Before A Kiss | 1

"Mbak!"

Jenar bangun dengan terkejut. Refleks, ia menggenggam kalungnya dengan cepat.

"Ketiduran lagi?" tanya Mel. "Nggak pulang aja kalau kecapekan? Ini udah sore, lhoh."

Jenar menggeleng. "Banyak kerjaan, Mel. Mau pulang?"

"Iya. Ya udah, kunci di tempat biasa, Mbak. Aku pulang dulu."

Jenar mempersilakan. Melati, atau yang biasa-meminta, sebetulnya- dipanggil Mel oleh orang-orang puskesmas, meninggalkan ruangan Jenar.

Gadis itu kembali menghadap laptop, memeriksa pekerjaannya yang terakhir sebelum ketiduran.

"Lho, Nar? Belum pulang? Jam lima lhoh ini." Hayu yang ingin ke dapur, berhenti kala melihat ruangan Jenar masih terbuka.

"Kerjaanku banyak," jawab Jenar. "Jaga sore, Yu?"

"Iya. Aku sama Rara mau bikin teh anget. Mau?"

"Boleh deh. Thanks."

Jenar kembali meraih setumpuk kertas yang berisi data penimbangan balita bulan ini. Data-data itu adalah kiriman para kader posyandu, yang harus segera di-entry dan dikirim ke pusat.

Pandemi tidak merubah urgensi Jenar untuk mengambil data. Dia tidak bisa memberhentikan seluruh aktivitas timbang menimbang karena pandemi, sebab  wilayah kerjanya masih didominasi oleh status gizi kurang dan stunting pada balita, juga kasus kurang gizi pada ibu hamil. Setelah sempat vakum hingga home visit selama pandemi, perlahan kegiatan posyandu kembali seperti sedia kala seiring dengan cakupan vaksinasi yang meluas. Masih dengan prokes tentunya.

"Ke depan aja deh, Nar. Kamu sendirian di gedung belakang, agak creepy." Hayu masuk dengan dua gelas teh hangat.

Jenar melambai ringan seraya menahan kuapnya. "Udah biasa. Ranap kosong, kan?"

"Hu um. Ngomong-ngomong, reuni beneran nggak datang?"

"Nggak," jawab Jenar langsung.

Hayu mengerang. "Ayolah, Nar! Pasti asik banget nanti!"

Jenar menggeleng lagi.

"Ini pertama kalinya kita reuni lagi setelah tiga tahun lhoh. Kamu nggak mau ketemu yang lain?" Hayu merongrong.

Gelengan Jenar membuat Hayu tambah cemberut. "Temenin ketemu Awan."

Kali ini Jenar mengangkat alis. "Aku salah dengar, nih?"

"Nggak!" Wajah Hayu bersemu. "Dia...umm...kemarin chat setelah bertahun-tahun kita lost contact. Secara tersirat sih, dia bilang dia mau kami ketemu waktu reuni nanti. Jadi--jadi Nar, ikut reuni lah ya! Nanti pasti canggung banget."

"Oh, kalian mau balikan untuk keseratus kalinya?"

"Ketemu aja. Reuni juga, kan?" Hayu salah tingkah, lalu berdecak saat Jenar tertawa kecil. "Daripada lama-lama bersedih gara-gara mantan tunanganku yang kayak setan, mending move on! Ya? Ya? Ayo dong, Nar, canggung banget kalau ketemu Awan sendirian. Please, help meh!"

Jenar yang masih terkekeh, menggeleng lagi. "Nggak bisa. Ibuku di rumah sendiri, Yu."

"Ada bulik, kan?"

"Menurutmu aku tega?" Jenar mendesah kecil. "Aku nggak ikut. Maaf, kamu janjian sama yang lain aja, Yu. Aku balik ke ruangan, ya."

Hayu mengerucutkan bibir. "Ya udahlah, aku paham, sih. Kamu kalau sepi ke depan aja daripada di sini sendiri."

Hayu keluar ruangan, dan Jenar kembali fokus. Rasa perih di perut membuat Jenar berhenti menekuri laptop, lantas sadar jika sinar senja tadi telah hilang entah sejak kapan. Pintu ruangannya yang terbuka hanya menampilkan taman gelap di sudut pekarangan. Masih ada separo lebih data yang perlu ia entry. Dia juga harus membuat materi penyuluhan untuk kelas MPasi dan ibu hamil. Sejujurnya, dia perlu lembur malam ini.

