Before A Kiss | 15

[Nggak jadi?]
 

[Nggak. Aku belum yakin. Maaf]

Jenar mengirim pesan balasannya dengan sejuta rasa bersalah.

Seharusnya mereka berangkat dua hari lagi. Haris bahkan sudah mengantongi izin dari Darla. Tapi tiba-tiba, rasa takut itu muncul lagi. Untuk beberapa saat, gadis itu berperang dengan diri sendiri. Tapi pada akhirnya ia memutuskan untuk membatalkan semuanya.

Jenar menunggu balasan Haris dengan cemas, tapi lelaki itu tidak kunjung membalas padahal pesannya sudah centang biru. Mungkin--tidak. Pasti Haris kecewa. Jenar sudah membuat janji di hari liburnya yang berharga. Bisa jadi Haris menunda banyak acara penting demi menemani Jenar, tapi gadis itu justru membatalkannya.

Brak!

"JENARRRR!"

Hayu membuka pintu ruangan Jenar dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya.

"Pelan-pelan, Yu. Kalau pintunya rusak, aku yang disuruh ganti," tukas Jenar seraya meraih ponselnya yang jatuh karena terkejut.

Hayu mengabaikannya. Ia justru duduk di hadapan Jenar dengan wajah berbinar.

"Triple date, yuk?" ucapnya semringah. "Sabtu nanti. Ya? Ya?"

Jenar menyipit. "Triple?"

"Sama Anggie juga. Dia udah setuju kok. Ya, ya? Nonton horor yang kemarin itu lho, Nar. Sekalian nanti terserah deh mau ke mana," pinta Hayu.

Jenar menimbang-nimbang, lalu mengirimkan pesan pada Haris.

[Ris, suka horor nggak?]

Jenar mengetukkan jemari ke meja, menunggu. Namun Haris tidak kunjung membaca pesan.

"Nanti aku kabari lagi. Haris baru sibuk," kata Jenar. "Depan udah sepi?"

"Barusan sepi," jawab Hayu. "Gimana perkembangan hubunganmu sama Haris?"

"Perkembangan dibilang." Jenar memutar bola mata seraya membaca jawaban Haris.

[Tergantung kualitas film]
 

Jenar membalasnya dengan mengetik judul film yang akan mereka tonton.

[Oke]
 

"Dia oke," kata Jenar, yang membuat Hayu bersorak riang.

"Kalau ada tambahan tempat, kita obrolin di chat ya. Daaah, couple pura-puraku." Hayu meleparkan kecupan sebelum melenggang keluar dengan gembira.

Jenar mendengkus geli, lalu memutar ponselnya dengan main-main.

[Sibuk, Ris?]

[A bit. But please look at this]
 

Haris menyematkan tiga artikel, yang rupanya membahas Lokamuda. Jenar membaca ketiganya, yang rupanya berisi artikel-artikel positif tentang Lokamuda.

[More exposure, huh?]

[Yep. And please check on twitter]
 

Jenar menurut. Rupanya, event Lokamuda bulan ini menjadi salah satu trending topik.

[Congrats, then]

Haris tidak menjawab lagi. Mungkin kembali sibuk. Jenar tidak mempermasalahkannya. Gadis itu meregangkan badan demi melepaskan sendi-sendinya yang kaku, lalu mengangkat alis saat melihat seorang pengemudi ojek online memasuki pekarangan mereka dengan canggung sambil membawa bag bertuliskan Lokamuda. Bag itu tampak menggembung dengan daun bawang mencuat ke atas.

Bukan pemandangan aneh. Banyak pegawai puskesmas memesan produk-produk segar dari Lokamuda karena mereka tidak sempat berbelanja ke pasar. Terkadang, Jenar pun demikian. Harus Jenar akui, di lini ini, Lokamuda telah sangat membantu. 

Gadis itu meregangkan badan dan kembali bekerja. 
 

==
 

"Hai, Ris!" sapa Hayu ceria saat Jenar dan Haris tiba. Jenar agak terlambat karena Haris yang masih harus bekerja hingga malam.

