasukinya, dia justru menikmati kesendirian di stasiun ini. Rasanya damai. Gila, kan?

"Boleh pinjam ponsel sebentar?" tanya Jenar gelisah. "Mau telpon Ibuk."

Haris memberikannya. Jenar sedikit menjauh dari Haris, lalu menelpon Darla.

"Iya, Nak? Jenar kenapa?" tanya Darla tergesa.

"Ibuk, ini aku." Jenar meringis. "Maaf--ponselku lowbatt."

"Jenar! Ibuk hampir mati waktu Haris cari-cari kamu tadi! Nduk, Nduk! Kamu di mana?" tanya Darla dengan suara gemetar.

"Cuma jalan-jalan sebentar. Baru banyak pikiran aja, Buk. Maaf."

"Jangan diulangi lagi! Jangan tiba-tiba pergi lagi!" seru Darla.

"Iya, maaf. Ibuk yang tenang. Aku sama Mas Haris di sini," sahut Jenar mulai panik.

"Iya! Harus sama Haris!" tukas Darla.

"Iya, iya. Dia di sini, kok. Iya, Buk. Nggih."

Jenar mengembalikan ponsel dan duduk di sebelah Haris. Sesaat, keheningan melanda keduanya sebelum akhirnya Haris berbicara.

"Tiga jam di sini, Jen. Kamu sebegitunya kangen roti di stasiun?"

Jenar tidak menanggapi. Gadis itu terus mengunyah rotinya hingga habis.

"Tadi sempat ke rumah?" tanya Jenar kaku.

"Hm. Ternyata nggak ada," gumam Haris yang menyandarkan kepala sambil terpejam.

"Terus kenapa tahu kalau aku di sini?"

"Just guessing. Satu dari banyak kemungkinan, kamu ambil tindakan impulsif dan pergi ke Surabaya sendirian. Jadi, kamu memang mau pergi ke Surabaya sendirian?"

"Tadinya." Jenar membuka bungkus roti yang baru. "Tapi ingat kalau besok aku harus kerja."

Haris menghela napas panjang. "Maaf. Sikapku tadi kurang pantas."

"Nggak masalah. Aku cuma antar makanan dari Ibuk," sahut Jenar datar. "Adikmu, ya? Kuliah di mana?"

"Di Bandung. Dia baru masuk kuliah tahun ini. Tapi Nirma memang tinggi, jadi banyak yang menilai dia lebih tua dari umurnya."

"Oh...dia kelihatan kangen sekali tadi," komentar Jenar sambil menggerigiti rotinya.

"Hmm...kami memang belum lama baikan."

Jenar mendengkus. "Ada apa dengan para kakak laki-laki? Kalian hobi sekali bikin adik perempuan naik pitam. Typical."

"Begitu, ya? Tapi sepertinya aku keterlaluan kali ini, Jen." Haris menatap langit-langit. "Bagi Nirma yang masih SMP waktu itu, aku memang kakak bajingan yang harus dibenci. Aku adalah aib keluarga, dan penyebab ibu kami meninggal."

Jenar menurunkan rotinya, tiba-tiba merasa tidak berselera. "Apa itu artinya?"

"Hmm...Ibu meninggal sesaat setelah aku kena kasus. Ibuku punya penyakit jantung, jadi kasus anaknya adalah pukulan berat. Aku diusir Bapak karena dianggap aib. Keluarga besar pun sama." Haris berdecak kecil. "Padahal Nirma manis sekali sejak kecil. Tapi setiap kali lihat tatapan benci Nirma, aku nggak bisa, Jen. Sampai Hanna datang, dan mulai mengakrabkan diri sama keluargaku. Aku nggak tahu bagaimana prosesnya, karena aku sendiri pun nggak bisa menghadapi Bapak dan Nirma. Waktu aku ke sini, aku masih dibenci. Jadi lihat Nirma di sini dan bertingkah begitu, aku jadi bingung sendiri."

Haris nyengir canggung. "Tiba-tiba adikku begitu, aku jadi salah tingkah."

Padahal, perut Jenar sudah bergolak tidak keruan. Padahal, dia ngeri sendiri membayangkan apa yang harus dihadapi Haris di masa lalu. Tapi lelaki ini membahasnya tanpa beban. Dia malah nyengir canggung dengan binar bahagia yang gagal disembunyikan. Lihat! Dia sekarang justru sibuk mencari-cari sesuatu di dalam saku jaketnya.

"Ini," katanya sambil mengulurkan sebuah cokelat. "Mau pulang kapan?"