Namun, gadis itu memutuskan untuk segera pulang.

===

Hal pertama yang Jenar temui saat sampai di rumah adalah Darla yang duduk di belakang jendela.

"Buk, udah makan?" sapa Jenar. Namun Darla hanya bergeming.

"Belum, Nar." Rumi, adik Darla, keluar dengan cemas. "Kamu bersih-bersih dulu, terus coba bujuk ibumu biar makan. Terakhir makan tadi pagi."

"Nyemil? Ada pisang kan, Bulik?" tanya Jenar.

Rumi menggeleng. "Tapi Mbakyu udah mandi. Udah bersih, tinggal makan saja."

Darla mengabaikan mereka berdua. Duduk di dekat jendela, Tatapannya terjatuh pada jalanan gelap di depan sana. Kosong dan tanpa harapan. Tubuh Darla kurus dengan mata cekung dan siku yang menonjol. Rambut yang dulu lebat dan sehat, kini menipis dan memutih lebih cepat. Jika tidak dikucir Rumi atau Jenar, Darla akan membiarkannya riap-tiapan.

"Bulik udah makan?"

Rumi mengangguk dan duduk di dekat Darla. Bibinya mengajak Darla berbicara dengan nada seceria mungkin, namu Darla tetap mengabaikannya. Jenar bergegas mandi dan mengambil dua porsi makan malam.

"Buk." Jenar menyentuh pundak Dara dengan lembut. "Makan, yuk? Bareng aku, ya?"

"Kapan nikah?" Darla balik bertanya tanpa menoleh.

"Nanti. Buk. ini sayur favoritnya Ibuk lho, enak," ucap Jenar bersemangat.

"Ibu mau lihat kamu nikah, Nduk," ucap Darla lirih.

"Nanti, Buk," ucap Jenar sabar. "Ibuk sekarang makan dulu, ya. Ini enak, lho."

Darla akhirnya melirik tipis. "Enak?"

Jenar mengangguk antusias dan meletakkan piring di pangkuan Darla.

"Kamu suka?" tanya Darla lagi.

"He em. Coba deh. Seger."

Darla lantas mengembalikan piringnya ke pangkuan Jenar. "Dimakan. Kamu suka, kan?"

"Buk..." tukas Jenar tidak percaya.

Darla hanya tersenyum tipis. Wanita itu kembali menatap ke depan, dengan mata yang mulai sembab dan bibir bergetar.

"Aku suapin, ya?" ucap Jenar buru-buru.

Namun Darla justru menyandarkan dahi di kaca dan berkata lirih, "Andai mas sama bapakmu masih ada ya, Nduk? Pasti rumah masih ramai."

Jenar meraih Darla agar kembali duduk tegak.

"Ibuk makan dulu, ya? Aku masih di sini lho--Ibuk? Buk...shh--"

Jenar memeluk Darla yang mulai menangis diiringi racauan tidak jelas. Gadis itu menepuk-nepuk pundak Darla, waspada jika ibunya tiba-tiba pingsan seperti yang sudah-sudah. Kata teman Jenar, Jenar hanya perlu membantu Darla menerima kehilangannya. Dia perlu membantu ibunya menyalurkan emosi dengan cara yang baik mengingat kehilangan itu menorehkan luka yang begitu besar.

Rumi segera menyambangi mereka dengan wajah luar biasa cemas. "Ayo duduk dulu. Mas Anjar pasti nggak suka Mbak Darla sampai begini!"

Darla menatap Jenar dengan putus asa. "Mau nikah kapan, Nduk?  Ibuk pengin lihat kamu nikah. Ibu mau lihat kamu bahagia sebelum Ibuk mati. Kamu nikah, ya?"

"Ibuk, jangan bicara begitu. Ibuk nggak akan kemana-mana," kata Jenar dengan suara gemetar. "Aku pijitin, ya? Ibuk lelah--"

"Nggak ada yang tahu kapan Ibuk mati!" Darla meraung tanpa fokus.  "Lihat ayahmu! Lihat kakakmu! Lihat Satria! Semuanya mati tiba-tiba!"

Dada Jenar sesak dengan cepat. Namun Jenar menguatkan hati dan membantu Rumi menenangkan Darla hingga ibunya kembali duduk di balik jendela dengan tatapan kosong. Dibersihkannya wajah Darla dengan tisu, menyadari betapa kesedihan mampu mengikis raga yang tadinya rupawan.