"Haris, ini pertama kalinya kita ketemu," ucap Anggie, yang menatap Haris dengan lekat.

"Agaknya begitu," jawab Haris ringan, yang mulai bercakap dengan Awan dan Pandu.

Pandu adalah senior mereka di kampus, dan mungkin, ia pernah mendengar selentingan hal tentang Haris. Dugaan Jenar ini diperkuat dengan cara Pandu dan Anggie menatap Haris meskipun Haris tampak tidak terganggu. Perut gadis itu langsung bergolak tidak nyaman.

"Ayo ke atas, guys!" desak Jenar seraya meraih lengan Hayu dan Anggie.

Mereka menyamankan diri di kursi bioskop, dan menikmati filmnya. Hayu sering sekali menjerit, sementara Jenar tidak henti-hentinya mengernyit. Hanya Anggie yang menonton dengan tenang sambil makan popcorn. Sesekali, Jenar melirik Haris yang duduk di seberang sana, kalau-kalau Haris merasa tidak nyaman atau terasing. Namun yang ia takutkan tampaknya tidak pernah terjadi. Mereka bertiga justru sedang mendiskusikan alur film dengan serius.

Hari sudah larut malam ketika mereka keluar dari gedung bioskop. Para gadis berjalan di depan, sementara geromobolan cowok mengikuti mereka. Jenar membiarkannya saja, toh ternyata ketiganya cukup nyambung.

"Mau lihat-lihat situ, nggak?" tanya Hayu saat melewati gerai fashion. "Yuk lihat yuk? Butuh baju, ini."

Jenar menurut saja. Sekadar melihat-lihat, hingga ia melihat dua orang yang ia kenal berada beberapa meter di depannya.

Hanna tengah mencocokkan beberapa kemeja pada Rion. Beberapa kali, Hanna menempelkan pakaian ke badan Rion, menilainya dengan bibir mengerucut, lalu menggeleng sebelum mengambil kemeja lainnya. Rion hanya tertawa sambil sesekali mengacak gemas rambut Hanna.

Hasrat Jenar untuk berburu pakaiannya musnah sudah. Diam-diam, gadis itu mendekati mereka berdua.

"Ini bagus lho, Mas. Cocok kalau buat ketemu partner usahamu." Hanna menimbang-nimbang sebuah kemeja. "Cocok juga di badanmu. Kan? Tambah cakep."

"Ini?" Rion mengambilnya.

"Iya. Coba deh," sahut Hanna antusias.

Rion kembali mengusap puncak kepala Hanna sebelum masuk ke kamar pas. Hanna berdendang ceria dan mulai memilih lebih banyak.

"Aku suka pilihanmu, Na," ucap Rion saat lelaki itu kembali. "Kamu nggak beli?"

"Nanti aja. Ini aku nemu satu lagi. Kayaknya bagus kalau buat acara santai. Semacam dinner keluarga kayak kemarin itu, Mas. Sini coba lihat!"

Hanna menempelkan baju itu ke badan Rion. Rion mengecup pipi Hanna dengan cepat. Gadis itu terkejut, lalu menggerutu kecil meskipun wajahnya memadam cepat.

Jenar langsung balik badan dan mencari-cari, namun ia tidak melihat Haris di manapun. Ia keluar, dan menemukan Haris sendirian tengah bersandar di pilar sambil melihat ke lantai dasar.

"Pandu sama Awan mana?" tanya Jenar hingga lelaki itu menoleh.

"Ke dalam. Udah belanja?"

Jenar menggeleng. "Kamu nggak ikut belanja?"

Ganti Haris yang menggeleng. Dari sudut matanya, Jenar melihat Hanna dan Rion sekilas lewat kaca. Gadis itu langsung meraih lengan kaus Haris.

"Beli minum, yuk?" Jenar setengah menyeretnya.

"Nggak nunggu yang lain?"

"Aku haus banget. Yang lain nanti dibeliin juga. Ayo, Ris!"

Jenar menyeret Haris ke foodcourt dan berhenti di gerai minuman.

"Pesan makan sekalian, yuk?" ajak Jenar saat menyadari jika memesan minuman tidaklah selama yang ia harapkan.

