Before A Kiss | 11


"Double date lagi yuk, Nar?"

"Nggak."

Hayu mengerucutkan bibir. "Awan ngajak ke Ketep. Nggak asik kalau cuma berdua. Ya Nar, ya?"

"Ketep jauh, Yu. Aku nggak bisa," jelas Jenar tanpa menoleh. "Jadi, udah resmi balikan?"

"Entah!" Hayu mendengkus sebal. "Suka ngajak jalan, suka telponan, tapi nggak nembak-nembak."

"Minta kepastianlah, Yu. Jangan sampai cuma jadi selingan di waktu luangnya Awan," tukas Jenar.

"Hmph. Dia juga cuma selingan di waktu luangku, kok." Hayu berusaha tidak peduli "Udahlah. Lupain manusia satu itu. Gimana Bulik?" 

"Bagus."

Hayu mengerucutkan bibir saat Jenar tampak fokus pada layar laptopnya.

"Haris masih sering ke rumah?" tanya Hayu lagi.

Perut Jenar langsung melilit, namun ia mengangguk juga. Gadis itu masih menyesali fakta bahwa dia bisa menangis di depan Haris tanpa beban. Rasanya Jenar ingin menggaruk lambungnya. Mengapa? Mengapa dia bisa begitu mudah menangis di depan orang asing? 

"Nggak boleh lagi, Nar! Malu, tahu!" jerit batin Jenar pada otaknya.

"Sesering apa?"

Jenar mengangkat bahu. "Cukup sering. Kenapa?"

Gadis itu memainkan pulpen di meja dengan malas. "Udah satu bulan lebih. Jadi, udah ada rencana mau gimana caranya jelasin ke Bulik?"

Jenar menggeleng dengan perasaan tidak nyaman.

Hayu mengangkat alis. "Terlalu nyaman? Nggak siap konfrontasi sama ibu sendiri?"

Sialnya, Hayu mendeskripsikannya dengan akurat. Melihat Darla yang sehat dan bahagia, Jenar jadi sedikit terlena.

"Tapi kalau mau terus, bisa sih. Relasi kalian berdua ini kan dating with benefit, kalau mau diterusin nikah mungkin nggak apa-apa." Hayu mengernyit. "Eh, nggak deh. Susah kalau Bulik nanti minta cucu. Jangan! Udah bener berhenti--"

"Yu, please!"

Jenar menatap Hayu dengan syok. Pikiran temannya ini agak mengerikan.

Hayu tertawa. "Memang bohong itu nggak baik, yaaa.  Udah deh, aku mau ke depan. Dadah pacar pura-puranya Haris!"

Tawa Hayu masih bergaung di ruangan meskipun sosoknya sudah pergi. Jenar makin ingin menggaruk lambungnya yang geli setengah mati. 

Ponselnya menyala, dan isi perut Jenar makin jumpalitan kala membaca nama Haris di sana.

[Hari ini nggak bisa ke rumah, Jen. Kantor sibuk.]
 

Jenar buru-buru membalas dengan lega.

[Oke]

===

"Nggak ke sini?"

Raut kekecewaan Darla makin kentara kala ia mengulang berita dari Jenar.

"Kantornya sibuk, Buk." Jenar menenangkan.

"Sebentar aja?" tanya Darla lagi.

Jenar menggeleng. "Kemungkinan tetap nggak bisa."

"Padahal Ibu sudah masak." Darla menatap sedih ayam mentega yang sudah tersaji mewah di meja makan. "Kamu antar ke kantornya aja, Nar. Kasihan. Pasti lupa makan kalau orang baru sibuk. Dia juga baru sembuh."

"Ibuk, Ha--Mas Haris nggak akan kelaparan. Di sana ada banyak orang jual makanan," ucap Jenar, yang agak ngeri dengan ide Darla. "Jadi, Ibuk tenang saja. Mas Haris juga udah sembuh total, kok."

Darla menatap Jenar dengan ragu-ragu. "Yakin nggak mau memastikan dia makan?"

Jenar mengangguk pasti. "Mas Haris nggak akan kenapa-napa. Dia orangnya tangguh."

Darla buru-buru mengambil tupperware. Ibunya menyisihkan sebagian ayam mentega dan memasukkannya ke kulkas.

"Besok pagi-pagi antar ke kosannya. Dia harus makan makanan yang bergizi," ucap Darla.

"Nggak perlu. Di sekitaran kosan banyak warung makan."