"Ibuk?" Jenar kembali membawa makan malam Darla. "Ibuk makan, ya? Biar perutnya nggak sakit lagi."

Kebungkaman Darla membuat Jenar akhirnya berkata, "Mau lihat aku nikah, kan?"

Darla langsung menoleh, yang membuat Jenar tersenyum menyemangati.

"Ibuk harus sehat biar bisa lihat Jenar nikah," ucap Jenar sambil menyuapi Darla, namun Darla menepisnya.

"Nggak nasi," ujarnya serak. "Pisang."

Jenar cepat-cepat membawakan beberapa pisang untuk Darla. Ia tetap menemani Darla sambil berusaha memancing obrolan, yang tetap ditanggapi Darla dengan bungkam.

"Kurang ini, Buk," ujar Jenar saat Darla mengulurkan sisa pisang pada Jenar. Namun Darla bergeming.

"Udah bagus itu, Nar. Nanti kita coba lagi," ucap Rumi, yang duduk di samping Darla dan berusaha mengajaknya bicara.

Jenar menghela napas panjang demi mengurai sesak di dada. Namun, ia buru-buru pergi ke kamar saat hatinya tidak kuat lagi kali ini. Gadis itu berusaha menenangkan diri, namun air matanya tetap lolos kali ini.

Darla tidak boleh terlalu histeris, atau jantungnya akan bermasalah lagi. Ibunya menderita penyempitan pembuluh darah jantung yang membuatnya sering sesak napas dan nyeri dada. Meskipun keadaan telah jauh berkurang sejak dipasang ring, Jenar berusaha keras menjaga Darla agar emosinya tetap stabil.

Ibu, ayah dan kakak lelakinya terinfeksi virus Covid-19 di waktu yang bersamaan. Saat ayah dan kakaknya tiada, Jenar nyaris kehilangan Darla juga. Rasanya seperti keajaiban kala Darla akhirnya bertahan. Padahal saat itu, Jenar sudah sangat mati rasa.

Lalu saat Putra memberi kabar jika ia juga terinfeksi, rasanya dunia Jenar kelam seketika.

Kenangan terakhir tentang Putra adalah sebuah panggilan video. Putra tengah terbaring di ruangan isolasi. Lebih kurus dari biasanya, namun masih bisa tertawa seakan terjangkit flu biasa. Tanpa pernah memberi tanda jika dua hari kemudian, Jenar tidak lagi bisa melihat Putra lagi untuk selamanya.

Jenar menggenggam kalungnya tanpa berpikir. Rasanya masih seperti mimpi. Rasanya, Putra hanya pergi jauh dan belum sempat membalas chat terakhirnya. Separo kesadarannya bahkan yakin jika suatu saat nanti, lelaki itu akan datang ke rumah Jenar seperti biasa. Bercanda dengan abangnya, mengobrol dengan ayah ibunya, dan mengajak Jenar jalan-jalan demi melepas penat akibat tekanan pekerjaan.

Ah, rindu sialan ini. Ck!

Jenar menutup wajahnya dengan bantal demi meredam isakan. Darla tidak boleh mendengarnya bersedih. Darla butuh Jenar sebagai kekuatan.

"Nar?"

"Ya, Bulik?" Jenar cepat-cepat menghapus air mata dan membuka pintu. "Ibuk kenapa?"

"Nggak kenapa-napa, Ibumu udah tenang. Bulik mau bicara sama kamu, boleh?" tanya Rumi serius.

"Ada apa, Bulik?" tanya Jenar tergesa setelah mempersilakan Rumi masuk.

"Jenar, Cah Ayu, kamu dengar permintaan ibumu tadi? Udah dari lama ibumu minta kamu nikah, kan?" tanya Rumi.

"Sejak--mungkin dua bulan lalu," gumam Jenar. "Entah Ibuk dapat ide dari mana, Bulik."

"Bulik berusaha diam selama ini. Tapi kali ini, jangan dianggap remeh, Nduk," ucap Rumi serius. "Kalau bisa, kamu cepat-cepat nikah. Umurmu juga udah pas buat nikah. Lewat sedikit, kamu malah akan kesulitan."

"Bulik Rum!" sergah Jenar tidak percaya.