"Goon then. Mau apa?" tanya Haris sambil menyesapi lemon tea-nya.

Jenar memilih gerai crepes. Sederhana saja, antriannya cukup panjang dan dia sebenarnya masih kenyang. Gadis itu mengirimkan pesan kepada yang lain, lalu membalas pesan-pesan rekan kerjanya untuk membunuh waktu.

"Mau pesan apa?" tanya Jenar kala antrian menipis.

Lelaki itu menggeleng. "Masih kenyang. Udah tanya yang lain?"

Jenar menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. "Udah kok."

Mereka membawa crepes-crepes itu menuju salah satu bangku dan menunggu yang lain. Tak lama, Hayu dan yang lain tiba.

"Nggak bilang dari tadi kalau lapar, Nar." Hayu celingukan. "Lhoh, nggak jadi beli kardigan yang tadi?"

"Nggak terlalu butuh. Nih!" Jenar mengulurkan crepes pesanan mereka, lalu membagi crepesnya menjadi dua dan memberikan satu untuk Haris.

Haris mengeleng kecil, namun Jenar melotot. Akhirnya Haris mengambilnya juga. Lain kali, mungkin Jenar harus lebih mengerti situasi Haris jika ingin mengajaknya pergi.

"Habis ini mau ke mana?" tanya Awan.

"Kami balik. Arjuna minta dijemput, ini," jawab Pandu.

"Oh...kalau Jenar, mau ke mana habis ini?" tanya Hayu antusias.

"Maaf, tapi aku juga mau balik. Ibuk cuma berdua sama Bulik." Jenar meringis.

"Yah...tapi ini malam minggu," gumam Hayu. "Ke mana ya, enaknya?"

"Nanti dipikirkan sambil di jalan. Udah, makan dulu itu," ujar Awan, yang membuat Jenar memutar bola mata.

Hingga ia melihat Hanna bersama Rion, dan amarah samar kembali Jenar rasakan. Mereka masuk ke gerai ramen, namun Jenar bisa melihat keduanya dengan jelas dari sini. Jenar melirik Haris yang sedang sibuk berbincang dengan Pandu sambil sesekali memeriksa ponsel. Jenar kembali menatap dua sejoli itu. Tampak Hanna sendirian, mungkin Rion sedang memesan atau apalah. Yang jelas, gadis itu sedang mengetik dengan cepat di ponselnya.

Ponsel Haris yang diletakkan di meja menyala, dan Jenar melirik kali ini.

59 pesan belum terbuka. Oh, sekarang jadi 60.

61

62

63

Jenar yakin Haris tahu, karena lelaki itu melirik ponselnya di tengah obrolan bersama Pandu. Tapi dia hanya melirik saja tanpa membukanya.

Gadis itu menyimpan ponselnya saat Rion datang. Bersamaan dengannya, ponsel Haris berhenti menyala. Hanna tersenyum riang, lalu mereka bercengkrama dengan antusias dan penuh tawa.

"Toilet, Jen."

Jenar mengangguk asal. Gadis itu sangat tergoda untuk membuka semua pesan Hanna pada ponsel Haris yang tergeletak di meja, tapi untungnya dia masih sadar jika niatnya sangat kurang ajar. Bukan urusannya, sungguh. Jenar ingin meyakinkan diri jika kisah cinta rumit itu bukanlah urusannya.

Tapi untuk pertama kalinya, Jenar merasa marah dan tidak terima.

"Masih di angka tiga?" tanya Hayu, yang membuat emosi Jenar buyar seketika.

"Apanya?" tanya Jenar.

"Haris, dong." Hayu terkekeh. "Nggi, tahu nggak? Di mata Jenar, Haris cuma punya skor tiga dari sepuluh. Yang begitu cuma dikasih tiga!"

Anggie mengangkat alis, sementara Jenar memutar bola mata. Sudah naik satu tingkat, sih. Tapi...empat memang sepertinya terlalu kejam. Lima, mungkin?

Tetapi lelaki itu sebenarnya punya banyak sisi menarik. Jadi, enam saja. Nilai tengah, tidak buruk dan tidak overrated.

