Before A Kiss | 13

Jenar membungkuk sambil memegang lututnya yang gemetar. Ia memelototi ketsnya demi mengatur napas yang tersengal. Rambutnya yang dikucir kuda kini basah karena keringat. Beberapa helainya bahkan terlepas dan menempel di pipi.

"Masih kuat?" Haris menyambanginya.

Jenar mengangguk dan berusaha menegakkan diri, namun oleng hingga meraih ransel Haris demi menjaga keseimbangan. Haris mengulurkan air minun, namun Jenar menghentikannya.

"Sebentar," gumam Jenar tersengal. "Sebentar."

Haris melirik Jenar sebelum meneguk minumannya banyak-banyak. Dibiarkannya saja Jenar bergelayutan di ranselnya, sementara ia sendiri berkacak pinggang sambil menilai situasi. Lelaki itu memakai topi rimba berwarna krem. Lengan bajunya sudah tergulung hingga pundak, menampakkan lengannya yang juga berkeringat. Haris tidak tersengal seperti Jenar, ia juga tidak terlihat lelah sama sekali. Dilihat dari kacamata ahli gizi sepertinya, stamina dan bentuk tubuh Haris oke juga. Kalau Haris mendaftar jadi host MTMA, kemungkinan besar dia akan diterima.

Jenar mengucir ulang rambutnya dengan asal. Untuk manusia yang berencana menua sendirian, agaknya Jenar harus rajin olahraga demi memastikan fisik dan mentalnya masih kuat di usia senja.

"Capek ya, Nar? Padahal baru segini." Hanna menepuk pundak Jenar dengan simpati. "Memang berat buat yang nggak biasa. Besok-besok nggak perlu dipaksa, Nar."

"Nggak, nggak. Ini justru bagus," ucap Jenar serius. "Next time kalian mendaki, ajak aku, ya. Siapa tahu aku ada waktu."

Hanna mengangkat alis, sementara Haris justru menjejalkan topinya di kepala Jenar.

"Pakai ini. Dan minum," ucapnya sambil memberikan botol air pada Jenar, lalu menatap Hanna. "Minummu masih?"

"Masih kok."

Hanna meminum minumannya sendiri dengan ekspresi enggan yang tidak luput dari perhatian Jenar.

"Lanjut?" tanya yang lain.

Jenar mengangguk dengan penuh tekad. Maka rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan hingga tidak lama kemudian, sampailah mereka ke puncak. Puncaknya, adalah sebuah tonjolan batu raksasa yang diakses lewat tangga buatan. Jenar sempat terpeleset, tapi ia berhasil menapak lagi hingga akhirnya, ia merasakan angin menerpa wajahnya dengan cukup kencang.

Jenar menapaki anak tangga terakhir, lalu terpana. Gadis itu berjalan pelan hingga bibir tebing, menyambut angin yang membelai rambutnya dengan ceria.

Puncak-puncak gunung batu yang lebih rendah terlihat, tampak rekat oleh vegetasi hijau yang rimbun. Dan jauh di bawah sana, kota-kota manusia menciut jadi dasar lembah yang luas tak bertepi. Beberapa burung tampak terbang dari satu dinding batu ke dinding batu yang lain. Elang, atau yang lain?

"Aw!"

Jenar berbalik panik. Tampak rombongannya kembali menuju tangga dengan tergesa.

"Kenapa?" tanya Jenar buru-buru.

"Hanna jatuh," jawab salah satu anggota rombongan. "Untung di bawah masih ada Haris."

Hanna muncul dibantu yang lain. Tak berapa lama, Haris muncul dan langsung memapah Hanna. Raut panik tersurat pada wajah tegang Haris, sementara Hanna meringis. Sekiranya sampai di tempat landai, Haris mendudukkan Hanna dengan hati-hati.

"Nggak apa-apa?" tanya Jenar cemas.

"Kepleset." Hanna mencengkram pergelangan kakinya.

"Sini," gumam Haris. Lelaki itu memeriksa kaki Hanna dengan cekaatan. "Spray. Gan, bawa?"

"Biar aku aja, Ris," sahut Shanum.

Namun Haris tetap fokus pada Hanna. Melihat mereka berdua yang tampak begitu dekat, Jenar terkekeh geli dalam hati.

"Move on apanya astaga," dendang Jenar sambil menjauh. Beberapa dari mereka mulai menikmati puncak setelah memastikan keadaan Hanna.

