Hari Ibu Tanpa mu
Karya Flianashf
***
'Tik'Tik'Tik'
Jam weker diatas meja masih berdetik dan telah menunjukkan pukul 23.15.
Mataku masih tidak mau terpejam, padahal sudah mengantuk. Kau tau bagaimana rasanya, ketika matamu sangat mengantuk namun pikiranmu tidak ingin tidur.
Rasanya sangat menyiksa.
Aku menangis dalam hati. Mengapa setiap malam begitu menyiksa seperti ini. Ketika akan tidur harus mematikan lampu terlebih dahulu, aku benci gelap. Ayahku selalu mengatakan kalau tidur dengan lampu menyala akan membuat kesehatan tubuh tidak baik. Aku tau, bahkan sangat tau.
Tapi, adaikan ayahku tahu, didalam gelap aku ketakutan. Bagiku, kegelapan adalah mimpi terburuk didalam hidupku.
Aku benci malam dan kegelapan.
Ketika ayah memadamkan lampu kamar serta mengucapkan ucapan 'selamat tidur' lalu menutup pintu kamarku, seakan suaraku langsung tercekat didalam ternggorokan.
Seperti biasa, malam ini aku bisa merasakan sesuatu. Merasakan kalau aku tidak sendirian didalam kamarku, seperti ada yang memperhatikan gerak gerikku saat tidur, terkadang aku merasakan dirinya duduk tepat dipinggir ranjangku. Memegang halus tanganku serta membelai rambutku. Sosok itu tidak menggangguku, namun lebih menjagaku. Tapi aku cukup terganggu. Aku tau, mungkin aku gila. Namun, aku merasakan semuanya.
Jangan anggap aku anak indigo seperti pikiran kalian. Aku hanya anak biasa. Aku bisa merasakan saat seperti ini sejak seminggu yang lalu, dimana hari setelah ibu berangkat ke inggris. Tapi sepulang sekolah aku mendapatkan kertas di depan pintu rumah dengan tulisan yang mengatakan ibu telah tewas dan aku juga mendapatkan pakaian ibu gunakan saat berangkat ke inggris. Aku menanyakan hal ini kepada ayah, ayah mengaku tidak mengetahui apapun. Dan aku berusaha mempercayainya.
Dan seperti biasa, hari ini aku tidak tidur sampai pagi.
"Pagi, gue tebak lo pasti gak tidur lagikan?" setiap pagi sahabatku Aditya menjemputku untuk berangkat sekolah bersama. Aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
Memang, aku selalu menceritakan setiap kejadian yang aku alami kepada ibu dan Aditya tapi sekarang tidak lagi. Ibu telah tiada hanya Aditya yang selalu menemaniku tidak untuk ayah.
"Bolos yuk," ajak Aditya santai. Aku hanya bisa melongo, jujur saja aku tidak pernah membolos sekalipun sejak SD sampai aku kelas 12 Sma sekarang.
"Aditya, lo tau kan kalau gua gapernah bolos sekalipun." Aku hanya bisa geleng-geleng kepala lalu naik keatas motor Aditya.
"Liana, gua tau lo butuh istirahat. Sekali ini aja dengerin gua. Pokoknya lo harus ikut gua," Aditya langsung memacu motornya, aku hanya bisa menghela napas pasrah.
"Lha, lo kenapa bawa gua ke rumah lo?" Aku agak sedikit terkejut saat Aditya memasuki halaman rumahnya.
"Iya, bolosnya ke rumah gua aja. Sepi kok," baru saja aku ingin membalas perkataannya dengan omelan pedas dia langsung menarik lenganku menuju kamarnya.
Kamarnya cukup rapi dan gelap.
"Lo disini aja, gue mau ganti baju dulu," Aditya langsung keluar meninggalkanku didalam ruangan yang gelap seperti ini.
Aku berusaha menormalkan detang jantungku. Sekarang siang dan tidak mungkin bukan ada makhluk halus siang hari seperti ini. Walaupun kamarnya Aditya gelap.
Ketika aku berusaha menyingkirkan beragam pikiran negatif dari dalam otakku. Tiba-tiba aku mendengar suara tangis seorang perempuan yang sepertinya sangat aku kenal.
Bulu kudukku langsung berdiri, tubuhku mendingin, suaraku tiba-tiba tidak mau keluar.
"Pergi... per... gi... lah.... jangan... kem... ba.... li.. ke... ru.. mah.." suara serak seorang wanita terdengar, jantung ku semakin berdebar keringat dingin menetes ke seluruh tubuh. Aku mendengar suara itu dengan jelas, aku mengenal suaranya namun samar samar. Aku berusaha berdoa dan memberanikan diri untuk membuka mata.
"WHAAAAAA..."
"Liana, lo kenapa? Liana, lo denger gua kan? Gua ada disini. Tenang," Aditya datang tepat saat aku membuka mata dan melihat seorang wanita berbaju putih panjang dengan darah yang mengucur dari kepalanya.
"Hiks, hiks, gue takut mereka dateng." Aditya menarikku kedalam pelukannya, tangannya mengusap punggung ku agar kembali tenang.
Siapa mereka? Mengapa ia menggangguku? tapi suaranya sangat familiar di pendengaranku Ya Tuhan apa salahku?
"Tidur ya, ada gua kok." Aku mengangguk dan masih terisak isak. Aku membaringkan tubuhku, Aditya ikut tidur disampingku dan memelukku. Setidaknya walaupun dalam gelap aku tidak sendirian.
Ku berusaha untuk tidur, dan akhirnya mataku terpejam.
Akh, belum lama aku tidur tiba-tiba aku terbangun lagi.
Eh, tunggu.