"Kamu masih kepikiran Putra?" tanya Rumi, yang membuat Jenar langsung tergugu. "Yang lalu biarlah berlalu, Nar. Prioritasmu saat ini adalah Darla. Dan jujur saja--"

Rumi menghela napas, "Jujur saja, Bulik sangat mengkhawatirkan ibumu. Mungkin dengan lihat kamu bahagia, keadaan Mbakyu juga bisa membaik, kan?"

"Tapi nggak dengan aku menikah juga kan, Bulik?" sahut Jenar. "Hal serius begini harus aku pikirkan matang-matang."

"Tinggal cari calon suami, Nar. Nanti Bulik bantu cari kandidat yang bagus," tukas Rumi tidak sabar. "Nggak bagus juga anak gadis melajang terlalu lama. Kamu udah kerja, umurmu juga udah pas. Apa lagi yang mau kamu cari? Pikirkan ibumu, Nduk. Jangan menunda hal baik. Dia begini karena mengkhawatirkan kamu."

"Aku nggak bisa," sahut Jenar tegas. "Menikah bukan solusi untuk keadaan Ibuk."

Rumi berdecak. "Kamu jangan egois. Keinginan Mbakyu itu sederhana, justru membawa bahagia buat kamu dan ibumu. Jangan bilang kamu masih kepikiran calon suamimu, hm? Dia udah nggak ada. Kamu perlu cari penggantinya. Nggak baik sedih terlalu lama, Nar. Kamu perlu belajar ikhlas!"

Jenar meraih kalungnya tanpa sadar. Nggak baik sedih terlalu lama? Batinnya tertawa perih. Kepergian Putra bahkan belum ada satu tahun! Semua hal tentang lelaki itu masih terpeta jelas di ingatan Jenar! Dia tidak bisa. Dia...tidak mau. Dia masih rindu Putra. Dia masih ingin memeluk semua memori tentang mereka. Di tengah keadaan yang menuntutnya untuk kuat, kenangan akan Putra adalah oase baginya.

Rumi melirik kalung yang makin rapat digenggam Jenar.

"Itu dibuang saja biar kamu makin gampang lupa," ucap Rumi yang terdengar mengerikan di telinga Jenar. Gadis itu menggeleng kuat-kuat.

"Kamu memang nggak mau berusaha!" hunjam Rumi. "Menikah itu hal baik, Nduk. Ibumu akan lebih tenang saat tahu sudah ada orang yang akan menjaga putri satu-satunya. Bulik yakin keadaan ibumu nantinya akan membaik. Kalau kamu nggak yakin, nanti Bulik carikan jodoh."

"Nggak perlu," ucap Jenar. "Kata temanku, Ibuk masih syok, Bulik. Sama sekali nggak ada hubungannya dengan aku yang harus nikah."

"Nar, Nar. Kamu jangan ngeyel to." Rumi berdecak. "Kamu kayak disuruh macam-macam sama ibumu. Kamu cuma diminta cari calon, terus nikah. Udah! Kamu juga akan nikah kan nantinya! Nggak niat melajang, kan?"

Oh, sejujurnya Jenar memang berniat melajang sampai mati. Tidak ada yang bisa menggantikan Putra di dalam sini. Sampai kapan pun, Putra adalah satu-satunya pria yang ingin ia nikahi. Kenangan akan Putra sudah cukup untuk seumur hidup Jenar.

Lagipula, apa salahnya dengan melajang seumur hidup? Penghasilannya sangat stabil. Dia bisa mulai menabung agar saat pensiun nanti, dia bisa masuk ke panti jompo berkualitas sehingga masa tuanya terjamin. Lihat? Tidak ada keadaan yang mengharuskannya menikah. Dia bisa bergumul dengan ingatan tentang Putra hingga tua, lalu mati dengan damai. Selesai.

"Pikirkan baik-baik. Ini permintaan ibumu. Ingat keadaan ibumu, Nar," ucap Rumi sebelum keluar dari kamar Jenar.

Jenar mengusap wajah dengan kalut. Saat keadaan mulai membaik nanti, dia akan memberikan pengertian pada Rumi dan Darla.

Tapi di hari selanjutnya, Jenar mendapat banyak telfon dari kakak dan adik Darla, membujuknya agar mengerti kondisi Darla dan mendesaknya untuk menikah.

Rasanya Jenar ingin teriak keras-keras.

*TBC*


 Ini masih Jumat kok 👀


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top