Before A Kiss | 14

Ketukan di pintu membuat Jenar mengangkat wajah, begitu juga Melati yang baru saja meletakkan air putih di meja Jenar.

"Ponsel ketinggalan, Jen."

Haris yang sudah rapi dengan outfit kerjanya, berdiri di depan ruangan sambil mengacungkan ponsel Jenar. Gadis itu buru-buru menyambanginya.

"Ngapain ke rumah?" desis Jenar sambil berusaha menyingkirkan Haris dari tatapan ingin tahu Melati.

"Sinar barusan panen banyak rambutan," jawab Haris kalem.

"Ram--" Jenar berusaha menguasai diri. Dia tidak paham mengapa Haris harus pergi ke rumahnya, yang jelas-jelas berlawanan arah dengan kantornya. Jauh, pula. Jenar tidak ingin tahu, pun tidak terlalu peduli. Berterima kasih seharusnya sudah cukup.

"Thank you. Berangkat deh, Ris. Nanti telat!" tukas Jenar seraya mendorong-dorong Haris, tapi lelaki itu tidak bergerak sedikitpun.

"Aku ada waktu akhir minggu ini," ucap Haris. "Jadi?"

Jenar berhenti mendorong-dorong Haris. Gadis itu menatap Haris sejenak sebelum berusaha membasahi kerongkongan yang mendadak perih.

"Aku sibuk. Nggak perlu buru-buru juga, kok."

Jenar mengalihkan tatapan. Dia tidak ingin lelaki itu sadar bahwa dia takut. Dia rindu Putra tapi mendadak saja, dia takut. Mendadak saja, dia belum mau melihat apa yang akan ia temui nanti. Jenar tidak mau, dia tidak rela.

"Sure. Cuma, kami jarang bisa libur begini. Kita bisa nunda, tapi nggak bisa berangkat kapanpun kamu mau. Are you okay with that?" tanya Haris lagi.

Jenar mengangguk lagi. Semakin lama akan semakin bagus. Akhir minggu ini terlalu cepat. Mungkin sebaiknya bulan depan, atau tahun depan saja sekalian.

"Dimengerti. Berangkat dulu, Jen."

Haris berbalik. Namun belum sempat ia melangkah, Jenar menahan ranselnya.

"Bagusnya kapan?" tanya Jenar dengan suara bergetar. "Atau nggak usah aja, ya? Nggak usah ke sana, deh."

"Kita pergi kalau kamu memang mau pergi." Haris berkata. "Kalau belum mau pergi, itu keputusanmu. Tapi tolong diingat kalau kamu nggak perlu ke sana sendirian."

Begitu, ya?

Jenar melepaskan Haris dan berpaling saat matanya perih tidak keruan.

"Berangkat, Ris. Makasih buat rambutannya," gumam Jenar.

"Need a shoulder?"

"Nggak!" tukas Jenar tajam.

Haris mengangkat bahu dengan wajah tidak bersalah. Lalu ia berbalik pergi, meninggalkan Jenar yang terpaku hingga Melati menepuk bahunya.

"Pacar baru, Mbak?" tanya Melati dengan penuh semangat.

Jenar hanya mengangkat bahu dengan enggan, namun Melati terkekeh.

"Beda banget sama Mas dokter, eh. Yang dulu kalem sopan, yang ini kelihatan lebih sangar." Melati terkikik. "Tapi jodoh siapa yang tahu, iya kan?"

Melati mengedipkan sebelah mata pada Jenar sebelum melenggang pergi, meninggalkan Jenar dengan wajah datar meskipun kini dadanya perih sekali.

Karena kini setelah Jenar sadar bahwa ia bisa menemui Putra kapanpun Jenar mau, ia justru takut sendiri.

Iya. Dia tahu Putra telah pergi. Tapi jauh di dalam sini, seluruh jiwa Jenar menentangnya habis-habisan. Masih ada penyangkalan besar di sana, terbalut imajinasi liar yang membuat Jenar percaya bahwa Putra akan datang padanya kapan saja. Putra-nya cuma pergi. Pergi bekerja di kota yang berbeda, lantas menemuinya di akhir pekan. Selalu seperti itu.