Jenar menghirup napas panjang, merasa begitu bebas hingga merentangkan tangan. Ia duduk dan mendongak pada gerumbul awan, lalu mengarahkan telapak tangannya ke sana. Apakah rasa lelah pendakian selalu diganjar pemandangan seperti ini? Jika iya, agaknya Jenar sedikit paham alasan mereka-mereka yang suka mendaki.

"Di sini bagus banget, Mas." Jenar tersenyum kecil sambil meneropong langit lewat sela-sela jari. "Kenapa kita nggak pernah kepikiran ke sini sih?"

"Hei, baik-baik aja?" Shanum mendekati Jenar.

"Iya. Kenapa, Num?" tanya Jenar.

"Ng--Hanna sama Haris. Aku...bukan maksudku membela mereka. Tapi semua jadi kawan saat mendaki gunung dan kebetulan Haris yang ada di dekat Hanna, jadi tentang yang ini tadi--"

"Oh..." Jenar mengangguk kecil. "Iya, aku paham. Nggak, aku nggak masalah. Haris pernah bilang hal yang sama."

Shanum tampak lega. "Glad to hear that, Nar. Mau ambil foto, nggak? Sini aku bantu."

Jenar setuju saja dan menghabiskan sesi berfoto ria dengan hati ceria. Hanna ikut berfoto tak lama kemudian. Dan meskipun yang lain juga membantu, namun Jenar menyadari bahwa Harislah yang paling banyak membantu Hanna. Selama di puncak, lelaki itu tidak pernah jauh dari Hanna.

Bahkan saat turun pun, Haris berganti tugas dengan yang lain agar bisa menggendong Hanna sejak pertengahan jalan karena pergelangan kaki Hanna yang semakin bengkak.

Mungkin dia lupa keberadaan Jenar, tapi Jenar tidak peduli. Dia justru makin yakin jika Hanna memang belum benar-benar merelakan Haris. Jenar jadi iba pada Rion. Tapi semakin cepat Hanna memutuskan sikapnya, bukankah Rion akan terbantu? Pun Haris juga akan bahagia seandainya Hanna kembali padanya.

"Ah..."

Jenar terpeleset hingga jatuh terduduk. Nyaris saja, ia terlempar ke tebing sana jika tidak buru-buru menyahut akar tanaman.

"Hei hei, bisa berdiri lagi?" Ergan, ketua kelompok mereka mengulurkan tangan. Namun Jenar berhasil kembali berdiri.

"Bisa kok. Nggak ada luka juga." Jenar merasa-rasa. Dari sudut mata, dilihatnya Haris tetap bergeming dengan Hanna yang bertengger di punggung.

Lelaki ini, ck. Meminta Jenar berpura-pura, tapi dirinya sendiri kaku begini. Mendekat atau bertanya atau apalah, Ris! Mana sekarang dia justru sibuk mengobrol dengan Hanna, pula.

"Bisa lanjut?" tanya Ergan.

Jenar mengangguk. Insiden kecil tadi tidak menyurutkan keriangan Jenar. Dia justru makin merasa tertantang. Mereka kembali bergerak hingga tiba-tiba saja, Jenar mematung sampai anggota lain nyaris menabraknya.

"Nar?"

Fadli, anggota yang menggantikan Haris jadi sweeper, memanggil kala Jenar tidak segera melangkah.

"Jenar, are you okay?" tanya Fadli waspada. Anggota yang telah berjalan lebih dulu, menoleh kali ini. Termasuk Haris.

Tapi jenar tidak menjawab. Rasa takut mulai mencengkramnya saat jemarinya tidak kunjung menyentuh kalung Putra di lehernya.

"Kalian duluan. Aku nyusul." kata Jenar sambil berbalik arah.

Ergan menahan tangannya. "Kenapa, Nar? Ada yang ketinggalan?"

Jenar berusaha melepaskan cekalan Ergan. Dia harus segera menemukan kalungnya.

"Jenar, tenang dulu!" seru Ergan mulai kewalahan, namun Jenar tidak mendengarnya.

"Maaf, tapi aku harus balik. Gan, lepas!" Jenar menghentakkannya dengan kasar, namun Jenar justru berhadapan dengan wajah datar Haris. Lelaki itu tidak lagi menggendong Hanna. Tatapan Haris berpindah dari sorot kalut Jenar ke leher gadis itu.

"Aku mau balik," kata Jenar kalut. "Kalian lanjut nggak apa-apa. Nanti aku nyusul."

Jenar melangkah, yang langsung ditahan Haris. "Aku carikan. Kamu bareng mereka."