"Aku yakin udah bukan tiga lagi. Iya, kan?"

Celetukan Anggie menyadarkan Jenar. Ibu anak satu itu nyatanya telah mengamati Jenar entah sejak kapan. Jenar hanya mengangkat bahu, yang membuat Hayu terlekeh geli.

"Ingat, Nar. Dilarang jatuh cinta sama dia. Risikonya besar," ucap Hayu.

"No way." Jenar menyipit pada Haris yang kembali bersama Pandu dan Awan. "Gantian deh."

Jenar berjalan ke toilet yang untungnya sepi. Gadis itu baru saja keluar dari bilik saat seseorang memanggilnya.

"Jenar?"

Hanna menatapnya dari pantulan kaca besar di depan bilik. Agaknya, gadis itu sedang memperbaiki penampilannya.

"Oh...di sini juga?" Jenar berusaha tersenyum.

Hanna mengangguk dan tersenyum kaku. "Sama Haris?"

"Begitulah," jawab Jenar seraya merapikan rambutnya. "Kencan?"

Hanna mengangguk. "Jarang-jarang Mas Rion punya waktu kencan begini. Bagaimana kabar Haris?"

"Baik," jawab Jenar kalem.

"Dia masih di Lokmud?"

"Yup."

"Masih di sana, kenapa nggak pernah berusaha cari yang lebih baik, sih?" bisik Hanna dengan wajah menyesal. "Kamu sebagai pacarnya kenapa nggak mencoba kasih motivasi agar dia nyari kerja yang lebih baik, Nar? Haris cuma akan makin sengsara kalau terus di Lokmud."

"Lokmud membaik akhir-akhir ini, dan ini hidupnya. Aku belum melihat urgensi buat maksa Haris keluar dari pekerjaannya, " sahut Jenar.

"Kalau kalian punya rencana nikah, harusnya kamu pikirkan itu. Haris nggak akan berkembang di sana," balas Hanna.

"Hanya karena perusahaan itu belum dikenal banyak orang, bukan berarti dia nggak berkembang. Haris selalu memberi yang terbaik selama ini. Aku yakin dia punya alasan," balas Jenar dingin. "Dan begini, kamu serius sama Rion?"

Hanna menyipit. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"

"Karena kalau kamu serius, seharusnya kamu berhenti mengganggu Haris."

Raut wajah Hanna berubah. "Kami cuma saling curhat."

"Di telingamu, itu nggak aneh?" Jenar menyipit. "Saling curhat, yang benar saja."

"Kami pernah hanya punya satu sama lain. Aku tempat ternyamannya untuk cerita begitu pula sebaliknya. Itu bukan hal yang gampang dihapus, bahkan oleh kamu, Nar," kata Hanna tajam. "Sekarang aku tahu kenapa Haris jarang sekali membalas pesanku. Jangan menghasut dia buat membenciku hanya karena kamu cemburu, Nar."

"Begini saja," sahut Jenar emosi. "Masih mengharapkan Haris?"

"Aku--nggak. Aku sudah punya Mas Rion yang lebih baik dari Haris. Kenapa aku masih mengharapkan mantanku, coba?"

"Good answer. Because you don't deserve him, Hanna. You're a cheater."

Jenar langsung berbalik meninggalkan Hanna yang sangat terkejut. Hanna tidak lebih dari gadis muda dengan pendirian serapuh daun kering. Dia bukan anak kecil polos yang tidak tahu selingkuh itu apa. Bahkan sebatas menghargai kekasihnya saja dia tidak bisa.

Wajah Jenar makin keruh saat melihat Haris memegang ponselnya kali ini. Sepertinya, ia sedang berkirim pesan dengan seseorang.

Hanna mengadukannya? Jenar tidak peduli. Haris harus tahu jika perempuan seperti Hanna bukanlah perempuan yang baik.

"Aku pulang duluan, ya. Daah semua." Jenar meraih clutch-nya dan berjalan meninggalkan Haris, yang melongo.

Lelaki itu pamit dan buru-buru mengejar Jenar.