Jadi sebenarnya, tidak apa-apa jika dia tidak pernah pergi ke tempat Putra, kan? Toh dia berencana hidup dengan kenangan akan Putra sampai dia mati. Lalu mengapa dia malah ingin pergi ke tempat Putra? Bersama Haris pula!

Tus

Jenar menunduk kala kalungnya meluncur lepas dari lehernya. Belakangan Jenar tahu jika kalung itu putus dan Jenar menyambungkannya dengan benang. Gadis itu berjongkok untuk meraihnya, membersihkannya, lalu kembali memakainya. Jenar menyapu wajahnya yang telah basah entah sejak kapan, lalu kembali menghadapi pekerjannya.

===

Jenar baru saja masuk rumah saat dia melihat Darla melintas sambil membawa album keluarga.

"Udah pulang, Nar?" Sapa Darla dengan senyum ganjil.

Jenar mengangguk cemas. "Ng--Ibuk kenapa bawa-bawa itu?"

"Mau lihat-lihat aja. Ibuk kangen," kata Darla parau.

Jenar langsung waspada. Ia izin ke dalam, namun tidak menemukan Rumi. Akhirnya, ia menyeret Aji yang sedang tidur di kamar tamu.

"Apa? Apa?" tanyanya terkejut dengan rambut berantakan.

"Temani Ibuk sebentar, dan jangan ngomong macam-macam!" tukas Jenar sambil mendorong Aji.

Meskipun dengan wajah bingung, Aji tetap menyambangi Darla yang kini mulai menunduk di atas album yang terbuka.

"Harusnya nggak masalah, ya kan? Ibuk pernah pegang bajunya Mas buat Haris, kok," batin Jenar menenangkan diri.

Ia bergegas mandi dan kembali menyambangi Darla, yang telah menangis sesenggukan. Aji membelai bahunya dengan cemas, dan perasaan Jenar pecah tidak keruan.

"Udah, ya," ucap Jenar sambil mengambil album itu dari tangan Darla dengan lembut, lalu duduk di samping Darla dan memeluk ibunya. "Ibuk, kenapa?"

"Kenapa harus bapak sama kakakmu?" tanyanya terisak. "Kenapa harus mereka? Kenapa aku harus kehilangan anak lanangku?"

"Ibuk, Ibuk nggak kehilangan Bapak sama Mas, kok. Mereka cuma--pergi ke tempat yang beda sama kita," ucap Jenar pahit.

"Ibuk juga mau ikut Bapak, Nar. Ibuk kangen." Darla terisak hingga sesenggukan. Wajahnya sembab sekali hingga dada Jenar terobek habis-habisan.

"Besok aja ya, Buk." Jenar membelai Darla dengan lembut. Gadis itu berusaha tersenyum meskipun kini matanya begitu perih. "Besok Jenar juga ikut Bapak sama Mas, kok. Tapi kalau kita maksa ikut mereka sekarang, nanti Tuhan marah. Jadi, Ibuk harus sabar dulu. Ibuk di sini dulu sama Jenar. Ibuk nggak sayang Jenar? Katanya mau lihat Jenar nikah?"

"Terus kapan kamu nikahnya, Nar?" gumam Darla seraya memukul-mukul dada saat sesak melanda. Jenar pun mulai waspada. "Ibuk rasanya mau mati, ini. Ibuk cemas kamu belum ada yang ngurusi, Nduk!"

"Nggak boleh bilang begitu, Buk," tepis Jenar buru-buru. "Ibuk harus sehat biar bisa lihat Jenar bahagia, kan?"

"Kapan?" buru Darla tajam. "Lalu kapan? Kenapa Haris harus tega menunda sampai selama ini?"

"Aku pernah bilang alasannya. Menikah perlu pertimbangan banyak, Buk. Tapi Ibuk percaya Mas Haris, kan? Dia orang baik, kan?" sanggah Jenar, yang membuat Darla terdiam kali ini.

Jenar mengusap pipi Darla. Dihadapinya Darla hingga mata mereka sejajar. "Ibuk nggak akan kenapa-napa. Ibuk akan sehat-sehat saja. Itu, Mas Haris datang, nggak mau ngobrol sama dia?"