"Aku aja. Aku juga mau cari Putra--"

"Jen!" Haris meraih kedua lengan Jenar dan memaksa gadis itu menatapnya. "Aku yang cari. Pasti ketemu. Kamu, ikut Ergan. Gan, nitip."

"Ada yang hilang?" tanya Ergan cemas, disusul tatapan gelisah anggota yang lain.

"Kalung. Andre, ikut gue," ucap Haris singkat sebelum berjalan menuju puncak.

"Kalung dari Haris?"

"Bukan," tepis Jenar langsung.

Hanna mendengkus tajam. "Apa yang pernah aku bilang, Nar? Jangan merepotkan Haris!"

"Sudah, sudah...ayo maju terus!" ucap Ergan.

Tapi Jenar mengabaikan Hanna. Sejujurnya, ia tidak bisa merespon apapun saat ini. Otaknya membeku karena rasa kalut dan ketakutan yang luar biasa.

Anggota perempuan lain mengajaknya, dengan sedikit memaksa. Jika kalung itu sampai hilang, jika Haris tidak bisa menemukannya, Jenar akan menyisir kembali rute mereka sampai kalung itu ketemu.

"Ris! Ketemu?"

Beberapa menit kemudian, seruan Ergan membuat Jenar menoleh. Di belakang sana, Haris dan Andre berlari kecil mengejar mereka.

"Tadi pasti jatuh waktu kepleset." Haris langsung menyambangi Jenar. "Ini. Tapi kalungnya putus, Jen."

"Nggak apa-apa." Jenar langaung meraih kalung itu. "Thank you, Ris. Thank you."

Haris menatap Jenar sejenak, lalu menjentik tepi topi Jenar hingga gadis itu memekik kecil. Haris tersenyum samar dan kembali menyambangi Hanna.

"Naik, Na. Jangan ngeyel," gumam Haris, yang dipatuhi Hanna.

Jenar membersihkan kalung itu dari noda tanah, lalu menyelipkannya ke dalam tas. Seluruh anggota rombongan menatapnya dengan bermacam ekspresi hingga Jenar malu sendiri.

"Maaf," gumam Jenar akhirnya.

"Newbie," sahut Andre ringan. "Ayo turun guys."

===

"Maaf, Nar. Tapi Haris bisa duduk bareng aku nggak? Aku butuh bantuan banget."

Itu, adalah pertanyaan Hanna saat Haris mendudukkannya di bus. Setelah terus bersama Haris sejak turun hingga ke bus, agaknya Jenar perlu memenuhi permintaan Haris kali ini.

"Sepertinya cukup untuk hari ini." Jenar tersenyum penuh sesal.

"Cuma sampai rumah aja. Akan lebih baik kalau aku ada temannya," pinta Hanna dengan senyum maklum.

"Shanum bilang bisa minta dia kalau butuh pertolongan. Coba nanti aku bilang," ujar Jenar. "Ayo Ris, duduk. Kita bisa nutupin jalan."

"Haris." Hanna menahan kaus Haris. "Aku butuh kamu. Di sini dulu nggak apa-apa, kan?"

Oh wow. Apakah Jenar harus pura-pura marah sekarang?

Namun saat itu Shanum masuk bus dan langsung berjalan ke arah mereka.

"Astaga aku cari-cari!" tukasnya gemas pada Hanna. "Aku duduk sini, ya. Kalian berdua duduk sana! Nutupin jalan, tahu!"

"Ris?" Jenar memanggil Haris yang masih mematung. "Duduk?"

Lelaki itu menatap Hanna sejenak, lalu mengikuti Jenar. Dari ekor matanya, Jenar bisa melihat wajah kecewa Hanna.

"Nggak duduk di sana aja?" tanya Jenar saat mereka duduk.

"I shouldn't do that," gumam Haris yang sudah memejamkan mata.

Jenar mengangkat alis. "Setelah ngegendong dia selama kita turun? Setelah nggak mau digantiin Shanum?"

"Tadi kelepasan," gumam Haris hingga Jenar memutar bola mata.

"Move on memang susah, ya," celetuk Jenar seraya meletakkan ransel dan topi Haris di pangkuan. "Kalau suatu saat Hanna ternyata putus sama Rion lalu balik lagi ke kamu, mau diterima lagi apa nggak, Ris?"

"Itu nggak mungkin terjadi," gumam Haris.

"Hanya seandainya."

Haris tidak menjawab. Iseng, Jenar melirik ke belakang, dan menangkap basah Hanna tengah menatap mereka sebelum membuang wajah.