Namun Darla menggeleng. " Ibuk harus memastikan anak-anak Ibu makan dengan baik. Jenar juga, makan, Nduk. Udah semalam ini."

"Jenar juga mau memastikan ibunya makan dengan baik. Jadi, sini. Kita makan bareng." Jenar menggaet tangan Darla dan sedikit memaksanya duduk di kursi. "Sore tadi Ibuk cuma makan nasi goreng, kan? Setengah porsi, pula. Nih, ada ayam sama sayur bayam. Nasinya dikit nggak apa-apa, tapi sayurnya dibanyakin."

Darla melirik Jenar, yang membuat gadis itu mengangkat alis.

"Kenapa, Buk?"

"Haris bisa bikin kamu bahagia?" tanyanya tiba-tiba.

Jenar memaksa kepalanya untuk mengangguk dan tersenyum. "Dia baik."

"Ibu suka Haris. Orangnya enak diajak ngobrol apa saja," ucap Darla, yang mulai mengisi piringnya. 

"Padahal orangnya pendiam lho, Buk. Bisa gitu, cerita banyak?" tanya Jenar basa-basi.

"Kata siapa? Kalau sama Ibu bisa cerita banyak," ucap Darla antusias. "Jadi Nduk, jangan ditunda-tunda lagi kalau sudah cocok. Ibu suka Haris. Ibu merasa aman kalau kamu sama dia."

"Seperti yang aku bilang, kami masih butuh banyak waktu untuk persiapan, Buk," ucap Jenar yang mulai risih dengan topik percakapan mereka.

"Ibu tahu, Ibu paham Nduk. Ibu cuma mau bilang, nggak setiap saat kamu ketemu sama lelaki baik. Yang begitu jangan disia-siakan," ucap Darla lembut.

Jenar melirik Darla sebelum berdeham. "Kalau kitanya belum siap, apakah boleh kalau minta waktu meskipun kita tahu kita udah ketemu cowok yang baik?"

Lirikan Darla menambah kegugupan Jenar, namun gadis itu bersikap sebiasa mungkin.

"Ini diskusi, Buk. Perihal bukan lelaki melulu yang jadi topik utama. Perasaan perempuan juga berhak dipertimbangkan, kan? Kalau kita belum siap, lantas bertemu lelaki baik dan menikah, misalnya. Apakah itu menjamin pernikahannya bebas masalah? Siapa tahu justru si perempuan yang jadi sumber masalah karena belum siap. Justru nggak adil buat si cowok, kan--ini diskusi lho, Buk. Bukan Jenar, kok. Bukan!" tambah Jenar buru-buru saat melihat wajah Darla mengeruh.

"Kamu nggak selalu bertemu lelaki baik-baik," gumam Darla lirih. "Hal yang begitu, sayang kalau dilewatkan."

Jenar hanya menghela napas panjang. Ia tahu Darla mengerti maksudnya. Mereka hanya tidak sejalan.

"Haris pernah ajak kamu bertemu ayah ibunya?" tanya Darla beberapa saat kemudian.

"Ada--rencana ke sana. Mungkin..." Suara Jenar menghilang.

"Bukan kamu yang menolak ajakan Haris, kan?" tanya Darla.

"Bukan. Kami memang pelan-pelan dulu, Buk," sanggah Jenar.

Darla melirik kalung Jenar, dan perasaan Jenar kusut tidak keruan.

"Aku cari Bulik Rum dulu, deh. Biar makan bareng-bareng," ucap Jenar dengan hati gundah.

Ternyata Rumi ketiduran di kamar dengan koyo kecil-kecil tertempel di kening. Sejak sore, buliknya memang merasa pusing. Jenar menutup pintu kembali, lalu bersandar di dinding sambil memilin kalungnya. Jujur saja, dia agak takut kembali ke meja makan.

Bagaimana caranya putus dengan Haris nanti? Bagaimana reaksi Darla? Apakah ibunya akan baik-baik saja? Batin Jenar bergolak gelisah. 

Dia tahu skenario konyol ini akan membawa lebih banyak masalah. Tapi dia tidak menyangka Darla akan menyukai Haris sedemikian rupa. Itu, hanya akan membuat semuanya jadi lebih rumit.

"Satu kebohongan mengundang kebohongan yang lain, Nar. Itu bukan mitos," celetuk otak Jenar tanpa dosa.