Aji buru-buru keluar, mungkin menjelaskan situasi di dalam. Sebab kala Haris masuk di belakang Aji, lelaki itu segera duduk di samping Darla dan meraih tangannya.

"Kenapa, Tante?" tanyanya pelan. "Jenar nakal, ya?"

Jenar memutar bola mata saat Darla tersenyum lemah. "Ibuk sama Mas Haris dulu, ya. Aku mau ke belakang."

Tapi Jenar tidak kembali ke depan setelahnya. Gadis itu justru masuk kamar dan buru-buru menutup pintunya saat tangisnya pecah dalam diam.

Di saat-saat seperti ini, rasanya berat sekali menghadapi Darla dan histerianya. Rasanya, Jenar kehabisan tenaga demi menguatkan Darla di saat ia sendiri masih berkutat dengan rasa kehilangan yang begitu berat.

"Jenar?" Suara Rumi terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu. "Kamu di dalam, Nduk?"

Jenar buru-buru membukakan pintu. "Iya? Ibuk kenapa?"

Rumi menyipit, yang membuat Jenar buru-buru mengusap wajahnya.

"Itu yang mau Bulik tanyakan," ucap Rumi tajam. "Setelah selama ini nggak pernah histeris lagi, kenapa tiba-tiba ibumu nangis begitu?"

"Tadi Ibuk lihat album dan...jadi begitu," jawab Jenar. "Masih sama Mas Haris, kan?"

"Iya. Tapi Nar, sebenarnya kapan kalian mau nikah? Kamu nggak sadar kalau justru itu yang bikin ibumu kepikiran?" tanya Rumi heran. "Apa yang membuat kalian menunda-nunda? Atau jangan-jangan, kamunya yang sengaja mengulur waktu karena belum sepenuhnya melupakan Putra? Iya?"

Keheningan yang melanda setelahnya begitu memekakkan.

"Mau kamu ibumu histeris begitu lagi?" tanya Rumi tajam kala Jenar tidak menjawabnya. "Suka lihat ibumu masuk rumah sakit lagi?"

Jenar tidak begitu sadar. Dia sedang mencerna kalimat alot Rumi saat tahu-tahu saja, ia berjalan di jalan kompleks dengan Haris yang menggandeng jemarinya.

Jenar langsung melepaskan diri.

"Aji mau bakmi," gumam Haris seraya menyisipkan tangannya ke dalam saku kala meliriknya tajam.

"Ibuk?" tanya Jenar.

"Makan kue. Kenapa tadi bisa begitu?"

"Lihat album keluarga," jawab Jenar pahit. "Ibuk beneran udah baikan?"

"Iya, udah ketawa-ketawa. Bakmi depan situ enak, Jen?"

"Yakin udah baikan?" desak Jenar.

"Iya, Jenari. Mau balik?"

Jenar mengawasi Haris yang masih tampak kalem dan santai, lalu menggeleng.

"Depan sana langganan Bapak." Jenar menghela napas panjang. "Thank you for everything, Ris. Udah makan belum?"

"Bakmi aja. Makan di sana, gimana?"

Jenar mengangguk. Sebentar saja, dia ingin keluar dari hiruk pikuk rumahnya, terutama setelah Rumi menyalahkan Jenar atas histeria Darla.

===

"Berapa, Paklik?"

"Kayak biasanya, Nar. Harganya belum naik," jawab si penjual nasi goreng dengan enteng. "Aku lihat Mbak Darla makin sehat. Kemarin siram-siram bunga di depan."

Jenar memaksakan tersenyum. "Doakan aja Paklik. Aku balik dulu."

"Salam buat ibumu," ucapnya. "Sering-sering ke sini, Ris."

Haris hanya tersenyum samar sebelum mengangguk kecil tanda berpamitan. Setelahnya, ia mengikuti Jenar yang sudah melangkah lebih dulu. Gadis itu meniti tepi trotoar sambil memilin kalungnya.