Jenar geleng-geleng kepala. Gadis itu mengeluarkan kalungnya dari dalam tas, lantas menggenggamnya seraya menempelkan dahi di jendela.

"Disimpan, Jen. Nanti jatuh kalau kamu ketiduran," gumam Haris yang tampaknya masih memejamkan mata.

Jenar menimang-nimang benda berkilau itu, lalu mematuhi Haris.

"Tadi nggak terlalu bijak, ya? Aku kekanakan, ya?" tanya Jenar cemas.

"Selalu bisa didiskusikan, Jen. Kami bukannya marah tentang kalungmu yang hilang. Kami marah kalau ada anggota yang seenaknya sendiri. Seperti kamu yang minta pisah tiba-tiba padahal kamu newbie," ucap Haris.

"Sorry," ucap Jenar dengan penuh sesal. "Yang lain marah sama aku, ya?"

"Mereka maklum karena kamu masih newbie, dan karena kamu pacarku," jawab Haris.

Jenar mengerucutkan bibir. "Akan sangat menyenangkan kalau kami pernah mendaki kayak tadi. Dari sekian banyak obyek wisata di Jogja, aku nggak percaya kami melewatkan yang satu itu."

"Kenangan yang lain juga sama berharganya," celetuk Haris. "Do you miss him?"

"In every breath." Jenar berdeham saat kerongkongannya tercekat.

"Just cry, then," gumam Haris. "Ada yang bilang kalau mengekspresikan perasaan akan sangat membantu. I won't judge you."

Jenar terkekeh pelan. Mengapa lelaki ini harus bilang begitu? Sekarang, air mata yang berusaha ditahannya makin banyak saja.

Sial. Dia rindu sekali pada Putra. Sebegitu rindu sampai seluruh tubuhnya sakit sekali. Gadis itu menangkup wajahnya dengan ransel demi meredam isakannya.

"Ris?" panggil Jenar setelah beberapa menit.

"Hm?"

Jenar menatap Haris yang masih terpejam dengan tangan bersedekap. Gadis itu melipat bibirnya dengan gamang, namun ia memutuskan untuk bertanya.

"Haris, kapan-kapan kalau ada waktu, mau ke Surabaya?" Jenar menggigit bibir saat Haris meliriknya. "Temani...ke tempat Putra. Aku belum pernah ke sana sejak--"

Suara Jenar tercekat. Ia berpaling demi menyembunyikan air matanya yang terbit lagi.

"Boleh," gumam Haris yang sudah terpejam. "Kalau dipikir-pikir, kita bisa pergi ke manapun yang kamu mau. I am your freepass ticket, Jen."

"Cuma mau ke tempat Putra aja. Thank you, Ris," gumam Jenar seraya membersihkan wajahnya. "Ng...sama makam Bapak sama Masku sekalian--umm, kalau boleh, sih."

"As you wish, Jen."

Jenar menyandarkan kening di kaca. "Thank you, Ris." Jenar iseng berkaca, lantas berdecak saat wajahnya sembab tifak keruan.

"You're good at this, you know?" gumam Jenar setelah memperbaiki penampilannya.

"Good at what?"

"Good at handling me. Maksudku, tanggapanmu nggak seperti orang lain. Katakanlah, nggak seperti Ibuk atau Bulik Rum," celetuk Jenar.

"Because I've been there before, Jenari," gumam Haris hingga Jenar menoleh. "I was all alone, was a mess, desperate, and full of anger. Lalu aku bertemu orang yang membiarkanku mengeluarkan semua emosi tanpa menghakimi. Itu sangat membantuku."

"Oh...Hanna?" tebak Jenar dengan perasaan tidak nyaman. Bukan tidak nyaman karena lelaki ini bercerita padanya. Dia hanya berusaha mengusir sosok Haris yang berantakan dari imajinasinya. Itu pasti menyedihkan.

"Dia salah satunya." Haris meraih topinya dari pangkuan Jenar. "Jadi Jen, nangis saja, meracau saja. Lakukan semua yang nggak bisa kamu lakukan di rumah. Jejeritan juga nggak masalah, tapi jangan di bis."

Jenar mendengkus keras hingga Haris nyengir. Lelaki itu menangkupkan topi menutupi wajahnya sebelum berkata, "Pacarku berulah hari ini. Ckck, lelah sekali."

Jenar meninju bahu Haris tanpa basa-basi. Lelaki itu tetap bergeming, namun ujung bibirnya terangkat samar.

==TBC==

 
Selamat siang semuanya. Selamat hari Jumat 💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top