"Tante Darla kenapa?" tanya Haris.

"Nggak kenapa-napa," jawab Jenar datar. "Aku bisa pulang sendiri, Ris. Kalau kamu masih ada urusan, sana gih pulang duluan!"

"Aku memang ada urusan, tapi bisa ditunda."

"Nggak perlu ditunda," tukas Jenar. "Sana pulang!"

Haris melirik Jenar yang kukuh menatap ke depan, lalu menyisipkan tangannya ke dalam saku.

"Sikapmu berubah, Jenari. Jadi ini jelas ada apa-apa. Tapi aku nggak bisa baca pikiranmu. Kalau ini salahku, aku minta maaf. Kalau bukan, kamu selalu bisa cerita semuanya."

Jenar bungkam sesaat, lalu berdecak kecil kala sadar jika sikapnya memang agak menjengkelkan.

"Hanna udah punya Rion, Ris. Jangan temui dia lagi kecuali alasannya mendesak," gumam Jenar.

"I said that before, Jen. Tapi aku kira kamu punya misi tentang kami."

"Kamu benar, jadi sekarang nggak lagi," tukas Jenar. "Sorry."

Haris terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku nggak paham kenapa kamu tiba-tiba ngebahas ini. Tapi urusanku nanti bukan sama Hanna."

Jenar langsung menoleh. "Bukan?"

Haris menyerahkan ponselnya pada Jenar.

"Pertumbuhan Lokmud signifikan sekali akhir-akhir ini. Selain naik gaji untuk para pegawainya, data analyst juga akan nambah satu lagi. We will make it better, Jen."

Jenar membaca potongan chat Haris dengan 'Si Bendahara', lalu mengerjap.

"Oh...selamat, kalau begitu," Jenar mengembalikan ponsel Haris. "You must be happy."

"Absolutely." Haris nyengir kecil. "Setelah bikin akar yang kuat untuk Lokmud, akhirnya kami tumbuh juga."

Jenar mengamati Haris, lalu ikut tersenyum. "Udah punya finansial planning ke depan, Ris?"

"Aku harap memang berjalan sesuai rencana," balas Haris ringan.

"Glad to hear that." Jenar meneropong langit di antara jemarinya. "Kita udah tua, Ris. Terkadang, perlu rencana matang demi sisa umur yang baik-baik aja."

"Apa rencana masa tuamu, kalau begitu?" tanya Haris.

"Menua sendirian bersama teman di tempat yang nyaman," sahut Jenar santai. "Tapi, aku boleh tanya sesuatu?"

"Hm."

"Kenapa kamu yakin sekali sama Lokmud? Umm...maksudku, kamu punya keahlian dan mungkin akan dapat peluang yang lebih baik di tempat lain. Yah...semacam itulah, Ris. Jadi, kenapa harus bertahan di perusahaan kecil semacam Lokmud?"

"Dan kenapa pula aku harus nggak bertahan?" balik Haris kalem. "Aku udah pernah jawab ini, sepertinya. Tapi, kamu pernah nggak, merasa yakin sama sesuatu padahal hal baik belum terjadi di sana?"

Jenar menoleh.

"Lokmud dirawat oleh orang-orang baik dan bertanggungjawab," jawab Haris. "Visi kami jelas, dan kami memastikan kami berkembang dalam setiap langkah. Kami sedang berusaha menumbuhkan sesuatu, Jen. That's why I believe in Lokmud."

"Love your job that much, huh?"

"Love my job that much...no. Aku cuma berusaha melakukan yang terbaik di sini."

Jenar melirik Haris yang masih tampak kalem di sampingnya, dan poin Haris melesat satu tingkat. Untuk urusan dedikasi, lelaki ini boleh juga.

"Ngomong-ngomong, Hanna masih sering curhat?" tanya Jenar.

Haris mengangguk.

"Dibalas?"

Lelaki itu tercenung sejenak. “Satu dua kali."

Jenar berusaha menahan dengkusan. Sudahlah. Enam memang paling pantas untuknya.

Ck!

===TBC===


Haii, selamat malam, selamat berlibur 💕💕




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top