Lelaki itu menyimak ponselnya. Sedari sore, Hanna mengirimkan pesan yang tidak pernah ia balas. Sejujurnya, hampir setiap hari Hanna mengirimkan pesan padanya. Dia mengirimkan berbagai hal. Mulai dari tanya kabar hingga curhat tentang hubungannya dengan Rion.

Suara isakan samar membuat Haris mengangkat wajah. Lelaki itu menyimpan ponselnya, dan mengikuti langkah Jenar tanpa berkomentar.

"Selesai aja yuk, Ris?" gumam Jenar tiba-tiba. "Perjanjian kita sampai sini aja, ya?"

Haris yang sedang mengawasi bintang, menjawab, "Yakin?"

"Nyatanya Ibuk juga masih begitu," jawab Jenar tercekat. "Sekarang justru khawatir kenapa kita nggak nikah-nikah. Dari awal harusnya aku nggak bohong. Satu kebohongan cuma akan mengundang kebohongan lain, itu benar. Jadi--ayo selesai aja. Aku nggak bisa. Ini terlalu berat buatku."

Suara gadis itu pecah dan menghilang. Jenar menatap ke depan seraya menggenggam kalungnya, agaknya benar-benar menahan diri agar tidak lepas kendali. 

"Apa yang akan kamu bilang sama ibumu nantinya?" tanya Haris. Gadis itu terdiam lama, lalu mendesah frustrasi.

"Aku harus apa, kalau begitu?" tanya Jenar putus asa. "Aku sulit cari celah buat menjelaskan semuanya sama Ibuk. Memangnya kenapa kalau aku nggak nikah? Masalahnya di mana? Menikah nggak pernah jadi solusi untuk apapun! Aku benci selalu dipaksa-paksa nikah begini!"

Jenar tercekat. "Aku jahat ya, Ris. Anak durhaka aku ini."

"Don't think so. Kalian cuma belum nemu klik di pembicaraan kalian," jawab Haris. "Pernah ngobrolin kondisi Ibu sama psikolog?"

Jenar mengangguk. "Temanku psikolog, dan dia juga bilang kalau caraku ini kurang benar." Jenar tertawa sedih. "Harusnya, Ibuk dikasih pengertian dan waktu untuk mengikhlaskan. Tapi di aku, itu berat, Ris. Menghadapi Ibuk yang sensitif itu berat. Padahal, yang kehilangan nggak cuma Ibuk. Aku juga kehilangan Bapak, Mas sama Putra. Tapi kenapa cuma Ibuk--"

Jenar menangkupkan tangan di wajah dan berjongkok kala ia terisak hebat. Ia merasa bersalah pada Darla karena sudah mengeluh. Tapi demi apapun, ini menjadi beban Jenar. Rasanya dia harus menguatkan Darla di saat dirinya sendiri sedang begitu rapuh. Dan mendengar Darla ataupun Rumi yang mencela kalungnya, Jenar jadi sangat sakit hati.

Haris ikut berjongkok di depan Jenar. Dibiarkannya gadis itu menangis sedikit lebih lama, lalu menepuk-nepuk pelan bahunya.

"Mau jalan-jalan?" tanya Haris saat Jenar menatapnya dengan wajah yang sangat berantakan.

"Kemana?" tanya Jenar parau.

"Somewhere closer to the sky," jawab Haris, yang membuat Jenar mengerutkan kening. "Mau nggak? Aku rasa Tante Darla justru senang kalau kita kencan."

"Jauh dari rumah?" tanya Jenar khawatir, yang membuat Haris tersenyum samar kali ini.

"Ada Aji, dan masih di Jogja." Haris bangkit dan mengulurkan tangan. "Nggak ada anak durhaka yang memikirkan orangtuanya sebegini besar. Jadi, jangan khawatir, Jen. Yang kamu rasakan itu manusiawi."

Haris mengangkat alis kala Jenar justru terpaku sambil menatapnya.

"Jadi jalan-jalan nggak?" tanya lelaki itu.

Jenar menatap tangan Haris, lalu meraihnya.

"Harus balik sebelum jam sembilan, terus jangan di tempat yang susah sinyal." Jenar mengusap wajahnya, sedikit malu saat sadar jika beberapa orang melirik mereka dengan curiga. "Dan jangan sebut ini kencan."