Jenar berdecih, macam si otak tidak punya andil dalam memutuskan keputusan super impulsif itu. Tidak sekali dua kali Jenar menyesali skenario konyol ini. Tapi ketika ia ingat alasan mengapa ia mengambil keputusan ini, semuanya tampak masuk akal. Meskipun di lain waktu, ia kembali menyesal. Begitu terus sampai-sampai batinnya lelah sendiri.

"Permisi."

Perut Jenar langsung bergolak tidak nyaman. Gadis itu mengintip gorden, lalu berdecak kecil saat dugaannya terbukti. Jenar membuka pintu dengan datar.

"Katanya nggak bisa datang?" tanya Jenar pada lelaki jangkung berambut gondrong itu. Kaus putih polos mengintip dari kemeja yang tidak dikancing, tampak cukup rapi dengan ransel yang masih bertengger di punggung. Lengan kemejanya dilipat hingga ke siku, sementara kedua tangannya memegang paperbag.

"Acaranya selesai lebih awal." Haris menyerahkan kedua paperbag itu pada Jenar. "Buat Tante."

"Boleh tahu apa ini? Maaf, tapi aku pernah bilang kalau Ibuk nggak bisa sembarangan makan makanan dari luar," ucap Jenar tidak enak hati.

"Buah," kata Haris. "Sama cokelat. Suka cokelat, Jen?"

Haris tersenyum kecil saat melihat kerutan di dahi Jenar. Dan melihat Haris tersenyum tiba-tiba, kerutan itu jadi makin dalam.

"Mana Tante?" tanyanya ringan. "Aku masuk, ya?"

"Dia kenapa?" Jenar mengernyit, lalu mengangkat paperbag yang kata Haris berisi cokelat untuknya. "Ini juga, kenapa?"

Kehebohan Darla adalah tanda jika mereka telah bertemu. Jenar memutar bola mata dan menyusul keduanya. Darla mempersilakan Haris makan malam tanpa basa-basi. Jenar memasang senyum sambil berbisik tepat di belakang Haris.

"Cuci kaki tangan dulu. Yang bersih," desis Jenar saat Darla tidak mengawasi mereka.

Haris langsung ke belakang.

"Kata Jenar sibuk di kantor?" Darla bertanya saat Haris kembali.

"Acaranya selesai lebih awal. Bagaimana kabar hari ini, Tante?"

"Sehat, sehat," jawab Darla semringah. "Ayo makan! Jenar, ayo makan!"

Dan pada akhirnya, Haris bergabung dengan mereka. Jenar tidak menampik jika obrolan jadi lebih hidup dengan kehadiran Haris. Obrolan antara Darla dan Haris, maksudnya. Jenar lebih banyak terdiam meskipun kadang menimpali. Gadis itu melirik Haris sesekali, makin yakin jika suasana hatinya sedang sangat baik.

"Sesekali ajak Jenar, bisa?"

Pertanyaan Darla membuat Putra tergusur dari lamunan Jenar.

"Ajak apa?" tanya Jenar waspada.

"Naik gunung," jawab Darla. "Pengalaman baru untuk kamu, kan?"

"Nggak perlu. Kan, aku di rumah sama Ibuk saja," sahut Jenar buru-buru.

Namun ibunya itu justru kembali menatap Haris. "Bisa, kan? Sesekali ajak Jenar, Nak. Biar ototnya jalan semua. Dia jarang aktivitas yang begitu."

Jenar sudah kenyang dengan visit rumah warga satu persatu, kok. Otot-ototnya gerak semua!

"Akan selalu ada tempat untuk Jenar, Tante," jawab Haris, yang langsung dipelototi Jenar. Namun Haris hanya mengangkat alis sebelum kembali makan.

"Bagus sekali!" seru Darla bahagia. "Sesekali ikut kalau Haris naik gunung, Nar. Akan jadi pengalaman menyenangkan pastinya."

"Tapi...ini sama Mas Haris, lho. Ibuk nggak apa-apa?" Jenar berusaha.

"Haris pasti jaga kamu. Iya kan, Nak?"

"Tentu, Tante."

"Ng...jangan deh. Ibuk nanti sama siapa dong?" Jenar berusaha berkelakar meskipun hatinya mulai panik.

"Jangan khawatir. Ibuk baik-baik saja sama bulikmu. Ibuk malah senang kalau kalian punya banyak waktu bersama, biar makin paham satu sama lain. Itu kan yang kalian cari?" Darla tersenyum. "Kalau ada jadwal, coba ajak Jenar ya, Nak."