Kok bau amis? Seperti bau darah.
Bulu kudukku mulai berdiri. Ku alihkan pandangan melihat sisi-sisi kamar Aditya. Sejenak aku mengucapkan syukur karena hantu wanita tadi tidak terlihat lagi.
"Jangan... per.. gi.." ku meneguk kembali ludahku dengan susah payah, suara itu bahkan semakin jelas terdengar disisi telingaku.
Aku memegang tangan Aditya yang masih melingkar dipinggangku.
"Aditya, bangun deh." Eh tunggu, kok tangan Aditya lengket gini? Aku melirik sedikit tangan Aditya dan terlihat sangat merah darah. Napasku semakin beradu, badan mulai panas dingin dan aku tidak bisa mengeluarkan suaraku. Mengapa tangan Aditya menjadi seperti ini?
Ku beranikan diri sekali lagi untuk melihat wajah Aditya.
"Whaaa, Aditya, TOLONGGG TOLONGGG."
"Li... ana... "
"Aditya TOLONGGG TOLONGG"
"Li... ana.. ja... ngan.. pulang..."
"TOLONG HIKS HIKS, JANGAN GANGGU AKU KUMOHON HIKS."
"LIANA! INI GUA, BUKA MATA LO." Tiba-tiba kembali terdengar suara Aditya, ternyata aku tadi sedang bermimpi. Tapi kenapa terasa sangat nyata.
Hantu wanita itu seakan-akan memberi suatu petunjuk, mungkin caranya salah karena menggangguku. Namun, menurutku ia sedang memperingati akan suatu hal. Hal yang mungkin tidak aku tau.
Mungkinkah, hantu wanita itu yang selalu menghampiriku setiap malam?
"An, ini udah malem. Kamu mau nginep disini atau pulang aja?" Tanya Aditya yang masih berusaha menenangkanku.
"Pu.. lang.. Dit, hiks."
--
"Saya mohon mbah kasih saya waktu," bukannya itu suara ayah ya? Ayah ngomong sama siapa? Mbah? Bukannya aku dan ayah cuma tinggal berdua?
"Stt, Dit. Bentar deh, lo denger gak ayah gua tadi ngomong sama siapa?" Kami berdua berhenti tepat disebelah kamar yang ditempati oleh ayah. Kamar ayah memeng tertutup dan tidak terdapat jendela satupun. Bahkan, aku dan ibu dulu tidak pernah diperbolehkan masuk kamar ayah.
"Apa sih, An?" Aditya mulai gerusak gerusuk, aku memberikan kode agar ia diam.
"Tapi ini sudah sangat lama," terdengar lagi suara seorang pria sepertinya sudah berusia sangat tua.
"Kamu sudah berjanji akan mengorbankan anakmu," heh? Aku kan anak satu-satunya ayah? Maksudnya ayah harus mengorbankan aku apa?
"Beri saya kesempatan lagi, mbah. Seminggu yang lalu bukannya saya sudah menyerahkan, Nisa, mbah," IBU? Ibu jadi korban ayah? Jadi kepergian ibu ke Inggris hanya sandiwara. Ayah apa yang sebenarnya kau lakukan? Ini membuktikan kalau dulu ibu dan aku sempat curiga karena sering terciumnya bau kembang melati dari kamar ayah.
"Baiklah, besok kau harus menyerahkan anakmu." Suara serak pria itu kembali terdengar. Aku mulai ketakutan, apakah ini sebabnya hantu perempuan itu selalu berada didekatku pada saat malam hari? Apakah ini maksud perkataannya tadi?
Aditya tiba-tiba langsung menarik lenganku untuk menjauhi rumah. Sepertinya ia tahu maksud percakapan ayah tadi didalam sana.
"LIANA! KAU MAU KEMANA?" Aku berhenti menoleh kebelakang melihat muka ayah yang sudah sangat beringas.
"Liana, cepet! Ini jalan mumpung sepi," aku menurut perkataan Aditya, mengikutinya menyebrang jalan raya. Tangis ku tidak bisa berhenti, bahkan semakin deras. Pikiranku masih dilintasi berbagai macam pertanyaan.
Mengapa ayah tega melakukan semua ini?
"LIANA! DASAR ANAK DURHAKA. AAAAAAA...."
'Brak'
Aku dan Aditya langsung berhenti dan menoleh kebelakang, setelah terdengar suara teriakan ayah disertai suara mobil yang menabrak sesuatu.
"AYAHHH..." aku berlari menghampiri ayah diikuti Aditya.
"Ayah, jangan pergi, hiks. Maafin Liana, yah. Hiks," aku bersimpuh membelai wajah ayah yang penuh dengan darah. Ayah, jangan pergi, aku sendiri.
Sebuah tangan yang berdarah juga membelai wajah ayah, bukankah itu seperti tangan hantu wanita itu? Aku menengok, dan benar ternyata tangan itu milik hantu wanita yang selalu berada didekatku.
"Jaga diri ya, Liana." Suara hantu wanita itu terdengar jelas, sangat lembut. Bukankah itu.. bukankah suara itu...
"Ibu,.." ujarku lirih. Ya, itu suara ibu, suara yang sangat aku rindukan, suara yang selalu memberikan kehangatan.
Hantu wanita itu perlahan menghilang dengan senyuman yang terukir dengan jelas di wajahnya. Ibu, terima kasih telah menjagaku selama ini.
--
5 bulan kemudian.
Esok adalah hari hari ibu tapi aku tidak bisa merayakannya, ibu sudah tenang di Alam sana. Aku hanya bisa berdoa semoga ibu baik-baik saja
Selamat hari ibu Mom, Liana menyayangimu.
End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top