Jenar menatap Haris, tidak tahu harus berkata apa. Lelaki itu mengangkat alis, menunggu. Tapi Jenar jadi sadar, jika Haris punya iris mata berwarna cokelat muda. Ada beberapa bintik samar di wajahnya yang bersih. Mungkin flek hitam karena keseringan naik gunung. Hidungnya agak mancung, dan bibirnya tipis. Kalau sedang tidak kumisan begini, Haris terlihat jauh lebih muda. Rambutnya terkucir rapi, mengingatkan Jenar pada beberapa aktor berambut gondrong yang membuat Hayu mabuk kepayang.

"Jen?"

Jenar mengerjap, lalu mendengkus keras. "Kamu bukan aktor."

Haris mengerutkan dahi dengan bingung, namun Jenar berdeham.

"Aku...turut berduka cita," gumam Jenar. "Sorry to hear that, Haris. Kamu udah melalui banyak hal. It must be hard. Good to see you're here."

"Is it that good?"

"We have this silly scenario, so yes. It is that good. Terus kenapa kamu di sini? Nirma lho, ini. Dia udah balik, ya?"

Haris menggeleng. "Baru shopping sama Hanna."

Jenar mengerutkan kening. "Kamu nggak nemenin Nirma? Kamu sebahagia itu, kan?"

"Tiba-tiba adikku datang, tentu aku senang, Jen. Tapi pacarku hilang tiba-tiba. Mana bisa aku ikut shopping-shopping ceria?"

Jenar memutar bola mata, lalu mulai membuka cokelatnya. "Jadi, Hanna memang banyak bantu kamu ya, Ris."

"Bisa dibilang begitu."

"Adikmu juga sepertinya suka Hanna. Suatu saat nanti kalau Hanna mau balikan, yakin nggak akan kamu terima?" tanya Jenar.

Haris terdiam sejenak, lalu balik bertanya. "Perasaanku saja, atau memang kamu sering sekali penasaran tentang itu?"

Jenar mengangkat bahu. "Biar aku bisa mengambil sikap."

"Bukannya tadi malam sikapmu udah jelas?"

"Aku kira begitu," gumam Jenar. "Tapi sepertinya aku salah. Entahlah."

Haris diam sejenak, lalu berkata, "Jangan terlalu dipikirkan. Itu bukan urusanmu, Jen."

Tidak. Jenar tidak tersinggung, dia hanya merasa sebal karena kalimat Haris.

"Ini mau balik. Sana nyusul Hanna sama Nirma," kata Jenar.

" 'Balik' ini maksudnya pulang?" Haris mengangkat alis.

"Iya, Haris. Memangnya kemana lagi?"

"Bandara? Siapa tahu maghrib nanti kamu tiba-tiba udah di Surabaya."

Jenar mendengkus tipis hingga lelaki itu nyengir.

"Aku pulang ke rumah, jangan khawatir. Sana sana! Dijaga dua cewekmu yang paling berharga itu!" Jenar mengibaskan tangan saat Haris justru mengikuti langkahnya.

"Kamu sampai rumah, aku baru pergi," ucap Haris kalem.

"Ini pulang, serius." Jenar mengacungkan jemarinya membentuk huruf V. "Ck! Daripada kamu bolak-balik, Ris. Mending langsung ke sana--"

"Jen."

Haris menghela napas panjang. Raut jenaka hilang dari wajahnya, berganti dengan ekspresi serius yang membuat Jenar langsung terdiam.

"Biar aku pastikan dulu kamu benar-benar sampai rumah, baru aku pergi," ucap Haris kalem. "Oke?"

Jenar menggerutu pelan, namun mengangguk saja. Jenar belum terbiasa dengan mode serius lelaki itu. Kalau dipikir-pikir, Haris lebih sering memasang wajah masa bodoh sampai Jenar lupa jika keseraman Haris akan naik dua puluh lima persen saat sedang serius.

Sepanjang perjalanan, Haris mengekori Jenar. Darla dan Rumi duduk di teras saat mereka sampai. Jenar begitu merasa bersalah saat Darla menyambanginya dengan luar biasa cemas.

Darla berterima kasih pada Haris karena sudah memastikan Jenar pulang, yang dijawab Haris dengan setengah berkelakar hingga Darla dan Rumi tertawa.

Dan Jenar, baru saja menyadari alasan dibalik sikap hangat dan rendah hati yang selalu Haris tunjukkan setiap ia bercengkrama dengan Darla.

"Pulang dulu, Jen," pamit Haris, yang memberikan satu batang cokelat lagi pada Jenar. "Ini. Jangan lupa gosok gigi."

Lelaki itu nyengir saat Jenar mencibir. Ia berpamitan pada Darla dan Rumi, lalu hilang dari pandangan.

Secepat itu.

Mungkin ia ingin cepat-cepat menemui Nirma, atau menemui Hanna.

Adegan berpelukan mereka bertiga kembali terngiang di kepala hingga Jenar mendengkus keras.

Dasar bucin menyebalkan!

===TBC===


Di KK juga sudah update yaa. Selamat hari Jumat. Terima kasih telah membaca 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top