Haris, lelaki itu masih tampak santai padahal perut Jenar sudah meliuk tidak keruan. Tapi dia tidak kuasa mengatakan apapun saat Darla terlihat begitu antusias.

===

"Apa?" tanya Haris bingung saat Jenar masih saja meliriknya tajam meskipun mereka kini sudah duduk berdua di depan rumah.

"Aku sudah bilang, aku nggak bisa ninggalin Ibuk lama-lama. Kenapa kamu oke aja waktu Ibuk minta kamu ajak aku pergi naik gunung, coba?" tukas Jenar.

"Akan lebih natural kalau aku menyanggupi, dan kamu cari alasan buat nggak bisa pergi," ucap Haris. "Bingungnya di mana?"

Jenar berdecak kecil saat menyadari jika Haris benar.

"Seems so happy tonight," gumam Jenar setelah memutuskan jika semuanya masih terkendali.

"Hmm...exposure Lokmud meningkat pesat seminggu ini. Kami memecahkan jumlah transaksi baru." Haris tersenyum tipis. "Kedengarannya sepele, ya. Tapi bagi kami itu pencapaian besar."

"Kecil, besar, namanya tetap kemajuan. Jadi, selamat."

Haris mengangguk masih dengan senyum tipis di ujung bibir. Jenar sering melihatnya tersenyum dan tertawa saat bersama Darla. Tapi senyum yang ini membuatnya agak berbeda. Agak...yah, berbeda. Jenar tidak bisa menjelaskan. Mungkin, ini yang jadi alasan mengapa senyum Haris jadi salah satu poin yang disombongkan Hanna.

"Terus ini, apa maksudnya?" Jenar meletakkan paperbag berisi cokelat di antara mereka. "Mau bikin aku kena diabetes?"

"Dari pegawai baru. Kalau mau baca, kartunya masih di dalam."

Jenar merogoh ke dalam dan menarik secarik kertas berbentuk hati.

"Oh...jadi diterima atau nggak?" tanya Jenar penasaran setelah membaca teks pengakuan cinta di sana.

Haris menggeleng kecil.

"Yah...padahal udah effort begini." Jenar terkekeh kecil. Entah mengapa dirinya jadi lega. "Nggak dikasih ke Hanna aja?"

Haris melirik Jenar, yang membuat Jenar makin geli. "Ini banyak banget, tahu. Dari brand mahal, pula."

"Nggak mau?"

"Nggak masalah sih. Tapi bagi dua dong. Banyak banget ini. Nggak sopan juga. Dia pasti udah berusaha," tukas Jenar.

"Cokelat bisa memperbaiki suasana hati, katanya," gumam Haris. "Tapi kalau nggak mau, bisa dikasih kantor saja. Aku kurang suka makanan manis."

Jenar mengamati Haris, lalu membuka satu. "Mau? Sedikit aja."

Haris mematahkan sebagian kecilnya tanpa protes.

"Benar-benar nggak mau?" tanya Haris tiba-tiba.

"Apanya?" balik Jenar di tengah asiknya menyemil cokelat. Dia sangat suka cokelat, ngomong-ngomong.

"Naik gunung, atau outbond," jawab Haris pelan. "Ada agenda outbond sebentar lagi. Ada Hanna dan Rion."

"Oh..." Jenar menggerigiti cokelatnya. Kakinya berayun ke depan belakang sementara ia menatap kosong pada salah satu bunga mawar. Ekspresi bahagia Darla menari-nari di depannya, lalu ia menghela napas panjang. "Di mana? Kalau terlalu jauh, aku nggak bisa."

Haris menyebutkan salah satu tempat yang masih di dalam kota. "Kita pulang kalau kamu mau pulang. Jadi?"

Jenar menimbang-nimbang sejenak, lalu mengangguk kecil. "Bisa kalau di situ."

Haris mematahkan sedikit cokelat lagi di ujung yang lain. "Thank you."

"Anytime. Enak, kan? Nih, ambil sendiri di sini."

Haris menggeleng, namun ia kembali mematahkan cokelat di tangan Jenar. Gadis itu memutar bola mata, namun membiarkannya saja. Toh, ini semua juga darinya. 
 

==TBC==

Selamat pagi, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan, dan selamat hari Jumat untuk semua. Terima kasih telah membaca 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top