"Nge-date."

"Nggak mau."

"Jalan?"

"No!"

"Terus apa? Ngabuburit?"

Jenar tidak menjawab. Gadis itu justru melangkah lebar-lebar hingga Haris tertinggal. Lelaki itu menatap punggung Jenar dengan kucir kudanya yang terayun cepat, lalu terkekeh kecil.

===

" 'Somewhere closer to the sky'. Bukit Bintang. Harusnya aku tahu," celetuk Jenar sambil meneropong bintang lewat jemarinya. "Then, does it make me closer to heaven?"

"Nggak tahu. Belum pernah ke surga."

Jenar mencibir sebelum kembali melihat hamparan kota di bawah mereka. Kabut melayang tipis di atasnya, membuat kerlip lampu itu seperti batu-batu warna yang terserak di dasar pantai. Mereka tidak sendirian. Ada banyak orang yang juga menikmati pemandangan malam hari ini.

Waktu mereka pamit tadi, Darla memang terlihat lebih ceria. Ia menatap mereka berdua dengan binar penuh harap, yang membuat beban Jenar semakin berat.

Tapi berada di sini, dengan pemandangan yang jarang ia temui, rasanya damai.

Haris menyenggol Jenar dan mengulurkan sebuah jagung rebus padanya.

"Sering ke sini, Ris?" tanya Jenar saat lelaki itu duduk di sampingnya.

Haris mengangguk. "Di sini tinggi."

"Terus?" tanya Jenar tidak mengerti.

"Aku suka tempat yang tinggi," jawabnya sebelum menyantap jagung rebusnya, sementara Jenar masih membuka satu persatu helaiannya. Jagung rebusnya masih panas, ngomong-ngomong.

"Tadi Ibuk kamu apain? Kok bisa tenang?" tanya Jenar kemudian.

Haris menggeleng. "Nggak diapa-apain."

"Kamu nggak ngomong kalau orangtuamu bakal datang ke sini, kan?"

Haris menggeleng lagi. "Aku cuma bilang kalau Tante nggak kehilangan suami dan anaknya. Mereka cuma pergi ke tempat yang berbeda. Kita masih bisa menyentuhnya lewat doa dan kenangan. Di sini, beliau masih punya kamu, yang sehat dan selalu peduli dengan ibunya."

Kunyahan Jenar berhenti. Gadia itu tercenung lama pada sebuah kerlip nun jauh di bawah, lalu bertanya pelan.

"Dan Ibuk langsung tenang?"

"Nggak langsung tenang, tapi pelan, beliau bisa tenang,"

Jenar tertawa sedih. "Padahal aku selalu bilang kalau masih ada aku di sini."

"Sepertinya Ibu masih perlu diingatkan berulang kali. Kehilangannya besar," gumamnya. "Kehilanganmu juga besar, Jen. Kamu sudah berusaha, dan itu nggak sia-sia."

Jenar berusaha keras mengunyah jagungnya demi menyembunyikan perih di kerongkongan.

"Kamu...pernah kehilangan seseorang, Ris?" tanya Jenar kemudian.

"Hmm...diri sendiri?" Haris bertopang dagu.

Jenar mengerjap, yang dibalas Haris dengan senyum samar. Lelaki itu kembali menyantap jagungnya, membiarkan Jenar sendiri dengan pikiran yang begitu ramai.

Mereka cuma pergi ke tempat yang berbeda. Kita masih bisa menyentuhnya lewat doa dan kenangan.

"Akhir minggu ini beneran kosong?" tanya Jenar tiba-tiba.

"Hm."

"Kita berangkat pagi-pagi banget, kalau gitu."

Haris melirik Jenar. "Sure."

Sepasang mata gadis itu tampak sembab kala memantulkan gemerlap samar di bawah sana. Pekat, seperti langit malam bertabur bintang. Namun Haris membiarkannya. Sebab fase berduka akan selalu penuh dengan air mata.

Tapi nanti setelah semuanya berlalu, gadis ini mungkin akan sadar jika masih banyak hal yang bisa mengundang tawa di hidupnya.

===TBC===

Selamat pagi, selamat beraktivitas 💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top